Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan kokus nonmotil, berdiameter 0,8-1,0 (m yang
membentuk kelompok mirip buah anggur. Pada apusan nanah, kokus dapat berupa sel
tunggal, berpasangan, berkelompok, atau membentuk rantai pendek. Pada apusan dari
kultur padat, bakteri biasanya membentuk kelompok yang tidak teratur, sedangkan dari
kultur kaldu biasanya terlihat sebagai rantai pendek atau diplokokus. Beberapa strain
dapat membentuk kapsul atau lapisan lendir yang menambah virulensi bakteri ini.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram-positif, tetapi pada biakan yang berumur
tua, dan sel yang terfagositosis, bersifat gram-negatif.
Staphylococcus aureus merupakan anaerobik fakultatif, tetapi dapat tumbuh lebih baik
pada kondisi aerob. Sejumlah strain membutuhkan penambahan tekanan CO2, kisaran
suhu pertumbuhannya sekitar 6,5-46 oC, dengan pH 4,2-9,3, dan pH optimumnya 7,0-7,5. Produksi pigmen, dapat dilihat melalui pertumbuhannya pada lempeng agar pada
suhu 37 oC selama 24 jam.
A. Penentu Patogenisitas
a. Antigen Permukaan.
Polisakarida. Komponen permukaan yang memiliki aktivitas fagositik merupakan faktor
yang menguntungkan bakteri ini untuk mengawali keberadaannya dalam tubuh inang.
Staphylococcus berkapsul dapat menempel pada leukosit PMN berperantara-komplemen,
sehingga dapat menyebar ke berbagai jaringan.
Reseptor Protein. Sejumlah tempat pengikatan spesifik untuk protein mamalia, terdapat
pada permukaan sel staphylococcus. Reseptor ini melalui penempelan bakteri
menyebabkan terbentuknya pusat infeksi. Di antara protein plasma yang dapat berikatan
secara khusus kepada staphylococcus, adalah fibronektin, fibrinogen, imunoglobulin G,
dan Clq.
b. Enzim Ekstraseluler
Koagulase. Peran koagulase dalam pembekuan darah serupa dengan perubahan
fibrinogen menjadi fibrin yang dikatalisis-trombin.Untuk aktivitas enzimatiknya secara
penuh, koagulase membutuhkan komponen plasma, protrombin dan suatu turunan
protrombin, berkenaan dengan coagulase reacting factor (CRF). Produk coagulasetrombin (CT), tidak hanya menyebabkan pembekuan fibrinogen, tapi juga memiliki
aktivitas esterolitik dan proteolitik serupa dengantrombin.
Lipase. Staphylococcus menghasilkan sejumlah enzim penghidrolisis lipid, yang
keseluruhannya disebut sebagai lipase. Lipase aktif pada berbagai substrat, termasuk
plasma, lemak, dan minyak yang berkumpul pada daerah permukaan tubuh. Penggunaan
bahan-bahan tersebut memiliki nilai untuk pertahanan hidup bakteri ini dan dapat
menjelaskan aktivitas terbesarnya pada kelenjar sebasea.. Produksi lipase, penting untuk
invasi bakteri pada jaringan subkutan dan kutan yang sehat.
Hialuronidase. Lebih dari 90% strain S. aureus menghasilkan hialuronidase. Enzim ini
menghidrolisis asam hialuronat yang terdapat pada substansi di bawah intrasel jaringan
ikat, oleh karena itu akan mempermudah penyebaran infeksi.
Fibrinolisin (staphylokinase). Fibrinolisin merupakan salah satu enzim proteolitik S.
aureus, yang memiliki aktivitas proteolitik, tetapisecara enzimatik dan antigenik berbeda
dari streptokinase streptococcus. Penentuan produksi fibrinolisin bergantung pada suatu
genom faga dan diekspresikan selama lisogeni.
Nulkease. Enzim tahan-panas ini terdapat dalam, pada, dan dekat permukaan sel,
merupakan protein padat bulat yang terdiri dari rantai polipeptida tunggal. Pemanasan
pada suhu 65oC menyebabkan kerusakan struktur enzimini, tetapi dapat berubah kembali
secara cepat. Nuklease merupakan fosfodiesterase dengan komponen endonukleolitik dan
eksonukleolitik dan dapat memecah DNA dan RNA.
c. Toksin
Toksin Sitolitik. Sejumlah bakteri menghasilkan toksin yang menyebabkan larutnya sel
mamalia dan sel lain in vitro. Sebagian besar protein ini, bersifat ekstraseluler, dan
menginduksi terjadinya netralisasi oleh antibodi. Terdapat berbagai cara interaksi
macam-macam toksin ini dengan permukaan sel. Di antara toksin sitolitik yang sering
dilepaskan S. aureus adalah leukosidin dan hemolisin., suatu kelompok toksin yang juga
termasuk streptolisin O dan S dan berbagai toksin Clostridium. Empat toksin hemolitik
yang berbeda (hemolisin-(,-(, -(, dan -() dihasilkan oleh S. aureus, meskipun masingmasing strain berbeda tingkat ekspresinya.
- Toksin Alfa (Hemolisin-(). Toksin-(, memperlihatkan aktivitas biologik yang luas,
termasuk hemolitik, mematikan dan efek dermonekrotik, yang diamati setelah
menyuntikkan filtrat kultur kaldu. Toksin-( merusak lisosom dan merupakan sitotoksik
untuk berbagai sel kultur jaringan. Makrofag dan platlet manusia dirusak, sedangkan
monosit bersifat resisten terhadap toksin ini. Terdapat kerusakan sistem peredaran darah,
jaringan otot, dan jaringan korteks ginjal. Meskipun toksin-(, bukan satu-satunya faktor
virulensi staphylococcus, tetapi membantu patogenisitas melalui kerusakan jaringan
setelah keberadaannya pada sumber infeksi.
- Toksin Beta (Sfingomielinase Staphylococcus). Aktivitas terkuat toksin-( adalah
mampu menghasilkan lisis "panas-dingin" (misalnya, meningkatkan hemolisis, jika
diinkubasikan pada suhu kamar) Toksin-( merupakan enzim dengan spesifisitas substrat
untuk sfingomielin (dan lipofosfatida). Degradasi sfingomielin merupakan lesi membran
yang mengarah pada hemolisis ketika sel didinginkan.
Toksin-(
_Sfingomielin + H2O N-asetilspingosin + fosforilkolin
Mg 2+
Eritrosit dari spesies hewan yang berbeda memperlihatkan perbedaan sensitivitas
terhadap toksin-(. Hubungan diantara sensitivitas toksin dengan kandungan
spingomielin, yang sebagian besar ditempatkan pada leaflet luar dua-lapis lipid membran
eritrosit sehingga mudah dicapai oleh toksin eksogen.
- Toksin Delta. Toksin-(, merupakan toksin aktif-permukaan yang relatif termostabil,
dimana komponen suka-deterjen kuatnya mampu merusak membran. Toksin ini
memperlihatkan derajat agregasi tinggi dan heterogen berdasarkan hasil elektroforesis.
Toksin memiliki kandungan asam amino hidrofibik yang tinggi, dimana, jika
ditempatkan pada satu daerah, dapat membuat amfipatik molekul dan menjadi bahan aktif
permukaan yang kuat. Tempat reseptor membran dianggap asam lemak rantai-lurus
dengan 13-19 karbon. Toksin-( memperlihatkan aktivitas biologik berspektrum luas dan
menunjukkan bukan pada sel spesies tertentu; tetapidapat merusak eritrosit, makrofag,
limfosit, neutrofil, dan platlet.
- Toksin Gama. Toksin-( memiliki aktivitas hemolitik, tetapi caranya berperan belum
diketahui dengan pasti. Toksin ini terdiri dari dua komponen protein yang berperan
secara sinergik, yang penting untuk hemolitik dan toksisitas. Adanya peningkatan tingkat
antibodi penetralisir spesifik pada penderita penyakit tulang karena staphylococcus,
dianggap sebagai peran toksin ini pada penyakit.
Leukosidin. Leukosidin Panton-Valentine dihasilkan oleh sebagian besar strain S. aureus
yang mampu menempel pada leukosit PMN dan makrofag,tetapi tidak pada sel lainnya.
Toksin ini disusun oleh dua komponen protein (S danF) yang berperan secara sinergik
untuk menginduksi sitolisis.
Enterotoksin. Hampir sepertiga dari seluruh isolat klinik S. aureus menghasilkan
enterotoksin. Eksotoksin ini merupakan anggota suatu kelompok besar toksin protein
pirogenik yang memerantarai spektrum penyakit dengan manifestasi klinik yang serupa
dan melibatkan organ. Toksin yang termasuk kelompok ini sebagai tambahan pada S.
aureus adalah toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) dan eksotoksin A sampai C
pirogenik streptococcus.Semua toksin tersebut merupakan pirogenik dan imonosupresif,
seperti kemampuannya dapat mengakibatkan mitogenisitas limfosit T nonspesifik dan
meningkatkan kerentanan inang terhadap shock endotoksin yang mematikan tersebut.
Enterotoksin staphylococcus secara serologik dikelompokkan menjadi enam grup:
A, B, C, C2, D, dan E. Di Amerika Serikat, keracunan-makanan karena staphylococcus
sering dihubungkan dengan adanya enterotoksin A. imunoassay yang lebih sensitif.
Toksin Eksfoliatif. Sindrom kulit-luka bakar (scalded-skin) karena staphylococcus
disebabkan toksin, terutama yang dihasilkan oleh strain bakteriofaga grup II. Dua bentuk
toksin eksfoliatif yang berbeda secara biokimia danserologik, yaitu ETA dan ETB. Gen
untuk ETA terdapat pada kromoson, sedangkan gen ETBditempatkan pada suatu falimili
plasmid. Toksin yang dimurnikan merupakan protein dengan BM sekitar 30 dan 29,5
kDa. Protein ini menyebabkan lisis intraseluler, yang menempel di antara sel pada lapisan
granuler epidermis tetapi tidak menimbulkan respon inflamasi dan terutama tidak
menyebabkan kematian sel. Terdapat bukti bahwa toksin eksfoliatif merupakan
sfingomielinase tetapi berbeda dengan toksin-( staphylococcus. Toksin eksfoliatif
merupakan mitogen poten, terutama untuk sel T.
Toxic Shock Syndrome Toxin-1. S. aureus dihubungkan dengan toxic shock syndrome
(TSS), gangguan yang berat dan sering mematikan disebabkan karena disfungsi berbagai
organ. Sebagian besar kasus TSS berhubungan dengan menstruasi dan sekitar 50% kasus
nonmenstruasi. TSST-1, merupakan eksotoksin dengan BM 22 kDa, memiliki efek
imunologik yang berat dan bermacam-macam. Hal tersebut termasuk induksi ekspresi
reseptor interleukin-2, sintesis interleukin, proliferasi limfosit T manusia, dan stimulasi
sintesis interleukin-1 oleh monosit manusia. Tempat pengikatan utama untuk TSST-1
pada sel mononukleus manusia yaitu molekul MHC kelas II.
B. Epidemiologi
Staphylococcus merupakan bagian mikroflora indigenus dan berpindah ke
berbagai bagian tubuh tanpa gejala. Penyebaran dari tempat tersebut menyebabkan
penyakit endemik dan epidemik. Sifat tersebut merupakan masalah kompleks yang belum
dapat difahami. Kolonisasi pada bayi terjadi dalam beberapa hari setelah kelahiran, tetapi
karena antibodi secara pasif diterima melalui plasenta kecepatan carrier menurun selama
2 tahun kehidupan. Setelah anak berumur 6 tahun diperoleh suatu kecepatan carrier
dewasa sekitar 30%. Sejumlah organg yang menyimpan staphylococcus merupakan
carrier tetap dan kronik, tetapi sebagian besar merupakan carrier sementara, yaitu
menyimpan bakteri sekitar beberapa minggu. S. aureus pada beberapa bagian tubuh
carrier bebas-gejala, tetapi rongga hidung anterior reservoir utama infeksi dan sumber
penyakit. Perineum juga merupakan tempat yang penting dalam infeksi.
Sumber infeksi staphylococcus merupakan pasien atau pegawai rumah sakit yang
memiliki lesi. Pembersihan nanah dari lesi pasien, dapat membahayakan orang lain
karena kemampuan bakteri untuk menyebar melalui lingkungan yang terkontaminasi..
Kontak langsung melalui tangan merupakan salah satujalur penularan terpenting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar