Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 Juli 2014

INTERAKSI OBAT DENGAN MAKANAN DAN TANAMAN BERKHASIAT



A. PENDAHULUAN DAN DEFENISI INTERAKSI OBAT
Interaksi  obat adalah  situasi  di  mana  suatu  zat  memengaruhi  aktivitas  obat, yaitu meningkatkan atau menurunkan efeknya, atau menghasilkan efek baru yang tidak diinginkan atau direncanakan. Interaksi dapat terjadi antar-obat atau antara obat dengan  makanan serta obat-obatan  herbal.  Secara  umum,  interaksi  obat  harus  dihindari  karena  kemungkinan  hasil yang  buruk  atau  tidak  terduga.  Interaksi  obat  tidak  hanya  terjadi  antar  obat.  Namun  juga dapat terjadi  antar  obat  dengan  makanan.  Banyak  orang  yang  menganggap  remah  terhadap hal  ini  padahal,  hal  ini  sangat  perlu  diperhatikan.  Ada  obat -obat  tertentu  yang  jika berinteraksi  dengan  makanan,  akan  meningkatkan  kinerja  obat  namun  ada  juga jenis  obat yang  jika  bereaksi  dengan  makanan  tertentu  dapat  menurunkan  kerja  obat  dalam  tubuh, bahkan  dapat  meningkatkan  toksisitas  bagi  tubuh.
Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain (interaksi obat-obat) atau oleh  makanan, obat tradisional dan senyawa kimia  lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan bersama-sama.Interaksi  obat  dan  efek  samping  obat  perlu  mendapat  perhatian.  Sebuah  studi  di Amerika  menunjukkan  bahwa setiap tahun  hampir 100.000 orang harus  masuk rumah sakit atau  harus  tinggal  di  rumah  sakit  lebih  lama  dari  pada  seharusnya,  bahkan  hingga  terjadi kasus kematian  karena  interaksi dan/atau efek samping obat. Pasien  yang dirawat di rumah sakit  sering  mendapat  terapi  dengan  polifarmasi  (6-10  macam  obat)  karena  sebagai  subjek untuk  lebih  dari  satu  dokter,  sehingga  sangat  mungkin  terjadi  interaksi  obat terutama  yang dipengaruhi tingkat keparahan penyakit atau usia.
Interaksi  obat  secara  klinis  penting  bila  berakibat  peningkatan  toksisitas  dan/atau pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama bila menyangkut obat dengan batas  keamanan  yang  sempit  (indeks  terapi  yang  rendah),  misalnya  glikosida  jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Selain itu juga perlu diperhatikan obat -obat yang biasa digunakan bersama-sama.
Kejadian interaksi obat dalam klinis sukar diperkirakan karena :
a)    Dokumentasinya masih sangat kurang
b)   Seringkali lolos dari pengamatan, karena kurangnya pengetahuan akan mekanisme dan kemungkinan  terjadi  interaksi  obat.  Hal  ini  mengakibatkan  interaksi  obat  berupa peningkatan toksisitas dianggap sebagai reaksi  idiosinkrasi terhadap  salah  satu obat, sedangkan  interaksi  berupa  penurunakn  efektivitas  dianggap  diakibatkan  bertambah parahnya penyakit pasien
c)    Kejadian  atau  keparahan  interaksi  obat  dipengaruhi  oleh  variasi  individual,  di  mana populasi tertentu lebih peka misalnya pasien geriat ric atau berpenyakit parah, dan bisa juga  karena  perbedaan  kapasitas  metabolisme  antar  individu.  Selain  itu  faktor penyakit tertentu terutama gagal ginjal atau penyakit hati yang parah dan faktor -faktor lain (dosis besar, obat ditelan bersama-sama, pemberian kronik).

B. MEKANISME INTERAKSI OBAT
          Interaksi  diklasifikasikan  berdasarkan  keterlibatan  dalam  proses  farmakokinetik maupun farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik ditandai dengan perubahan kadar plasma obat,  area  di  bawah  kurva  (AUC),  onset  aksi,  waktu  paro  dsb.  Interaksi  farmakokinetik diakibatkan  oleh  perubahan  laju  atau  tingkat  absorpsi,  distribusi,  metabolisme  dan ekskresi. Interaksi  farmakodinamik  biasanya  dihubungkan  dengan  kemampuan  suatu  obat untuk  mengubah  efek  obat  lain  tanpa  mengubah  sifat-sifat  farmakokinetiknya. Interaksi farmakodinamik meliputi aditif (efek obat A =1, efek obat B = 1, efek kombinasi keduanya = 2), potensiasi (efek A = 0, efek B = 1, efek kombinasi A+B = 2), sinergisme (efek A = 1, efek B = 1, efek kombinasi A+B = 3) dan  antagonisme (efek A = 1, efek B = 1, efek kombinasi A+B = 0). Mekanisme yang terlibat dalam interaksi farmakodinamik adalah perubahan efek pada jaringan atau reseptor.
          Mekanisme interaksi obat:
1.  Interaksi Farmakokinetika
Dapat terjadi pada berbagai tahap meliputi absorbsi, distribusi, metabolisme, atau  ekskresi.
     a. Absorbsi saluran pencernaan meliputi kecepatan dan jumlah.
Dipengaruhi  oleh  formulasi  farmasetik  termasuk  bentuk  sediaan,  pKa  dan  kelarutan  obat dalam lemak disamping pH, flora bakteri, dan  aliran darah dalam organ pencernaan (meliputi usus besar, usus halus, usus 12 jari dan lambung).
Setelah obat bebas masuk ke peredaran darah, kemungkinan mengalami proses – proses sebagai berikut :
1.        Obat disimpan dalam depo jaringan.
2.        Obat terikat oleh protein plasma terutama albumin.
3.        Obat aktif yang dalam bentuk bebas berinteraksi dengan reseptor sel khas dan menimbulkan respon biologis.
4.        Obat mengalami metabolisme dengan beberapa jalur kemungkinan yaitu :
a.    Obat yang mula-mula tidak aktif, setelah mengalami metabolisme akan menghasilkan senyawa aktif, kemudian berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respon biologis ( bioaktivasi).
b.    Obat aktif akan dimetabolisis menjadi metabolit yang lebih polar dan tidak aktif, kemudian diekskresikan (bioinaktivasi).
c.    Obat aktif akan dimetabolisis menghasilkan metabolit yang bersifat toksik (biotoksifikasi).
5.    Obat dalam bentuk bebas langsung diekskresikan
b .Ikatan obat protein (pendesakan obat) meliputi obat bebas/ aktif dan obat terikat / tidak aktif.
c. Metabolisme hepatik meliputi induksi enzim (penurunan konsentrasi obat) dan inhibisi enzim (peningkatan konsentrasi obat).
d. Klirens ginjal meliputi peningkatan ekskresi (penurunan konsentrasi obat) dan penurunan ekskresi (peningkatan konsentrasi obat). Reseptor obat adalah suatu makromolekul jaringan sel hidup mengandung gugus fungsional atau atom atom terorganisasi, reaktif secara kimia dan bersifat khas, yang dapat berinteraksi secara terpulihkan dengan molekul obat yang mengandung gugus fungsional khas, menghasilkan respon biologis tertentu.
2. Interaksi Farmakodinamika
Meliputi sinergisme kerja obat, antagonisme kerja obat, efek reseptor tidak langsung, gangguan cairan dan elektrolit. Pasien yang rentan terhadap  interaksi obat :
a. Individu usia lanjut
b. Minum lebih dari 1 macam obat
c. Mempunyai gangguan fungsi ginjal dan hati
d. Mempunyai penyakit akut
e. Mempunyai penyakit yang tidak stabil
f. Memiliki karakteristik genetik tertentu
g. Ditangani lebih dari 1 dokter.
C. INTERAKSI OBAT DAN MAKANAN
            Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi interaksi obat. Pengaruh makanan terhadap kerja obat masih sangat kurang. Karena itu, pada banyak bahan obat masih belum jelas bagaimana pengaruh pemberian makanan pada saat yang sama pada kinetika obat. Pada sejumlah senyawa makanan menyebabkan peningkatan, penundaan, dan penurunan absorbsi obat (Mutschler, 1999). Makanan dapat berikatan dengan obat, sehingga mengakibatkan absorbsi obat berkurang atau lebih lambat. Sebuah contoh diskusi tentang makanan yang berikatan dengan obat adalah interaksi tetrasiklin dengan produk-produk dari susu. Akibatnya adalah penurunan konsentrasi tetrasiklin dalam plasma. Oleh karena adanya efek pengikatan ini, maka tetrasiklin harus dimakan satu jam sebelum atau 2 jam sesudah makan dan tidak boleh dimakan dengan susu (Hayes et al., 1996).
1.      Tipe interaksi antara obat dan makanan
Informasi agar pasien meminum obat dengan air putih, obat diminum sebelum atau sesudah makan merupakan hal yang penting. Informasi penting karena hubungan antara makanan dengan obat memiliki  pengaruh besar terhadap pengobatan dan pemeliharaan kesehatan. Obat dan makanan saling berinteraksi, obat dapat mempengaruhi makanan khususnya status nutrisi pasien begitupun sebaliknya makanan dapat mempengaruhi efek terapi obat pada pasien.
 Tipe interaksi antara obat dan makanan ada dua yaitu interaksi makanan terhadap obat dan interaksi obat terhadap makanan. Interaksi makanan dengan obat terjadi jika makanan berada bersama dengan obat dalam saluran pencernaan sehingga memberikan pengaruh terhadap bioavailabilitas, farmakokinetik, farmakodinamik, serta efikasi terapi obat yang digunakan. Keberadaan makanan mempengaruhi efikasi terapi karena kehadiran makanan dalam saluran cerna atau peredaran darah dapat meningkatkan atau menurunkan laju absorpsi dan metabolisme obat. Sedangkan Interaksi obat terhadap makanan terjadi karena penggunaan obat berpengaruh secara  signifikan pada metabolisme dan bioavailabilitas makanan atau nutrisi dalam tubuh dan mengubah persepsi rasa. Perubahan absorpsi dan  metabolisme makanan menyebabkan perubahan pada status  nutrisi seseorang seperti deplesi mineral, vitamin, atau gangguan berat badan. Nutrisi makanan diperlukan oleh sistem enzim untuk berfungsi  secara normal. Sistem enzim yang bekerja baik akan membantu metabolisme obat berlangsung dengan baik pula.
Interaksi makanan terhadap obat
Interaksi makanan terhadap obat terdapat pada tiga fase yaitu fase farmasetika, fase farmakokinetika dan fase farmakodinamik. Berikut ini penjelasan dari ketiga fase tersebut.
1.   Fase farmasetika (disolusi dan disintergasi obat)
Makanan menyebabkan perubahan pada pH saluran cerna yang berefek terhadap disolusi dan disintergasi obat. Tingkat keasaman juga akan berefek terhadap kelarutan dan efektivitas obat.
2.   Fase farmakokinetika
Makanan memiliki pengaruh terpenting terhadap absorpsi karena saluran pencernaan merupakan organ terpenting pada absorpsi obat. Makanan dan kandungan nutrisi di dalam saluran cerna dapat  meningkatkan atau menurunkan absorpsi dan bioavailabilitas obat karena makanan menyebabkan perubahanan derajat ionisasi, solubilitas, dan pembentukkan chelat medical. Selain itu, laju pengosongan lambung dipengaruhi  oleh komposisi makanan. Serat dan makanan kaya lemak diketahui  menurunkan laju pengosongan lambung beberapa obat seperti hidralazin  diabsorbsi secara maksimal ketika  lambung dalam keadaan kosong. Hal ini berkaitan dengan pH lambung. Sedangkan obat lain seperti l-dopa,  Penicilin-G, dan digoksin akan terdegradasi dan menjadi tidak aktif pada pH lambung  rendah dalam waktu lama
3.   Fase farmakodinamika
Mekanisme kerja obat dapat berupa aktivitas antagonis atau agonis terhadap fungsi fisiologis dan metabolik normal tubuh.  Contohnya oksidasi untuk membunuh sel tumor  berlawanan ddengan vitamin V yang bersifat antioksidan, Metotreksat mempunyai struktur yang mirip dengan asam folat sehingga pada kondisi defisiensi folat Metotreksat bersifat kompetitif dengan  protein carier folat.
Interaksi obat terhadap makanan
Obat dapat meningkatkan atau menurunkan bioavailabilitas nutrisi makanan. Perubahan status nutrisi seseorang  obat mempengaruhi intake makanan, absorpsi, metabolisme, ekskresi dari nutrisi makanan.  Beberapa nutrisi yang dapat dipengaruhi obat antara lain  folat, piridoksin, Vitamin C, Vitamin D, Vitamin A, kalsium, dan seng. Obat seperti aspirin, babiturat, primidon, etinil estradiol, sikloserin, metotreksat berpengaruh terhadap metabolisme folat fenitoin  sehingga dapat menyebabkan defisiensi folat dan anemia megaloblastik. Hal yang patut diwaspadai adalah efek perubahan nutrisi akibat penggunaan  obat pada lansia, bayi, anak-anak, wanita hamil dan menyusui .
Beberapa obat menyebabkan anoreksia atau mual muntah akibat rasa dan bau obat. Obat-obat yang mengubah persepsi rasa alopurinol, griseofulvin, amilocain, sulfasalazine, amfetamin, lidocain, nifedipin, diltiazem, ampoterisin, blitium, fenitoin, ctm, ampisilin, metil tiourasil , benzokain, kaptopril. Pada penggunaan obat yang dapat mengubah persepsi rasa perlu  dilakukan modifikasi tampilan makanan yang dikonsumsi pasien  dari segi warna dan rasa. Metilfenidat yang digunakan dalam terapi hiperaktif anak akan mempengaruhi sistem saraf perifer. Penggunaan jangka panjang obat ini dapat menghambat  pertumbuhan anak. Maka pada pasien yang menggunakan Metilfenidat diperlukan monitoring gizi.
2.      Faktor yang Mempengaruhi Interaksi Obat dengan Makanan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi interaksi obat dan makanan antara lain:
a). Pengosongan lambung
Pada  kasus  tertentu  misalnya  setelah  pemberian  laksansia  atau  penggunaan  preparat
retard, maka di  usus besarpun dapat terjadi absorpsi obat yang cukup besar. Karena besarnya peranan  usus  halus  dalam  hal  ini,  tentu  saja  cepatnya  makanan  masuk  ke  dalam  usus  akan amat mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang diabsorpsi. Peranan jenis makanan juga berpengaruh  besar  di  sini.  Jika  makanan  yang  dimakan  mengandung  komposisi  40% karbohidrat, 40% lemak dan 20% protein maka walaupun pengosongan lambung akan mulai terjadi setelah sekitar 10 menit. Proses pengosongan ini baru berakhir setelah 3 sampai 4 jam.
Dengan  ini selama 1 sampai 1,5  jam  volume  lambung tetap konstan karena  adanya prosesproses sekresi.
Tidak  saja  komposisi  makanan,  suhu  makanan  yang  dimakanpun  berpengaruh  pada kecepatan pengosongan  lambung  ini. Sebagai contoh makanan  yang amat hangat atau amat dingin  akan  memperlambat  pengosongan  lambung.  Ada  pula  peneliti  yang  menyatakan pasien yang gemuk akan mempunyai laju pengosongan lambung yang lebih lambat daripada pasien  normal.  Nyeri  yang  hebat  misalnya  migren  atau  rasa  takut,  juga  obat -obat  seperti antikolinergika  (missal  atropin,  propantelin),  antidepresiva  trisiklik  (misal  amitriptilin, imipramin) dan opioida (misal petidin,  morfin) akan  memperlambat pengosongan  lambung. Sedangkan  percepatan  pengosongan  lambung  diamati  setelah  minum  cairan  dalam  jumlah besar, jika tidur pada sisi kanan (berbaning pada sisi kiri akan mempunyai efek sebaliknya,) atau  pada  penggunaan  obat  seperti  metokiopramida  atau  khinidin.  Jelaslah  di  sini  bahwa makanan  mempengaruhi  kecepatan  pengosongan  lambung,  maka  adanya  gangguan  pada absorpsi obat karenanya tidak dapat diabaikan.
b). Komponen makanan
            Efek perubahan dalam komponen-komponen makanan :
1. Protein (daging, dan produk susu)
Sebagai  contoh,  dalam  penggunaan  Levadopa  untuk  mngendalikan  tremor  pada penderita Parkinson.  Akibatnya, kondisi yang diobati mungkin tidak terkendali dengan baik. Hindari atau makanlah sesedikit mungkin makanan berprotein tinggi (Harknoss, 1989).
            2. Lemak
Keseluruhan  dari  pengaruh  makan  lemak  pada  metabolisme  obat  adalah  bahwa  apa saja  yang  dapat  mempengaruhi  jumlah  atau  komposisi  asam  lemak  dari  fosfatidilkolin mikrosom  hati  dapat  mempengaruhi  kapasitas  hati  untuk  memetabolisasi  obat.  Kenaikan fosfatidilkolin  atau  kandungan  asam  lemak  tidak  jenuh  dari  fosfatidilkolin  cenderung meningkatkan  metabolism  obat  (Gibson,  1991).  Contohnya  :  Efek  Griseofulvin  dapat meningkat.interaksi  yang  terjadi  adalah  interaksi  yang  menguntungkan  dan  grieseofluvin sebaiknya  dimakan  pada  saat  makan  makanan  berlemak  seperti  daging  sapi,  mentega,  kue, selada ayam, dan kentang goreng (Harkness, 1989).
3. Karbohidrat
Karbohidrat  tampaknya  mempunyai  efek  sedikit  pada  metabolism  obat,  walaupun banyak  makan  glukosa,  terutama  sekali  dapat  menghambat  metabolism  barbiturate,  dan dengan  demikian  memperpanjang  waktu  tidur.  Kelebihan  glukosa  ternyata  juga mengakibatkan  berkurangnya  kandungan  sitokrom  P-450  hati  dan  memperendah  aktivitas bifenil-4-hidroksilase (Gibson, 1991). Sumber karbohidrat: roti, biscuit, kurma, jelli, dan lainlain (Harkness, 1989).
4. Vitamin
Vitamin  merupakan  bagian  penting  dari  makanan  dan  dibutuhkan  untuk  sintesis protein  dan  lemak,  keduanya  merupakan  komponen  vital  dari  system  enzim  yang memetabolisasi  obat.  Oleh  karena  itu  tidak  mengherankan  bahwa  perubahan  dalam  level vitamin, terutama defisiensi, menyebabkan perubahan dalam kapasitas memetabolisasi obat.
Contohnya :
a. Vit A dan vit B dengan antacid, menyebabkan penyerapan vitamin berkurang.
b. Vit C dengan besi, akibatnya penyerapan besi meningkat.
c. Vit D dengan fenitoin (dilantin), akibatnya efek vit D berkurang.
d. Vit E dengan besi, akibatnya aktivitas vit E menurun.(Harkness, 1989)
            5. Mineral
Mineral  merupakan  unsur  logam  dan  bukan  logam  dalam  makanan  untuk  menjaga kesehatan  yang  baik.  Unsur  –  unsure  yang  telah  terbukti  mempengaruhi  metabolisme  obat ialah:  besi,  kalium,  kalsium,  magnesium,  zink,  tembaga,  selenium,  dan  iodium.  Makanan yang  tidak  mengandung  magnesium  juga  secara  nyata  mengurangi  kandungan lisofosfatidilkolin,  suatu  efek  yang  juga  berhubungan  dengan  berkurangnya  kapasitas memetabolisme  hati.  Besi  yang  berlebih  dalam  makanan  dapat  juga  menghambat metabolisme  obat.  Kelebihan  tembaga  mempunyai  efek  yang  sama  seperti  defisiensi tembaga,  yakni  berkurangnya  kemampuan  untuk  memetabolisme  obat  dalam  beberapa  hal. Jadi  ada  level  optimum  dalam  tembaga  yang  ada  pada  makanan  untuk  memelihara metabolism obat dalam tubuh (Gibson, 1991).
            c). Ketersediaan hayati
Penggunaan  obat  bersama  makanan  tidak  hanya  dapat  menyebabkan  perlambatan absorpsi  tetapi  dapat  pula  mempengaruhi  jumlah  yang  diabsorpsi  (ketersediaan  hayati  obat bersangkutan).  Penisilamin  yang  digunakan  sebagai  basis  terapeutika  dalam  menangani reumatik,  jika  digunakan  segera  setelah  makan,  ketersediaan  hayatinya  jauh  lebih  kecil dibandingkan  jika  tablet  tersebut  digunakan  dalam  keadaan  lambung  kosong.  Ini  akibat adanya pengaruh laju pengosongan lambung terhadap absorpsi obat (Gibson, 1991).
3.      Fase-Fase Dalam Interaksi Obat dengan Makanan beserta Contoh dan Mekanisme Interaksi Obat dengan Makanan
Ada beberapa fase dalam interaksi obat dengan makanan yaitu:
a.    Fase farmasetis
Fase farmasetis  merupakan  fase awal  dari  hancur dan terdisolusinya obat.  Beberapa makanan dan nutrisi mempengaruhi hancur dan larutnya obat.  Maka dari itu, keasaman makanan dapat mengubah efektifitas dan solubilitas obat-obat tertentu. Salah satu obat yang dipengaruhi pH lambung adalah saquinavir, inhibitor protease pada perawatan HIV.
Ketersediaan hayatinya meningkat akibat solubilisasi yang diinduksi oleh perubahan pH lambung. Makanan dapat meningkatkan pH lambung, disisi lain juga dapat mencegah disolusi beberapa obat seperti isoniazid (INH).
b.    Fase farmakokinetik
Fase farmakokinetik adalah absorbsi, transport, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat. Interaksi obat dan makanan paling signifikan terlibat dalam proses absorbsi. Usus halus, organ penyerapan primer, berperan penting dalam absorbsi obat. Fungsi usus halus seperti motilitas atau afinitas obat untuk menahan sistem karier usus halus, dapat mempengaruhi kecepatan dan tingkat absorbsi obat. Makanan dan nutrien dalam makanan dapat   meningkatkan atau menurunkan absorbsi obat dan mengubah ketersediaan hayati obat.
Contoh interaksi makanan yang dapat meningkatkan interaksi obat

NO
Nama Obat
Mekanisme
Aturan minum
1
Carbamazepin
Meningkatkan produksi empedu, meningkatkan disolusi & absorbsi.
Diminum bersama makanan
2
Diazepam
Meningkatkan enterohepatik, disolusi sekunder pada sekresi asam lambung.
Tidak ada
3
Erythromycin
Tidak diketahui
Diminum saat makan
4
Griseofulvin
Obat mudah larut dalam lemak, meningkatkan absorbsi.

Diberikan dengan
makanan tinggi lemak atau disuspensi minyak jagung rendah kontraindikasi.

5
Hydrochlorothiazid (HCT)
Menunda pengosongan lambung, meningkatkan absorbsi usus halus.
Diberikan bersama makanan.
6
Phenytoin
Menunda pengosongan lambung, Meningkatkan produksi empedu, meningkatkan disolusi & absorbsi.
Diberikan pada saat makan pagi, siang dan malam.


Makanan  yang  mempengaruhi  tingkat  ionisasi  dan  solubilitas  atau reaksi pembentukan khelat, dapat mengubah absorbsi obat secara  signifikan. Misalnya pada  reaksi pembentukan khelat pada :
a.       Kombinasi tetracyclin dengan mineral divalen seperti Ca dalam susu atau antasida. Kalsium akan mempengaruhi absorbsi dari quinolon.
b.      Reaksi  antara  besi  (ferro  atau  ferri)  dengan  tetracyclin,  antibiotik  fluoroquinolon, ciprofloxacin,  ofloxacin,  lomeflox  dan  enoxacin. Maka  dari  itu,  ketersediaan  hayati ciprofloxacin dan ofloxacin turun  masing-masing 52 dan 64 % akibat adanya besi.
c.       Zink  dan  fluoroquinolon  akan  menghasilkan  senyawa  inaktif  sehingga  menurunkan absorbsi obat (b).
Kecepatan  pengosongan  lambung  secara  signifikan  mempengaruhi komposisi makanan  yang  dicerna.  Kecepatan  pengosongan  lambung  ini  dapat mengubah  ketersediaan hayati  obat.  Makanan  yang  mengandung  serat  dan  lemak tinggi  diketahui  secara  normal menunda  waktu  pengosongan  lambung.  Beberapa obat  seperti  nitrofurantoin  dan  hidralazin lebih baik diserap saat pengosongan  lambung tertunda karena tekanan pH rendah di lambung. Obat lain seperti L-dopa,Penicillin G dan digoxin, mengalami degradasi dan menjadi inaktif saat  tertekan oleh  pH  rendah  di  lambung  dalam  waktu  lama. Obat  dieliminasi  dari  tubuh tanpa  diubah  atau  sebagai  metabolit  primer  oleh  ginjal,  paru -paru,  atau  saluran gastrointestinal  melalui  empedu.  Ekskresi  obat  juga  dapat  dipengaruhi  oleh  diet  nutrien seperti protein dan serat, atau nutrien  yang mempengaruhi pH urin.
c. Fase  farmakodinamik
Fase farmakodinamik  merupakan respon fisiologis dan psikologis terhadap obat.  Mekanisme obat tergantung pada aktifitas agonis atau antagonis, yang  mana akan meningkatkan atau menghambat metabolisme normal dan fungsi  fisiologis dalam tubuh manusia. Obat dapat memproduksi efek yang diinginkan dan tidak diinginkan. Aspirin dapat menyebabkan defisiensi folat jika diberikan dalam jangka waktu lama. Methotrexat memiliki struktur yang mirip dengan folat vitamin B, hal ini dapat memperparah defisiensi folat.

           
Penelanan tablet dengan air yang cukup atau cairan lain penting untuk beberapa obat karena jika ditelan tablet tersebut cenderung merusak saluran oesophagus. Petunjuk pada pasien untuk mencegah iritasi dan atau ulcer pada oesophagus, tablet atau kapsul obat harus ditelan dengan segelas air oleh pasien dengan posisi berdiri, misalnya untuk obat-obat seperti analgesik (contohnya aspirin), NSAID (contohnya Phenylbutazone, oxyphenbutazone, indometacin), kloralhidrat, emepromium bromida, kalium klorida tetracyclin (terutamaDoxycyclin).
Obat diminum dengan atau tanpa makanan. Interaksi obat-makanan dalam saluran gastrointestinal dapat bermacam- macam dan banyak alasan mengapa makanan dapat berpengaruh pada efek obat.Contohnya obat mungkin terikat pada komponen makanan; makanan akan  mempengaruhi waktu transit obat pada usus; obat dapat menguba firstpass  metabolism obat dalam usus dan dalam hati; dan makanan dapat meningkatkan aliran
empedu yang mampu meningkatkan absorbsi beberapa obat yang larut  lemak.
            Petunjuk pada pasien untuk mencegah interaksi tersebut adalah denganmeminum obat dengan segelas air pada saat perut kosong, misalnya seperti pada obat- obat sefalosporin (kecuali sefradin), dipyridamol, erythromycin, Isoniazid  (INH), lincomycin, penicillamin, pentaerithritel tetranitrat, rifampicin, penisilin oral dan tetracyclin. Absorbsi semua penisilin oral optimal jika diminum pada saat perut kosong dengan segelas air. Pivampicillin harus diminum bersama makanan karena dapat mengiritasi lambung atau perut. Tetracyclin kadang kalamenyebabkan mual dan muntah jika diminum pada saat perut kosong. Meskipun  makanan mengurangi absorbsi tetracyclin tetapi tidak terjadi pada doxycyclin dan  minocyclin.
Adanya makanan juga dapat meningkatkan perubahan bentuk profil serum obat tanpa mengubah ketersediaan hayati obat. Hal ini terlihat pada studi sefradin,  makanan tidak memiliki efek signifikan terhadap ekskresi urin antibiotik tetapi pada nilai t-max. Beberapa obat yang diminum bersama susu atau makanan berlemak antara lain alafosfalin, griseofulvin dan vitamin Sedangkan obat yang tidak boleh diminum bersama susu antara lain bisacodyl (dulcolax), garam besi, tetracyclin (kecuali doxycyclin dan minocyclin).


·      Interaksi Obat dan Makanan yang Dapat Menurunkan Kinerja Sistem Pencernaan.
Interaksi obat dan makanan yang dapat menurunkan kinerja sistem pencernaan dapat meliputi  interaksi  obat  yang  menurunkan  nafsu  makan,  mengganggu  pengecapan  dan mengganggu traktus gastrointestinal/ saluran pencernaan.
A.  Obat dan penurunan nafsu makan
Efek  samping  obat  atau  pengaruh  obat  secara  langsung,  dapat  mempengaruhi  nafsu
makan. Kebanyakan stimulan CNS dapat mengakibatkan anorexia. Efek samping obat yang berdampak  pada  gangguan  CNS  dapat  mempengaruhi  kemampuan  dan  keinginan  untuk makan.  Obat-obatan  penekan  nafsu  makan  dapat  menyebabkan  terjadinya  penurunan  berat badan yang tidak diinginkan dan ketidakseimbangan nutrisi.
B. Obat dan perubahan pengecapan/ penciuman
Banyak  obat  yang  dapat  menyebabkan  perubahan  terhadap  kemampuan  merasakan/
dysgeusia, menurunkan ketajaman rasa/ hypodysgeusia atau membaui. Gejala-gejala tersebut dapat  mempengaruhi  intake  makanan.  Obat-obatan  yang  umum  digunakan  dan  diketahui menyebabkan  hypodysgeusia  seperti:  obat  antihipertensi  (captopril),  antriretroviral ampenavir, antineoplastik cisplastin, dan antikonvulsan phenytoin.
C. Obat dan gangguan gastrointestinal
Obat  dapat  menyebabkan  perubahan  pada  fungsi  usus  besar  dan  hal  ini  dapat
berdampak  pada  terjadinya  konstipasi  atau  diare.  Obat -obatan  narkosis  seperti  kodein  dan morfin dapat menurunkan produktivitas tonus otot halus dari dinding usus. Hal ini berdampak pada penurunan peristaltik yang menyebabkan terjadinya konstipasi.
D. Absorbsi
Obat-obatan  yang  dikenal  luas  dapat  mempengaruhi  absorbsi  zat  gizi  adalah  obat obatan  yang  memiliki  efek  merusak  terhadap  mukosa  usus.  Antineoplastik,  antiretroviral, NSAID dan sejumlah antibiotik diketahui memiliki efek tersebut. Mekanisme penghambatan absorbsi  tersebut  meliputi:  pengikatan  antara  obat  dan  zat  gizi  ( drug-nutrient  binding) contohnya  Fe,  Mg,  Zn,  dapat  berikatan  dengan  beberapa  jenis  antibiotik;    mengubah keasaman  lambung  seperti  pada  antacid  dan  antiulcer  sehingga  dapat  mengganggu penyerapan B12, folat dan besi; serta dengan cara penghambatan langsung pada metabolisme atau perpindahan saat masuk ke dinding usus. 
D. INTERAKSI OBAT DENGAN TANAMAN BERKHASIAT
            Ramuan obat trasisional yang berasal dari tumbuh-tumbuhan sudah dikenal sejak lama dan hingga kini masih terus digunakan oleh masyarakat. Dari catatan sejarah diketahui bahwa fitoterapi atau terapi menggunakan tumbuhan telah dikenal masyarakat sejak masa sebelum masehi. Hingga saat ini penggunaan tumbuhan atau bahan alam sebagai obat tersebut dikenal dengansebutan obat tradisional. Menurut defenisi Departemen Kesehatan RI yang dimaksud dengan obat tradisional adalah obat jadi atau ramuan bahan alam yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik atau campuran bahan tersebut yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.Pada kenyatannya bahan obat tradisional yang berasal dari tumbuhan porsinya lebih besar dibandingkan yang berasal dari hewan dan mineral, sehingga sebutan untuk obat tradisional hampir selalu identik dengan tanaman obat karena sebagian obat tradisional bahan bakunya berasal dari tanaman obat.
                        Obat tradisional (herbal) telah diterima secara luas di hampir seluruh Negara di dunia. Menurut World Health Organization (WHO), negara-negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan obat tradisional (herbal) sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima. Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer (WHO, 2003). Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat tradisional di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu diantaranya kanker, serta semakin luas akses informasi mengenai obat tradisional di seluruh dunia. WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk obat herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk kronis, penyakit degeneratif dan kanker. Hal ini menunjukan dukungan WHO untuk back to nature yang dalam hal yang lebih menguntungkan. Untuk meningkatkan keselektifan pengobatan dan mengurangi pengaruh musim dan tempat asal tanaman terhadap efek, serta lebih dalam memudahkan standarisasi bahan obat maka zat aktif diekstraksi lalu dimurnikan sampai diperoleh zat murni. Di Indonesia dari tahun ke tahun terjadi peningkatan produksi obat tradisional.
            Menurut data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM), sampai tahun 2007 terdapat 1.012 industri obat tradisional yang memiliki izin usaha industri yang terdiri dari 105 industri berskala besar dan 907 industri berskala kecil. Karena banyaknya variasi sediaan bahan alam, maka untuk memudahkan pengawasan dan perizinan, maka badan POM mengelompokan dalam sediaan jamu, sediaan herbal terstandar dan sediaan fitofarmaka. Persyaratan ketiga sediaan berbeda yaitu untuk jamu pemakaiannya secara empirik berdasarkan pengalaman, sediaan herbal terstandar bahan bakunya harus distandarisasi dan sudah diuji farmakologi secara eksperimental, sedangkan sediaan fitofarmaka sama dengan obat modern bahan bakunya harus distandarisasi dan harus melalui uji klinik.
            Menurut penelitian masa kini, meskipun obat-obatan tradisional yang pengolahannya masih sederhana (tradisional) dan digunakan secara turun-temurun berdasarkan resep nenek moyang adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan setempat, memang bermanfaat bagi kesehatan dan kini digencarkan penggunaannya karena lebih mudah dijangkau masyarakat, baik harga maupun ketersediaannya. Obat tradisional pada saat ini banyak digunakan karena menurut beberapa penelitian tidak terlalu menyebabkab efek samping, karena masih bisa dicerna oleh tubuh. Beberapa perusahaan mengolah obat-obatan tradisional yang dimodifikasi lebih lanjut. Bagian dari Obat tradisional yang bisa dimanfaatkan adalah akar, rimpang, batang, buah, daun dan bunga. Bentuk obat tradisional yang banyak dijual dipasar dalam bentuk kapsul, serbuk, cair, simplisia dan tablet. Khasiat alamiah dan kemurnian obat-obatan tradisional seringkali “dinodai” oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab terutama produsen obat tradisional yang hanya mencari keuntungan finansial saja tanpa memperhatikan kemurnian dan resiko dari kandungan obat tradisional. Banyak dari para produsen dengan sengaja mencampur kandungan herbal dari obat tradisional dengan obat modern yang secara kimiawi jika dosisnya tidak tepat akan berbahaya.
Tumbuhan obat merupakan salah satu ramuan paling utama produk-produk obat herbal. Tanaman obat adalah bahan yang berasal dari tanaman yang masih sederhana, murni, belum diolah. tumbuhan obat adalah: Tanaman atau bagian tumbuhan yang digunakan menjadi bahan obat tradisional atau obat herbal, bagian tanaman yang dipakai untuk bahan pemula bahan baku obat. Tanaman atau bagian tanaman yang diekstraksi dan ekstrak tumbuhan tersebut dipakai sebagai obat. Tanaman obat adalah obat tradisional yang terdiri dari tanaman-tanaman yang mempunyai khasiat untuk obat atau dipercaya mempunyai khasiat sebagai obat. Di mana khasiatnya diketahui dari hasil penelitian dan pemakaian oleh masyarakat.
Perbedaan Obat Kimiawi Dan Obat Herbal
Obat Kimiawi :
1.      Lebih diarahkan untuk menghilangkan gejala-gejalanya saja.
2.      Bersifat sympthomatis yang hanya untuk mengurangi penderitaannya saja.
3.      Bersifat paliatif artinya penyembuhan yang bersifat spekulatif, bila tepat penyakit akan sembuh, bila tidak endapan obat akan menjadi racun yang berbahaya.
4.      Lebih diutamakan untuk penyakit-penyakit yang sifatnya akut (butuh pertolongan segera) seperti asma akut, diare akut, patah tulang, infeksi akut dan lain-lain.
5.      Reaksi cepat, namun bersifat destruktif artinya melemahkan organ tubuh lain, terutama jika dipakai terus-menerus dalam jangka waktu lama.
6.      Efek samping yang bisa ditimbulkan iritasi lambung dan hati, kerusakan ginjal, mengakibatkan lemak darah.
7.      Reaksi terhadap tubuh cepat.

Obat Herbal :
1.      Diarahkan pada sumber penyebab penyakit dan perbaikan fungsi serta organ-organ yang rusak.
2.      Bersifat rekonstruktif atau memperbaiki organ dan membangun kembali organ-organ, jaringan atau sel-sel yang rusak.
3.      Bersifat kuratif artinya benar-benar menyembuhkan karena pengobatannya pada sumber penyebab penyakit.
4.      Lebih diutamakan untuk mencegah penyakit, pemulihan penyakit-penyakit komplikasi menahun, serta jenis penyakit yang memerluakan pengobatan lama.
5.      Reaksi lambat tetepi bersifat konstruktif atau memperbaiki dan membangun kembali organ-organ yang rusak. Efek samping hampir tidak ada, asalkan diramu oleh herbalis yang ahli dan berpengalaman.
Interaksi yang merugikan dari pencampuran bahan obat herbal, dari mekanisme interaksi yang terjadi.
-          Penghambatan absorbsi
Penggunaan bahan penyusun ramuan yang mengandung tanin misal teh, buah jati belanda, kayu rapat. Tanin akan bereaksi dengan protein dan membentuk senyawa yang melapisi dinding usus. Keadaan tersebut akan menghambat absorpsi kandungan zat aktif lain, misal protein, vitamin, mineral. Bahkan pada dosis besar bisa menimbulkan konstipasi atau malnutrisi.
-          Pengurangan waktu transit di usus
Penggunaan bahan penyusun ramuan yang mengandung Antrakinon atau serat larut air akan mengurangi waktu transit obat lain dalam usus. Antrakinon bersifat laksansia yaitu mempermudah pengeluaran feses. Contoh tanaman yang mengandung antrakinon adalah senna dan lidah buaya. Sedangkan serat larut air bersifat bulk laxative, yaitu juga mempercepat keluarnya feses. Tanaman yang memiliki serat larut air adalah biji daun sendok.
Jika bahan obat lain dicampur dengan tanaman di atas maka waktu transit di usus berkurang, feses cepat dikeluarkan, kesempatan absorpsi zat aktif berkurang dan efak farmakologinya akan berkurang.

Contoh Interaksi Obat Herbal-Obat Konvesional
  1. Echinacea, jika digunakan lebih dari 8 minggu dapat menyebabkan hepatotoksisitas dan karena itu tidak boleh digunakan dengan obat-obatan lain yang bersifat hepatoksik, seperti steroid anabolik (yang sering dipakai pegulat), amiodarone (obat aritmia jantung), methotrexate (antikanker), dan ketoconazole (antijamur). Namun, Echinacea tidak memiliki 1,2 jenuh cincin necrine, sehingga sifat hepatotoksik dihubungkan dengan alkaloid pyrrolizidin.
  2. Obat NSAID, dapat meniadakan kegunaan feverfew dalam pengobatan sakit kepala migrain.
  3. Feverfew, bawang putih, biloba, jahe, dan ginseng dapat mengubah waktu pendarahan dan tidak boleh digunakan bersamaan dengan natrium warfarin. Selain itu, ginseng dapat mengakibatkan sakit kepala, tremulousness, episode manic pada pasien yang diobati dengan sulfat phenelzine. Ginseng juga tidak boleh digunakan dengan estrogen atau kortikosteroid karena kemungkinan efek aditif.
  4. Karena mekanisme kerja wort St John belum pasti diketahui, penggunaan bersamaan dengan inhibitor monoamine oxidase (MAOI) dan inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI) tidak disarankan.
  5. Valerian tidak boleh digunakan bersamaan dengan obat tidur karena sedasi berlebihan dapat terjadi.
  6. Kyushin, licorice, pisang, akar uzara, hawthorn, dan ginseng dapat mengganggu digoksin.
  7. Evening primrose oil dan borage tidak boleh digunakan dengan antikonvulsan karena mereka mungkin melemahkan ambang kejang.
  8. Shankapulshpi, suatu sediaan Ayurvedic, dapat menurunkan kadar fenitoin serta mengurangi khasiat obat.
  9. Kava bila digunakan dengan alprazolam bisa mengakibatkan koma.
  10. Imunostimulan (misalnya, Echinacea dan zinc pada sediaan Imboost force) tidak harus diberikan dengan imunosupresan (misalnya, kortikosteroid dan siklosporin).
  11. Asam tannic yang ada pada beberapa tumbuhan (misalnya, wort St John dan Sawpalmetto) dapat menghambat penyerapan zat besi.
  12. Kelp sebagai sumber yodium dapat mengganggu pada terapi penggantian tiroid.
  13. Licorice dapat mengimbangi efek farmakologis dari spironolactone.
  14. Banyak jamu (misalnya, karela dan ginseng) dapat mempengaruhi tingkat glukosa darah dan tidak boleh digunakan pada pasien dengan diabetes mellitus.

Contoh lain interaksi obat konvensional dengan tanaman berkhasiat atau produk herbal
Nama Herbal
Indikasi Medis
Golongan obat konvensional yang berpotensi interaksi
Bawang putih
(Allium sativum L.)
Anti bakteri dan jamur, mempertahankan sistem imunitas, melawan infeksi oportunitis, (IO) termasuk herpes virus, sitomegalovirus, kriptosporidiosis (kripto), dan organisme mikobakteri atau kandida, mengurangi tingkat kolesterol dan trigliserid yang tinggi, mengurangi kemampuan darah untuk membeku, antihipertensi.
Saquinavir : dapat mengurangi tingkat saquinavir dalam darah rata-rata 51%, sehingga pada pengobatan HIV, potensi terjadinya resistensi terhadap obat tersebut.
Warfarin : sebaiknya dihindari oleh orang yang memakai obat antitrombosit atau anti pembeku.
Seledri
(Apium graveolens Linn, Apiaceae)
Diuretik, antihipertensi
Hidrochlorothiazide (HCT) dan furosemide : penggunaan bersama-sama dapat mengakibatkan turunnya cairan tubuh dan kadar ion tubuh sehingga menurunkan keseimbangan.
Daun senna
(Cassia angustifolia Vahl.)
Diuretik
Thiazid, adrenokortikosteroid atau Liquiritiae Radix : dapat memacu timbulnya ketidak seimbangan elektrolit.
Biji kopi
Stimulansia
Barbital : efek sedatif dari barbital akan berkurang karena terjadi efek penetralan.
Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Penambah nafsu makan
Parasetamol : dapat memicu terjadinya kerusakan hati (hepatotoksisitas).
Bayam
Sumber zat besi
Tetrasiklin : menurunkan efek dari tetrasiklin karena terbentuknya kompleks khelat sehingga absorbsinya menurun.
Kava-kava
Antikonvulsan
Barbital dan obat-obat lain yang bekerja pada sistem saraf pusat : hilangnya kesadaran dan disorientasi.
Kayu manis
Corrigen saporis
Captopril dan obat-obat tekanan darah tinggi lainnya : efek tekanan darah tinggi tidak mungkin dilawan akibatnya tekanan darah tinggi tidak terkendali dengan baik.
Cabe (capsicum)
Menghambat kontraksi otot-otot rahim
Antidepresan jenis IMAO (eutonyl, marplan, nardil, parnate) : kombinasi obat ini dengan cabe atau makanan lain yang mengandung tiramin dapat menaikkan tekanan darah dengan nyata, akibatnya sakit kepala berat, demam, gangguan penglihatan, bingung yang mungkin diikuti oleh pendarahan otak.
Jeruk nipis
Sumber vitamin C, batuk, demam.
Pil KB (mycroginon dan pil-pil KB lainnya) : terjadi pengikatan kembali komponen hormon dari pil KB pada saat konsumsi jeruk nipis (vitamin C) dihentikan, akibatnya resiko hamil dapat meningkat. Pendarahan merupakan tanda terjadinya interaksi.


DAFTAR PUSTAKA

Fradgley, S., 2003. Interaksi Obat, dalam Aslam, M., Tan, C.K., Prayitno, A., Farmasi Klinis; Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien, Universitas Surabaya, Elex Media Komputindo, Jakarta, 120-130.

Harkness Richard, 1989. Interaksi Obat. Penerbit ITB: Bandung.

Stockley, H. I., 2005. Drugs Interaction. Blackwell Science Ltd: London.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar