PELAYANAN FARMASI UNTUK
PASIEN PENDERITA TBC (TUBERKULOSIS)
A.
Pendahuluan
Salah
satu penyakit penyebab kematian utama yang disebabkan oleh infeksi, adalah
Tuberkulosis (TB). Tuberkulosis (TBC) merupakan salah satu penyakit menular
yang tersebar di seluruh dunia dan menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi, bahkan pada tahun 1993 WHO
mencanangkan TBC sebagai kedaruratan global (global emergency).
Insidensi
TBC dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini di seluruh
dunia. Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis / TBC merupakan masalah
kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit
(morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Dengan penduduk lebih dari 200
juta orang, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China dalam hal
jumlah penderita di antara 22 negara dengan masalah TBC terbesar di dunia.
Penyakit
TBC dapat menyerang siapa saja (tua, muda, laki-laki, perempuan, miskin, atau
kaya) dan dimana saja. Setiap tahunnya, Indonesia bertambah dengan seperempat
juta kasus baru TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya
disebabkan oleh TBC. Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada
tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara
0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TBC Global yang
dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada tahun 2002
mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan
merupakan kasus baru.
Walaupun
di Indonesia telah banyak kemajuan yang diperoleh, yakni pencapaian penemuan
kasus baru 51,6 % dari target global 70 % dibandingkan pencapaian 20 % pada
tahun 2002 dan 37 % pada tahun 2003, juga penyediaan obat-obat anti TB yang
dijamin oleh pemerintah untuk sarana pelayanan kesehatan pemerintah mencukupi
kebutuhan prakiraan kasus di seluruh Indonesia, TB tetap belum dapat
diberantas, bahkan diperkirakan jumlah penderita TB terus meningkat. Meskipun
berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah, namun tanpa peran serta masyarakat
tentunya tidak akan dicapai hasil yang optimal karena TB tidak hanya masalah
kesehatan namun juga merupakan masalah sosial.
Keberhasilan
penanggulangan TB sangat bergantung pada tingkat kesadaran dan partisipasi
masyarakat. Oleh karena itu perlu keterlibatan berbagai pihak dan sektor dalam
masyarakat, kalangan swasta, organisasi profesi dan organisasi sosial serta
LSM, terutama profesi Apoteker di Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit maupun
tempat lain yang melayani masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya akan obat TB.
Apoteker dalam hal ini dapat membantu, mengarahkan pasien yang diduga menderita
TB untuk memeriksakan diri terhadap TB (case
finding), memotivasi pasien untuk patuh dalam pengobatan, memberikan
informasi dan konseling, membantu dalam pencatatan untuk pelaporan.
Makalah
ini bertujuan untuk memberi kemudahan bagi pembaca yang diharapkan dapat ikut
berjuang memberantas penyakit TB di Indonesia. Oleh karena itu ketersediaan
informasi yang memadai merupakan bekal yang penting untuk meningkatkan
kompetensidalam rangka melaksanakan praktik kefarmasian, khususnya penerapan
konsep pharmaceutical care sebagai mitra dalam pengendalian tuberkulosis.
B.
Epidemologi
Terjadinya
peningkatan infeksi HIV telah menimbulkan perubahan dalam epidemiologi
tuberkulosis. HIV telah merubah penyakit tuberkulosis dari suatu penyakit yang
endemis menjadi suatu penyakit yang epidemis di seluruh dunia. Saat ini HIV
diyakini menjadi salah satu faktor resiko yang paling penting untuk terjadimya
seseorang yang terinfeksi bakteri M.
Tuberculosis menjadi seorang penderita tuberkulosis yang aktif. Sekitar
5-10% penderita TB laten sepanjang hidupnya akan berlanjut dan berkembang
menjadi tuberkulosis yang aktif, sementara pada individu yang mengalami
gabungan infeksi dengan HIV, sekitar 5-15% akan berlanjut menjadi tuberkulosis
yang aktif dalam satu tahun.
World
Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar sepertiga sampai setengah dari individu yang terinfeksi virus HIV akan menderita
tuberkulosis yang aktif. Di Indonesia
saja, pada tahun 2001 diperkirakan 582 ribu penderita baru atau 271 per 100
ribu penduduk, sedangkan yang ditemukan
BTA positif sebanyak 261 ribu penduduk
atau 122 per 100 ribu penduduk, dengan keberhasilan pengobatan diatas 86 % dan
kematian sebanyak 140 ribu.
Jumlah
penderita di Indonesia ini merupakan jumlah persentase ketiga terbesar di dunia
yaitu 10 %, setelah India 30 % dan China 15 %.
Di
India, menurut data WHO, pada penghujung tahun 2007 disebutkan bahwa penduduk
yang hidup dengan HIV/AIDS sekitar 2,5 juta jiwa dengan insidensi tuberkulosis
sekitar 1,8 juta pertahun.
Risiko
penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di
Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah dengan
ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000penduduk, 10 (sepuluh)
orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan
menjadi penderita TB, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi
penderita TB. Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa pada
daerah dengan ARTI 1%, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100
(seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA
positif.
Penularan
TB sangat dipengaruhi oleh masalah lingkungan, perilaku sehat penduduk,
ketersediaan sarana pelayanan kesehatan. Masalah lingkungan yang terkait
seperti masalah kesehatan yang berhubungan dengan perumahan, kepadatan anggota
keluarga, kepadatan penduduk, konsentrasi kuman, ketersediaan cahaya matahari,
dll. Sedangkan masalah perilaku sehat antara
lain akibat dari meludah sembarangan, batuk sembarangan, kedekatan
anggota keluarga, gizi yang kurang atau tidak seimbang, dll. Untuk sarana
pelayanan kesehatan, antara lain menyangkut ketersediaan obat, penyuluhan
tentang penyakit dan mutu pelayanan kesehatan.
Masalah
lain yang muncul dalam pengobatan TB adalah adalah adanya resistensi dari bakteri
yang disebabkan oleh obat (multi drug resistent organism). Bakteri yang resisten terhadap
banyak obat tersebut semakin meningkat. Di Amerika tahun 1997 resistensi
terhadap INH mencapai 7,8 % dan resisten terhadap INH dan Rifampisin 1,4 %.
Secara umum angka ini di Amerika pada median 9,9 % bakteri dari penderita yang
menerima obat anti TB. Kejadian resistensi ini sudah banyak ditemukan di negara
pecahan Uni soviet, beberapa negara Asia, Republik Dominika, dan Argentina.
C.
Etiologi
Tuberkulosis
adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang
paru-paru. Mycobacterium tuberculosis termasuk basil gram positif, berbentuk
batang, dinding selnya mengandung komplek lipida-glikolipida serta lilin(wax)
yang sulit ditembus zat kimia.
Umumnya
Mycobacterium tuberculosis menyerang
paru dan sebagian kecil organ tubuh lain. Bakteri ini mempunyai sifat khusus,
yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi
dahak secara mikroskopis. Sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis cepat mati
dengan matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap
dan lembab. Dalam jaringan tubuh, bakteri dapat dormant(tertidur sampai
beberapa tahun). TB timbul berdasarkan
kemampuannya untuk memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit.
Sumber
penularan adalah penderita TB BTA positif pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan bakteri ke
udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung bakteri
dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat
terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan. Jadi
penularan TB tidak terjadi melalui perlengkapan makan,baju, dan perlengkapan
tidur.
Setelah
bakteri TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernafasan, bakteri TB tersebut
dapat menyebardari paru kebagian tubuh lainnya,melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian
tubuh lainnya. Daya penularan dari
seorang penderita ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya.
Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita
tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terdapat bakteri), maka
penderita tersebut dianggap tidak tertular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB
ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut.
D.
Patofisiologi
Secara
klinis, TB dapat terjadi melalui infeksi primer dan paska primer. Infeksi
primer terjadi saat seseorang terkena bakteri TB untuk pertama kalinya. Setelah
terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, di dalam alveoli (gelembung paru)
terjadi peradangan. Hal ini disebabkanoleh bakteri TB yang berkembang biak
dengan cara pembelahan diri di paru. Waktu
terjadinya infeksi hingga pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6
minggu.
Kelanjutan
infeksi primer tergantung dari banyaknya bakteri yang masuk dan respon daya
tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan bakteri TB dengan cara menyelubungi
bakteri dengan jaringan pengikat. Ada beberapa bakteri yang menetap sebagai
“persister” atau “dormant”, sehingga daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan
perkembangbiakan bakteri, akibatnya yang bersangkutan akan menjadi penderita TB
dalam beberapa bulan. Pada infeksi primer ini biasanya menjadi abses
(terselubung)dan berlangsung tanpa gejala, hanya batuk dan nafas berbunyi.
Tetapi pada orang-orang dengan sistem imun lemah dapat timbul radang paru
hebat, ciri-cirinya batuk kronik dan bersifat sangat menular. Masa inkubasi
sekitar 6 bulan. Infeksi paska primer terjadi setelah beberapa bulan atau tahun
setelah infeksi primer. Ciri khas TB paska primer adalah kerusakan paru yang
luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
Seseorang
yang terinfeksi bakteri TB belum tentu sakit atau tidak menularkan bakteri TB.
Proses selanjutnya ditentukan oleh berbagai faktor risiko . Kemungkinan untuk
terinfeksi TB, tergantung pada :
·
Kepadatan droplet
nuclei yang infeksius per volume udara
·
Lamanya kontak dengan
droplet nukleitsb
·
Kedekatan
denganpenderita TB
Risiko
terinfeksi TB sebagian besar adalah faktor risiko eksternal, terutama adalah
faktor lingkungan seperti rumah tak sehat, pemukiman padat & kumuh.
Sedangkan risiko menjadi sakit TB, sebagian besar adalah faktor internal dalam tubuh penderita sendiri yg disebabkan oleh
terganggunya sistem kekebalan dalam tubuh penderita seperti kurang gizi,
infeksi HIV/AIDS, pengobatan dengan immunosupresan dan lain sebagainya. Pada
penderitaTB sering terjadi komplikasi dan resistensi.
E.
Klasifikasi
Penentuan
klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis memerlukan suatu definisi
kasus yang memberikan batasan baku setiap klasifikasi dan tipe penderita.
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan untuk
menetapkan paduan OAT yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai.
Terdapat
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan klasifikasi kasus TB, yaitu :
§ Organ
tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
§ Hasil
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung:BTA positif atau BTA negatif;
§ Riwayat
pengobatan sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati;
§ Tingkat
keparahan penyakit: ringanatau berat.
Berdasarkan tempat/organ yang
diserang oleh bakteri, maka tuberkulosis dibedakan menjadi Tuberkulosis Paru
dan Tuberkulosis Ekstra Paru.
Tuberkulosis paru adalah
tuberkulosis yang menyerang jaringan parenchym paru, tidak termasuk pleura
(selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Parudibagi dalam:
1. Tuberkulosis
Paru BTA Positif.
ü Sekurang-kurangnya
2 dari 3 spesimendahak SPS hasilnya BTA positif.
ü 1
spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis aktif.
2. Tuberkulosis
Paru BTA Negatif
ü Pemeriksaan
3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada
menunjukkangambaran tuberkulosis aktif.
ü TB
Paru BTA Negatif Rontgen Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk beratbila gambaran foto
rontgen dada memperlihatkangambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses
"far advanced" atau millier), dan/atau keadaan umum penderita buruk.
Tuberkulosis Ekstra Paru adalah
tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
1. TB
Ekstra Paru Ringan
Misalnya:
TB kelenjar limphe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
2. TB
Ekstra-Paru Berat
Misalnya:
meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TB
tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.
F.
Diagnosa
Diagnosis
tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis, mikrobiologi,
radiologi, dan patologi klinik. Pada program tuberkulosis nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis
utama. Pemeriksaan lain seperti radiologi, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya. Tidak
dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga
sering terjadi overdiagnosis.
Diagnosis TB
paru pada orang dewasa yakni dilakukan dengan pemeriksaan sputum atau dahak secara
mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya 2 dari 3
spesimen SPS BTA hasilnya positif. Apabila hanya 1 spesimen yang positif maka
perlu dilanjutkan dengan rontgen dada atau pemeriksaan SPS diulang.
Diagnosis TB
paru pada orang dewasa yakni dengan pemeriksaan sputum atau dahak secara
mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya 2 dari 3
spesimen SPS BTA hasilnya positif. Apabila hanya 1 spesimen yang positif maka
perlu dilanjutkan dengan rontgen dada atau pemeriksaan SPS diulang.
Pada orang
dewasa, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam diagnosis, hal ini disebabkan
suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah
terpapar dengan Mycobacterium tubeculosis. Selain itu, hasil uji tuberkulin
dapat negatif meskipun orang tersebut menderita TB. Sementara diagnosis TB ekstra paru,
tergantung pada organ yang terkena. Misalnya nyeri dada terdapat pada TB pleura
(pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan
pembengkakan tulang belakang pada Sponsdilitis TB. Seorang penderita TB ekstra
paru kemungkinan besar juga menderita TB paru, oleh karena itu perlu dilakukan
pemeriksaan dahak dan foto rontgen dada (PDPI, 2006).
Pada anak-anak permulaan tuberkulosis primer biasanya sukar diketahui
secara klinis karena penyakit mulai secara perlahan – lahan. Kadang – kadang
tuberkulosa ditemukan pada anak – anak tanpa keluhan atau gejala – gejala
tuberkulosis primer, dapat juga hanya panas yang naik turun selama 1 – 2 minggu
dengan atau tanpa batuk pilek. Gambaran klinis tuberkulosis primer lain ialah
panas atau demam biasanya pagi hari, malese, keringat malam, dispneu ringan,
batuk purulent produktif kadang disertai nyeri dada lebih dari tiga minggu
sering dijumpai pada infeksi aktif, anoreksia dan berat badan yang menurun,
kadang – kadang dijumpai panas yang menyerupai tifus abdominalis atau malaria
yang disertai atau tanpa hepatosplenomegali. Oleh karena itu bila dijumpai
panas seperti tifus abdominalis pada bayi atau anak kecil, harus dipikirkan
juga kemungkinan tuberkulosis sebagai penyebab panas tersebut. Selain itu bila
didapatkan riwayat kontak erat dengan penderita.
a. Gejala klinik
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat) (PDPI, 2006) :
·
Gejala
respiratorik meliputi batuk lebih dari 2 minggu, batuk darah, nyeri dada dan
sesak nafas.
·
Gejala
sistemik meliputi demam, keringat malam, berat badan menurun
·
Gejala
tuberkolosis paru yaitu keadaan limfadenitis tuberkulosis akan terjadi
pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada
meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada
pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada
sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
b.
Pemeriksaan
jasmani
Pada
tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada permulaan (awal) perkembangan
penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta
daerah apeks lobus inferior (S6). Pada
pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik,
suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan
mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung
dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar
getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis
tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat
menjadi “cold abscess” (PDPI, 2006).
Gambar. Pemeriksaan
Jasmani (PDPI, 2006).
c. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan
standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral,
top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat
memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai
lesi TB aktif :
(a)
(b)
Gambar. Perbedaan hasil
rontagen (a) paru normal (b) paru positif TB(PDPI, 2006).
Keterangan kelainan rontgen TB paru
Gambaran TB aktif :
-
Kavitas, terutama lebih dari satu,
dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular.
-
Bercak milier
Efusi gambaran
TB inaktif :
- Fibrotik
pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
- Kalsifikasi
atau fibrotik
- Fibrothorak
dan atau penebalan pleura/Schwarte
d.
Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi
Untuk mengetahui secra pasti maka dilakukan
beberapa pemeriksaan yang meliputi:
1. Uji Tuberkulin
Perkembangan
hipersensitivitas tipe lambat pada kebanyakan individu yang terinfeksi dengan
basil tuberculosis membuat uji tuberculin sangat dibutuhkan.
Pemeriksaan ini merupakan alat diagnosis yang penting
dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis. Uji multi punksi tidak seakurat uji
Mantoux karena dosis antigen tuberculin yang dimasukkan ke dalam kulit tidak
dapat di control.Uji tuberkulin lebih penting lagi artinya pada anak kecil bila
diketahui adanya konvensi dari negatif. Pada anak dibawah umur 5tahun dengan
uji tuberkulin positif, proses tuberkulosis biasanya masih aktif meskipun tidak
menunjukkan kelainan klinis dan radiologis.Ada beberapa cara melakukan uji
tuberkulin yaitu dengan cara mono dengan salep, dengan goresan disebut patch
test cara von pirquet, cara mantoux dengan menyuntikan intrakutan dan multiple
puncture metode dengan 4 – 6 jarum berdasarkan cara Heat and Tine. Uji kulit
Mantoux adalah injeksi intradermal 0.1 mL yang mengandung 5 unit tuberculin (
UT ) derivate protein yang dimurnikan ( PPD ) yang distabilkan dengan Tween
80. Sampai sekarang cara Mantoux masih
dianggap sebagai cara yang paling dapat dipertanggung jawabkan karena jumlah
tuberkulin yang dimasukkan dapat diketahuibanyaknya.
2.
Pemeriksaan
Laboratorium
·
Darah
Pemeriksaan ini
kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang – Kadang meragukan. Pada saat
tuberkulosis baru dimulai ( aktif ) akan didapatkan sedikit leukosit yang
sedikit meningkat. Jumlah limfosit masih normal. Laju Endap Darah mulai
meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan laju
endap darah mulai turun kea rah normal lagi.
·
Dahak
Pemeriksaan dahak adalah penting karena dengan ditemukannya bakteri BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Pemeriksaan
dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan
menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis
dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa sewaktu-pagisewaktu (SPS).
S (sewaktu):
dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang,
suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua.
P (pagi): dahak
dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot
dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas.
S (sewaktu):
dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
G.
Komplikasi
Pada penderitaTB sering
terjadi komplikasi dan resistensi. Komplikasi berikut sering terjadi pada
penderita stadium lanjut:
1) Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang mengakibatkan
kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
2) Kolaps
dari lobus akibat retraksi bronkial
3) Bronkietaksis
(pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada
proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
4) Pneumotorak
(adanya udara didalam rongga pleura) spontan: kolaps spontan karena kerusakan
jaringan paru.
5) Penyebaran
infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.
6) Insufisiensi
Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
Penderita
yang mengalami komplikasi berat perlu
perawatan di rumah sakit. Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan
luas yang telah sembuh (BTA Negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan
ini seringkali dikelirukan dengan kasus kambuh. Padakasus seperti ini,
pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan
simtomatis. Bila perdarahan berat, penderita harus dirujuk ke unit
spesialistik. Resistensi terhadap OAT terjadi umumnya karena penggunaan OAT
yang tidak sesuai. Resistensi dapat terjadi karena penderita yang menggunakan
obat tidak sesuai atau patuh dengan jadwal atau dosisnya. Dapat pula terjadi
karena mutu obat yang dibawah standar.
Resistensi
ini menyebabkan jenis obat yang biasa dipakai sesuai pedoman pengobatan tidak
lagi dapat membunuh bakteri. Dampaknya, disamping kemungkinan terjadinya
penularan kepada orang disekitar penderita, juga memerlukan biaya yang lebih
mahal dalam pengobatan tahap berikutnya. Dalam hal inilah dituntut peran
Apoteker dalam membantu penderita untuk menjadi lebih taat dan patuh melalui
penggunaan yang tepat dan adekuat.
H.
Terapi
Pengendalian atau
penanggulangan TB yang terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi penularan
maupun infeksi. Pencegahan TB pada dasarnya adalah :
a. Mencegah
penularan bakteri dari penderita yang terinfeksi
b. Menghilangkan
atau mengurangi faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penularan.
Tindakan mencegah
terjadinya penularan dilakukan dengan berbagai cara, yang utama adalah memberikan obat anti TB yang
benar dan cukup, serta dipakai dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat.
Pencegahan
dilakukan dengan cara mengurangi atau menghilangkan faktor risiko, yakni pada
dasarnya adalah mengupayakan kesehatan perilaku dan lingkungan, antara lain
denganpengaturan rumah agar memperoleh cahaya matahari, mengurangi kepadatan
anggota keluarga, mengatur kepadatan penduduk, menghindari meludah sembarangan,
batuk sembarangan, mengkonsumsi makanan yang bergizi yangbaik dan seimbang.
Dengan
demikian salah satuupaya pencegahan adalah dengan penyuluhan. Penyuluhan TB
dilakukan berkaitan dengan masalah pengetahuan danperilaku masyarakat. Tujuan
penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peranserta
masyarakat dalam penanggulangan TB.
Terapi atau Pengobatan
penderita TB dimaksudkan untuk;
a. menyembuhkan
penderita sampai sembuh,
b. mencegah
kematian,
c. mencegah
kekambuhan, dan
d. menurunkan
tingkat penularan.
PRINSIP
PENGOBATAN
Sesuai dengan sifat
bakteri TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang
dipakai adalah :
o Menghindari
penggunaan monoterapi. Obat AntiTuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk
kombinasi daribeberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan
kategori pengobatan. Hal ini untuk
mencegah timbulnya kekebalan terhadap
OAT.
o Untuk
menjamin kepatuhan penderita dalam
menelan obat,pengobatan dilakukan dengan
pengawasan langsung (DOT =
Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan
TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap
Intensif
Pada
tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi
tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA
positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap
Lanjutan
Pada
tahap lanjutan penderita mendapat jenis obatlebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh bakteri
persister (dormant) sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan.
I.
Regimen
dosis
Penggunaan
Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibotik dan anti infeksi
sintetisuntuk membunuh bakteri Mycobacterium. Aktifitas obat TB didasarkan atas
tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan
mencegah resistensi. Obat yangumum dipakai adalah Isoniazid, Etambutol,
Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut sebagai
obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal membunuh
bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin. Rifampisin dan
pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. Sedangkan obat lain yang
juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin,
Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin. Natrium Para Amino
Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin umumnya mempunyai
efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat primersudah
resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai alternatif untuk
Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB.
Rejimen
pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap dan lama
pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi OAT
dengan dosis tetap. Contoh : 2HRZE/4H3R3 atau 2HRZES/5HRE Kode huruf tersebut
adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni :
H = Isoniazid
R = Rifampisin
Z = Pirazinamid
E = Etambutol
S = Streptomisin
Sedangkan
angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau frekwensi. Angka 2 didepan
seperti pada “2HRZE”, artinya digunakan selama 2 bulan, tiap hari satu
kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka dibelakanghuruf, seperti pada “4H3R3”
artinya dipakai 3 kali seminggu ( selama 4 bulan).
Sebagai
contoh, untuk TB kategori I dipakai 2HRZE/4H3R3, artinya : Tahap awal/intensif
adalah2HRZE : Lama pengobatan 2 bulan, masing masing OAT (HRZE) diberikan
setiap hari.
Tahap
lanjutan adalah 4H3R3 : Lama pengobatan 4 bulan, masing masing OAT (HR)
diberikan 3 kali seminggu.
Tabel 1. Paduan pengobatan standar yang
direkomendasikan oleh WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis
and Lung Disease)
Paduan
OAT Yang Digunakan Di Indonesia
Paduan pengobatan yang digunakan oleh
Program Nasional Penanggulangan
TB oleh Pemerintah Indonesia :
• Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3.
• Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3.
• Kategori 3 : 2 HRZ/4H3R3.
• Disamping ketiga kategori ini,
disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
Paduan OAT ini
disediakan dalam bentukpaket kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian
obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. 1 paket
untuk 1 penderitadalam 1 masa pengobatan.
Obat
Paket Tuberkulosis ini disediakan secara gratis melalui Institusi pelayanan
kesehatan milik pemerintah, terutama melalui Puskesmas, Balai Pengobatan TB
paru, Rumah Sakit Umum dan Dokter Praktek Swasta yang telah bekerja sama dengan
Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular Langsung, Depkes RI.
KATEGORI-1
(2HRZE/4H3R3)
Tahap
intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian
diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam
seminggu selama 4 bulan.
Obat
ini diberikan untuk:
§ Penderita
baru TB Paru BTA Positif.
§ Penderita
baru TB Paru BTA negatif Röntgen Positif yang “sakit berat”
§ Penderita
TB Ekstra Paru berat
Tabel 2. Paduan OAT
Kategori 1 dalam paket kombipak untuk penderita dengan berat badan antara 33 –
50 kg
Catatan
: *) 1 bulan = 28 blister (dosis) harian
Satu paket kombipak
kategori 1 berisi 104 blister harian yang terdiri dari 56 blister HRZE
untuk tahap intensif,
dan 48 blister HR untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil
dan disatukan dalam 1 dos besar.
KATEGORI
-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif
diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES setiap hari.
Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan
tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yangdiberikan tiga kali dalam
seminggu.
Obat ini diberikan
untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya pernah diobati, yaitu:
§ Penderita
kambuh (relaps)
§ Penderitagagal
(failure)
§ Penderita
dengan pengobatan setelah lalai (after default).
Tabel 3. Paduan OAT
Kategori 2 dalam paket kombipak untuk penderita dengan berat badan antara 33 –
50 kg
Catatan :
Satu paket kombipak
kategori 2 berisi 144 blister harian yang terdiri dari 84 blister HRZE untuk
tahap intensif, dan 60 blister HRE untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas
dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar. Disamping itu, disediakan 28
vial Streptomicin @ 1,5 gr dan pelengkap pengobatan (60 spuit dan aquabidest)
untuk tahap intensif.
KATEGORI-3
(2HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri
dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan
tahaplanjutan terdiri dariHR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu. Obat ini
diberikan untuk:
•
Penderita baru BTA
negatif dan röntgen positif sakit ringan,
•
Penderita TB ekstra
paru ringan.
Tabel 4. Paduan OAT
Kategori 3 dalam paket kombipak Untuk penderita dengan berat badan antara 33 –
55 kg
Catatan
: *) 1 bulan = 28 blister (dosis) harian
Satu paket kombipak
kategori 3 berisi 104 blister harian yang terdiri dari 56 blister HRZ untuk
tahap intensif, dan 50 blister HR untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas
dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar
Pengobatan
TB Pada Anak
Prinsip dasar
pengobatan TB pada anak tidak berbeda dengan pada orang dewasa, tetapi ada beberapa hal yang
memerlukan perhatian:
1. Pemberian
obat baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan diberikan setiap hari.
2. Dosis
obat harus disesuaikan dengan berat badan anak
Susunan paduan obat TB
anak adalah 2HRZ/4HR:
Tahap intensif terdiri
dari Isoniazid (H), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z) selama 2 bulan diberikan
setiap hari (2HRZ). Tahap lanjutan terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin
(R) selama 4 bulan diberikan setiap hari (4HR).
Tabel.
5 Jenis dan dosis obat TB anak, berdasarkan rekomendasi IDAI
Catatan : Penderita
yang berat badannya kurang dari 5 kg harus dirujuk ke Dokter Ahli Pemantauan
kemajuan pengobatan pada anak dapat dilihat antara lain dengan terjadinya
perbaikan klinis, naiknya berat badan, dan anak menjadi lebih aktif dibanding
dengan sebelum pengobatan.
Berbagai paparan diatas menjelaskan berbagai rangkaian regimen
dosis terapi TB. Disamping paparan tersebut, saat ini tersedia juga obat TB
yang disebut Fix Dose Combination(FDC). Obat ini pada dasarnya sama dengan obat
kompipak, yaitu rejimen dalam bentuk kombinasi, namun didalam tablet yang ada
sudah berisi 2, 3 atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan. WHO sangat
menganjurkan pemakaian OAT-FDC karena beberapa keunggulan dan keuntungannya
dibandingkan dengan OAT dalam bentuk kombipak apalagi
dalam bentuk lepas.
DAFTAR
PUSTAKA
Depkes
RI, 2006, Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis, Cetakan ke-10, Jakarta.
Depkes
RI, 2004, Survei Prevalensi Tuberkulosis
di Indonesia, Jakarta; ISBN979-8270-46-0.
Sjamsuhidajat, R., Jong, W. 2005, Buku-Ajar Ilmu
Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC
PDPI
(Perhimpunan Dokter Paru Indoneia). 2006. Tuberkulosis.
Jakarta : IDI Pres Jakarta, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar