Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 27 September 2014

Bab III Prak.Standarisasi Bahan Obat Alam


A.    Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilakukan di Laboratorium Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Halu Oleo dan dilaksanakan mulai bulan Oktober sampai Desember 2013.

B.     Alat dan Bahan

1.             Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu: penguap berputar vakum/ vacuum rotary evaporator (IKA-Werke RV 05 Germany), oven (Gallenkamp Civilab-Australia), timbangan analitik (Explorer Ohaus), plat KLT, pipet tetes, botol plakon, kertas saring biasa, pisau, lampu UV (Srahlen Germany) 254 dan 366 nm,  chamber, kaca, cutter, spatula, pinset, mistar, aluminium foil, penotol/pipa kapiler, gelas ukur (Pyrex),  kuvet, dan spektrofotometer IR.
2.             Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini rimpang jahe (Zingiber Rhizoma), rimpang temulawak (Curcuma Rhizoma), buah pare (Momordica Fructus), rimpang lengkuas (Languas Rhizoma), seledri (Apii graveolentis Folium), daun jambu biji (Psidii Folium), baku kurkumin, methanol, etanol, etil asetat, n-heksana, diklorometan, kloroform p.a, silika gel 60 GF254 p.a, akuades, serium sulfat (CeSO4) 2% dalam H2SO4 2%, dan Kalium Bromida (KBr).

C.    Prosedur Kerja

a.      Penyiapan Simplisia

Tanaman obat yang digunakan sebagai bahan dalam penelitian adalah :
1)      Jahe
Bahan baku tanaman jahe diperoleh dari desa Sumber Sari  kecamatan Moramo, kabupaten Konawe Selatan. Tanaman ini merupakan tanaman Budidaya. Pemanenan tanaman jahe dilakukan pada umur 10 bulan pada musim kemarau pukul 08.00 WITA.
Tanaman jahe diambil rimpangnya dengan cara menggali tanah dengan alat besi (cangkul) tanpa menyentuh rimpang tanaman dan menarik batang tanaman. Rimpang temulawak yang tersisa ditanah diambil dan dikumpulkan. Sortasi basah dilakukan dengan memisahkan rimpang jahe dengan tanah dan bagian rimpang yang busuk. Untuk penyucian rimpang dicuci dengan menggunakan air mengalir dan dibersihkan dari tanah yang melekat pada rimpang. Setelah pencucian, bahan langsung ditiriskan di rak-rak pengering. Bahan rimpang penjemuran dilakukan  selama beberapa jam. Selesai pengeringan dilakukan kembali penyortiran.
Perajangan dilakukan dengan memotong atau mengiris iris tanaman dengan ukuran yang sama dan tipis. Perajangan bahan dapat dilakukan secara manual dengan pisau yang tajam dan terbuat dari steinlees ataupun dengan mesin pemotong/ perajang.  Bentuk irisan split atau slice. Setelah itu rimpang ditimbang, setengah dari simplisia in kemudian dikeringkan. Pengeringan rimpang temulawak dilakukan dengan menjemur  tanaman dengan menutupi rimpang menggunakan kain hitam. Sehingga tidak terkena langsung dengan sinar matahari dan terhindar dari cemaran debu dan senyawa lain. Pengeringan ini dilakukan selama 5 hari, dan sertelah kering ditimbang. Sortasi kering  dilakukan memisahkan simlplisia dengan debu krikil dan benda lain. Setelah itu sampel ditimbang.
2)      Temulawak
Bahan baku tanaman temulawak diperoleh dari desa Wonua Sari, kecamatan Mowila, kabupaten Konawe selatan. Tanaman ini merupakan tanaman liar yang tumbuh di perkebunan. Pemanenan tanaman temulawak diambil rimpangnya dengan cara menggali tanah dengan alat besi (linggis dan cangkul) tanpa menyentuh rimpang tanaman  dan menarik batang tanaman.
Rimpang temulawak yang rersisa ditanah diambil dan dikumpulkan. Sortasi basah dilakukan dengan memisahkan rimpang temulawak dengan tanahdan bagian rimpang yang busuk.  Rimpang dicuci dengan menggunakan air mengalir dan dibersihkan dari tanah yang melekat pada rimpang. Setelah pencucian, bahan langsung ditiriskan di rak-rak pengering. Bahan rimpang penjemuran dilakukan  selama beberapa jam. Selesai pengeringan dilakukan kembali penyortiran.
Perajangan dilakukan dengan memotong atau mengiris iris tanaman dengan ukuran yang sama dan tipis. Perajangan bahan dapat dilakukan secara manual dengan pisau yang tajam dan terbuat dari steinlees ataupun dengan mesin pemotong/ perajang.  Bentuk irisan split atau slice. Setelah itu rimpang ditimbang, setengah dari simplisia ini kemudian dikeringkan. Pengeringan rimpang temulawak dilakukan dengan menjemur  tanaman dengan menutupi rimpang menggunakan kain hitam. Sehingga tidak terkena langsung dengan sinar matahari dan terhindar dari cemaran debu dan senyawa lain. Pengeringan in dilakukan selama 5 hari, dan sertelah kering ditimbang. Sortasi kering dilakukan memisahkan simlplisia dengan debu krikil dan benda lain. Setelah itu sampel ditimbang.
3)      Pare
Bahan baku tanaman pare diperoleh dari desa Kusambi kecamatan Kusambi, Raha. Tanaman ini merupakan tanaman budidaya dengan umur panen 2 bulan. Pemanenan buah pare pada pagi hari pukul 08.10.
Pemanenan buah pare diambil dengan cara manual yaitu dipetik dengan tangan. Sortasi basah dilakukan dengan memisahkan buah yang berbeda warnanya serta memisahkan antara buah yang layak dan busuk. Buah pare dicuci dengan menggunakan air mengalir. Setelah pencucian, bahan langsung ditiriskan di rak-rak pengering. Penjemuran buah dilakukan  selama beberapa jam. Selesai pengeringan dilakukan kembali penyortiran.
Perajangan dilakukan dengan memotong atau mengiris iris tanaman dengan ukuran yang sama dan tipis. Perajangan bahan dapat dilakukan secara manual dengan pisau yang tajam dan terbuat dari steinlees ataupun dengan mesin pemotong/ perajang.  Bentuk irisan split atau slice. Setelah itu rimpang ditimbang, setengah dari simplisia ini kemudian dikeringkan. Pengeringan buah pare dilakukan dengan menjemur  tanaman di bawah sinar matahari dengan menutupinya menggunakan kain hitam. Sehingga tidak terkena langsung dengan sinar matahari dan terhindar dari cemaran debu dan senyawa lain. Pengeringan ini dilakukan selama 2 hari, dan sertelah kering ditimbang. Sortasi kering  dilakukan memisahkan simlplisia dengan debu krikil dan benda lain. Setelah itu sampel ditimbang.
4)      Lengkuas
Bahan baku tanaman lengkuas diperoleh dari desa Sumber Sari Kecamatan Moramo, Kabupaten Konawe Selatan. Tanaman ini merupakan tanaman liar yang tumbuh di perkebunan. Pemanenan tanaman lengkuas dilakukan pada pukul 16.00 WITA.
Tanaman Lengkuas diambil rimpangnya dengan cara menggali tanah dengan alat besi (linggis dan cangkul) tanpa menyentuh rimpang tanaman  dan menarik batang tanaman. Rimpang temulawak yang rersisa ditanah diambil dan dikumpulkan. Sortasi basah dilakukan dengan memisahkan rimpang lengkuas dengan tanah dan bagian rimpang yang busuk. Rimpang dicuci dengan menggunakan air mengalir dan dibersihkan dari tanah yang melekat pada rimpang. Setelah pencucian, bahan langsung ditiriskan di rak-rak pengering. Bahan rimpang penjemuran dilakukan  selama beberapa jam. Selesai pengeringan dilakukan kembali penyortiran.
Perajangan dilakukan dengan memotong atau mengiris iris tanaman dengan ukuran yang sama dan tipis. Perajangan bahan dapat dilakukan secara manual dengan pisau yang tajam dan terbuat dari steinlees ataupun dengan mesin pemotong/ perajang.  Bentuk irisan split atau slice. Setelah itu rimpang ditimbang, setengah dari simplisia ini kemudian dikeringkan. Pengeringan rimpang lengkuas dilakukan dengan menjemur  tanaman dengan menutupi rimpang menggunakan kain hitam. Sehingga tidak terkena langsung dengan sinar matahari dan terhindar dari cemaran debu dan senyawa lain. Pengeringan in dilakukan selama 5 hari, dan sertelah kering ditimbang. Sortasi kering dilakukan memisahkan simlplisia dengan debu krikil dan benda lain. Setelah itu sampel ditimbang.
5)      Seledri
Bahan baku tanaman seledri diperoleh dari desa SP 5, kecamatan Palangga, kabupaten Konawe selatan. Tanaman ini merupakan tanaman budidaya. Tanaman seledri dipanen pada pukul 16.00 WITA.
Pemanenan seledri diambil dari bagian pelepah sampai ke daun dengan cara manual yaitu dipetik menggunakan tangan. Sortasi basah dilakukan dengan memisahkan bagian tanaman yang bagus dan tanaman yang sudah tidak bagus lagi. Tanaman  dicuci dengan menggunakan air mengalir dan dibersihkan dari tanah yang melekat pada rimpang. Setelah pencucian, bahan langsung ditiriskan di rak-rak pengering. Bahan tanaman dijemur selama beberapa jam. Selesai pengeringan dilakukan kembali penyortiran.
Perajangan dilakukan dengan memotong atau mengiris iris tanaman dengan ukuran yang sama dan tipis. Perajangan bahan dapat dilakukan secara manual dengan pisau yang tajam dan terbuat dari steinlees ataupun dengan mesin pemotong/ perajang. Setelah itu rimpang ditimbang, setengah dari simplisia in kemudian dikeringkan. Pengeringan seledri dilakukan dengan menjemur tanaman dengan menutupi menggunakan kain hitam. Sehingga tidak terkena langsung dengan sinar matahari dan terhindar dari cemaran debu dan senyawa lain. Pengeringan in dilakukan selama 5 hari, dan sertelah kering ditimbang. Sotasi kering  dilakukan memisahkan simlplisia dengan debu krikil dan benda lain. Setelah itu sampel ditimbang.
6)      Jambu Biji
Bahan baku tanaman jambu biji diperoleh dari desa Ponggaluku, kecamatan Lainea, kabupaten Konawe selatan. Tanaman ini merupakan tanaman liar yang tumbuh di pekarangan rumah warga. Pemanenan dilakukan pukul 16.00 WITA.
Tanaman jambu biji diambil bagian daunnya dengan cara manual yaitu dipetik menggunakan tangan. Sortasi basah dilakukan dengan memisahkan daun jambu biji yang berlubang-lubang karena dimakan ulat dengan daun jambu yang bagus. Daun dicuci dengan menggunakan air mengalir. Setelah pencucian, bahan langsung ditiriskan di rak-rak pengering. Penjemuran dilakukan  selama beberapa jam.
Perajangan dilakukan dengan memotong atau mengiris iris tanaman menjadi ukuran yang lebih kecil dengan ukuran yang sama. Perajangan bahan dapat dilakukan secara manual dengan pisau yang tajam dan terbuat dari stainlees ataupun dengan gunting.  Bentuk Setelah itu rimpang ditimbang, setengah dari simplisia ini kemudian dikeringkan. Pengeringan daun jambu biji dilakukan dengan menjemur  tanaman dengan menutupi menggunakan kain hitam. Sehingga tidak terkena langsung dengan sinar matahari dan terhindar dari cemaran debu dan senyawa lain . Pengeringan in dilakukan selama 1 hari, dan sertelah kering ditimbang. Sortasi kering  dilakukan memisahkan simlplisia dengan debu krikil dan benda lain. Setelah itu sampel ditimbang.

b.               Ekstraksi

Ekstraksi dilakukan pada 2 simplisia yaitu simplisia segar dan simplisia kering. Pembuatan ekstrak temulawak menggunakan metode maserasi. simplisia temulawak direndam selama 3x24 jam dengan pelarut etanol Selama perendaman, campuran ini diaduk setiap 3 jam dalam kurun waktu 24 jam. Kemudian campuran disaring  untuk memisahkan filtrat dan residu. Setelah itu filtrat ekstraksi dipisahkan kembali dengan penguapan menggunakan pompa vakum evaporator pada suhu 68 0C. Masing masing simplisia diberi perlakuan yang sama.

c.                Penentuan profil Kromatografi Lapis Tipis

Semua ekstrak sampel basah maupun kering (terkecuali ekstrak daun jambu biji), dilakukan uji kromatografi lapis tipis (KLT) untuk melihat pola noda senyawa yang terkandung serta untuk mengetahui jumlah komponen senyawa aktif di dalam sampel ekstrak basah dan sampel kering, dengan kondisi sebagai berikut:  Fasa diam: silika gel 60 GF254, fasa gerak jahe yaitu n-heksan:eter (4:6), temulawak yaitu kloroform:metanol (9:1), seledri yaitu etil asetat:metanol:air (10:1:1), pare yaitu n-heksan:etil asetat (8:2), lengkuas yaitu toluene:etil asetat (9,3:0,7). Analisis hasil pemisahan KLT menggunakan lampu UV dan pereaksi penampak noda serium sulfat 2% dalam H2SO4 2%.

d.               Penentuan kadar Senyawa Kurkumin

1.      Pembuatan baku kurkumin
Baku kurkumin ditimbang 10 mg dan dilarutkan dalam etanol 100 ml sehingga didapatkan larutan baku 100 ppm. Selanjutnya diambil 5 ml dan diencerkan dengan etanol dalam labu takar 50 ml sampai tanda tera. Divariasikan konsentrasinya 1,2,3,4,5 untuk pembuatan baku standar yang ditambahkan hingga 10 ml di dalam tabung reaksi masing-masing. Diukur absorbansinya di spektrofotometri UV-Vis pada absorbansinya pada λ425 nm.
2.      Penetapan kadar sampel
Ekstrak temulawak 10 ml dilarutkan dalam etanol 100 ml. diambil 5 ml dan diencerkan dengan etanol dalam labu takar 50 ml. Diukur absorbansinya di spektrofotometri UV-Vis pada absorbansinya pada λ425 nm.

e.                Penentuan Gugus fungsi Senyawa

1.      Pembuatan Pelet KBr
Ekstrak kental sampel ditambahkan dengan KBr. Campuran tersebut dihomogenkan dengan cara diaduk. Campuran homogen dimasukkan kedalam alat kempa dan dipadatkan menjadi lempengan tipis.
2.      Analisis Kualitatif Menggunakan Spektrofotometer IR
Lempengan tipis sampel diletakkan dalam wadah sampel, dan kemudian dianalis dengan spektrofotometer IR pada bilangan gelombang 4000 cm-1 - 800 cm-1.

Bab I Prak.Standarisasi Bahan Obat Alam


A.    Latar Belakang

Meskipun peningkatan penggunaan obat sintetik berlangsung dengan cepat, namun seiring bertambahnya waktu terjadi pula peningkatan kesadaran masyarakat terhadap dampak negatif dari penggunaan obat-obatan sintetik. Akibatnya masyarakat kembali memilih tumbuhan obat sebagai alternatif terhadap penyembuhan berbagai penyakit. Selain itu, efek samping yang ditimbulkan juga lebih kecil. Tumbuhan obat sudah sejak lama dimanfaatkan oleh masyarakat untuk meningkatkan kesehatan (promotif), memulihkan kesehatan (rehabilitative), pencegahan penyakit (preventif), dan penyembuhan penyakit (kuratif). Ramuan obat bahan alam hampir dimiliki oleh setiap suku bangsa di Indonesia dan digunakan secara turun temurun sebagai obat. Hal tersebut memicu peneliti untuk melakukan penelitian di bidang biofarmaka, yaitu mengenai obat -obatan alami yang berasal dari tumbuhan.
Obat bahan alam baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri sangat pesat perkembangannya, dengan demikian diperlukan suatu standarisasi baik pada bahan baku ataupun dalam bentuk sediaan ekstrak atau sediaan galenik sehingga produk-produk herbal tersebut dapat terjaga kualitas dan khasiatnya. Untuk menjamin bahwa kualitas herbal sama pada setiap produksinya dan memenuhi standar minimal maka harus ada penetapan standar dari hulu ke hilir. Kita haruslah memperhatikan dari mana tumbuhan itu berasal, bagaimanakan cara panennya, dan bagaimana proses selanjutnya.

B.     Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada laporan ini yaitu:
1.      Bagaimana cara penyiapan simplisia yang terstandarisasi?
2.       Bagaimana profil kromatografi ekstrak tanaman yang berasal dari sampel basah maupun sampel kering?
3.      Bagaimana penentuan gugus fungsi senyawa dengan menggunakan spektrofotometri IR ?
4.      Bagaimana penetapan kadar sampel dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis ?

C.    Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai melalui praktikum ini adalah:
1.      Dapat menyiapkan simplisia yang terstandarisasi.
2.      Dapat mengetahui profil kromatografi ekstrak tanaman yang berasal dari sampel basah maupun sampel kering.
3.      Dapat menentukan gugus fungsi senyawa dengan menggunakan spektrofotometri IR.
4.      Dapat menentukan kadar sampel dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis.



D.    Manfaat

Hasil praktikum ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:
1.      Mendapatkan informasi mengenai komponen kimia dalam sampel tanaman yang memiliki aktivitas farmakologi.
2.      Menambah pengalaman, pengetahuan dan keahlian dalam standarisasi, dan penentuan kadar senyawa kimia.


PELAYANAN FARMASI UNTUK PENYAKIT TBC (TUBERKULOSIS)

PELAYANAN FARMASI UNTUK PASIEN PENDERITA TBC (TUBERKULOSIS)
A.  Pendahuluan
Salah satu penyakit penyebab kematian utama yang disebabkan oleh infeksi, adalah Tuberkulosis (TB). Tuberkulosis (TBC) merupakan salah satu penyakit menular yang tersebar di seluruh dunia dan menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi, bahkan pada tahun 1993 WHO mencanangkan TBC sebagai kedaruratan global (global emergency).
Insidensi TBC dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini di seluruh dunia. Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis / TBC merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Dengan penduduk lebih dari 200 juta orang, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China dalam hal jumlah penderita di antara 22 negara dengan masalah TBC terbesar di dunia.
Penyakit TBC dapat menyerang siapa saja (tua, muda, laki-laki, perempuan, miskin, atau kaya) dan dimana saja. Setiap tahunnya, Indonesia bertambah dengan seperempat juta kasus baru TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TBC. Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru.
Walaupun di Indonesia telah banyak kemajuan yang diperoleh, yakni pencapaian penemuan kasus baru 51,6 % dari target global 70 % dibandingkan pencapaian 20 % pada tahun 2002 dan 37 % pada tahun 2003, juga penyediaan obat-obat anti TB yang dijamin oleh pemerintah untuk sarana pelayanan kesehatan pemerintah mencukupi kebutuhan prakiraan kasus di seluruh Indonesia, TB tetap belum dapat diberantas, bahkan diperkirakan jumlah penderita TB terus meningkat. Meskipun berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah, namun tanpa peran serta masyarakat tentunya tidak akan dicapai hasil yang optimal karena TB tidak hanya masalah kesehatan namun juga merupakan masalah sosial.
Keberhasilan penanggulangan TB sangat bergantung pada tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu perlu keterlibatan berbagai pihak dan sektor dalam masyarakat, kalangan swasta, organisasi profesi dan organisasi sosial serta LSM, terutama profesi Apoteker di Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit maupun tempat lain yang melayani masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya akan obat TB. Apoteker dalam hal ini dapat membantu, mengarahkan pasien yang diduga menderita TB untuk memeriksakan diri terhadap TB (case finding), memotivasi pasien untuk patuh dalam pengobatan, memberikan informasi dan konseling, membantu dalam pencatatan untuk pelaporan.
Makalah ini bertujuan untuk memberi kemudahan bagi pembaca yang diharapkan dapat ikut berjuang memberantas penyakit TB di Indonesia. Oleh karena itu ketersediaan informasi yang memadai merupakan bekal yang penting untuk meningkatkan kompetensidalam rangka melaksanakan praktik kefarmasian, khususnya penerapan konsep pharmaceutical care sebagai mitra dalam pengendalian tuberkulosis.
B.  Epidemologi
Terjadinya peningkatan infeksi HIV telah menimbulkan perubahan dalam epidemiologi tuberkulosis. HIV telah merubah penyakit tuberkulosis dari suatu penyakit yang endemis menjadi suatu penyakit yang epidemis di seluruh dunia. Saat ini HIV diyakini menjadi salah satu faktor resiko yang paling penting untuk terjadimya seseorang yang terinfeksi bakteri M. Tuberculosis menjadi seorang penderita tuberkulosis yang aktif. Sekitar 5-10% penderita TB laten sepanjang hidupnya akan berlanjut dan berkembang menjadi tuberkulosis yang aktif, sementara pada individu yang mengalami gabungan infeksi dengan HIV, sekitar 5-15% akan berlanjut menjadi tuberkulosis yang aktif dalam satu tahun.
World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar sepertiga sampai  setengah dari individu  yang terinfeksi virus HIV akan menderita tuberkulosis yang aktif.  Di Indonesia saja, pada tahun 2001 diperkirakan 582 ribu penderita baru atau 271 per 100 ribu penduduk, sedangkan  yang ditemukan BTA positif sebanyak  261 ribu penduduk atau 122 per 100 ribu penduduk, dengan keberhasilan pengobatan diatas 86 % dan kematian sebanyak 140 ribu.
Jumlah penderita di Indonesia ini merupakan jumlah persentase ketiga terbesar di dunia yaitu 10 %, setelah India 30 % dan China 15 %.
Di India, menurut data WHO, pada penghujung tahun 2007 disebutkan bahwa penduduk yang hidup dengan HIV/AIDS sekitar 2,5 juta jiwa dengan insidensi tuberkulosis sekitar 1,8 juta pertahun.
Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB. Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan ARTI 1%, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif.
Penularan TB sangat dipengaruhi oleh masalah lingkungan, perilaku sehat penduduk, ketersediaan sarana pelayanan kesehatan. Masalah lingkungan yang terkait seperti masalah kesehatan yang berhubungan dengan perumahan, kepadatan anggota keluarga, kepadatan penduduk, konsentrasi kuman, ketersediaan cahaya matahari, dll. Sedangkan masalah perilaku sehat antara  lain akibat dari meludah sembarangan, batuk sembarangan, kedekatan anggota keluarga, gizi yang kurang atau tidak seimbang, dll. Untuk sarana pelayanan kesehatan, antara lain menyangkut ketersediaan obat, penyuluhan tentang penyakit dan mutu pelayanan kesehatan.
Masalah lain yang muncul dalam pengobatan TB adalah adalah adanya resistensi dari bakteri yang disebabkan oleh obat (multi drug resistent  organism). Bakteri yang resisten terhadap banyak obat tersebut semakin meningkat. Di Amerika tahun 1997 resistensi terhadap INH mencapai 7,8 % dan resisten terhadap INH dan Rifampisin 1,4 %. Secara umum angka ini di Amerika pada median 9,9 % bakteri dari penderita yang menerima obat anti TB. Kejadian resistensi ini sudah banyak ditemukan di negara pecahan Uni soviet, beberapa negara Asia, Republik Dominika, dan Argentina.
C.  Etiologi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang paru-paru.  Mycobacterium tuberculosis termasuk basil gram positif, berbentuk batang, dinding selnya mengandung komplek lipida-glikolipida serta lilin(wax) yang sulit  ditembus zat kimia.
Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil organ tubuh lain. Bakteri ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara mikroskopis. Sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis cepat mati dengan matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, bakteri dapat dormant(tertidur sampai beberapa tahun).  TB timbul berdasarkan kemampuannya untuk memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit.
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif pada waktu batuk atau  bersin, penderita menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung bakteri dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan. Jadi penularan TB tidak terjadi melalui perlengkapan makan,baju, dan perlengkapan tidur.
Setelah bakteri TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernafasan, bakteri TB tersebut dapat menyebardari paru kebagian tubuh lainnya,melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan  dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terdapat bakteri), maka penderita tersebut dianggap tidak tertular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
D.  Patofisiologi
Secara klinis, TB dapat terjadi melalui infeksi primer dan paska primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena bakteri TB untuk pertama kalinya. Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, di dalam alveoli (gelembung paru) terjadi peradangan. Hal ini disebabkanoleh bakteri TB yang berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru. Waktu  terjadinya infeksi hingga pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu.
Kelanjutan infeksi primer tergantung dari banyaknya bakteri yang masuk dan respon daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan bakteri TB dengan cara menyelubungi bakteri dengan jaringan pengikat. Ada beberapa bakteri yang menetap sebagai “persister” atau “dormant”, sehingga daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan perkembangbiakan bakteri, akibatnya yang bersangkutan akan menjadi penderita TB dalam beberapa bulan. Pada infeksi primer ini biasanya menjadi abses (terselubung)dan berlangsung tanpa gejala, hanya batuk dan nafas berbunyi. Tetapi pada orang-orang dengan sistem imun lemah dapat timbul radang paru hebat, ciri-cirinya batuk kronik dan bersifat sangat menular. Masa inkubasi sekitar 6 bulan. Infeksi paska primer terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah infeksi primer. Ciri khas TB paska primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
Seseorang yang terinfeksi bakteri TB belum tentu sakit atau tidak menularkan bakteri TB. Proses selanjutnya ditentukan oleh berbagai faktor risiko . Kemungkinan untuk terinfeksi TB, tergantung pada :
·         Kepadatan droplet nuclei yang infeksius per volume udara
·         Lamanya kontak dengan droplet nukleitsb
·         Kedekatan denganpenderita TB
Risiko terinfeksi TB sebagian besar adalah faktor risiko eksternal, terutama adalah faktor lingkungan seperti rumah tak sehat, pemukiman padat & kumuh. Sedangkan risiko menjadi sakit TB, sebagian besar adalah faktor internal dalam  tubuh penderita sendiri yg disebabkan oleh terganggunya sistem kekebalan dalam tubuh penderita seperti kurang gizi, infeksi HIV/AIDS, pengobatan dengan immunosupresan dan lain sebagainya. Pada penderitaTB sering terjadi komplikasi dan resistensi.
E.  Klasifikasi
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis memerlukan suatu definisi kasus yang memberikan batasan baku setiap klasifikasi dan tipe penderita. Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan untuk menetapkan paduan OAT yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai.
Terdapat Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan klasifikasi kasus TB, yaitu :
§  Organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
§  Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung:BTA positif atau BTA negatif;
§  Riwayat pengobatan sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati;
§  Tingkat keparahan penyakit: ringanatau berat.
Berdasarkan tempat/organ yang diserang oleh bakteri, maka tuberkulosis dibedakan menjadi Tuberkulosis Paru dan Tuberkulosis Ekstra Paru.
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan parenchym paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Parudibagi dalam:
1.      Tuberkulosis Paru BTA Positif.
ü Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimendahak SPS hasilnya BTA positif.
ü 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
2.      Tuberkulosis Paru BTA Negatif
ü Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkangambaran tuberkulosis aktif.
ü TB Paru BTA Negatif Rontgen Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk beratbila gambaran foto rontgen dada memperlihatkangambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses "far advanced" atau millier), dan/atau keadaan umum penderita buruk.
Tuberkulosis Ekstra Paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
1.      TB Ekstra Paru Ringan
Misalnya: TB kelenjar limphe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
2.      TB Ekstra-Paru Berat
Misalnya: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.
F.   Diagnosa
Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis, mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik. Pada program tuberkulosis  nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak  mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti radiologi, biakan dan  uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan  indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Diagnosis TB paru pada orang dewasa yakni dilakukan dengan pemeriksaan sputum atau dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya 2 dari 3 spesimen SPS BTA hasilnya positif. Apabila hanya 1 spesimen yang positif maka perlu dilanjutkan dengan rontgen dada atau pemeriksaan SPS diulang.
Diagnosis TB paru pada orang dewasa yakni dengan pemeriksaan sputum atau dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya 2 dari 3 spesimen SPS BTA hasilnya positif. Apabila hanya 1 spesimen yang positif maka perlu dilanjutkan dengan rontgen dada atau pemeriksaan SPS diulang.
Pada orang dewasa, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam diagnosis, hal ini disebabkan suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah terpapar dengan Mycobacterium tubeculosis. Selain itu, hasil uji tuberkulin dapat negatif meskipun orang tersebut menderita TB.  Sementara diagnosis TB ekstra paru, tergantung pada organ yang terkena. Misalnya nyeri dada terdapat pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan pembengkakan tulang belakang pada Sponsdilitis TB. Seorang penderita TB ekstra paru kemungkinan besar juga menderita TB paru, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan dahak dan foto rontgen dada (PDPI, 2006).
Pada anak-anak permulaan tuberkulosis primer biasanya sukar diketahui secara klinis karena penyakit mulai secara perlahan – lahan. Kadang – kadang tuberkulosa ditemukan pada anak – anak tanpa keluhan atau gejala – gejala tuberkulosis primer, dapat juga hanya panas yang naik turun selama 1 – 2 minggu dengan atau tanpa batuk pilek. Gambaran klinis tuberkulosis primer lain ialah panas atau demam biasanya pagi hari, malese, keringat malam, dispneu ringan, batuk purulent produktif kadang disertai nyeri dada lebih dari tiga minggu sering dijumpai pada infeksi aktif, anoreksia dan berat badan yang menurun, kadang – kadang dijumpai panas yang menyerupai tifus abdominalis atau malaria yang disertai atau tanpa hepatosplenomegali. Oleh karena itu bila dijumpai panas seperti tifus abdominalis pada bayi atau anak kecil, harus dipikirkan juga kemungkinan tuberkulosis sebagai penyebab panas tersebut. Selain itu bila didapatkan riwayat kontak erat dengan penderita.
a.  Gejala klinik
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah  paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat) (PDPI, 2006) :
·         Gejala respiratorik meliputi batuk lebih dari 2 minggu, batuk darah, nyeri dada dan sesak nafas.
·         Gejala sistemik meliputi demam, keringat malam, berat badan menurun 
·         Gejala tuberkolosis paru yaitu keadaan limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
b. Pemeriksaan jasmani
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.  Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.  Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6).  Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess” (PDPI, 2006).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgpahdLioxVfsx_gs32X_5STR47c86JS-AZZku90F3yo2Oyjoy1bLvdyKpLwqnXOZh12jafjPRu1DY-vr7OYGI6L3EyoNtZHHkPZZRDwqY1YFyRsJXYQuWlVSj0T0D1IYAtfmO4fQbtpIc/s320/Untitled.png
Gambar. Pemeriksaan Jasmani (PDPI, 2006).
c.  Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam­-macam bentuk (multiform).  Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvR_Qq2r5zo90EqQSUvupHC60JKIMWH-XUXzHIr4zllOuJO2nBXFbx4COawg46L-L4iOI3zGvjq6qxZmCCVzcpgxBdsCex56C7h9nqRErzYTK8qVBzUnl3q7dI0ql-ZqOdGsLGxSGI1KQ/s640/Untitled.png
(a)                                                         (b)
Gambar. Perbedaan hasil rontagen (a) paru normal (b) paru positif TB(PDPI, 2006).
Keterangan kelainan rontgen TB paru
Gambaran TB aktif :
-       Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular.
-       Bercak milier
Efusi gambaran TB inaktif :
-  Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
-  Kalsifikasi atau fibrotik
-  Fibrothorak dan atau penebalan pleura/Schwarte
d.   Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi
Untuk mengetahui secra pasti maka dilakukan beberapa pemeriksaan yang meliputi:
1.      Uji Tuberkulin
Perkembangan hipersensitivitas tipe lambat pada kebanyakan individu yang terinfeksi dengan basil tuberculosis membuat uji tuberculin sangat dibutuhkan. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnosis yang penting dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis. Uji multi punksi tidak seakurat uji Mantoux karena dosis antigen tuberculin yang dimasukkan ke dalam kulit tidak dapat di control.Uji tuberkulin lebih penting lagi artinya pada anak kecil bila diketahui adanya konvensi dari negatif. Pada anak dibawah umur 5tahun dengan uji tuberkulin positif, proses tuberkulosis biasanya masih aktif meskipun tidak menunjukkan kelainan klinis dan radiologis.Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin yaitu dengan cara mono dengan salep, dengan goresan disebut patch test cara von pirquet, cara mantoux dengan menyuntikan intrakutan dan multiple puncture metode dengan 4 – 6 jarum berdasarkan cara Heat and Tine. Uji kulit Mantoux adalah injeksi intradermal 0.1 mL yang mengandung 5 unit tuberculin ( UT ) derivate protein yang dimurnikan ( PPD ) yang distabilkan dengan Tween 80.  Sampai sekarang cara Mantoux masih dianggap sebagai cara yang paling dapat dipertanggung jawabkan karena jumlah tuberkulin yang dimasukkan dapat diketahuibanyaknya.
2.      Pemeriksaan Laboratorium
·         Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang – Kadang meragukan. Pada saat tuberkulosis baru dimulai ( aktif ) akan didapatkan sedikit leukosit yang sedikit meningkat. Jumlah limfosit masih normal. Laju Endap Darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan laju endap darah mulai turun kea rah normal lagi.
·         Dahak
Pemeriksaan dahak adalah penting karena dengan ditemukannya bakteri BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa sewaktu-pagisewaktu (SPS).
S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua.
P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas.
S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
G. Komplikasi
Pada penderitaTB sering terjadi komplikasi dan resistensi. Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut:
1)      Hemoptisis  berat (pendarahan  dari saluran nafas bawah) yang mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
2)      Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial
3)      Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
4)      Pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura) spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.
5)      Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.
6)      Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu  perawatan di rumah sakit. Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA Negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus kambuh. Padakasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simtomatis. Bila perdarahan berat, penderita harus dirujuk ke unit spesialistik. Resistensi terhadap OAT terjadi umumnya karena penggunaan OAT yang tidak sesuai. Resistensi dapat terjadi karena penderita yang menggunakan obat tidak sesuai atau patuh dengan jadwal atau dosisnya. Dapat pula terjadi karena mutu obat yang dibawah standar.
Resistensi ini menyebabkan jenis obat yang biasa dipakai sesuai pedoman pengobatan tidak lagi  dapat membunuh bakteri.  Dampaknya, disamping kemungkinan terjadinya penularan kepada orang disekitar penderita, juga memerlukan biaya yang lebih mahal dalam pengobatan tahap berikutnya. Dalam hal inilah dituntut peran Apoteker dalam membantu penderita untuk menjadi lebih taat dan patuh melalui penggunaan yang tepat dan adekuat.
H.  Terapi
Pengendalian atau penanggulangan TB yang terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi penularan maupun infeksi. Pencegahan TB pada dasarnya adalah :
a.       Mencegah penularan bakteri dari penderita yang terinfeksi
b.      Menghilangkan atau mengurangi faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penularan.
Tindakan mencegah terjadinya penularan dilakukan dengan berbagai cara, yang  utama adalah memberikan obat anti TB yang benar dan cukup, serta dipakai dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat.
Pencegahan dilakukan dengan cara mengurangi atau menghilangkan faktor risiko, yakni pada dasarnya adalah mengupayakan kesehatan perilaku dan lingkungan, antara lain denganpengaturan rumah agar memperoleh cahaya matahari, mengurangi kepadatan anggota keluarga, mengatur kepadatan penduduk, menghindari meludah sembarangan, batuk sembarangan, mengkonsumsi makanan yang bergizi yangbaik dan seimbang.
Dengan demikian salah satuupaya pencegahan adalah dengan penyuluhan. Penyuluhan TB dilakukan berkaitan dengan masalah pengetahuan danperilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peranserta masyarakat dalam penanggulangan TB.
Terapi atau Pengobatan penderita TB dimaksudkan untuk;
a.       menyembuhkan penderita sampai sembuh,
b.      mencegah kematian,
c.       mencegah kekambuhan, dan
d.      menurunkan tingkat penularan.
PRINSIP PENGOBATAN
Sesuai dengan sifat bakteri TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :
o   Menghindari penggunaan monoterapi. Obat AntiTuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi daribeberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk
mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.
o   Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam  menelan obat,pengobatan dilakukan dengan  pengawasan langsung (DOT =  Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obatlebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh bakteri persister  (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
I.     Regimen dosis
Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibotik dan anti infeksi sintetisuntuk membunuh bakteri Mycobacterium. Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yangumum dipakai adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin. Rifampisin dan pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin. Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin umumnya mempunyai efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat primersudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB.
Rejimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi OAT dengan dosis tetap. Contoh : 2HRZE/4H3R3 atau 2HRZES/5HRE Kode huruf tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni :
H = Isoniazid
R = Rifampisin
Z = Pirazinamid
E = Etambutol
S = Streptomisin
Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau frekwensi. Angka 2 didepan seperti pada “2HRZE”, artinya digunakan selama 2 bulan, tiap hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka dibelakanghuruf, seperti pada “4H3R3” artinya dipakai 3 kali seminggu ( selama 4 bulan).
Sebagai contoh, untuk TB kategori I dipakai 2HRZE/4H3R3, artinya : Tahap awal/intensif adalah2HRZE : Lama pengobatan 2 bulan, masing masing OAT (HRZE) diberikan setiap hari.
Tahap lanjutan adalah 4H3R3 : Lama pengobatan 4 bulan, masing masing OAT (HR) diberikan 3 kali seminggu.
Tabel 1. Paduan pengobatan standar yang direkomendasikan oleh WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease)
Paduan OAT Yang Digunakan Di Indonesia
Paduan pengobatan yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
TB oleh Pemerintah Indonesia :
• Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3.
• Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3.
• Kategori 3 : 2 HRZ/4H3R3.
• Disamping ketiga kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
Paduan OAT ini disediakan dalam bentukpaket kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. 1 paket untuk 1 penderitadalam 1 masa pengobatan.
Obat Paket Tuberkulosis ini disediakan secara gratis melalui Institusi pelayanan kesehatan milik pemerintah, terutama melalui Puskesmas, Balai Pengobatan TB paru, Rumah Sakit Umum dan Dokter Praktek Swasta yang telah bekerja sama dengan Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular Langsung, Depkes RI.
KATEGORI-1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan.
Obat ini diberikan untuk:
§ Penderita baru TB Paru BTA Positif.
§ Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen Positif yang “sakit berat”
§ Penderita TB Ekstra Paru berat
Tabel 2. Paduan OAT Kategori 1 dalam paket kombipak untuk penderita dengan berat badan antara 33 – 50 kg
Catatan : *) 1 bulan = 28 blister (dosis) harian
Satu paket kombipak kategori 1 berisi 104 blister harian yang terdiri dari 56 blister HRZE
untuk tahap intensif, dan 48 blister HR untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar.
KATEGORI -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yangdiberikan tiga kali dalam seminggu.
Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya pernah diobati, yaitu:
§ Penderita kambuh (relaps)
§ Penderitagagal (failure)
§ Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
Tabel 3. Paduan OAT Kategori 2 dalam paket kombipak untuk penderita dengan berat badan antara 33 – 50 kg
Catatan :
Satu paket kombipak kategori 2 berisi 144 blister harian yang terdiri dari 84 blister HRZE untuk tahap intensif, dan 60 blister HRE untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar. Disamping itu, disediakan 28 vial Streptomicin @ 1,5 gr dan pelengkap pengobatan (60 spuit dan aquabidest) untuk tahap intensif.

KATEGORI-3 (2HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahaplanjutan terdiri dariHR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu. Obat ini diberikan untuk:
         Penderita baru BTA negatif dan röntgen positif sakit ringan,
         Penderita TB ekstra paru ringan.
Tabel 4. Paduan OAT Kategori 3 dalam paket kombipak Untuk penderita dengan berat badan antara 33 – 55 kg
Catatan : *) 1 bulan = 28 blister (dosis) harian 
Satu paket kombipak kategori 3 berisi 104 blister harian yang terdiri dari 56 blister HRZ untuk tahap intensif, dan 50 blister HR untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar

Pengobatan TB Pada Anak
Prinsip dasar pengobatan TB pada anak tidak berbeda dengan pada orang  dewasa, tetapi ada beberapa hal yang memerlukan perhatian:
1.   Pemberian obat baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan diberikan  setiap hari.
2.   Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak
Susunan paduan obat TB anak adalah 2HRZ/4HR:
Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z) selama 2 bulan diberikan setiap hari (2HRZ). Tahap lanjutan terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) selama 4 bulan diberikan setiap hari (4HR).
Tabel. 5 Jenis dan dosis obat TB anak, berdasarkan rekomendasi IDAI
Catatan : Penderita yang berat badannya kurang dari 5 kg harus dirujuk ke Dokter Ahli Pemantauan kemajuan pengobatan pada anak dapat dilihat antara lain dengan terjadinya perbaikan klinis, naiknya berat badan, dan anak menjadi lebih aktif dibanding dengan sebelum pengobatan.
       Berbagai paparan diatas menjelaskan berbagai rangkaian regimen dosis terapi TB. Disamping paparan tersebut, saat ini tersedia juga obat TB yang disebut  Fix Dose Combination(FDC). Obat ini pada dasarnya sama dengan obat kompipak, yaitu rejimen dalam bentuk kombinasi, namun didalam tablet yang ada sudah berisi 2, 3 atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan. WHO sangat menganjurkan pemakaian OAT-FDC karena beberapa keunggulan dan keuntungannya dibandingkan dengan OAT dalam bentuk kombipak apalagi
dalam bentuk lepas.



DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI, 2006, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Cetakan ke-10, Jakarta.

Depkes RI, 2004, Survei Prevalensi Tuberkulosis di Indonesia, Jakarta; ISBN979-8270-46-0.

Sjamsuhidajat, R., Jong, W. 2005, Buku-Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC
PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indoneia). 2006. Tuberkulosis. Jakarta : IDI Pres Jakarta, 2005

WHO, 2006Global Tuberculosis Control, Surveillance, Planning, Financing. WHO Report 2006, Geneva,; WHO/HTM/TB/2006.36 2nd edition, Geneva