Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Kamis, 12 Juni 2014

MODEL SATU KOMPARTEMEN FARMAKOKINETIKA

BAB I
PENDAHULUAN

   A.    Latar Belakang
Kata " farmakokinetika" berasal dari kata-kata "pharmacon", kata Yunani untuk obat dan racun, dan "kinetic". Jadi "farmakokinetika" adalah ilmu yang mempelajari kinetika obat, yang dalam hal ini berarti kinetika obat dalam tubuh. Proses-proses yang akan menentukan kinetika obat dalam tubuh meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Untuk memahami kinetika obat dalam tubuh tidak cukup hanya dengan menentukan dan mengetahui perkembangan kadar atau jumlah senyawa asalnya saja (unchanged compound), tetapi juga meliputi metabolitnya.
Dalam suatu penelitian/studi farmakokinetika, perkembangan kadar/jumlah obat (senyawa asal dan atau metabolitnya) dalam tubuh dilakukan pada titik-titik waktu yang diskontinyu (misalnya pada waktu-waktu 30 menit, 1 jam, 2 jam, 3 jam, 6 jam dan 8 jam setelah pemberian obat), karena sampai dengan saat ini memang tidak mungkin untuk dapat menentukan kinetika obat dalam tubuh secara eksperimental dalam waktu yang kontinyu. Dengan demikian, data eksperimental yang akan kita peroleh hanyalah untuk waktu-waktu tersebut tadi.
Jika data tersebut dibiarkan apa adanya, tidak banyak manfaat yang bisa ditarik. Oleh karena itu, dalam dunia farmakokinetika akan dijumpai apa yang disebut dengan "Model". Yang paling sering dipakai adalah model kompartemental, dimana keadaan tubuh direpresentasikan ke dalam bentuk kompartemen
Dalam makalah ini akan dibahas tentang model satu kompartemen dalam farmakokinetika beserta parameter-parameter yang terkait dengan penggunaan bolus intravena, penggunaan infus intravena kontinyu dan  penggunaan ekstravaskuler.



   B.     Rumusan Masalah
1.      Jelaskan definisi model satu kompartemen dalam farmakokienetika!
2.      Jelaskan parameter-parameter yang dalam model farmakokinetika satu kompartemen !

   C.     Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain :
1.      Untuk memberikan pemahaman labih lanjut tentang model dalam farmakokinetika khususnya model satu kompartemen.
2.      Menjelaskan parameter-parameter yang terkait dalam model farmakokinetika satu kompartemen.


BAB II
PEMBAHASAN

   1.      Model Satu Kompartemen
Menurut mode ini, tubuh dianggap sebagai satu kompartemen tempat obat menyebar secara seketika dan merata ke seluruh cairan dan jaringan tubuh. Model ini terlalu disederhanakan sehingga untuk kebanyakan obat kurang tepat (Gunawan, et al, 2009). Prinsip pemakaian model kompartemen satu yaitu tubuh merupakan satu kompartemen dengan volume = Vd, kadar obat setiap waktu dinyatakan dengan Cpo, fase distribusi cepat dan tak teramati. Eliminasi obat dari tubuh dianggap berlangsung menurut reaksi orde ke satu dengan tetapan laju eliminasi (Kel) yang meliputi tetapan kecepatan metabolisme (km) dan tetapan  laju ekskresi (Ke) (Hasibuan, 2008).
Pada model satu kompartemen terbuka, obat hanya dapat memasuki darah dan mempunyai volume distribusi kecil, atau juga dapat memasuki cairan ekstra sel atau bahkan menembus sehingga menghasilkan volume distribusi yang besar (Gibson, 1991). Pada model satu kompartemen terbuka terlihat seolah olah tidak ada fase distribusi, hal ini disebabkan distribusinya berlangsung cepat (Wulandari, 2009).


                                                                                   
(Wulandari, 2009).
Model kompartemen satu terbuka mempunyai anggapan bahwa perubahan kadar obat dalam plasma sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Model ini obat akan didstribusikan ke semua jaringan di dalam tubuh melalui sistem sirkulasi dan secara tepat berkeseimbangan di dalam tubuh. Tetapi, model ini tidak menganggap bahwa konsentrasi obat dalam tiap jaringan adalah sama pada berbagai waktu. Di samping itu DB juga tidak dapat ditentukan secara langsung, tetapi dapat ditentukan konsentrasi obatnya dengan menggunakan darah. Volume distribusi, Vd adalah volume dalam tubuh dimana obat tersebut larut (Wirasuta & Niruri, 2007).
Gambar. Model satu kompartemen terbuka
Gambar diatas diumpamakan obat disuntikkan secara langsung ke dalam kompartemen ini (misalnya injeksi intravena) dan mendistribusikan ke seluruh kompartemen. Konsentrasi obat pada waktu nol (Co) dapat dihitung dengan cara besarnya dosis obat (D) dibagi dengan  besarnya volume distribusi (Wirasuta & Niruri, 2007).
Model kompartemen satu terbuka menganggap bahwa berbagai perubahan kadar obat di dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Tetapi, model ini tidak menganggap bahwa konsentrasi obat dalam tiap jaringan tersebut adalah sama pada berbagai waktu. Selain itu, konsentrasi obat dalam tubuh tidak dapat ditentukan secara langsung, tetapi dengan menggunakan cuplikan cairan tubuh seperti darah (Hasibuan, 2008).
Fase distribusi adalah waktu yang dibutuhkan obat untuk  memasuki tapak kerja dalam jaringan ekstravaskular  dan mencapai kesetimbangan. Istilah farmakokinetikanya adalah volume distribusi, yang dihitung dengan cara membagi dosis obat yang diberikan dengan konsentrasi obat yang tercapai dalam plasma. Volume distribusi adalah volume obat yang terlarut di dalam tubuh. Obat dengan Vd yang besar lebih terpusat dalam jaringan ekstravaskular dan sedikit di dalam intravaskular. Jika suatu  obat terikat dengan protein plasma dalam jumlah besar atau  tinggal dalam vaskular, maka Vd menjadi lebih kecil. Oleh karena itu, ikatan obat dengan protein plasma atau jaringan perifer secara bermakna akan mempengaruhi Vd (Hasibuan, 2008).
Tiap obat mempunyai Vd yang konstan.  Pada penyakit tertentu, Vd dapat berubah jika distribusi obat berubah. Sebagai contoh dalam keadaan edema, jumlah total cairan tubuh dan cairan ekstravaskular meningkat. Keadaan ini dicerminkan dengan harga Vd yang lebih besar untuk obat yang mempunyai kelarutan tinggi dalam air. Begitu pula, perubahan berat badan dan massa tubuh yang kecil (secara normal terjadi sehubungan dengan umur) dapat mempengaruhi Vd (Hasibuan, 2008).
   2.      Pemberian obat secara injeksi intravena cepat
Jika suatu obat diberikan dalam bentuk injeksi intravena cepat (iv bolus), seluruh dosis obat masuk tubuh dengan segera. Dalam hal ini tidak terjadi absorpsi obat, dimana obat akan didistribusikan bersama sistem sirkulasi sistemik dan secara cepat berkesetimbangan di dalam tubuh. Dalam model ini juga dianggap bahwa berbagai perubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Tetapi, model ini tidak menganggap bahwa konsentrasi obat dalam tiap jaringan tersebut adalah sama pada berbagai waktu. Jumlah obat di dalam tubuh tidak dapat ditentukan secara langsung, melainkan dengan menentukan konsentrasi obat dalam plasma/darah setiap satuan waktu dan mengalikannya dengan volume distribusinya ”Vd”, yaitu volume dalam tubuh dinama obat tersebut melarut (Wirasuta & Niruri, 2007).
Obat yang memiliki dosis besar diberikan melalui pembuluh darah berjalan dalam waktu singkat, biasanya dalam waktu 1 sampai 30 menit. Bolus IV umumnya digunakan ketika kerja yang cepat dari obat yang dibutuhkan, seperti dalam keadaan darurat, ketika obat-obatan yang tak dapat dicairkan, seperti kebanyakan obat kemoterapi kanker dan ketika tujuan terapi untuk mencapai tingkat kadar obat maksimum dalam aliran darah pasien. Bolus IV biasanya tidak digunakan untuk pasien yang mengalami penurunan kinerja jantung, penurunan pengeluaran urin, penurunan kinerja paru-paru, atau edema sistemik. Pasien tersebut mengalami penurunan toleransi terhadap obat (Wulansari, 2009).
Jika suatu obat diberikan dalam bentuk injeksi intravenus cepat (bolus intravenus), seluruh dosis obat masuk tubuh dengan  segera, kinetika obat diasumsikan berdasarkan kompartemen satu  terbuka. Oleh karena itu laju absorbsi obat diabaikan dalam perhitungan. Dalam banyak hal, obat tersebut didistribusikan ke semua jaringan di dalam tubuh melalui sistem sirkulasi dan secara cepat berkesetimbangan di dalam tubuh. Model kompartemen satu terbuka secara skematik ditunjukkan pada gambar  :
Gambar  Skema Kinetika Obat Model Kompartemen Satu Terbuka

Keterangan:
D = dosis intra vena bolus
Vd= volume distribusi
Cb= konsentrasi obat di dalam darah
Ku= konstanta laju ekskresi melalui urin
Km= konstanta laju metabolisme
Kel= Ku + Km (Hasibuan, 2008).

3.      Penggunaan Infus Intravena Kontinyu
Pada pemberian infus yang kontinyu atau dosis berulang, akan terjadi peningkatan kadar obat (akumulasi) sampai tercapai keadaan mantap (steady state), dimana kadar obat tidak lagi meningkat (stabil) karena kecepatan eliminasi obat dalam tubuh telah menyamai kecepatan masuknya obat dalam tubuh.
Kadar mantap atau kadar steady state (Css) dicapai setelah 4-5x waktu paruh obat.
tss                =  5 x t1/2
t90%ss                =  3,3 x t1/2
Dosis muat (Loading dose =DL) ialah dosis yang dimaksudkan untuk mencapai Css (Css adalah kadar terapi =  Cther)
DL               = Css,max  x  Vd                        (IV)
                    = Css,max  x  Vd/F         (Oral)
DL biasanya diberikan untuk obat yang t1/2nya relatif terlelu panjang dibandingkan dengan waktu yang diinginkan untuk mencapai kadar terapi, misalnya :
-          Tetrasiklin (t1/2 ≈ 12 jam).
-          Digoksin (t1/2 ≈ 36 jam), tetapi digitalisasi biasanya dibagi dalam 3-4 dosis yang diberikan selama 1-2 hari.
-          Likodain (t1/2 ≈ 1 jam) untuk aritmia setelah anfark miokard (perlu efek yang segera).
-          Antimikroba (perlu langsung mencapai kadar terapi) (Gunawan, 2009).
Dewasa ini beberapa macam obat diberikan secara infus yang kontinyu untuk mendapatkan konsentrasi obat di dalam plasma darah yang konstan (obat - obatnya : teofilin, insulin,tolazoline (alpha-blocker), nitroprusid, lidokain, dopamin). Jika tidak dilakukan kalkulasi dari konsentrasi teofilin didalam plasma darah, ada kemungkinan konsentrasi ini menjadi rendah, seperti pada infus aminofilin : dosis yang diberikan biasanya 0,9 mg/kg/jam. Pada dosis ini konsentrasi steady state di dalam plasma darah adalah 10 ug/cc (Cahyadi, 1985).
Dari daftar konsentrasi terapeutik, dapat kita lihat therapeutic rangenya : 7 — 20 ug/cc. Ini berarti bahwa 10 ug/cc itu termasuk therapeutic range yang rendah, dan ini mungkin oleh penderita asma bronkial dirasakan kurang menolong, terutama pada status asmatikus. Jika kita menghendaki konsentrasi steady state dari teofilin itu 15 ug/cc (15 mg/liter), maka :
Infus yang kontinyu harus diawali dengan pemberian loading initial dose, sehingga konsentrasi teofilin dalam plasma darah menjadi 15 ug/cc (Cahyadi, 1985).
4.      Penggunaan Ekstravaskuler
Pada pemberian obat secara ekstravaskular (oral, rektal,dan lain-lain), obat akan masuk ke dalam sistem peredaran darah secara perlahan-lahan melalui suatu proses absorpsi sampai mencapai puncaknya, kemudian akan turun. Pemberian secara ekstravaskular umumnya obat mengalami absorpsi. Setelah obat masuk dalam sirkulasi sistemik, obat akan didistribusikan, sebagian mengalami pengikatan dengan protein plasma dan sebagian dalam bentuk bebas. Obat bebas selanjutnya didistribusikan sampai ditempat kerjanya dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi obat diekskresikan dari dalam tubuh melalui organ-organ ekskresi, terutama ginjal. Seluruh proses yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi disebut proses farmakokinetik dan proses ini berjalan serentak (Wulandari, 2009).
Obat-obat yang kinetiknya diterangkan dengan model 1-kompartemen terbuka dengan proses absorpsi dan eliminasi mengikuti orde-pertama setelah pemberian ekstravaskuler jumlahnya cukup banyak, misalnya bentuk sediaan per oral (Wulandari, 2009).
   5.      Perhitungan Data Urin
A. Pemberian Intravaskuler
·         Jumlah obat yang dieksresi ke dalam urin
Du : Jumlah obat yang dieksresi melalui urin
t    : Waktu
Ke : tetapan kecepatan eksresi renal
Db : Jumah obat yang berada di dalam tubuh
·         Metode eksresi urin kumulatif
Du : Jumlah kumulatif obat yang dieksresi melalui urin
B. Pemberian Ekstravaskuler
·         Kecepatan Eksresi Obat
)
dDu/dt : Kecepatan eksresi obat setiap saat ke dalam urin
F          : Ketersediaan hayati
Dev      : Dosis obat yang diberikan secara ekstravaskuler
Ka        : Tetapan kecepatan absorpsi
K         : Tetapan kecepatan eliminasi
Ke        : Tetapan kecepatan eksresi
·         Metode Eksresi Urin Kumulatif
 
   6.      Perhitungan Dosis Intravena dan Ekstravaskular
1. Perhitungan Dosis Intravena
Dinf : Dosis intravena
F      : Ketersediaan hayati
S      : Salt factor
2. Perhitungan Dosis Ekstravaskular
Per oral :
Dpo : Dosis per oral
F     : Ketersediaan hayati
Vd  : Volume distribusi
K    : Tetapan kecepatan eliminasi (Hakim, 2007).



BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan :
1.      Menurut mode ini, tubuh dianggap sebagai satu kompartemen tempat obat menyebar secara seketika dan merata ke seluruh cairan dan jaringan tubuh.  Pada model satu kompartemen terbuka terlihat seolah olah tidak ada fase distribusi, hal ini disebabkan distribusinya berlangsung cepat. Model ini terlalu disederhanakan sehingga untuk kebanyakan obat kurang tepat.
2.      Prinsip pemakaian model kompartemen satu yaitu tubuh merupakan satu kompartemen dengan volume = Vd, kadar obat setiap waktu dinyatakan dengan Cpo, fase distribusi cepat dan tak teramati. Eliminasi obat dari tubuh dianggap berlangsung menurut reaksi orde ke satu dengan tetapan laju eliminasi (Kel) yang meliputi tetapan kecepatan metabolisme (km) dan tetapan  laju ekskresi (Ke).


3.       
DAFTAR PUSTAKA

Cahyadi, Yeyet, 1985, Pengantar Farmakokinetika, Cermin Dunia Kedokteran, No : 37
Gunawan, Sulistia Gan, Rianto Setiabudy, Nafrialdi & Elisabeth, 2009, Farmakologi dan Terapi, Ed : V, FKUI, Jakarta
Hakim, L.,2007, Farmakokinetika, UGM Press : Yogyakarta.
Hasibuan, Poppy Anjelisa Z., 2008, Pemantauan Efektivitas Terapi Gentamisin Dosis Berganda Bolus Intravenus Terhadap Infeksi Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronis, Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara , Medan
Wirasuta, I Made Agus Gelgel & Rasmaya Niruri, 2007, Buku Ajar Toksikologi Umum, Jurusan Farmasi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana
Wulandari, Retno, 2009, Profil  Farmakokinetik Teofilin Yang Diberikan Secara Bersamaan Dengan Jus Jambu Biji (Psidium Guajava L.) Pada Kelinci Jantan, Skripsi, Fakultas Farmasi  Universitas Muhammadiyah, Surakarta
Wulansari, N., 2009,  Pengaruh Perasan Buah Apel (Maulus Domestica Borkh) Fuji Rrc Terhadap Farmakokinetika Parasetamol Yang Diberikan Bersama Secara Oral Pada Kelinci Jantan, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta : Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar