Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Senin, 02 Juni 2014

RICKETTSIA

RICKETTSIA 

 Kelompok bakteri ini memperbanyak diri dengan pembelahan biner, tidak melalui
siklus perkembangan yang kompleks. Sebagian besar fase hidupnya bersifat intraseluler
obligat,  parasitik  atau  mutualistik,  dengan  inang  eukariot  (vertebrata  atau  arthropoda);
beberapa  spesies  dapat  tumbuh  pada  media  bakteri  yang  sedikit  kompleks  dan
mengandung darah. Dinding sel mengandung asam muramat. Glutamat dioksidasi dengan
menghasilkan  ATP.  Rickettsia  merupakan  bakteri  Gram-negatif,  berbentuk  batang,
kokoid,  dan  sering  pleomorfik,  tanpa  flagela;  perkecualian  dapat  muncul  gambaran,
sebagai  berikut:  (1)  beberapa  terlihat  berbentuk-cincin  pada  sediaan  pewarnaan,  (2)
beberapa memiliki flagela, dan (3) beberapa dapat bersifat Gram-positif.
 Spesies  parasitik  dihubungkan  dengan  sel  retikuloendotel  dan  endotel  vaskuler
atau eritrosit vertebrata dan sering dihubungkan dengan berbagai organ arthropoda, yang
berperan  sebagai  vektor  atau  inang  primer.  Beberapa spesies  merupakan  penyebab
penyakit  pada  manusia  atau  vertebrata  lain  dan  inang  invertebrata.  Spesies  mutualistik
terdapat  pada  insekta  dan  dianggap  penting  untuk  perkembangan  dan  reproduksi
inangnya.
 Terdapat  tiga  genera  yang  dapat  tumbuh  pada  media  bakteri,  Bartonella,
Grahamella,  dan  Rochalimaea,  tetapi  ketiganya  dikelompokkan  ke  dalam  rickettsia
karena  bersifat  sebagai  parasit  intraseluler.  Secara  filogenetik,  Bartonella,  Grahamella
masuk ke dalam sub-kelompok (-2 Proteobacteria.

A. Morfologi dan Fisiologi
 Rickettsia  yang termasuk genera Rickettsia dan Rochalimaea merupakan bakteri
berbentuk pleomorfik, batang sampai kokoid dengan panjang 0,3-0,6 (m dan lebar 0,8-2,0
(m.  Bakteri  ini   kurang  jelas  terlihat  dengan  pewarnaan  Gram,  tetapi  mudah  diamati
dengan pewarnaan Giemsa (berwarna biru) atau dengan metode Macchiavello (berwarna
merah dan kontras dengan sitoplasma berwarna biru yang mengelilinginya).
 Banyak hewan peka terhadap infeksi rickettsia. Rickettsia tumbuh dengan mudah
dalam  kantung  kuning  telur  pada  telur  berembrio  (suspensi  kantung  kuning  telur
mengandung  sampai  109  partikel  rickettsia  per  ml).  Sediaan  rickettsia  murni  dapat
diperoleh dengan sentrifugasi diferensial suspensi kuning telur.
 Rickettsia  murni  mengandung  RNA  dan  DNA  dalam  rasio  3,5:1  (sama  dengan
rasio pada bakteri). Dalam biakan sel, waktu generasinya 8-10 jam pada suhu 34oC.
Rickettsia  murni  mengandung  berbagai  enzim  yang  mengatur  metabolisme.  Rickettsia
kehilangan aktivitas biologiknya bila disimpan padasuhu -37 oC atau pada media yang
sesuai terliofilisasi. Hal ini disebabkan hilangnyanikotinamid adenin dinukleotida (NAD)
secara  progresif.  Semua   sifat  ini  dapat  diperoleh  kembali  melalui  pengeraman  lebih
lanjut dengan NAD.
 Rickettsia  dapat  tumbuh  pada  berbagai  bagian  sel.  Rickettsia  kelompok  tifus
ditemukan dalam sitoplasma; kelompok demam berbercak ditemukan dalam inti sel.
 Coxiella  berukuran  lebih  kecil  dari  genus  Rickettsia  dan  morfologinya  lebih
bervariasi.  Dua  tipe sel  yang  berbeda ditandai dengan besar dan  kecil varian sel (LCV
dan  SCV),  dapat  dipisahkan  dengan  gradien  densitas  sentrifugasi.  Kedua  tipe  tersebut
bersifat  infeksius  dan  dapat  menyebar  dengan  cara  pembelahan  biner.  Coxiella  hanya
tumbuh  dalam  vakuola  sitoplasma.  Diperkirakan  bahwa rickettsia  tumbuh  p[aling  baik
bila  metabolisme  sel  inang  rendah.  Jadi,  pertumbuhannya  meningkat  bila  suhu  embrio
ayam yang terinfeksi diturunkan samapai 32 oC. Bilasuhu embrio dipertahankan 42 oC,
pertumbuhan  rickettsia  rendah.  Keadaan  yang  mempengaruhi  metabolisme  inang  dapat
mengubah kepekaan inang terhadap infeksi rickettsia.
 Pertumbuhan rickettsia akan meningkat jika ada sulfonamida, dan penyakit akan
lebih  parah  jika  ada  obat  tersebut.  Tetrasiklin  dan kloramfenikol  dapat  menghambat
pertumbuhan rickettsia dan dapat dipakai secara efektif untuk pengobatan.
 Pada  umumnya,  rickettsia  cepat  dirusak  oleh  panas, pengeringan,  dan  zat
antibakteri.  Walaupun  rickettsia  biasanya  mati  bila disimpan  dalam  suhu  kamar,  feses
kering kutu yang terinfeksi dapat tetap infektif selama beberapa bulan dalam suhu kamar.
 Organisme  demam  Q  merupakan  rickettsia  yang  paling resisten  terhadap
pengeringan.  Organisme  ini  dapat  tetap  hidup  setelah  pasteurisasi  pada  suhu  60  oC
selama  30  menit  dan  bertahan  berbulan-bulan  dalam  tinja  kering  dan  susu.  Hal  ini
mungkin disebabkan pembentukan struktur mirip endospora oleh Coxiella burnetti.

B. Manifestasi KLinik
 Kecuali demam Q,  yang tidak disertai lesi pada  kulit, infeksi  rickettsia ditandai
dengan demam, sakit kepala, lemah, lesu, ruam kulit, dan pembesaran limfa serta hati.
Kelompok Tifus:
a. Tifus epidemik.
 Pada  tifus  epidemik,  terjadi  infeksi  sistemik  yang berat  disertai  perasaan  amat
lemah, dan demam yang berlangsung selama kira-kira  2 minggu. Pada penderita berusia
40 tahun, penyakit lebih parah dan sering mematikan. Selama epidemi, angka kematian
kasus ini sekitar 6%-30%.
b. Tifus endemik.
 Gambaran  tifus  endemik  banyak  persamaannya  dengan  tifus  epidemik,  tetapi
penyakit ini lebih ringan dan jarang mematikan kecuali pada penderita berusia lanjut.
Kelompok Demam Berbercak:
 Kelompok  demam  berbercak  secara  klinik  mirip  tifus,  namun  berbeda  dengan
ruam pada penyakit rickettsia lainnya, ruam kelompok demam berbercak biasanya timbul
pertama kali pada tungkai, menyebar sentripetal, dan mengenai telapak tangan dan kaki.
Beberapa  di  antaranya,  seperti   demam  berbercak  Brasil,  dapat  menimbulkan  infeksi
berat;  demam  Laut  Tengah,  hanya  menimbulkan  gejala  yang  ringan.  Angka  kematian
kasus sangat bervariasi. Pada Rocky Mountain spotted fever yang tidak diobati, angka ini
jauh lebih besar pada kelompok usia lanjut (sampai 50%) daripada orang muda dan anakanak.
 Rickettsialpox merupakan penyakit ringan dengan ruam mirip varisela. Kira-kira
seminggu  sebelum  timbul  demam,  muncul  suatu  papula  kemerahan  yang  tegas  pada
tempat gigitan tungau dan berkembang menjadi vesikel yaang berakar dalam, selanjutnya
membentuk eschar hitam.
Scrub Typhus:
 Penyakit  ini  secara  klinik  mirip  tifus  epidemik.  Salah  sat  gambarannya  adalah
eschar,  ulkus  yang  diliputi  oleh  keropeng  hitam  yang  menunjukkan  tempat  gigitan
tungau. Limfadenopati umum dan limfositosis seringterjadi. Penyakit menjadi parah jika
jantung dan otak ikut terserang.
Demam Q:
 Penyakit  ini  lebih  mirip  influenza,  pneumonia  bakterial,   hepatitis,  atau
ensefalopati  daripada  tifus.  Tidak  terdapat  ruam  atau  lesi  lokal.  Reaksi  Weil-Felix
negatif, tetapi terdapat kenaikan titer antibodi spesifik (misalnya mikroimunofluoresensi)
terhadap  Coxiella  burnetti  ,  fase  2.  Penyebaran  terjadi  akibat  menghirup  debu  yang
mengandung rickettsia dari tinja kering, air kemih,susu atau dari aerosol dalam rumah
pemotongan hewan.
 Meskipun  jarang  terjadi,  pada  demam  Q  dapat  timbul endokarditis  infektif.
Biakan darah untuk bakteri akan negatif, dan terdapat antibodi untuk Coxiella burnetti,
fase 1 dengan titer yang tinggi. Hampir semua pasien memiliki kelainan katup yang telah
ada  sebelumnya.  Perawatan  terus  menerus  dengan  tetrasiklin  selama  beberapa  bulan,
kadang-kadang dilakukan pergantian katup dapat memperpanjang hidup.

C. Epidemiologi
 Berbagai  arthropoda,  khususnya  sengkenit  atau  tungau,  mengandung  organisme
mirip  rickettsia  di  dalam  sel-sel  yang  membatasi  saluran  pencernaan.  Sifat  patogenik
beberapa organisme tersebut terhadap manusia belum jelas.
 Siklus hidup pelbagai rickettsia bervariasi :
a. Rickettsia prowazekii memepunyai siklus hidup yang terbatas pada manusia dan tuma
manusia  (Pediculus  humanus  capitis  dan  Pediculus  humanus  corporis).  Tumaa
memperoleh  rickettsia  pada  waktu  menggigit  manusia  yang  terinfeksi  dan
menyebarkannya  lewat  tinja  yang  diekskresikan  pada  permukaan  kulit  orang  lain.Bila
tuma  mengigit  pada  saat  yang  sama  ia  berdefekasi.  Garukan  daerah  gigitan
memungkinkan  rickettsia  yang  diekskresi  dalam  tinja menembus  kulit.  Akibat  infeksi
tersebut tuma mati, tetapi rickettsia hidup terus untuk beberapa waktu dalam tinja kering
tuma  tersebut.  Rickettsia  tidak  dsebarkan  dari  satu generasi  tuma  ke  generasi  lainnya.
Epidemi tifus dikendalikan dengan menghilangkan tuma menggunakan insektisida.
Penyakit Brill-Zinsser adalah suatu rekrudesensi infeksi tifus lama Rickettsia dapat tetap
ada  selama  beberapa  tahun  dalam  kelenjar  getah  bening  seseorang  tanpa-gejala  yang
nyata. Rickettsia yang diisolasi dari kasus ini berkelakuan seperti R. prowazekii klasik;
ini  menimbulkan  dugaan  bahwa  manusia  sendiri  adalah reservoir  rickerttsia  tifus
epidemik. Epidemi tifus epidemik dihubungkan denganperang dan menurunkan standar
kebersihan perorangan, yang selanjutnya meningkatkan kesempatan tuma manusia untuk
tumbuh dengan subur. Bila hal ini terjadi pada saatrekrudesensi infeksi tifus yang lama,
akan timbul epidemi. Penyakit Brill timbul pada orang di daerah tifus, juga pada orang
yang pindah dari daerah ini ke tempat-tempat dimanatidak terdapat penyakit ini. Sifatsifat  epidemiologik  jelas  membedakan  penyakit  Brill dengan  tifus  epidemik  primer.
Antibodi yang timbul lebih dini, IgG bukan IgM, danditemukan setelah infeksi primer.
Titer antibodi mencapai maksimum pada hari kesepuluh masa sakit. Respon antibodi IgG
dini  tersebut  dan  penyakit  yang  berlangsung   ringan menunjukkan  bahwa  kekebalan
sebagian masih tersisa dari infeksi primer.
 Di  Amerika  Serikat,  R. prowazekii  mermiliki  sumber lain  selain  manusia,  yaitu
tup[ai  terbang  dari  Selatan.  Di  daerahj  asli  tempat tupai  terbang,  infeksi  pada  manusia
terjadi setelah gigitan ektoparasit hewan pengerattersebut.
b.  Rickettsia  typhi  bersumber  pada  tikus,  pada  hewan  ini  infeksi  tidak  nyata  dan
berlangsung lama. Kutu tikus membawa rickettsia dari tikus ke tikus kadang-kadang dari
tikus ke manusia, yang menimbulkan tifus endemik. Kutu kucing dapat berperan sebagai
vektor. Pada tifus endemik, kutu tidak dapat menularkan rickettsia secara transovarial.
c. Rickettsia tsutsugamushi sebenarnya bersumber pada tungau yang menginfeksi hewan
pengerat.  Rickettsia  ini  tetap  berada  tikus  selama  lebih  dari  satu  tahun  setelah  infeksi.
Tungau menyebarkan infeksi secara transovarial. Kadang-kadang tungau atau tikus yang
terinfeksi  menggigit manusia, dan  mengakibatkan scrub typhus. Rickettsia tetap berada
dalam  siklus  tungau-kutu-tungau  dalam  semak  atau  hutan  tumbuh-tumbuhan  sekunder
yang menggantikan hutan asli pada daerah-daerah yang diolah sebagian. Daerah-daerah
seperti ini dapat menjadi sarang tikus dan tungau trombicula.
d.   Rickettsia  rickettsii  dapat  ditemukan  pada  sengkenit  kayu  sehat  (Dermacentor
andersoni)  dan  diturunkan  secara  transovarial.  Di  Amerika  Serikat  bagian  barat,  inang
vertebrata seperti hewan pengerat, menjangan, dan manusia kadang-kadang digigit oleh
kutu  yang  terinfeksi.  Terjadinya  penularan,  karena  sengkenit  yang  membawa  rickettsia
penuh berisi darah, dan hal ini akan menambah jumlah rickettsia dalam sengkenit. Jadi,
terdapat  selang  waktu  45-90  menit  antara  waktu  perlekatan  sengkenit  dan  berubahnya
sengkenit  menjadi  infektif.  Di  Amerika  Serikat  bagian  timur,  Rocky  Mountain  spotted
fever  disebarkan  oleh  sengkenit  anjing  Dermacentor  variabilis.  Anjing  adalah  inang
untuk sengkenit anjing tetapi mungkin berperan sebagai sumber infeksi sengkenit. Hewan
pengerat  kecil  lainnya  juga  merupakan  sumber  penularan.  Sebagian  besar  kasus  Rocky
Mountain spotted fever di Amerika Serikat sekarang  terjadi di bagian timur dan daerah
tenggara.
e.  Rickettsia  akari  mempunyai  vektor  berupa  tungau  penghisap  darah  dari  spesies
Allodermanyssus  sanguineus.  Tungau  ini  dapat  ditemukan  pada  tikus  (Mus  musculus)
yang  tertangkap  di  rumah-rumah  apartemen  di  Amerika Serikat,  tempat  terjadinya
rickettsialpox. Penyebaran rickettsia secara transivarial terjadi pada tungau. Jadi, tungau
dapat berperan sebagai sumber sebenarnya dan juga sebagai vektor. R. akari juga telah
diisolasi di Korea.
f.  Coxiella  burnetii  ditemukan  pada  sengkenit  yaang menyebarkannya  ke  domba,
kambing,  dan  ternak.  Pekerja  pada  rumah  pemotongan  hewan  dan  pabrik  pengolahan
wool dan kulit ternak terkena penyakit akibat menangani jaringan hewan yang terinfeksi.
Kadang-kadang sumber infeksinya adalah kucing yang akan melahirkan. C. burnetii lebih
sering disebarkan melalui saluran pernafasan daripada melalui kulit. Dapat terjadi infeksi
kronik  pada  kelenjar  susu  sapi.  Pada  kasus  ini  rickettsia  diekskresi  dalam  susu  dan
kadang-kadang ditularkan ke manusia lewat susu yangtidak dipasteurisasi.
 Biri-biri yang terinfeksi dapat mengekskresi C. burnetii dalam tinja dan air kemih
Yang mengkotaminasi kulit dan lapisan wolnya. Plasenta sapi, biri-biri, kambing, dan
kucing  yang  terinfeksi  mengandung  rickettsia,  dan  proses  kelahiran  menimbulkan
aerosol yang infeksius. Tanah dapat terkontaminasi dengan hebat oleh salah satu sumber
di atas, dan inhalasi debu yang terinfeksi dapat menimbulkan infeksi pada manusia dan
ternak.  Diduga  bahwa  endospora  yang  dibentuk  oleh  C.  burnetii  menambah  persistensi
dan  penyebarannya.  Coxiella  sekarang  tersebar  luas  di  antara  domba  dan  ternak  di
Amerika  Serikat.  Coxiella   dapat  menyebabkan  endokarditis  pada  manusia  (dengan
kenaikan titer antibodi C. burnetii fase 1) di samping penumonitis dan hepatitis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar