Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 Juli 2014

MODEL MOLEKULER DARI INTERAKSI OBAT-RESEPTOR
Secara khusus interaksi antar obat-reseptor berasal dari kinetika aksi massa yang digambarkan oleh persamaan J Clark yang membentuk teori kerangka reseptor. Kemampuan obat untuk menghasilkan respon fisiologis yang digambarkan oleh kontanta teori yang diperkenalkan oleh Ariens dan kemudian oleh Stephenson. Persamaan dihasilkan membentuk dasar teori pendudukan. Dari kajian-kajian elektropsikologi pada kanal ion, terjadi perubahan dari reseptor yang dikenal dengan two state teory. Teori ini menjelaskan reseptor yang bisa membentuk spesies heterotrimetic dalam membrane biologis sehingga terjadi pengembangan model-model matematika yang lebih spesifik tentang mekanisme reseptor.

A.    TEORI RESEPTOR
Konsep reseptor telah tersirat sepanjang sejarah. Pada tahun 1685, Robert Boyle mengusulkan bahwa untuk bagian tubuh yang berbeda memiliki tekstur yang berbeda pula, sehingga ikatan substansinya pun akan berbeda; gagasan tersebut menjadi dasar timbulnya interaksi obat-reseptor.
Pada tahun 1987, seorang mahasiswa di Cambridge yang bernama Langley menerangkan antagonis pilokarpin oleh atropin. Dalam makalah yang dipublikasikan pada 1878, Langley membayangkan konsep reseptor “....terdapat satu atau beberapa bahan pada ujung saraf atau kelenjar sel dimana atropin dan pilokarpin mampu membentuk suatu campuran”. 
Pada tahun yang sama, Paul Ehrlich telah lulus dari Universitas Leipzig dan dalam tesisnya mengenai pewarnaan jaringan tubuh dia menyarankan bahwa warna adalah hasil dari interaksi kimia diantara dua komponen. Dalam pekerjaannya tentang immunisasi “penerimaan rantai samping”, dimana Ehrlich telah membaca hasil penelitian Emil Fischer yang telah merumuskan teori aksi enzim sehingga dia mengusulkan bahwa rantai samping berinteraksi dengan toksin seperti kunci dan anak kunci. Gagasan ini menjadi petunjuk pada pekerjaan besarnya dalam bidang kemoterapi.
Mahasiswa Universitas Cambridge A.J.Clark, merupakan orang pertama yang mengaplikasikan dasar-dasar matematika pada teori reseptor obat. Beliau telah mempelajari efek asetilkolin pada berbagai macam jaringan yang telah diisolasi dan menuliskan hubungan antara konsentrasi obat dan respon yang berhubungan erat dengan persamaan berikut:
K.x = y/(100-y)   [1]

Dimana x adalah konsentrasi obat dan y adalah persentase respon maksimal dari obat.
Pada tahun 1937, Clark mempublikasikan sebuah buku yang berisi teori interaksi obat dan reseptor. Akan tetapi masalah utama pada waktu ini adalah kurangnya pengetahuan mengenai hubungan antara kedudukan reseptor dan respon jaringan, sehingga Clark membuat asumsi sederhana dalam bukunya tersebut, yaitu:
·      Respon maksimal suatu obat (Em) merupakan respon maksimal pada jaringan
·      Respon jaringan fraksional (EA/Em) sebanding dengan kedudukan reseptor fraksional ([A.R]/[Rt])
Di bawah ini merupakan persamaan yang menggambarkan respon suatu obat A dalam jaringan yang dijelaskan oleh Clark:

 =  =    
Dimana KA adalah konstanta disosiasi kompleks obat-reseptor. Clark menyadari bahwa hubungan antara kedudukan reseptor oleh obat dan respon tidak selalu linear, maka keadaan yang digambarkan pada Persamaan tersebut sangatlah terbatas.
Konsep Langley dan Ehrlich dan juga gagasan Clark tergantikan dengan konsep pengujian biologis (bioassay), yaitu pengukuran secara kuantitatif dari efek obat dalam sistem biologis yang utuh. Konsep bioassay ini dipelopori oleh Sir John Gaddum, Sir Hanry Dale dan Harold Bum.
Prasyarat utama pada pengujian biologis adalah sistem pengukuran yang stabil. Alat utama untuk farmakologi kuantitatif adalah isolasi jaringan, Skema sistem pengujian fungsi organ melalui isolasi jaringan dapat dilihat pada Gambar 1. Jaringan ditempatkan dalam heated organ bath, dan fungsi organ (seperti kontraksi) direkam pada alat yang sederhana yang disebut kymograph yang terdiri dari pengungkit dimana ujung yang satu terikat pada jaringan dan yang lain pada pen yang dipres pada smoke rotating drum dengan gravitasi. Jika jaringan berkontraksi, secara spontan atau karena respon obat, pengungkit tertarik ke atas dan hasilnya tercatat. Bioassay memungkinkan ahli farmakologi untuk melakukan studi tentang efek dari perubahan struktur kimia dari aktifitas biologi. Hal ini penting untuk rekonstruksi dari teori reseptor untuk mengakomodasi interaksi obat dengan reseptor. Dengan melihat sejumlah efek obat menggunakan bioassay, ahli farmakologi memulai dialog dengan ahli kimia medisinal untuk memperbaiki aktivitas dari bahan aktif biologi yang telah diketahui sehingga ilmu pencarian obat pun lahir. Salah satu contoh hubungan struktur dan aktivitas farmakologis diperlihatkan pada Gambar 2.


Gambar 1. Skema menggambarkan sistem pencucian organ untuk isolasi jaringan. Jaringan dicuci dalam heated phisiologic fluid yang mengandung nutrien dan oksigen pada pH yang disyaratkan. Kontraksi dan relaksasi dari jaringan direkam pada alat kymograph.


Gambar 2. Hubungan struktur dan aktivitas ketokolamin yang menghasilkan relaksasi pada trachea tikus. Dapat dilihat dari gambar bahwa perbedaan substituen R pada gugus amino menghasilkan peningkatan bronkodilasi

Selanjutnya E.J Ariens memperkenalkan faktor proporsionalitas, dimana konstanta ini digunakan untuk memperhitungkan fakta bahwa beberapa agonis menghasilkan respon maksimal yang berada di bawah respons maksimum agonis lainnya. Ia menyebut konstanta proporsionalitas sebagai aktivitas intrinsik (ditunjukkan α), pencantuman istilah ini memberikan persamaan bahwa efek suatu obat memenuhi persamaan berikut:

 =  =    [4]
Skala untuk α adalah satuan unit, dimana nilai 1 untuk agonis penuh dan 0 untuk antagonis yang tidak menghasilkan respon jaringan secara langsung. Bila nilai α adalah 0,4 berarti bahwa agonis dapat menghasilkan 40% dari respon maksimal jaringan (agonis parsial).
Seorang ahli farmakologis Inggris, R.P. Stephenson memperkenalkan istilah stimulus dan mengusulkan bahwa obat yang dihasilkan oleh stimulus/rangsangan sesuai dengan persamaan berikut:

Dimana e merupakan konstanta proporsional yang disebut efficacy. Kekuatan pendekatan ini terjadi pada respon jaringan, sparameter eksperimental yang diobservasi menjelaskan suatu fungsi monotonik pada stimulus:
Fungsi monotonik yang diberi nama hubungan stimulus respon. Ini sangat penting dalam perkembangan farmakologi reseptor sebagai dasar kerja reseptor (aktivasi reseptor) yang dipisahkan dari kerja jaringan dalam aktifitas fisiologis. Gambar 3, menggambarkan kedudukan reseptor suatu obat dapat didefenisikan pada sumbu absis pada kurva hubungan stimulus dan respon, dan proses tersebut dikontrol oleh jumlah respon jaringan yang diperoleh dari tingkat kedudukan reseptor. Pemisahan ikatan obat reseptor dan hasil respon fisiologis menjadi dasar untuk perkembangan konsep teori reseptor.
Gambar 3. Hubungan kedudukan reseptor dan respon jaringan yang didefenisikan oleh Stephenson. Pendudukan reseptor oleh agonis menghasilkan sejumlah stimulus.

B. TWO STATE TEORY
Two state teory adalah model sederhana untuk dapat mendeskripsikan interaksi antara obat dengan reseptornya. Teori tersebut menggunakan tetapan disosiasi untuk menjelaskan hubungan antara ligan dengan reseptor. Terikatnya ligan menghasilkan perubahan bentuk reseptor dari inaktif menjadi aktif berdasarkan konformasinya. Reseptor yang aktif tersebut pada akhirnya akan menghasilkan respon biologis.
Dua ide utama yang merevolusi teori reseptor terjadi pada tahun setelah Stephenson menyajikan tentang efikasi dan stimulus. Gagasan pertama datang dari studi tentang kanal ion. Pada dasarnya kanal ion adalah suatu protein membran yang terdapat pada lapisan lipid membran sel. Ia terdiri dari beberapa sub-unit protein yang tersusun membentuk porus. Kanal ion umumnya bersifat spesifik terhadap ion tertentu, artinya hanya dapat dilewati atau memiliki afinitas terhadap ion-ion tertentu saja, seperti kanal ion K+ atau kanal ion Na+. Namun demikian ada juga beberapa kanal ion yang memiliki afinitas terhadap lebih dari satu ion. Pembukaan dan penutupan kanal ion dapat diatur oleh suatu senyawa kimia, sinyal elektrik, atau kekuatan mekanik, tergantung pada jenis kanalnya. Dengan mengatur dan mengontrol aliran ion, kanal ion dapat menjaga muatan negatif yang dimiliki oleh sel pada kondisi istirahat.
Teori two-state penting untuk memahami fungsi reseptor, karena menawarkan mekanisme molekuler dan mekanisme kimia untuk obat yang secara aktif mengubah sistem fisiologis. Obat yang memiliki afinitas yang berbeda untuk dua konformasi protein dapat mengubah proporsi relatif protein ini dalam sistem.
Gambar 4. Teori two state. A. Diagram skematik yang menggambarkan reseptor dalam dua keadaan konformasi yakni aktif (Ra) dan inaktif (Ri) berdasarkan interaksinya dengan protein membran lain. B. Interaksi obat A dalam sistem reseptor two-state. Afinitas dari A dalam keadaan inaktif adalah K. Afinitas untuk keadaan aktif dipengaruhi oleh faktor α.
Gagasan besar kedua yang mengubah teori reseptor adalah bahwa beberapa reseptor pada membran mentranslokasi dalam ruang membran dua dimensi dan berinteraksi dengan ikatan membran protein lainnya untuk memulai terjadinya fungsi fisiologis. Ide ini, pertama kali diusulkan oleh Pedro Cuatrecasas, dimana menggambarkan model heterotrimerik kerja obat yang terdiri dari obat, reseptor, dan ikatan membran protein kopling yang berkaitan dengan derajat yang berbeda pada pengikatan obat
Sistem heterotrimerik yang paling umum adalah reseptor 7-transmembran (7TM). Model reseptor 7-transmembran, yang merupakan suatu model kompleks, menguraikan kesetimbangan dinamis antara reseptor dan protein yang terikat membran yang disebut G-protein, yang digunakan untuk mengaktifkan efektor berbagai sel .
Reseptor yang terikat protein G merupakan family terbesar dari reseptor membran sel. Reseptor ini menjadi mediator dari respon seluler berbagai molekul, seperti ; hormon, neurotransmitter, mediator lokal, dll. Reseptor terikat protein G merupakan suatu rantai polipeptida tunggal, yang keluar masuk sel hingga 7 kali, sehingga dikatakan memiliki 7-transmembran .
G-protein itu sendiri merupakan protein heterotrimerik yang memiliki aktivitas enzim intrinsik untuk degradasi guanosin trifosfat dan yang juga dapat memisahkan pada saat aktivasi oleh reseptor. Subunit yang dipisahkan bermigrasi ke efektor seperti enzim adenilat siklase atau berbagai kanal ion untuk menginduksi respon sel. Hal ini menjelaskan bahwa respon fisiologis berasal dari aktivasi protein G-reseptor, bukan RaG atau A Ra G. A Ra G adalah kompleks terner antara reseptor, obat, dan G-protein --- maka dinamakan model kompleks terner .
Konsep kompleks terner dapat digeneralisasi untuk pembentukan reseptor heterotrimetrik, yang terdiri dari obat, reseptor, dan protein lain yang spesifik untuk reseptor. Dalam semua kasus, gagasan tentang jenis terner sangat memudahkan selektivitas dimana sel dapat memilih sinyal yang masuk dan merupakan metode yang baik untuk amplifikasi.

B.     Model Matematika Teori Reseptor

1. Dasar-Dasar Pemodelan Matematis Sistem Reseptor Secara Umum
Salah satu cara untuk memahami kinerja suatu sistem yang kompleks adalah dengan membuat model matematisnya. Terdapat aspek-aspek tertentu dari model ini yang bisa digunakan untuk sistem yang sederhana maupun kompleks. Sebagai contoh, model sederhana dari kompleks terner untuk reseptor 7TM bisa dituliskan sebagai A. R
Ketika persamaan di atas terus diturunkan maka akan diperoleh persamaan baru dimana 1/K1 dinotasikan sebagai KA dan merupakan skala untuk konsentrasi obat yang menghasilkan efek (yaitu ketika [A]/KA = 1, dimana obat terdapat pada reseptor pada suatu konsentrasi dimana obat terikat pada setengah populasi dari reseptor). Pada kondisi ini, maka diperoleh persamaan berikut:
Pada Gambar 5, ditunjukkan produksi kompleks terner ,A R G- yang dinyatakan sebagai fraksi dari [R] berdasarkan persamaan di atas dan efek dari perbedaan konsentrasi [G] pada sistem reseptor. Dari gambar dapat dilihat bahwa peningkatan jumlah G akan membuat sistem menjadi lebih sensitif terhadap agonis.
Gambar 5. (A) Kurva dosis-respon yang dibuat berdasarkan Persamaan 15 untuk aktivasi reseptor oleh agonis dengan adanya variasi konsentrasi dari protein G. Reseptor, agonis, dan protein G membentuk kompleks terner. (B) Efek dari kuantitas/jumlah dari protein G pada afinitas yang terobservasi dari agonis pada sistem (atau dapat juga dinyatakan sebagai sensitivitas yang terobservasi dari sistem terhadap agonis). Apabila rasio protein G dengan reseptor meningkat, maka potensi agonis juga meningkat.

Teknik atau metode lainnya dalam membuat model matematis sistem reseptor adalah identifikasi ekuivalen. Sebagai contoh, adsorpsi isoterm Langmuir seperti terlihat pada Persamaan memiliki karakteristik asymptote maksimal yang dinotasikan dengan M dan sensitivitas yang dinotasikan dengan KA.
3.16
 
Notasi KA menyatakan lokasi kurva dosis-respon sepanjang sumbu konsentrasi dan juga potensi obat serta sensitivitas sistem. Dengan menggunakan analogi untuk Persamaan 15, maka akan menghasilkan faktor sensitivitas (dinotasikan sebagai Kobs):
Semakin tinggi konsentrasi dari protein coupling sekunder ([G]), maka proses terjadinya ikatan semakin cepat, yang pada akhirnya akan mempercepat reaksi antara obat dengan reseptor. Dengan kata lain, semakin kecil nilai KG, maka rangsangan dari coupling sekunder akan semakin besar dan menyebabkan peningkatan potensi dari obat A. Hal ini terlihat pada kurva dosis-respon pada Gambar 5 (A). Efek dari [G]/KG pada potensi obat A terlihat pada Gambar 5 (B).
2. Keberbalikan Mikroskopik
Konsep lain yang sangat bermanfaat dalam merancang model reseptor adalah keberbalikan (reversibilitas) mikroskopik. Secara umum, konsep ini mengacu pada fakta bahwa jalur berbeda menuju spesi tertentu seharusnya memiliki nilai energi yang sama. Konsep ini diperkenalkan oleh Jeffries Wyman pada tahun 1975 dalam paper yang berjudul The Turning Wheel: A study in steady states. Ketika suatu sistem berada dalam kesetimbangan termodinamik, prinsip dari kesetimbangan mikroskopik menyatakan bahwa kecepatan ke arah maju dan ke arah mundur untuk setiap tahapan elementer atau dasar haruslah sama
Contoh untuk kasus transisi sederhana satu tahap yang diilustrasikan pada Gambar 6, menunjukkan bahwa M.a21 = ML.a12 dan ML.a32 = MLQ.a23.
Gambar 6. Empat bentuk yang mungkin dari interaksi suatu makromolekul (M) dengan dua ligan (L dan Q) yang masing-masing hanya mempunyai situs pengikatan tunggal dengan M
Kemudian, dapat ditarik kesimpulan bahwa a41 a34 a23 a12 = a21 a32 a43 a14 dan karena aktivitas ligan pada arah yang berlawanan saling membatalkan, k1k2k3k4 = k-1k-2k-3k-4. Secara general, produk atau perkalian dari beberapa nilai k atau nilai a dengan mengikuti jalur yang searah dengan jarum jam haruslah sama dengan perkalian nilai-nilai k atau a yang mengikuti jalur yang berlawanan dengan arah jarum jam. Ilustrasi di atas yang menggambarkan terdapat satu situs dari makromolekul M berinteraksi dengan sejumlah ligan (L dan Q) dapat digantikan dengan keadaan di mana terdapat satu ligan yang berinteraksi dengan sejumlah tertentu situs pengikatan. Konsep keberbalikan mikroskopis dapat diterapkan untuk kedua keadaan tersebut. Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah pada ilustrasi ini, terdapat bentuk MLQ yang tidak mungkin ada, untuk menjelaskan prinsip adanya kompetisi antara dua atau lebih ligan (dalam ilustrasi ini adalah L dan Q) untuk situs pengikatan yang sama.
Pada Gambar 7, diilustrasikan penerapan konsep keberbalikan mikroskopik pada model dua keadaan reseptor (two-state receptor model) di mana kedua konformasi reseptor dapat berinteraksi dengan ligan (molekul obat) A.
Gambar 7. Skema ini menunjukkan penerapan konsep keberbalikan mikroskopis pada model dua keadaan reseptor (two state receptor model)

Berdasarkan konsep keberbalikan mikroskopik, dapat dinyatakan besarnya energi bebas untuk pengikatan ligan (molekul obat) A terhadap bentuk konformasi reseptor yang teraktivasi (Ra) sebagai berikut :
ΔFARa = ΔF1 - ΔF1, 2 = ΔF2 - ΔF2, 1                                                   (3.18)
di mana :
ΔFi = energi bebas pengikatan ligan A terhadap reseptor terinaktivasi (RI)
ΔF1,2 = energi bebas pengikatan ligan A terhadap reseptor teraktivasi (Ra)
ΔF2 = energi bebas konversi Ri menjadi Ra
ΔF2,1 = energi bebas konversi ARi menjadi ARa
Faktor penggandengan (coupling) untuk pengaruh ligan A terhadap konversi dari Ri menjadi Ra dapat dinyatakan sebagai:
α =                                           (3.19)
Proses dari Ri menjadi ARa (lihat Gambar 7 bagian A) dapat melalui tahapan konversi dari konformasi Ri menjadi konformasi Ra dengan konstanta reaksi bernilai L, serta tahap pengikatan ligan A oleh Ra menghasilkan kompleks ARa dengan konstanta reaksi bernilai αK. Dengan demikian, keseluruhan proses dari Ri menjadi ARa melalui tahapan ini memiliki kontanta reaksi (Kreaksi) sebesar KαL.
Selain itu, proses dari Ri menjadi ARa juga dapat melalui tahapan pengikatan ligan A oleh Ri mejadi ARi dengan nilai konstanta reaksi sebesar K, serta tahap konversi dari ARi menjadi ARa dengan kosntanta reaksi sebesar X. Dengan demikian, keseluruhan proses dari Ri menjadi ARa melalui tahapan ini memiliki kontanta reaksi (K„reaksi) sebesar KX. Pada kondisi kesetimbangan, besarnya konstanta reaksi proses dari Ri menjadi ARa akan sama besar tidak peduli jalur tahapan reaksi manakah yang terjadi. Oleh karena itu, pada kondisi kesetimbangan, Kreaksi K‟reaksi, sehingga X αL.
Terdapat parameter lain yang dinyatakan sebagai p di mana p merupakan istilah untuk efek obat atau jumlah kompleks reseptor aktif yang dihasilkan oleh obat A. Parameter p dinyatakan melalui persamaan : 
Setelah diturunkan, maka akan diperoleh persamaan berikut:
Dari persamaan ini, dapat teramati bahwa konstanta kesetimbangan dari kurva dosis-respon (Kobs) adalah :
Melalui persamaaan ini, terlihat bahwa semakin besar selektivitas yang dimiliki obat terhadap konformasi reseptor yang teraktivasi (semakin besar nilai α), berarti obat tersebut semakin poten. Secara alternatif, semakin besar jumlah reseptor aktif yang berada dalam sistem (yaitu semakin kecil nilai Kact atau semakin besar nilai L), semakin tinggi potensi yang dimiliki obat A.

D. Model KompleksTerner dari Reseptor 7-TM
20140502_061945Sejumlah besar reseptor untuk hormon, neurotransmiter, dan autocoid berada di bagian luar membran sel dan mentransmisikan informasi dari bagian ekstraseluler ke intraseluler. Reseptor ini tersusun seperti loop yang melintasi membran sel sebanyak tujuh  kali (Gambar 7), sehingga disebut reseptor 7-TM (7-transmembran).(1) G Protein-Coupled Receptors (GPCRs) juga di sebut sebagai reseptor 7-TM atau reseptor heptaheliks. Domain terminal amino ekstraseluler berisi sisi glikosilasi potensial n-linked di reseptor. Karboksi-terminal pada ujung sitoplasmik terlibat dalam kopling ke protein-G dan memiliki sisi palmitoilasi ( residu sistein ) dan sisi fosforilasi (residu serin dan treonin), keduanya terlibat dalam proses desensitasi reseptor.




Gambar 7. Gambaran reseptor 7TM. Protein reseptor ini berfungsi sebagai penghubung komunikasi sel dengan lingkungannya. Ini terdiri dari tiga ekstraseluler dan tiga intraseluler loop protein dan melintasi membran sebanyak tujuh kali. Hormon dan bahan kimia lainnya berinteraksi dengan reseptor dari bagian ekstraseluler, dan keberadaan bahan tersebut dirasakan oleh reseptor, sehingga terjadi perubahan konformasi ke loop intraseluler dan sitoplasma sel.
Mayoritas transduksi transmembran sinyal dimediasi oleh G protein-coupled receptors (GPCRs). Selain itu, GPCRs adalah transduser sinyal utama untuk indera penglihatan dan penciuman. Berdasarkan urutan kunci tertentu, GPCRs dapat dibagi menjadi tiga subfamilies utama, reseptor yang berhubungan dengan rhodopsin (tipe A), reseptor terkait dengan reseptor kalsitonin (tipe B), dan reseptor yang terkait dengan reseptor metabotropic (tipe C). Dari jumlah tersebut, subfamili rhodopsin adalah yang terbesar dan paling banyak diteliti.
Model kompleks terner ini dikembangkan pada tahun 1980 oleh DeLean dan Leikowitz dan diteruskan 12 tahun kemudian oleh kelompok yang sama. Model ini berfungsi sebagai template untuk model reseptor pada umumnya yang memiliki dua prinsip umum yaitu adanya reseptor dalam keadaan konformasi yang berbeda dan interaksi reseptor dengan protein terikat membran lainnya melalui translokasi difusi.
Model pepanjangan dari kompleks terner juga memperhitungkan efek yang berbeda dari kelompok obat (agonis penuh, agonis parsial, antagonis netral, dan agonis terbalik) pada reseptor sinyal. Model ini mengusulkan bahwa reseptor yang ada dalam kesetimbangan dari dua negara keadaan fungsional : keadaan tidak aktif (R) dan aktif (R*). Dengan adanya agonis, tingkat aktivitas reseptor basal ditentukan oleh keseimbangan antara R dan R*. Efikasi ligan ini dianggap sebagai cerminan dari kemampuan mereka untuk mengubah keseimbangan antara dua keadaan ini. Kebanyakan sifat GPCRs dapat dijelaskan dengan model ini, beberapa penelitian menunjukkan bahwa model yang lebih kompleks mungkin diperlukan.
Versi termodinamika lengkap dari kompleks terner ditemukan oleh Weiss, Morgan, dan Lutz, yang ditunjukkan pada Gambar 8. Model ini mencakup tiga interaksi dasar:
1. Kesetimbangan dinamik antara reseptor aktif dan reseptor inaktif (I)
2. Interaksi reseptor dengan protein G (II)
3. Pengaruh ikatan obat terhadap kedua interaksi tersebut (III)
Gambar 8. Model "sistem" reseptor 7TM. Model ini menunjukkan bagaimana reseptor dapat berada dalam bentuk aktif ([Ra]) dan tidak aktif ([Ri]) serta bagaimana interaksinya dengan obat [A] (I). Reseptor juga dapat berinteraksi dengan membran terikat protein G (II), dan obat dapat mempengaruhi interaksi ini (III). Hasilnya adalah termodinamik berbentuk kubus yang dikontrol oleh sejumlah konstanta kesetimbangan.

Hal yang penting dari kompleksitas model ini yaitu menggambarkan motif umum dalam model reseptor. Secara spesifik, model dapat diklasifikasikan atas dasar kompleksitasnya (yaitu jumlah parameter yang diperlukan untuk mendefinisikan model) dan juga berdasarkan seberapa mudah parameter dapat diidentifikasi (Gambar 9).
Gambar 9. Spektrum tipe model matematis untuk sistem biologis. Sumbu dari kiri ke kanan menggambarkan kompleksitas model, dan sumbu vertikal menggambarkan kemampuan eksperimen untuk memperkirakan parameter. Oleh karena itu, model yang sangat kompleks dengan banyak parameter yang tidak dapat dengan mudah diperkirakan disebut heuristik dan deskriptif, sedangkan model sederhana dengan beberapa parameter yang dapat diperkirakan disebut parsimonious

Berdasarkan gambar tersebut diketahui ada 4 model kompleks terner, yaitu :
1. Model karikatur sistem biologis
a. Sistemnya baru sedikit yang diketahui
b. Dapat disesuaikan dengan kebutuhan
c. Sederhana dan dapat sedikit diestimasi
2. Model simulasi
a. Membutuhkan banyak parameter untuk menggambarkan situasi eksperimen
b. Masing-masing parameter dapat diestimasi
c. Dapat menggambarkan kondisi nyata

3. Model parsimonious
a. Sangat sederhana
b. Tidak dapat menggambarkan kondisi eksperimen secara lengkap
c. Asumsi tidak mampu menggambarkan mekanisme dari kondisi nyata
4. Model heuristik
a.       Model yang sangat kompleks
b.      Karena membutuhkan parameter yang sangat banyak, maka tidak mungkin memberikan simulasi data yang berarti
c.       Model ini dapat berguna untuk menentukan perilaku unik dari sistem kompleks sehingga dapat memberikan wawasan tentang kompleksitas sistem biologis
d.      Merupakan model kubik komplek terner
e.       Mampu menggambarkan fitur lain dari sistem reseptor, yaitu :
ü  Adanya variasi spesies reseptor.
ü  Reseptor membran protein kompleks yang dapat ada secara termodinamik harus diperhatikan bahwa itu berbeda dengan obat yang terikat.
ü  Kecuali α, β, dan gamma, semua sama dengan unit dalam model sebelumnya, ikatan obat dengan sistem reseptor ini akan mengubah distribusi relatif reseptor antara Ri, Ra, RiG, RaG, ARiG dan ARaG
f.       Menjadi model molekul efikasi obat yang mendefinisikan kemampuan obat untuk mengubah interaksi reseptor dengan protein lain dalam sistem reseptor.

E. Model Operasional dari Aksi Obat
Pengaplikasian mekanisme aksi obat secara teoritis dan sederhana dikembangkan oleh orang ilmuan yaitu Sir James Black dan Paul Leff, yang disebut dengan “Model Operasional”. Dalam model ini, perhitungan yang digunakan didasarkan atas apa yang ingin diobservasi dan bukan didasarkan atas apa yang dipercaya terjadi pada level molekular. Dari permodelan ini diperoleh suatu hasil perhitungan matematis dari kumpulan data pengamatan yang kemudian dapat digunakan untuk menyimpulkan mekanisme molekular yang terjadi.
Observasi awal yang dilakukan menyatakan bahwa kurva dosis terhadap respon obat menghasilkan suatu kurva yang berbentuk hiperbola. Dampak perhitungan secara matematis dari fenomena ini karena ikatan obat dengan reseptor adalah suatu proses yang menghasilkan kurva hiperbola, dan juga hubungan antara konsentrasi dari ikatan kompleks antara obat dengan reseptor terhadap respon yang dihasilkan, juga menghasilkan suatu kurva berbentuk hiperbola. Oleh sebab itu, respon terhadap obat (dinotasikan dengan Ea) dapat dibuat suatu persamaan secara umum seperti berikut ini:
dimana,
A = konsentrasi obat yang diberikan
KA = konstanta kesetimbangan dissosiasi kompleks obat- reseptor
Em = respon maksimal yang dihasilkan
Rt = konsentrasi total dari reseptor
KE = parameter operasional, menyatakan konsentrasi kompleks obat dengan reseptor yang menghasilkan setengah dari respon maksimal yang dihasilkan

Black dan Leff kemudian mengajukan suatu konstanta yang digunakan untuk menyatakan kemampuan dari agonis dan sistem yang menghasilkan respon terhadap agonis tersebut. Konstanta ini dinotasikan dengan τ yang sama dengan [Rt] / KE. Jaringan dengan nilai densitas reseptor atau mekanisme translasi yang efisien untuk konversi ikatan reseptor ke jaringan, yang tinggi (misalkan, dengan harga KE yang rendah) akan memiliki kapasitas transduksi yang tinggi untuk reseptor agonis (nilai τ yang tinggi). Hal yang sama juga terjadi pada obat yang sangat berkhasiat, akan memberikan sinyal besar untuk jaringan pada reseptor yang didudukinya dan ini akan tercermin pada harga KE yang kecil. Dengan demikian, harga KE dipengaruhi oleh jaringan dan juga efikasi dari aspek spesifik pada reseptor agonis. Berdasarkan hal tersebut maka Persamaan 28 dapat dituliskan kembali menjadi :
Hal ini menggambarkan bahwa reseptor agonis dinyatakan dalam dua fungsi hiperbola, yaitu pertama pengikatan obat terhadap reseptor dan yang kedua pengikatan dari kompleks obat dengan reseptor dengan jaringan yang menghasilkan respon stimulus yang akan diamati (Gambar 10). Penting untuk diketahui bahwa “Model Operasional” tidak membutuhkan konstanta yang khusus untuk memperkirakan efikasi dari reseptor agonis. Sebaliknya, konstanta τ menggambarkan efisiensi dengan sistem reseptor yang menguatkan stimulus dari reseptor tersebut ([Rt] dan KE) dan juga kemampuan intrinsik agonis untuk merangsang reseptor (komponen spesifik agonis dari KE).
Gambar 10. Hubungan antara pendudukan reseptor dan konsentrasi obat (bawah, log [A] dengan [AR]), antara pendudukan reseptor dan respon (kiri, [AR] dengan E) dan antara log dosis dan respon (kanan log [A] dengan E). Mengikuti model operasional dari aksi obat.
Model Operasional” juga digunakan untuk menentukan fenomena-fenomena umum yang terjadi dari suatu hasil observasi, misalkan ketika agonis kuat tidak mampu menghasilkan respon yang maksimal. Asimtot maksimal dari suatu respon obat dapat diperoleh dengan memasukkan harga [A] ke Persamaan 29. Berdasarkan hal tersebut, respon maksimal yang dapat dihasilkan oleh reseptor agonis itu adalah:
Oleh karena itu, untuk reseptor agonis dengan efikasi yang rendah (misalkan harga KE tinggi), agonis parsial akan terjadi pada beberapa jaringan (dimana [Rt] rendah) dan full agonis pada sisi jaringan yang lainnya (dimana harga [Rt] tinggi).
Sinopsis
ü  Model untuk aksi obat telah mengisyaratkan konsep reseptor selama berabad-abad. Studi awal yang dikemukakan oleh Langley dan Ehrlich mendefinisikan secara operasional reseptor dan, kemudian, Clarck mendefinisikan teori dalam istilah matematika.
ü  Ariens merupakan orang yang pertama kali dianggap berhasil. Stephenson memperkenalkan konsep stimulus-respon dan merevolusi teori reseptor yang telah ada.
ü  Two state teori juga sangat mempengaruhi teori reseptor, gagasan itu selektif mengikat obat-obatan untuk dua jenis yang mempengaruhi satu sama lain dapat menyebabkan perubahan dalam keadaan kesetimbangan stabil dari jenis yang ditawarkan secara molekular untuk suatu khasiat.
ü  Konsep reversibilitas mikroskopis dan konservasi spesies dapat digunakan untuk membangun model matematika dari setiap sistem reseptor.
Model operasional dari aksi obat dapat digunakan untuk menentukan sistem independen aksi obat yang konstan dari sistem fungsional, tanpa memerlurlukan definisi mekanisme molekuler.