Salmonella
Salmonella termasuk Enterobacteriaceae, merupakan bakteri berbentuk batang
gram-negatif berukuran 2-3 x 0,6 (m, tidak membentuk-spora. Salmonella merupakan
organisme kompleks yang menghasilkan berbagai faktor virulensi, termasuk antigen
permukaan, invasif, endotoksin, sitotoksin, dan enterotoksin. Peran masing-masing faktor
virulensi menyebabkan Salmonella mampu menimbulkan berbagai sindrom dalam tubuh
inang yang berbeda. Pada kenyataannya, beberapa serotipe beradaptasi dengan inang
yang spesifik. Sebagai contoh, S. typhimurium menyebabkan sindrom yang sama dengan
demam tifoid pada inang alaminya, pada mencit, tetapi pada manusia hanya terbatas pada
gastroenteritis. Contoh yang sama, terjadi pada S. typhi yang terbatas pada manusia dan
tidak menyebabkan penyakit pada hewan ketika diberikan per oral. Perbedaan respon
inang kemungkinan terletak pada kemampuan berbagaiorganisme untuk hidup dalam sel
fagosit inang. Hal ini menyebabkan Salmonella dapat tumbuh dalam lingkungan
ekstraseluler, dan beberapa peneliti menggunakan istilah parasit intraseluler fakultatif
untuk menggambarkan patogenesis bakteri ini.
A. Penentu Patogenisitas
Antigen Permukaan. Kemampuan Salmonella untuk menempel pada reseptor sel inang
dan bertahan hidup dalam sel, disebabkan rantai samping antigen O atau, dalam kasus
serotipe typhi, termasuk adanya antigen Vi. Antigen O Salmonella penting untuk
menentukan kerentanan sejumlah serotipe terhadap protein kationik inang dan untuk
berinteraksi dengan makrofag inang. Salmonella dengan antigen O yang utuh lebih
resisten terhadap pembunuhan berperantara-komplemen dalam serum normal,
dibandingkan dengan varian "kasar". Resistensi tersebut kemungkinan disebabkan
perlindungan polisakarida core LPS dan Lipid A pengaktif-komplemen oleh polisakarida
pada antigen O.
Tipe 1 atau fimbria pengikat-manosa digambarkan terdapat pada sejumlah
Salmonella. Bagaimanapun, Salmonella dengan fimbria ini hanya sedikit lebih virulen
dengan strain yang tanpa fimbria. Kemampuan berikatan kepada sel inang, karena adanya
beberapa faktor adesi yang belum diketahui. Plasmid dengan berat molekul tinggi
sebelumnya dianggap penting untuk penempelan dan invasi. Penelitian selanjutnya
memperlihatkan bahwa plasmid tersebut mengendalikan kemampuan penyebaran
Salmonella melebihi sel intestin untuk bergerak ke jaringan lain, dan plasmid ini tidak
mengendalikan awal penempelan bakteri pada sel intestin.
Kemampuan Invasi. Seperti Shigella, Salmonella virulen dapat menembus jalur epiitel
usus kecil. Kelebihannya, Salmonella tidak hanya menempati jalur epitel, juga dapat
menembus jaringan subepitel. Saat ini terbukti bahwa Salmonella mensintesis protein
baru ketika tumbuh pada sel mamalia dan protein ini penting untuk menempel dan
menembus sel mamalia. Selanjutnya bakteri yang tumbuh pada tekanan oksigen atmosfir
mulai 0-1%, hampir 70% memiliki sifat invasif dan kemampuan menembus yang lebih
besar dibandingkan dengan yang tumbuh pada tekanan oksigen 20%. Tingkat oksigen
dalam lingkungannya digunakan untuk menghasilkan protein baru tersebut. Pada saat
bakteri mendekati epitel, brush border (pili-pili usus) mulai dirusak, dan bakteri
memasuki sel dimana disebelahnya dikelilingi oleh membran sitoplasma yang serupa
dengan vakuola fagositik. Selanjutnya bakteri melewati sel epitel dan masuk ke lamina
propria. Kadang-kadang penembusan epitel terjadi pada junction/hubungan interseluler.
Setelah menembus, bakteri berkembangbiak dan menyebar ke bagian tubuh lain.
Kerusakan epitel terjadi selama tahap akhir penyakit.
Perbedaan tipe penyakit disebabkan oleh berbagai serotipe Salmonella, juga dapat
disebabkan tipe sel inang yang diserang. Sebagai contoh, serotipe manusia menyebabkan
gastroenteritis, menembus dan berbiak dalam sel epitel; sedangkan sel target untuk
serotipe typhi adalah makrofag. Kemampuan bakteri untuk bertahan hidup dalam
makrofag karena produksi protein yang menyebabkannya bertahan dari mekanisme
pembunuhan tergantung-oksigen dan tergantung-non-oksigen oleh sel fagositik.
Mekanisme tergantung-oksigen termasuk produksi hidrogen peroksida dan superoksida,
dan mekanisme tergantung-non-oksigen termasuk produksi antibakteri atau protein
kationik yang disebut defensin. Pengendalian genetik protein yang melindungi bakteri
dari defensin terletak pada lokus phoP. Produk gen ini mempengaruhi kontrol pleiotropik
sejumlah besar gen pada kromosom bakteri, sehingga, dasar molekuler proses tersebut
dan perannya pada pertahanan hidup sel bakteri dalam makrofag menjadi jelas.
Endotoksin. Seperti semua bakteri enterik, endotoksin dapat berperan dalam patogenesis
infeksi Salmonella, khususnya selama tahap bakteremik demam enterik. Endotoksin
dianggap mampu menyebabkan demam pada pasien. Apakah demam disebabkan oleh
endotoksin secara langsung atau tidak langsung melalui pelepasan pirogen endogeik dari
leukosit, belum dapat diketahui. Aktivasi endotoksin pada komponen kemotaktik sistem
komplemen dapat menyebabkan lokalisasi leukosit pada lesi klasik demam tifoid.
Bagaimanapun, peran endotoksin belum jelas karena sukarelawan yang toleran-
endotoksin ketika diinfeksi dengan bakteri tifoid tetap memperlihatkan tanda demam
tifoid.
Enterotoksin. Enterotoksin serupa dengan enterotoksin tahan-panas dan enterotoksin
tidak- tahan panas pada E. coli. Bagaimanapun peranenterotoksin pada penyakit belum
digambarkan secara jelas. Karena seperti pada Shigella, jaringan target utama
salmonellosis adalah kolon, dan enterotoksin mempengaruhi usus kecil. Selanjutnya,
enterotoksin sel tidak dikeluarkan dari sel, seperti pada V. cholerae dan E. coli. Peran
enterotoksin bisa berbeda untuk setiap bakteri yangmenginfeksi. Serotipe typhimurium
menyebabkan ileitis yang meluas pada hewan percobaan, sedangkan strain lain yang
juga memiliki enterotoksin tidak memperlihatkan hal tersebut. Apakah toksin ini
dihasilkan intraseluler oleh organisme penginfeksi kolon, belum dapat diketahui.
Sitotoksin. Salmonella juga menghasilkan sitotoksin yang berbeda dari enterotoksin.
Toksin ini berhubungan dengan membran luar bakteri, yang penting dalan invasi dan
perusakan sel inang. Pada penelitian 131 strain Salmonella , semua strain menghasilkan
sitotoksin, tetapi jumlah toksinnya berbeda untuk setiap strain. Serotipe cholerasuis dan
enteritidis menghasilkan banyak toksin, sedangkan serotipe typhi menghasilkan toksin
paling sedikit. Perbedaan ini mencerminkan perbedaan dalam menyebabkan spektrum
penyakit. Meskipun secara genetik sitotoksin dihasilkan oleh semua Salmonella, tapi
secara imunologik berbeda dari Shiga toksin dan SLT-_ dan SLT-II pada E. coli,
mekanisme kedua kelompok toksin tersebut adalah serupa yaitu menghambat sintesis
protein sel Vero.
B. Epidemiologi
Demam Tifoid. Salmonella serotipe typhi secara khusus diadaptasikan terhadap manusia,
dan seorang carrier merupakan satu-satunya sumber bakteri ini. Carrier dapat berupa
carrier konvalesen yang mengekskresikan bakteri pada periode waktu yang singkat, atau
carrier kronik yang menyimpan bakteri ini selama lebih dari satu tahun. Hampir 3%
pasien demam tifoid menjadi carrier kronik. Kebanyakan carrier kronik adalah wanita
dewasa penderita penyakit kandung-empedu. Bakteri menempati batu-empedu atau luka
pada cabang saluran empedu dan diekskresikan dalam jumlah yang besar.Beberapa
individu diinfeksi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi bakteri dari
carrier. Ledakan penyakit terjadi di sejumlah negara, karena makanan-limbah dari
sejumlah restoran yang terkontaminasi bakteri ini. Kasus berskala-besar terjadi di
Skotlandia (515 kasus) dan di Jerman (344 kasus), disebabkan oleh kontaminasi bakteri
pada salad kentang dan corned beef.
Salmonellosis. Sering dilaporkan, salmonellosis merupakan penyakit asal-makanan pada
manusia, dan salmonella lebih banyak ditemukan sebagai kontaminan dalam berbagai
jenis makanan dibandingkan jenis mikroorganisme lain. Kebiasaan makan dan cara
mengolah makanan merupakan penyebab utama dalam kasus salmonellosis, tetapi secara
epidemiologi data yang tepat hanya terdapat pada beberapa negara.
Seperti demam tifoid, makanan dan air yang terkontaminasi debu menularkan
infeksi Salmonella. Tidak seperti demam tifoid, sumber utama salmonellosis bukan hanya
manusia, tetapi hewan dan produk hewan juga merupakan sumber utama penyakit. Di
sejumlah negara, sumber utama salmonellosis pada manusia adalah daging babi, sapi dan
kuda. Selain itu, daging
Daging terkontaminasi-Salmonella menimbulkan masalah kesehatan masyarakat
yang cukup serius, khususnya di berbagai negara yang mengkonsumsi daging mentah
atau kurang-masak. Sebagai contoh, infeksi sering disebabkan karena mengkonsumsi
masakan yang mengandung daging babi atau kuda. Masalah berikutnya adalah
kontaminasi-silang pada produk daging dari daging mentah. Sebagai contoh, pada saat
masakan dipanaskan, Samonella dari daging mentah sering mencemari proses
pengolahan, misalnya salad ayam, dan sndwich ayam. Akibatnya, pendinginan dan
penanganan higianis pada daging, pada seluruh tahap pengolahan, mulai dari
penyembelihan, pengemasan sampai dapur konsumen, penting diperhatikan untuk
mencegah penyakit asal-makanan tersebut.
Makanan lain yang sering terkontaminasi salmonella adalah telur, susu dan
produk susu, ikan dan kerang, produk sayuran, dan lain-lain.
C. Manifestasi Klinik
Infeksi Samonella dapat terjadi dalam tiga kesatuan gejala klinik yang berbeda :
terbatas pada gastroenteritis, septikemia dengan lesi fokal, atau demam enterik misalnya
demam tifoid.
Gastroenteritis. Gastroenteritis Samonella merupakan infeksi yang terjadi hanya pada
kolon dan biasanya terjadi setelah 18-24 jam penelanan bakteri. Penyakit ditandai oleh
diarhe, demam, dan sakit perut. Hal ini biasanya terbatas, sekitar 2-5 hari. Sebagian kasus
tidak memperlihatkan sakit dan menandakan gejala "flu lambung". Dehodrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit merupakan ancaman dalam meluasnya kasus dan terutama
pada usia yang sangat muda dan orang tuia. Meskipunbakteri dapat diisolasi dari feses
dalam beberapa minggu, tapi jarang terdapat carrierkronik.
Demam Tifoid dan Demam Enterik lain. Prototipe dan demam enterik yang sangat
meluas/berat adalah demam tifoid. Salmonella lain, khususnya serotipe paratyphi A,
paratyphi B juga menyebabkan demam enterik, tetapi gejalanya lebih ringan, dan
mortalitasnya rendah.
Jumlah bakteri dalam makanan dan air yang ditelan,penting dalam menentukan
kecepatan infeksi oleh bakteri tifoid. Hasil penelitian pada sukarelawan, menujukkan
bahwa hanya 25% orang menjadi terinfeksi setelah menelan 105 organisme, dan
kecepatan infeksi meningkat sampai 95% ketika dosisbakteri ditingkatkan menjadi 109.
Selama minggu pertama, gejala infeksi berupa kelesuan, demam, tidak enak badan, dan
rasa sakit yang umum dapat tertukar/keliru dengan berbagai penyakit lainnya. Selama
tahap ini, bakteri menembus dinding intestin dan menginfeksi sistem limfatik. Sejumlah
bakteri masuk ke pembuluh darah dan menginfeksi sistem retikuloendotel lainnya. Pada
kedua tempat tersebut, bakteri ditelan oleh monosit tapi tidak dibunuh, sehingga
mengalami pembiakan. Selama minggu kedua keadaan sakit, bakteri memasuki
pembuluh darah dan memperpanjang bakteremia. Infeksi saluran empedu juga terjadi
pada masa tersebut. Pasien dengan penyakit yang berat mengalami demam sampai 104
oF atau 40oC dan sering mengigau. Badan sakit dan dapat berbintik merah-muda. Diarhe
dimulai selama minggu ke-tiga keadaan sakit. Pada saat ini bakteri dari pembuluh
empedu kembali menginfeksi saluran intestinal dan menyebabkan kerusaklan Payer's
patches. Setelah minggu ke-tiga, pasien melemah dan tetap febril/ tidak berubah, jika
tidak terdapat komplikasi. Komplikasi termasuk perforasi intestin, pendarahan berat,
tromboflebitis, kolesistitis, peumonia, dan pembentukan abses. Kisaran kecepatan
kematian sekitar 2%-10% dan lebih rendah dengan bantuan terapi secara cepat. Sekitar
20% pasien mengalami kekambuhan.
Septikemia. Septikemia Salmonella diperpanjang dan ditandai dengan demam, anoreksia,
kedinginan, dan anemia. Lesi fokal dapat berkembang dalam sejumlah jaringan,
menghasilkan osteomielitis sekunder, pneumonia, abses paru, meningitis, dan
endokarditis. Gastroenteritis jarang, bahkan tidak ada, dan bakteri jarang dikutur dari
feses. Serotipe cholerasuis sering menjadi penyebab sindrom tersebut, dan khususnya
dihubungkan dengan pasien penderita sickle cell.
Bakteremia kronik juga digambarkan pada pasien penderita schistosomiasis.
Schistosoma membawa bakteri, sehingga hilangnya bakteremia tidak dapat dicapai
selama schistosomisis belum hilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar