Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Jumat, 06 Juni 2014

Undang-undang kesehatan, psikotropika, narkotika & pangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2009
TENTANG KESEHATAN

                Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan.
            Pada Undang-Undang  RI No. 36 th 2009 tentang Kesehatan ini dikenal istilah dengan nama “Paradigma Sehat”. inti dari paradigma sehat, yaitu pendekatan promotif dan preventif yang tentunya sasaran utamanya adalah masyarakat, kemudian masuk kepada induvidu-induvidu atau perorangan, tapi biasanya hal ini hanya membatasi diri pada individu atau perorangan bukan kuratif dan rehabilitative yang sasarannya adalah dari individu-individu kemudian meluas pada masyarakat, hal ini seharusnya tidak bisa diklaim sebagai kesehatan masyarakat karena sifatnya yang homogen, menyangkut individu, serta masyarakat itu sendiri.
            Mewujudkan derajat kesehatan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan keadaan kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya. Derajat kesehatan yang setinggi-tingginya mungkin dapat dicapai pada suatu saat sesuai dengan kondisi dan situasi serta kemampuan yang nyata dari setiap orang atau masyarakat. Upaya kesehatan harus selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus agar masyarakat yang sehat sebagai investasi dalam pembangunan dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
            Dalam menerapkan undang-undang ini masih banyak terdapat masalah-masalah yang timbul dari berbagai faktor, salah satunya adalah keterbatasan-keterbatasan sumber daya bidang kesehatan yang dimiliki pemerintah/pemda ketika pemerintah/pemda dihadapkan pada tantangan-tantangan dalam undang-undang Kesehatan ini. Seharusnya Bukan hanya pemerintah, pihak di luar (swasta dan masyarakat) juga dituntut untuk bersiap menghadapi konsekuensi-konsekuensi atas pemberlakuan perangkat hukum tersebut.
            Sebagai tindak lanjutnya pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yang mengatur tentang pembagian urusan antara Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan perlu disesuaikan dengan semangat otonomi daerah. Oleh karena itu, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan dalam suatu Undang-Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Untuk itu, kajian kritis tetap diperlukan agar UUK 36/2009, terutama Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana lapangan dari UUK 36/2009 ini benar-benar mengetahui kebutuhan nyata masyarakat. Sehingga, UUK 36/2009 menjadi undang-undang yang lahir karena respon kebutuhan sebagai jawaban atas persoalan.



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1997
TENTANG PSIKOTROPIKA

            Masalah penyalahgunaan narkoba telah dikenal sejak lama di Indonesia. Penyalahgunaan narkoba mempunyai sejarah yang panjang, di zaman penjajahan Belanda, di Indonesia malah ada Menteri Candu dengan tugas menyediakan candu secara resmi dan teratur dibagikan kepada mereka yang telah terikat (ketagihan) akan narkoba tersebut. Di samping itu, sejarahpun mencatat terjadinya perang candu (1834–1842) antara Inggris dan Cina. Belajar dari catatan sejarah itulah semestinya kita bangsa Indonesia, khususnya pemerintah menyatakan sejak dini bahwa masalah penyalahgunaan narkoba, dan zat adiktif lainnya merupakan masalah nasional yang perlu ditangani secara serius, terencana dan secara bersama.
            Psikotropika menurut Undang-undang RI No. 5/1997 adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Pemakaian Psikotropika yang berlangsung lama tanpa pengawasan dan pembatasan pejabat kesehatan dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk, tidak saja menyebabkan ketergantungan bahkan juga menimbulkan berbagai macam penyakit serta kelainan fisik maupun psikis si pemakai, tidak jarang bahkan menimbulkan kematian.
            Psikotropika terbagi dalam empat golongan (pasal 2 ayat 2) yaitu Psikotropika gol. I, Psikotropika gol. II, Psyko Gol. III dan Psikotropika Gol IV. Psikotropika yang sekarang sedang populer dan banyak disalahgunakan adalah psikotropika Gol I, diantaranya yang dikenal dengan Ecstasi dan psikotropika Gol II yang dikenal dengan nama Shabu-shabu.
Psikotropika golongan I : Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan Contoh : MDMA, ekstasi, LSD, ST.
Psikotropika golongan II : Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh : amfetamin, fensiklidin, sekobarbital, metakualon, metilfenidat (ritalin).
Psikotropika golongan III : Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh : fenobarbital, flunitrazepam.
Psikotropika golongan IV : Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh: diazepam, klobazam, bromazepam, klonazepam, khlordiazepoxide, nitrazepam (BK,DUM,MG).
Dengan banyaknya kasus-kasus penyalahgunaan psikotropika, peran serta masyarakat sangat penting, di sini masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk membantu atau berperan serta dalam upaya pencegahan penyalahgunaan psikotropika yaitu dengan cara melaporkan kepada pihak yang berwenang bila mengetahui tentang anggota masyarakat lainnya menyalahgunakan atau memiliki psikotropika secara tidak sah, akan tetapi tidak melaporkan kepada pihak yang berwajib tentang kegiatan tersebut maka akan diberi sanksi pidana dengan pidana yang paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Hal ini diatur dalam Pasal 65 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang merumuskan sebagai berikut: ”Barang siapa tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan/atau pemilikan psikotropika secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) dipidana dengan penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah)”.
Pasal di atas melarang setiap orang untuk bertindak pasif apabila melihat dan mengetahui peristiwa pemilikan maupun penyalahgunaan psikotropika, karena dianggap oleh Undang-Undang sengaja membiarkan kejahatan di bidang psikotropika yang sangat merugikan bangsa dan negara. Ketentuan Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Psikotropika memang diatur menyimpang dari Pasal 108 ayat (1) KUHAP bahwa melaporkan tentang adanya tindak pidana merupakan hak setiap orang yang mengetahuinya, karena Undang-Undang Psikotropika memandang setiap orang wajib menyadari bahaya yang ditimbulkan dari penyalahgunaan psikotropika.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (pasal 54) juga merumuskan bahwa: ”Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) perlu mendapat jaminan keamanan dan perlindungan dari pihak yang berwenang”.
Dari pasal di atas, maka jelaslah bahwa pelapor mendapat perlindungan dari pihak yang berwenang dengan sebaik-baiknya tanpa diminta oleh pelapor, disamping menjaga rahasia tentang pelapor, juga melakukan penjagaan pelapor secara tertutup.
Pentingnya jaminan keamanan dan perlindungan hukum agar orang tidak merasa takut untuk melaporkan peristiwa yang berkaitan dengan psikotropika. Dengan jaminan yang nyata dan dapat dirasakan oleh seseorang yang melapor, maka akan semakin banyak orang yang berani melaporkan peristiwa tersebut.
Secara prinsip penanggulangan penyalahgunaan narkoba akan lebih baik dan efektif jika dilakukan sejak dini (upaya preventif) secara simultan dan holistik, yaitu sinergi peran keluarga/orang tua, masyarakat termasuk pemuda, aparat kepolisian dan individu pemakai yang bersangkutan. Faktor-faktor penyebab merupakan demand yang mempengaruhi orang menjadi pemakai. Sementara produsen dan pengedar bertindak sebagai supply. Ini merupakan mata rantai yang harus diputus sebagai upaya penanggulangannya. Keluarga dan masyarakat mungkin lebih tepat melakukan penanganan dari aspek demand sementara aparat kepolisian dapat terfokus pada supply.



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2009
TENTANG NARKOTIKA

Menurut Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dalam pasal (1) angka 1 menyebutkan bahwa : “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini”. Untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan dibidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama.
Dalam pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 35 Tahun 2009, Narkotika digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, antara lain adalah sebagai berikut :
·         Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
·         Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
·         Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Narkotika hanya dapat diproduksi oleh industry farmasi tertentu yang telah memperoleh ijin khusus dari Menteri Kesehatan. Pengertian Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan Narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau nonekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk Narkotika (Pasal 1 angka 3). Untuk memproduksi Narkotika dimungkinkan untuk memberikan izin kepada lebih dari satu industry farmasi, tetapi dilakukan secara selektif dengan maksud agar pengendalian dan pengawasan Narkotika dapat lebih mudah dilakukan.
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika juga telah merambah semua kelompok dan lapisan sosial ekonomi, kaya-miskin, kota-desa, kelompok, usia, etnis, agama, serta telah mewabah menjadi penyakit masyarakat yang pandemic, tidak ada satupun negara, bangsa, suku bangsa, masyarakat, kelompok usia, kelompok agama, yang imun terhadap ancaman penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika (BNN). Kejahatan narkotika merupakan kejahatan yang memiliki ciri–ciri khusus antara lain kejahatan terorganisir (organizer crime), kejahatan  internasional (international crime), mobilitas tinggi, dukungan dana yang besar, pemanfaatan kemajuan teknologi, tindak pidana atau kejahatan tanpa adanya aduan dari korban pelapor (victim less), jaringan dengan sindikat sel terputus, dengan berbagai macam modus operandi.
Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peredaran Narkotika tersebut meliputi penyaluran, penyerahan. Sedangkan pengertian peredaran gelap Narkotika dan precursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika. Ketentuan pidana mengenai tindak pidana dibidang peredaran Narkotika ini telah diatur dalam pasal 114 ayat (1) dan (2), 119 ayat (1) dan (2), 124 ayat (1) dan (2), 147 huruf (a) dan (d).
Tindak Pidana Prekursor Narkotika Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 2-(dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Dengan klasifikasi tindak pidana sebagai berikut :
a) Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
b) Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor untuk pembuatan Narkotika;
c) Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
d) Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito precursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
            Yang dimaksud dengan pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Ketergantungan Narkotika merupakan kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi social yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Telah jelas bahwa bagi pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkoba wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (lihat ketentuan Pasal 54 dan 55).
Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika. Merujuk kepada ketentuan Pasal 56, rehabilitasi medis pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri. Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri. Ketentuan ini menegaskan bahwa rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika dilakukan dengan maksud memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, social penderita yang bersangkutan.



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2012
TENTANG PANGAN

Indonesia adalah negara agraris dimana besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam kesejahteraan kehidupan penduduk Indonesia. Ketahanan pangan diartikan sebagai ketersediaan pangan pada tingkat harga yang stabil dan terjangkau. Ketahanan pangan akan meningkat apabila stabilitas politik dan ekonomi memungkinkan produsen ataupun konsumen meminimumkan adjustment cost. Di dalam kerangka ini, setiap tujuan yang dicapai oleh pemerintah akan terkait paling tidak dengan salah satu dari ketiga tujuan dasar yang telah disebutkan yaitu efisiensi, pemerataan, dan ketahanan.
Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak seluruh rakyat untuk terus-menerus meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraannya secara adil dan merata dalam segala aspek kehidupan yang dilakukan secara terpadu, terarah, dan berkelanjutan dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, baik material maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi setiap rakyat Indonesia. Pangan harus senantiasa tersedia secara cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. Untuk mencapai semua itu, perlu diselenggarakan suatu sistem Pangan yang memberikan pelindungan, baik bagi pihak yang memproduksi maupun yang mengonsumsi pangan. Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan dengan berdasarkan pada Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan.
Pemenuhan konsumsi Pangan tersebut harus mengutamakan produksi dalam negeri dengan memanfaatkan sumber daya dan kearifan lokal secara optimal. Untuk mewujudkan hal tersebut, tiga hal pokok yang harus diperhatikan adalah :
a) Ketersediaan pangan yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal,
b) Keterjangkauan pangan dari aspek fisik dan ekonomi oleh seluruh masyarakat, serta
c) Pemanfaatan pangan atau konsumsi Pangan dan Gizi untuk hidup sehat, aktif, dan produktif.
Tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah mencapai ketahanan dalam bidang pangan dalam kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga dari produksi pangan nasional yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, jumlah dan mutu, aman, merata dan terjangkau seperti diamanatkan dalam  UU pangan. Dalam undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan dituliskan tujuan dari penyelenggaraan pangan yaitu untuk:
a)   Meningkatkan kemampuan memproduksi Pangan secara mandiri;
b)   Menyediakan Pangan yang beraneka ragam dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan Gizi bagi konsumsi masyarakat;
c)   Mewujudkan tingkat kecukupan Pangan, terutama Pangan Pokok dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat ;
d)  Mempermudah atau meningkatkan akses Pangan bagi masyarakat, terutama masyarakat rawan Pangan dan Gizi;
e)   Meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas Pangan di pasar dalam negeri dan luar negeri;
f)    Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang Pangan yang aman, bermutu, dan bergizi bagi konsumsi masyarakat;
g)   Meningkatkan kesejahteraan bagi Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan; dan
h)   Melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber daya Pangan nasional.
Untuk menjamin ketersediaan pangan pemerintah melalui undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan menetapkan distribusi pangan pada pasal 47, 48, dan 49. Pasal 47 berbunyi : (1) Distribusi Pangan dilakukan untuk memenuhi pemerataan Ketersediaan Pangan ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara berkelanjutan. (2) Distribusi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan agar perseorangan dapat memperoleh Pangan dalam jumlah yang cukup, aman, bermutu, beragam, bergizi, dan terjangkau. (3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap distribusi Pangan sesuai dengan kewenangannya.
Dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan, masyarakat dapat berperan serta melalui pelaksanaan produksi, distribusi, perdagangan, konsumsi Pangan, penyelenggaraan Cadangan Pangan Masyarakat, pencegahan dan penanggulangan rawan Pangan dan Gizi, penyampaian informasi dan pengetahuan Pangan dan Gizi, pengawasan kelancaran penyelenggaraan Ketersediaan Pangan, keterjangkauan Pangan, Penganekaragaman Pangan, Keamanan Pangan, dan/atau peningkatan Kemandirian Pangan rumah tangga. Masyarakat dapat juga menyampaikan permasalahan, masukan, dan/atau penyelesaian masalah Pangan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Undang-Undang tentang Pangan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi Penyelenggaraan Pangan yang mencakup perencanaan Pangan, Ketersediaan Pangan, Keterjangkauan Pangan, konsumsi Pangan dan Gizi, Keamanan Pangan, label dan iklan Pangan, pengawasan, sistem informasi Pangan, penelitian dan pengembangan Pangan, kelembagaan Pangan, peran serta masyarakat, dan penyidikan.
Kurang efektifnya program pemberdayaan masyarakat yang selama ini bersifat top-down karena tidak memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan kemampuan masyarakat yang bersangkutan. Belum berkembangnya sistem pemantauan kewaspadaan pangan dan gizi secara dini dan akurat dalam mendeteksi kerawanan pangan dan gizi pada tingkat masyarakat. Untuk mengatasi kekurangan dan keterbatasan itu maka dalam penyelenggaraan pangan tentu masyarakat memiliki peran di dalamnya, hal tersebut telah diatur dalam undang-undang pangan nomor 18 tahun 2012 pada pasal 130 tentang peran serta masyarakat.
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
a)      Pelaksanaan produksi, distribusi, perdagangan, dan konsumsi Pangan;
b)      Penyelenggaraan Cadangan Pangan Masyarakat;
c)      Pencegahan dan penanggulangan rawan Pangan dan Gizi;
d)     Penyampaian informasi dan pengetahuan Pangan dan Gizi;
e)      Pengawasan kelancaran penyelenggaraan Ketersediaan Pangan, keterjangkauan Pangan, Penganekaragaman Pangan, dan Keamanan Pangan; dan/atau
f)       Peningkatan Kemandirian Pangan rumah tangga.
(3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mendorong peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Sedangkan, pada pasal 131 : (1) Masyarakat dapat menyampaikan permasalahan, masukan, dan/atau cara penyelesaian Masalah Pangan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. (2) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian permasalahan, masukan, dan/atau cara penyelesaian Masalah Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar