BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kata "
farmakokinetika" berasal dari kata-kata "pharmacon", kata Yunani
untuk obat dan racun, dan "kinetic". Jadi "farmakokinetika"
adalah ilmu yang mempelajari kinetika obat, yang dalam hal ini berarti kinetika
obat dalam tubuh. Proses-proses yang akan menentukan kinetika obat dalam tubuh
meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Untuk memahami
kinetika obat dalam tubuh tidak cukup hanya dengan menentukan dan mengetahui
perkembangan kadar atau jumlah senyawa asalnya saja (unchanged compound),
tetapi juga meliputi metabolitnya.
Dalam
suatu penelitian/studi farmakokinetika, perkembangan kadar/jumlah obat (senyawa
asal dan atau metabolitnya) dalam tubuh dilakukan pada titik-titik waktu yang
diskontinyu (misalnya pada waktu-waktu 30 menit, 1 jam, 2 jam, 3 jam, 6 jam dan
8 jam setelah pemberian obat), karena sampai dengan saat ini memang tidak
mungkin untuk dapat menentukan kinetika obat dalam tubuh secara eksperimental
dalam waktu yang kontinyu. Dengan demikian, data eksperimental yang akan kita
peroleh hanyalah untuk waktu-waktu tersebut tadi.
Jika data tersebut
dibiarkan apa adanya, tidak banyak manfaat yang bisa ditarik. Oleh karena itu,
dalam dunia farmakokinetika akan dijumpai apa yang disebut dengan
"Model". Yang paling sering dipakai adalah model kompartemental,
dimana keadaan tubuh direpresentasikan ke dalam bentuk kompartemen
Dalam makalah ini akan
dibahas tentang model satu kompartemen dalam farmakokinetika beserta
parameter-parameter yang terkait dengan penggunaan bolus intravena, penggunaan
infus intravena kontinyu dan penggunaan
ekstravaskuler.
B. Rumusan
Masalah
1. Jelaskan
definisi model satu kompartemen dalam farmakokienetika!
2. Jelaskan
parameter-parameter yang dalam model farmakokinetika satu kompartemen !
C. Tujuan
Tujuan
dari pembuatan makalah ini antara lain :
1. Untuk
memberikan pemahaman labih lanjut tentang model dalam farmakokinetika khususnya
model satu kompartemen.
2. Menjelaskan
parameter-parameter yang terkait dalam model farmakokinetika satu kompartemen.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Model
Satu Kompartemen
Menurut
mode ini, tubuh dianggap sebagai satu kompartemen tempat obat menyebar secara
seketika dan merata ke seluruh cairan dan jaringan tubuh. Model ini terlalu
disederhanakan sehingga untuk kebanyakan obat kurang tepat (Gunawan, et al, 2009). Prinsip pemakaian model kompartemen satu yaitu tubuh
merupakan satu kompartemen dengan volume = Vd, kadar obat setiap waktu
dinyatakan dengan Cpo, fase distribusi cepat dan tak teramati. Eliminasi obat
dari tubuh dianggap berlangsung menurut reaksi orde ke satu dengan tetapan laju
eliminasi (Kel) yang meliputi tetapan kecepatan metabolisme (km) dan
tetapan laju ekskresi (Ke) (Hasibuan,
2008).
Pada model satu
kompartemen terbuka, obat hanya dapat memasuki darah dan mempunyai volume
distribusi kecil, atau juga dapat memasuki cairan ekstra sel atau bahkan
menembus sehingga menghasilkan volume distribusi yang besar (Gibson, 1991).
Pada model satu kompartemen terbuka terlihat seolah olah tidak ada fase
distribusi, hal ini disebabkan distribusinya berlangsung cepat (Wulandari,
2009).
(Wulandari,
2009).
Model
kompartemen satu terbuka mempunyai anggapan bahwa perubahan kadar obat dalam
plasma sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Model ini obat akan
didstribusikan ke semua jaringan di dalam tubuh melalui sistem sirkulasi dan
secara tepat berkeseimbangan di dalam tubuh. Tetapi, model ini tidak menganggap
bahwa konsentrasi obat dalam tiap jaringan adalah sama pada berbagai waktu. Di
samping itu DB juga tidak dapat ditentukan secara langsung, tetapi dapat
ditentukan konsentrasi obatnya dengan menggunakan darah. Volume distribusi, Vd
adalah volume dalam tubuh dimana obat tersebut larut (Wirasuta & Niruri,
2007).
Gambar.
Model satu kompartemen terbuka
Gambar
diatas diumpamakan obat disuntikkan secara langsung ke dalam kompartemen ini
(misalnya injeksi intravena) dan mendistribusikan ke seluruh kompartemen.
Konsentrasi obat pada waktu nol (Co) dapat dihitung dengan cara besarnya dosis
obat (D) dibagi dengan besarnya volume
distribusi (Wirasuta & Niruri, 2007).
Model
kompartemen satu terbuka menganggap bahwa berbagai perubahan kadar obat di
dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam
jaringan. Tetapi, model ini tidak menganggap bahwa konsentrasi obat dalam tiap
jaringan tersebut adalah sama pada berbagai waktu. Selain itu, konsentrasi obat
dalam tubuh tidak dapat ditentukan secara langsung, tetapi dengan menggunakan
cuplikan cairan tubuh seperti darah (Hasibuan, 2008).
Fase
distribusi adalah waktu yang dibutuhkan obat untuk memasuki tapak kerja dalam jaringan
ekstravaskular dan mencapai
kesetimbangan. Istilah farmakokinetikanya adalah volume distribusi, yang
dihitung dengan cara membagi dosis obat yang diberikan dengan konsentrasi obat
yang tercapai dalam plasma. Volume distribusi adalah volume obat yang terlarut
di dalam tubuh. Obat dengan Vd yang besar lebih terpusat dalam jaringan
ekstravaskular dan sedikit di dalam intravaskular. Jika suatu obat terikat dengan protein plasma dalam
jumlah besar atau tinggal dalam
vaskular, maka Vd menjadi lebih kecil. Oleh karena itu, ikatan obat dengan
protein plasma atau jaringan perifer secara bermakna akan mempengaruhi Vd
(Hasibuan, 2008).
Tiap obat mempunyai Vd
yang konstan. Pada penyakit tertentu, Vd
dapat berubah jika distribusi obat berubah. Sebagai contoh dalam keadaan edema,
jumlah total cairan tubuh dan cairan ekstravaskular meningkat. Keadaan ini
dicerminkan dengan harga Vd yang lebih besar untuk obat yang mempunyai
kelarutan tinggi dalam air. Begitu pula, perubahan berat badan dan massa tubuh
yang kecil (secara normal terjadi sehubungan dengan umur) dapat mempengaruhi Vd
(Hasibuan, 2008).
2. Pemberian
obat secara injeksi intravena cepat
Jika suatu obat
diberikan dalam bentuk injeksi intravena cepat (iv bolus), seluruh dosis obat
masuk tubuh dengan segera. Dalam hal ini tidak terjadi absorpsi obat, dimana
obat akan didistribusikan bersama sistem sirkulasi sistemik dan secara cepat
berkesetimbangan di dalam tubuh. Dalam model ini juga dianggap bahwa berbagai
perubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan
kadar obat dalam jaringan. Tetapi, model ini tidak menganggap bahwa konsentrasi
obat dalam tiap jaringan tersebut adalah sama pada berbagai waktu. Jumlah obat
di dalam tubuh tidak dapat ditentukan secara langsung, melainkan dengan
menentukan konsentrasi obat dalam plasma/darah setiap satuan waktu dan
mengalikannya dengan volume distribusinya ”Vd”, yaitu volume dalam tubuh dinama
obat tersebut melarut (Wirasuta & Niruri, 2007).
Obat yang
memiliki dosis besar diberikan melalui pembuluh darah berjalan dalam waktu singkat,
biasanya dalam waktu 1 sampai 30 menit. Bolus
IV umumnya digunakan ketika kerja
yang cepat dari obat yang dibutuhkan, seperti dalam keadaan darurat, ketika
obat-obatan yang tak dapat dicairkan, seperti kebanyakan obat kemoterapi kanker dan ketika
tujuan terapi untuk mencapai tingkat kadar
obat maksimum dalam aliran darah
pasien. Bolus IV biasanya tidak
digunakan untuk pasien yang mengalami penurunan kinerja jantung, penurunan pengeluaran urin, penurunan kinerja
paru-paru, atau edema sistemik.
Pasien tersebut mengalami penurunan toleransi terhadap obat (Wulansari, 2009).
Jika
suatu obat diberikan dalam bentuk injeksi intravenus cepat (bolus intravenus),
seluruh dosis obat masuk tubuh dengan
segera, kinetika obat diasumsikan berdasarkan kompartemen satu terbuka. Oleh karena itu laju absorbsi obat
diabaikan dalam perhitungan. Dalam banyak hal, obat tersebut didistribusikan ke
semua jaringan di dalam tubuh melalui sistem sirkulasi dan secara cepat berkesetimbangan
di dalam tubuh. Model kompartemen satu terbuka secara skematik ditunjukkan pada
gambar :
Gambar Skema Kinetika Obat Model Kompartemen Satu
Terbuka
Keterangan:
D = dosis intra vena
bolus
Vd= volume distribusi
Cb= konsentrasi obat di
dalam darah
Ku= konstanta laju
ekskresi melalui urin
Km= konstanta laju
metabolisme
Kel=
Ku + Km (Hasibuan, 2008).
3. Penggunaan
Infus Intravena Kontinyu
Pada
pemberian infus yang kontinyu atau dosis berulang, akan terjadi peningkatan
kadar obat (akumulasi) sampai tercapai keadaan mantap (steady state), dimana kadar obat tidak lagi meningkat (stabil)
karena kecepatan eliminasi obat dalam tubuh telah menyamai kecepatan masuknya
obat dalam tubuh.
Kadar
mantap atau kadar steady state (Css)
dicapai setelah 4-5x waktu paruh obat.
tss
= 5 x t1/2
t90%ss = 3,3 x t1/2
Dosis
muat (Loading dose =DL)
ialah dosis yang dimaksudkan untuk mencapai Css (Css adalah
kadar terapi = Cther)
DL = Css,max x Vd (IV)
= Css,max x Vd/F (Oral)
DL
biasanya diberikan untuk obat yang t1/2nya relatif terlelu panjang
dibandingkan dengan waktu yang diinginkan untuk mencapai kadar terapi, misalnya
:
-
Tetrasiklin (t1/2
≈ 12 jam).
-
Digoksin (t1/2
≈ 36 jam), tetapi digitalisasi biasanya dibagi dalam 3-4 dosis yang diberikan
selama 1-2 hari.
-
Likodain (t1/2
≈ 1 jam) untuk aritmia setelah anfark miokard (perlu efek yang segera).
-
Antimikroba (perlu
langsung mencapai kadar terapi) (Gunawan, 2009).
Dewasa
ini beberapa macam obat diberikan secara infus yang kontinyu untuk mendapatkan
konsentrasi obat di dalam plasma darah yang konstan (obat - obatnya : teofilin,
insulin,tolazoline (alpha-blocker), nitroprusid, lidokain, dopamin). Jika tidak
dilakukan kalkulasi dari konsentrasi teofilin didalam plasma darah, ada
kemungkinan konsentrasi ini menjadi rendah, seperti pada infus aminofilin :
dosis yang diberikan biasanya 0,9 mg/kg/jam. Pada dosis ini konsentrasi steady
state di dalam plasma darah adalah 10 ug/cc (Cahyadi, 1985).
Dari daftar konsentrasi terapeutik,
dapat kita lihat therapeutic rangenya : 7 — 20 ug/cc. Ini berarti bahwa 10
ug/cc itu termasuk therapeutic range yang rendah, dan ini mungkin oleh
penderita asma bronkial dirasakan kurang menolong, terutama pada status
asmatikus. Jika kita menghendaki konsentrasi steady state dari teofilin itu 15
ug/cc (15 mg/liter), maka :
Infus
yang kontinyu harus diawali dengan pemberian loading initial dose, sehingga
konsentrasi teofilin dalam plasma darah menjadi 15 ug/cc (Cahyadi, 1985).
4. Penggunaan
Ekstravaskuler
Pada pemberian obat
secara ekstravaskular (oral, rektal,dan lain-lain), obat akan masuk ke dalam
sistem peredaran darah secara perlahan-lahan melalui suatu proses absorpsi
sampai mencapai puncaknya, kemudian akan turun. Pemberian secara ekstravaskular umumnya obat mengalami absorpsi. Setelah
obat masuk dalam sirkulasi sistemik, obat akan didistribusikan, sebagian
mengalami pengikatan dengan protein plasma dan sebagian dalam bentuk bebas.
Obat bebas selanjutnya didistribusikan sampai ditempat kerjanya dan menimbulkan
efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi obat diekskresikan dari dalam
tubuh melalui organ-organ ekskresi, terutama ginjal. Seluruh proses yang
meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi disebut proses
farmakokinetik dan proses ini berjalan serentak
(Wulandari, 2009).
Obat-obat yang kinetiknya diterangkan dengan model 1-kompartemen terbuka
dengan proses absorpsi dan eliminasi mengikuti orde-pertama setelah pemberian
ekstravaskuler jumlahnya cukup banyak, misalnya bentuk sediaan per oral
(Wulandari, 2009).
5. Perhitungan Data Urin
A.
Pemberian Intravaskuler
·
Jumlah obat yang
dieksresi ke dalam urin
Du : Jumlah obat yang dieksresi melalui urin
t : Waktu
Ke : tetapan kecepatan eksresi renal
Db : Jumah obat yang berada di dalam tubuh
·
Metode eksresi
urin kumulatif
Du : Jumlah kumulatif obat yang dieksresi melalui urin
B.
Pemberian Ekstravaskuler
·
Kecepatan
Eksresi Obat
dDu/dt : Kecepatan eksresi obat setiap saat ke dalam
urin
F : Ketersediaan
hayati
Dev : Dosis
obat yang diberikan secara ekstravaskuler
Ka :
Tetapan kecepatan absorpsi
K :
Tetapan kecepatan eliminasi
Ke :
Tetapan kecepatan eksresi
·
Metode Eksresi
Urin Kumulatif
6. Perhitungan Dosis Intravena dan Ekstravaskular
1. Perhitungan Dosis Intravena
Dinf : Dosis intravena
F :
Ketersediaan hayati
S : Salt factor
2. Perhitungan Dosis Ekstravaskular
Per
oral :
Dpo : Dosis per oral
F :
Ketersediaan hayati
Vd : Volume
distribusi
K : Tetapan
kecepatan eliminasi (Hakim, 2007).
BAB
III
KESIMPULAN
Dari pembahasan
diatas dapat disimpulkan :
1. Menurut
mode ini, tubuh dianggap sebagai satu kompartemen tempat obat menyebar secara
seketika dan merata ke seluruh cairan dan jaringan tubuh. Pada model satu kompartemen terbuka terlihat
seolah olah tidak ada fase distribusi, hal ini disebabkan distribusinya
berlangsung cepat. Model ini terlalu disederhanakan sehingga untuk kebanyakan
obat kurang tepat.
2. Prinsip
pemakaian model kompartemen satu yaitu tubuh merupakan satu kompartemen dengan
volume = Vd, kadar obat setiap waktu dinyatakan dengan Cpo, fase distribusi
cepat dan tak teramati. Eliminasi obat dari tubuh dianggap berlangsung menurut
reaksi orde ke satu dengan tetapan laju eliminasi (Kel) yang
meliputi tetapan kecepatan metabolisme (km) dan tetapan laju ekskresi (Ke).
3.
DAFTAR
PUSTAKA
Cahyadi, Yeyet,
1985, Pengantar Farmakokinetika, Cermin Dunia Kedokteran, No : 37
Gunawan, Sulistia Gan, Rianto Setiabudy, Nafrialdi & Elisabeth, 2009, Farmakologi dan Terapi, Ed : V, FKUI,
Jakarta
Hakim, L.,2007, Farmakokinetika,
UGM Press : Yogyakarta.
Hasibuan, Poppy
Anjelisa Z., 2008, Pemantauan Efektivitas Terapi Gentamisin Dosis Berganda
Bolus Intravenus Terhadap Infeksi Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronis, Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara , Medan
Wirasuta, I Made
Agus Gelgel & Rasmaya Niruri, 2007, Buku
Ajar Toksikologi Umum, Jurusan Farmasi Fakultas Matematika Dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Udayana
Wulandari,
Retno, 2009, Profil Farmakokinetik
Teofilin Yang Diberikan Secara Bersamaan Dengan Jus Jambu Biji (Psidium Guajava L.) Pada Kelinci Jantan,
Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah, Surakarta
Wulansari, N., 2009,
Pengaruh Perasan Buah Apel (Maulus Domestica Borkh) Fuji Rrc
Terhadap Farmakokinetika Parasetamol Yang Diberikan Bersama Secara Oral Pada
Kelinci Jantan, Skripsi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta : Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar