Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Kamis, 12 Juni 2014

Diabetes Melitus

DIABETES MELITUS TIPE 2

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Secara klinis terdapat 2 macam diabetes, DM tipe 1 yaitu Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan DM tipe 2 yaitu Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). DM tipe 1 adalah kekurangan insulin pankreas akibat destruksi autoimun sel B pankreas, berhubungan dengan HLA tertentu pada suatu kromosom 6 dan beberapa autoimunitas serologik dan cell mediated, DM yang berhubungan dengan malnutrisi dan berbagai penyebab lain yang menyebabkan kerusakan primer sel beta sehingga membutuhkan insulin dari luar untuk bertahan hidup. Infeksi virus pada atau dekat sebelum onset juga disebut-sebut berhubungan dengan pathogenesis diabetes. Diabetes tipe 2 tidak mempunyai hubungan dengan HLA, virus atau auto imunitas. Terjadi akibat resistensi insulin pada jaringan perifer yang diikuti produksi insulin sel beta pankreas yang cukup. DM tipe 2 sering memerlukan insulin tetapi tidak bergantung kepada insulin seumur hidup.1,2
Diagnosis DM didasarkan atas pemeriksaan kadar gula darah. Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dengan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM. Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM sebagai berikut: 1.) Usia . 45 tahun, 2.) Berat badan lebih: BBR >110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m2, 3.) Hipertensi >140/90 mmHg, 4.) Riwayat DM dalam garis keturunan, 5.) Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi >4000 gram; 6.) Kolesterol HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserid > 250 mg/dl.2
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas berupa poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dapat dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl atau glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl pada hari lain atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan > 200 mg/dl.2

DIABETES MELITUS PADA LANJUT USIA
Prevalensi DM pada lanjut usia cenderung meningkat, hal ini dikarenakan DM pada lanjut usia bersifat muktifaktorial yang dipengaruhi faktor intrinsik dan ekstrinsik.1 Umur ternyata merupakan salah satu faktor yang bersifat mandiri dalam pengaruhnya terhadap perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa. Umumnya pasien diabetes dewasa 90% termasuk diabetes tipe 2. Dari jumlah tersebut dikatakan 50% adalah pasien berumur > 60 tahun.2
Untuk menentukan diabetes usia lanjut baru timbul pada saat tua, pendekatan selalu dimulai dari anamnesis, yaitu tidak adanya gejala klasik seperti poliuri, polidipsi atau polifagi. Demikian pula gejala komplikasi seperti neuropati, retinopati dan sebagainya, umumnya bias dengan perubahan fisik karena proses menua, oleh karena itu memerlukan konfirasi pemeriksaan fisik, kalau perlu pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik, pasien diabetes yang timbul pada usia lanjut kebanyakan tidak ditemukan adanya kelainan-kelainan yang sehubungan dengan diabetes seperti misalnya kaki diabetik, serta tumbuhnya jamur pada tempat-tempat tertentu.2
Kriteria diagnosis DM dapat mengacu pada rekomendasi ADA (American Diabetes Association) yang tidak menunjukkan adanya pertimbangan spesifik umur. Diagnosis DM dibuat setelah dua kali pemeriksaan gula darah puasa > 126 mg/dl (dengan sebelumnya puasa paling sedikit 8 jam). Pasien perlu dipastikan tidak dalam kondisi infeksi aktif atau sakit akut dalam pemeriksaan ini. Atau gula darah acak > 200 mg/dl dengan gejala-gejala diabetes.1,2 Pengukuran hemoglobin terglikosilasi (HbA1c ) tidak direkomendasikan sebagai alat diagnostik, tetapi dipakai secara luas untuk memantau efektifitas pengobatan.1

Penampilan klinis DM pada lanjut usia1
Berbagai perubahan karena proses menua dapat mempengaruhi penampilan klinis DM pada lanjut usia. Gejalanya dapat sangat tidak khas dan menyelinap. Dikatakan paling sedikit separuh dari populasi lanjut usia tidak tahu bahwa mereka terkena DM. Keluhan tradisional dari hiperglikemia seperti polidipsi dan poliuria sering tidak jelas, karena penurunan respon haus dan peningkatan nilai ambang ginjal untuk pengeluaran glukosa urin. Penurunan berat badan, kelelahan dan kencing malam hari dianggap hal yang biasa pada lanjut usia, berakibat tertundanya deteksi adanya DM. Penampilan klinis seperti dehidrasi, konfusio, inkontinentia dan komplikasi-komplikasi yang berkaitan DM merupakan gejala-gejala yang tampak.
Komplikasi mikrovaskuler seperti neuropati dapat berupa kesulitan untuk bangkit dari kursi atau menaiki tangga. Pandangan yang kabur atau diplopia juga dapat dikeluhkan, akibat mononeuropati yang mengenai syaraf kranialis yang mengatur okulomotorik. Proteinuria tanpa adanya infeksi, harus dicari kemungkinan adanya DM.1
Infeksi khusus yang sering berkaitan dengan DM, lebih banyak dijumpai pada lanjut usia antara lain otitis eksterna maligna dan kandidiasis urogenital. Sebaliknya adanya penyakit-penyakit akut seperti bronkopneumoni, infark miokard atau stroke dapat meningkatkan kadar glukosa sehingga berakibat tercapainya kriteria diagnosis DM, pada mereka yang telah ada peningkatan kadar intoleransi glukosa. Beberapa gejala unik yang dapat terjadi pada penderita lanjut usia antara lain adalah: neuropati diabetika dengan kaheksia, neuropati diabetic akut, amiotropi, otitis eksterna maligna, nekrosis papilaris dari ginjal dan osteoporosis.
Bila terlambat diketahui adanya penyakit diabetes pada lanjut usia, penderita mungkin sudah dalam keadaan status dekompensasi dari sistem metabolik seperti hiperglikemi, hiperosmolaritas, sindroma non ketotik atau ketoasidosis diabetik. Penderita juga dapat dijumpai gejala-helaja hipoglikemi, yang biasanya disebabkan oleh obat-obat antidiabetik. Penampilan klinis hipoglikemia yang khas tampak sebagai perubahan status mental dan status neurologi seperti penurunan fungsi kognitif, konfusio, kjang, diaphoresis dan bradikadi.
Keadaan yang menyertai hiperglikemi seperti hiponatremia (pseudohiponatremi), kondisi dehidrasi dan hipomagnesia (akibat diuresis osmotik) dapat juga terjadi. Profil lipid pada umunya menunjukkan peningkatan trigliserid, penurunan HDL sedangkan LDL kolesterol  tidak selalu meningkat tetapi terisi oleh small dense LDL yang lebih banyaj, yang lebih aterogenik.

Patofisiologi DM pada lanjut usia
Patofisiologi diabetes melitus pada usia lanjut belum dapat diterangkan seluruhnya, namun didasarkan atas faktor-faktor yang muncul oleh perubahan proses menuanya sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain perubahan komposisi tubuh, menurunnya aktifitas fisik, perubahan life style, faktor perubahan neurohormonal khusunya penurunan kadar DHES dan IGF-1 plasma, serta meningkatnya stres oksidatif. Pada usia lanjut diduga terjadi age related metabolic adaptation, oleh karena itu munculnya diabetes pada usia lanjut kemungkinan karena aged related insulin resistance atau aged related insulin  inefficiency sebagai hasil dari preserved insulin action despite age.3
Berbagai faktor yang mengganggu homeostasis glukosa antara lain faktor genetik, lingkungan dan nutrisi. Berdasarkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi proses menua, yaitu faktor intrinsik yang terdiri atas faktor genetikdan biologik serta faktor ekstrinsik seperti faktor gaya hidup, lingkungan, kultur dan sosial ekonomi, maka timbulnya DM pada lanjut usia bersifat muktifaktorial yang dapat mempengaruhi baik sekresi insulin maupun aksi insulin pada jaringan sasaran.1
Faktor resiko diabetes melitus akibat proses menua:1,2
·         Penurunan aktifitas fisik
·         Peningkatan lemak
·         Efek penuaan pada kerja insulin
·         Obat-obatan
·         Genetik
·         Penyakit lain yang ada
·         Efek penuaan pada sel
Menyebabkan resistensi insulin dan penurunan sekresi insulin à gangguan toleransi glukosa dan diabetes melitus tipe 2.
Perubahan progresif metabolisme karbohidrat pada lanjut usia meliputi perubahan pelepasan insulin yang dipengaruhi glukosa dan hambatan pelepasan glukosa yang diperantarai insulin. Besarnya penurunan sekresi insulin lebih tampak pada respon pemberian glukosa secara oral dibandingkan dengan pemberian intravena. Perubahan metabolisme karbohidrat ini antara lain berupa hilangnya fase pertama pelepsan insulin. Pada lanjut usia sering terjadi hiperglikemia (kadar glukosa darah >200 mg/dl) pada 2 jam setelah pembebanan glukosa dengan kadar gula darah puasa normal (<126 mg/dl) yang disebut Isolated Postchallenge Hyperglikemia (IPH) 1

Pengelolaan DM pada lanjut usia
Langkah I: Menentukan tujuan pelaksanaan, yaitu:
1.      Mempertahankan kesehatan badan dan kualitas hidup
2.      Meniadakan hiperglikemi dan gejalanya
3.      Mengkaji dan menerapi penyakit komorbid seperti hipertensi, penyakit kardiovaskuler, Alhzeimer, dan lain-lain
4.      Meniadakan efek samping obat terutama hipoglikemi
5.      Membuat berat badan menjadi ideal
6.      Mencegah kalau mungkin dan menerapi komplikasi
7.      Mengenali disabilitas dan mengurangi hendaya sosial yang terjadi
Langkah II: Melakukan assesement untuk mengetahui kapasitas penderita baik fisik, psikologis, fungsional, lingkungan, sosial dan ekonomi. Pemeriksaan mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, psikologis, fungsional, pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan oleh suatu tim multidisiplin yang bekerja secara interdisiplin dan terpadu.
Langkah III: Melakukan terapi dan rehabilitasi pada penderita DM usia lanjut. Target yang ingin dicapai tetap dama dengan usia dewasa muda yaitu HbA1c <7%, dan ini sangat sulit pada lansia karena terdapat berbagai macam kendala seperti:
-          Adanya berbagai penurunan fungsi organ karena proses menua
-          Adanya penyakit komorbid
-          Penuruan kapasitas fungsional yang menyebabkan penurunan aktifitas fisik
-          Penurunan fungsi kognitif penderita à meningkatnya resiko hipoglikemi
-          Adanya polifarmasi à meningkatkan efek samping dan interaksi obat lain dengan obat-obat antihiperglikemik
Pilihan utama terapi diabetes pada lansia adalah terapi tanpa ibat atau sering disebut sebagai perubahan gaya hidup yang meliputi:



Diet
Diberikan diet dengan jumlah kalori sesuai BMI, dengan pembatasan sesuai penyakit komorbid atau faktor resiko atherosklerosis lain yang ada. Komposisi normal biasanya 60-65% karbohidrat komplek, 20% protein dan 15-20% lemak. Disamping itu juga diberikan suplemen dan vitamin A, C, B komplek, E, Ca, selenium, zinc dan besi.
Untuk hasil yang baik pada terapi diet ini perlu perhatian khusus pemberian makanan pada lansia dengan diabetes:
Akses terhadap makanan:
-          Disabilitas fungsional
o   Keterampilan menyapkan makanan yang kurang/jelek
o   Dukungan formal maupun informal yang buruk untuk mendapatkan makanan
-          Sumber daya keuangan yang terbatas
-          Asupan makanan:
o   Apresiasi terhadap bau dan rasa yang menurun
o   Gigi yang buruk dan atau xerostomia
-          Kebiasaan makan yang sudah berakar
-          Kesukaan atas makanan masa lalu atau masakan tradisional
Fungsi kognitif yang menurun

Olahraga
Disesuaikan dengan kapasitas fungsionalnya. Bila masih bisa berjalan disuruh berjalan, bila hanya bisa duduk olahraga dengan duduk. Apabila tidak dapat, bisa dilakukan dengan gerakan atau latihan pasif di tempat tidur. Prinsip terapi olahraga adalah dengan memperbaiki aktifitas fisik, menurunkan kadar gula darah, mencegah terjadinya imobilitas yang mempercepat munculnya kompliasi makrovaskuler diabetes.
Apabila dengan terapi tanpa obat di atas gula darah atau HbA1c belum turun atau terkendali, sesuai dengan target makan diberikan terapi dengan obat antihiperglikemik.



Obat
Terutama obat untuk menurunkan gula darah harus dipilih yang bekerja pendek, mempertimbangkan kapasitas ginjal, hepar dan saluran cerna agar tidak terjadi efek samping. Patut juga diperhatikan status sosial ekonomi penderita dalam memilih obat mengingat obat ini biasanya dipakai dalam jangka waktu lama bahkan dapat seumur hidup. Obat yang dipilih apakah obat anti diabetik oral atau insulin disesuaikan dengan klisifikasi DMnya dan keadaan klinisnya seperti penyakit komorbid atau BMI nya.
Untuk penderita diabetes lansia gemuk, obat hiperglikemik oral yang dipilih adalah inhibitor alfa Glukosidase (acarbose), biguanide atau thiazolidinedione, karena obat-obat ini selain menurunkan kadar gula darah juga dapat menuurnkan berat badan, tetapi bila terdapat ganguan fungsi hati atau ginjal baik biguanide atau thiazolodinedione tidak boleh dipakai. Sebaliknya penderita yang kurus sebaiknya dipilih terapi dengan insulin karena dapat menungkatkan berat badan. Sulfoniuria dan non sulfoniuria insulin secretagoue (repaglinide/nateglinide) lebih tepat dipilih untuk penderita dengan berat badan normal.
Indikasi penggunaan insulin pada penderita diabetes antara lain: DM tipe 1, DM tipe 2 yang tidak bisa dikontol dengan obat oral, DM tipe 2 dengan penyakit akut berulang dan berhubungan dengan hiperglikemi, DM tipe 2 dengan penyakit komorbid yang merupakan kontraindikasi OHO, DM tipe 2 dengan operasi yang lama (pre/pascaoperatif), DM tipe 2 dengan malnutrisi/kurus dan malaise berat, koma diabetik (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar nonketotik dan asidosis laktat) dan perempuan hamil.1,4,5
Penatalaksanaan DM pada lanjut usia tidak akan berhasil bila tidak melakukan langkah beriuktnya setelah diet, olahraga dan obat, yaitu melakukan edukasi, evaluasi dan rehabilitasi pada penderita.
Edukasi: memberikan penjelasan mengania DM dan komplikasi yang akan terjadi sampai kepada apa yang mesti dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh penderita dan keluarganya. Pada edukasi perlu dibuat komitmen antara dokter, penderita dan keluarganya mengenai tujuan akhir terapi yang diberikan, bukan hanya sekedar mengontrol gula darah tetapi juga mencegah komplikasi dengan mengeliminir semua faktor resiko atherosclerosis yang dimiliki oleh penderita dan sekaligus menerapi komorbid yang ada.
Evaluasi: evaluasi harus dilakukan secara berkesinambungan terutama untuk: evaluasi status fungsional penderita, harapan hidup, support social dan financial serta hasrat/ kemauan lansia itu sendiri untuk berobat. Bila tidak memperhatikan hal-hal tersebut biasanya akan terjadi kegagalan terapi atau kebosanan penderita diabetes untuk terus berobat.
Rehabilitasi: sangat penting dilakukan dengan program individual untuk tiap penderita, tergantung kepada kapasitas fungsional penderita, komplikasi DM dan penyakit komorbid yang diderita. Pada prinsipnya rehabilitasi harus dilakukan secepatnya tidak perlu menunggu kondisi pasien stabil, tetapi harus sesuai dengan keadaan penderita saat itu.

Komplikasi DM pada lanjut usia
Berbagai komplikasi akibat DM sering diklasifikasikan secara berbeda, antara lain penggolongan antara komplikasi akut (ketoasidosis, koma hiperosmolar non ketotk) dan kronik (retinopati diabetika, neuropati diabetika, nefropati diabetika dan penyakit kardiovaskuler), klasifikasi berdasarkan komplikasi spesifik dari diabetesnya (nephropati, retinopati dan neuropati) dan komplikasi makrovaskuler (penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler dan penyakit perifer) yang mungkin terjadi pada penderita non diabetik aan tetapi tampil lebih dini dan lebih berat pada penderita diabet.

Prognosis DM pada lanjut usia
Kesehatan penderita usia 75 tahun mempunyai harapan hidup sekitar 10 tahun, oleh karen aitu harus diterapi secara agresif seperti pada penderita usia muda untuk menurunkan resiko komplikasi. Bagaimanapun juga harapan hidup penderita lebih pendek, tujuan terapi adalah untuk mengurangi gejala, mencegah komplikasi akut, yang mana terutama terjadi pada penderita lanjut usia.
Pada pasien ini, dari anamnesis yang mengarah ke gejala kencing manis hanya didapatkan keluhan poliuri (buang air kecil banyak). Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan pemeriksaan yang mengarah pada gejala diabetes melitus, hanya didapatkan tanda komplikasi diabetes, yaitu infeksi saluran nafas (ronkhi basah halus) dan adanya infeksi saluran kemih (nyeri kostovertebra).


DAFTAR PUSTAKA

1.      Martono H, Pranaka K, Rahayu RA, Joni B, Huda IS, Murti Y. Diabetes melitus pada lanjut usia. Dalam : Darmono, Suhartono T, dkk (editor). Naskah lengkap diabetes melitus. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007 : 301-16
2.      Gustaviani  R. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, dkk (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2006: 1879-1885
3.      Rochmah W. Diabetes melitus pada usia lanjut. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, dkk (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2006: 1937-9
4.      Darmono. Seri kuliah endokrinologi-metabolik. Semarang: Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP, 1991. Foster DW.
5.      Sidartawan, Pradana, Imam Subekti, dkk. Petunjuk praktis pengelolaan diabetes mellitus tipe 2. Jakarta : PB Perkeni, 2002.
  1. Soegondo S, Rudianto A, Manaf A, Imam Subekti, dkk. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di indonesia. Jakarta : PB Perkeni, 2006.
7.      Sofro MAU. Infeksi yang biasa menyerang pada DM. Dalam : Darmono, Suhartono T, dkk (editor). Naskah lengkap diabetes melitus. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007 : 178
8.      Wibisono BH. Komplikasi paru pada DM. Dalam : Darmono, Suhartono T, dkk (editor). Naskah lengkap diabetes melitus. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007 : 97

  1. Mubin H. Paduan praktis ilmu penyakit dalam diagnosis dan terapi. Jakarta : EGC, 2001 : 201
  2. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s manual of medicine 16th ed. McGraw-hill international edition. Boston. 2002: 679

Tidak ada komentar:

Posting Komentar