A. DEFENISI
ISPA
ISPA merupakan singkatan
dari infeksi saluran pernapasan akut, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam
bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA (Infeksi
Saluran Napas Akut) meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernapasan dan
akut, dengan pengertian sebagai berikut (Depkes RI, 1994; Nasry, 2000)
a.
Infeksi adalah masuknya, tumbuh dan berkembangbiaknya kuman
atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia.
b.
Saluran
pernapasan adalah organ
mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga
telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan
bagian atas, saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan
organ adneksa saluran pernapasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk
dalam saluran pernapasan (respiratory
tract).
c.
Infeksi
akut adalah infeksi yang
berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan
proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA
proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. (Depkes RI, 1994)
Dengan demikian ISPA adalah
infeksi saluran pernapasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari, dimana secara
klinis suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi di setiap bagian
saluran pernapasan dengan berlangsung tidak lebih dari 14 hari. (Ditjen PP
& PL, 2004)
Menurut Corwin (2001),
infeksi saluran pernafasan akut adalah infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme termasuk common cold, faringitis, radang tenggorokan, dan
laringitis.
B. EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi penyakit ISPA
yaitu mempelajari frekuensi, distribusi penyakit ISPA serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Dalam distribusi penyakit ISPA ada 3 ciri variabel yang dapat
dilihat yaitu variabel orang (person), variabel tempat (place) dan variabel
waktu (time) :
1) Epidemiologi
ISPA berdasarkan Orang (person)
Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada bayi dan anak
balita di negara berkembang, sekitar 4 juta kematian disebabkan oleh penyakit
ISPA terutama pneumonia.
Berdasarkan data dari SKRT
2001 menunjukkan bahwa proporsi ISPA sebagai penyebab kematian bayi < 1
tahun adalah sekitar 27,6 % sedangkan proporsi ISPA sebagai penyebab kematian
anak balita adalah sekitar 22,68%.3 Berdasarkan hasil penelitian Bambang Sutrisna
di Indramayu (1993) dikatakan bahwa faktor resiko terjadinya kematian bayi dan
anak balita karena pneumonia dapat dipengaruhi oleh faktor anak yaitu anak yang
tidak diimunisasi secara lengkap, tidak mendapatkan (defisiensi) vitamin A,
yang mengalami berat badan lahir rendah, tidak memperoleh ASI secara eksklusif
dan anak yang mengalami gizi kurang serta adanya aspek kepercayaan setempat
dalam praktik pencarian pengobatan yang salah dan anak balita yang tidak
memanfaatkan fasilitas kesehatan yang telah disediakan.
2) Epidemiologi
ISPA berdasarkan Tempat (place)
Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan utama terutama di
negara berkembang, seperti Indonesia. Sebagian besar hasil penelitian di negara
berkembang menunjukkan bahwa 20-35% kematian bayi dan anak balita disebabkan
oleh ISPA. 15 Berdasarkan hasil penelitian Djaja, S. dkk (2001), menunjukkan
bahwa prevalensi balita penderita pneumonia di daerah perkotaan (11,2%) lebih
tinggi daripada di daerah pedesaan (8,4%). Hal ini disebabkan karena tingginya
prevalensi ISPA di perkotaan yang disebabkan tingkat pencemaran udara yang
relatif cukup tinggi dibanding di pedesaan dan kepadatan penduduk yang relatif
tinggi dibanding di pedesaan.
3) Epidemiologi
ISPA berdasarkan Waktu (time)
Berdasarkan data SDKI tahun
1991, 1994, dan 1997 dapat diketahui bahwa prevalensi pneumonia pada balita
dari tahun 1991 sampai tahun 1997 telah mengalami sedikit penurunan yaitu
dengan prevalensi 10% pada tahun 1991, 10% pada tahun 1994 dan 9% pada tahun
1997. Prevalensi pneumonia dari tahun 1991 (10%) sampai dengan tahun 1997 (9%)
pada balita telah menurun, namun untuk kurun waktu 7 tahun penurunan ini
relatif kecil yaitu sebesar 8%. Padahal tujuan dan sasaran pemberantasan
penyakit ISPA pada pelita VI adalah menurunkan angka kesakitan pneumonia
sebesar 20% dibandingkan akhir pelita V yaitu dari 10-20% per tahun menjadi
8-16% balita per tahun.18Berdasarkan data SKRT 1986, 1992, 1995 dan 2001 dapat
diketahui bahwa proporsi kematian ISPA di Indonesia pada bayi dan balita dari
tahun 1986-2001 telah mengalami beberapa perubahan yaitu dengan proporsi pada
bayi 18,85% pada tahun 1986, 36,40% pada tahun 1992, 32,10% pada tahun 1995 dan
27,60% pada tahun 2001. Sementara itu, proporsi pada balita 22,80% pada tahun
1986, 18,20% pada tahun 1992, 38,80% pada tahun 1995 dan 22,80% pada tahun
2001.
C. ETIOLOGI
Infeksi saluran pernapasan
akut merupakan kelompok penyakit yang komplek dan heterogen, yang disebabkan
oleh berbagai etiologi. Etiologi ISPA terdiri dari 300 lebih jenis virus,
bakteri dan ricketsia serta jamur. Virus penyebab ISPA antara lain golongan Miksovirus
(termasuk didalamnya virus influensa, virus para-influensa), Adenovirus,
Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus. Bakteri penyebab ISPA
antara lain Streptokokus hemolitikus, stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus
influenza, Bordetella pertusis, Korinebakterium diffteria. Ricketsia
penyebab ISPA adalah Koksiela burnetti. Jamur penyebab ISPA adalah Kokiodoides
imitis, Histoplasma kapsulatum, Blastomises dermatitidis, Aspergilus,
Fikomesetes.( (Ditjen PP & PL, 2004; Dinkes DKI, 2005; Alsagaff dan
Mukty, A., 2002)
D. PATOFISOLOGI
Perjalanan klinis
penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh. Masuknya virus
sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada
permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau
dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak
lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan.
Iritasi
virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering. Kerusakan
stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas
kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga
terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal. Rangsangan cairan yang
berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal gejala
ISPA yang paling menonjol adalah batuk.
Adanya
infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri.
Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang
merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi
bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran
pernafasan atas seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza dan
staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut. Infeksi sekunder bakteri
ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran
nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif.
Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan
malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu
serangan infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut
pada bayi dan anak.
Virus
yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain
dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar
ke saluran nafas bawah. Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang
saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan
dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat
menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri.
Penanganan
penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek imunologis
saluran nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran nafas yang
sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun sistemik pada
umumnya. Sistem imun saluran nafas yang terdiri dari folikel dan jaringan
limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas system imun mukosa. Ciri khas
berikutnya adalah bahwa IgA memegang peranan pada saluran nafas atas sedangkan
IgG pada saluran nafas bawah. Diketahui pula bahwa sekretori IgA (sIgA) sangat
berperan dalam mempertahankan integritas mukosa saluran nafas.
Dari
uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat
tahap, yaitu:
a.
Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum
menunjukkan reaksi apa-apa.
b.
Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh
menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya memang sudah
rendah.
c.
Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala demam dan batuk.
d.
Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh
sempurna, sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat
pneumonia.
E. KLASIFIKASI
1.
Klasifikasi Berdasarkan Umur
Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas 2 kelompok
yaitu kelompok untuk umur 2 bulan - < 5 tahun dan kelompok umur < 2
bulan. Untuk kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun klasifikasi dibagi atas: (Dinkes Jawa Tengah, 2005)
a) Pneumonia
berat
b) Pneumonia
c) Bukan
pneumonia
Untuk kelompok umur < 2 bulan klasifikasi dibagi atas:
a)
Pneumonia berat
b)
Bukan pneumonia
Dalam pendekatan manajemen terpadu
balita sakit (MTBS) klasifikasi kelompok umur < 2 bulan adalah infeksi
bakteri yang serius dan infeksi bakteri lokal.
a. Klasifikasi pneumonia berat
Untuk
klasifikasi pneumonia berat adalah sebagai berikut:
a.
Umur 2 bulan -
< 5 tahun
Didasarkan adanya batuk atau
kesukaran bernapas disertai nafas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah
ke dalam (chest indrawing).
b.
Umur < 2
bulan
Didasarkan adanya nafas
cepat (fast breathing) yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per
menit atau lebih, adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke
dalam (severe chest indrawing).
Sementara itu, untuk
pengklasifikasian terhadap penyakit sangat berat didasarkan atas tanda-tanda
bahaya sebagai berikut:
a.
Umur 2 bulan -
< 5 tahun
1.
Tidak dapat
minum
2.
Kejang
3.
Rasa kantuk yang
tidak wajar atau sulit bangun
4.
Stidor pada anak
yang tenang
5.
Kurang gizi
berat
b.
Umur < 2
bulan
1.
Berhenti minum
susu
2.
Kejang
3.
Rasa kantuk yang
tidak wajar atau sulit bangun
4.
Stidor saat anak
tenang
5.
Mengi
6.
Demam atau suhu
tubuh yang rendah
b. Klasifikasi
pneumonia
Untuk
klasifikasi pneumonia adalah sebagai berikut:
1.
Umur 2 bulan - < 1 tahun
Didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran
bernapas disertai adanya frekuensi napas dengan batas napas cepat (fast
breathing 50 kali per menit).
2.
Umur 1 - < 5 tahun
Didasarkan pada adanya batuk
atau kesulitan bernapas disertai adanya frekuensi napas dengan batas napas
cepat (fast breathing 40 kali per menit).
c. Klasifikasi bukan pneumonia
Klasifikasi bukan pneumonia
mencakup kelompok penderita bayi dan balita dengan batuk yang tidak
menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya
tarikan dinding dada bagian bawah kedalam. Dengan demikian klasifikasi bukan pneumonia
mencakup penyakit-penyakit ISPA lain diluar Pneumonia seperti batuk
pilek bukan pneumonia (common cold, pharyngitis, tonsilis, otitis).
Pola tatalaksana ISPA hanya dimaksudkan untuk tatalaksana penderita Pneumonia
berat, Pneumonia dan batuk bukan Pneumonia. Sedangkan
penyakit ISPA lain seperti nasopharyngitis, sinusitis, dan otitis sesuai
standar operasional program yang berlaku disarana kesehatan.
2.
Klasifikasi
Berdasarkan Lokasi Anatomi
a. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA)
Infeksi
yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, otitis media,
faringitis.
b. Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA)
Infeksi
yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan alveoli,
dinamakan sesuai dengan organ saluran nafas, seperti epiglotitis, laringitis, laringotrakeitis,
bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.
F. DIAGNOSA
Diagnosis ISPA oleh karena
virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap jasad renik itu
sendiri. Pemeriksaan yang dilakukan adalah biakan virus, serologis, diagnostik
virus secara langsung. Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena bakteri dilakukan
dengan pemeriksaan sputum, biakan darah, biakan cairan pleura (Halim,
2000).
Diagnosis pneumonia berat
ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali
per menit atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah
bawah ke dalam. Rujukan penderita pnemonia berat dilakukan dengan gejala
batuk atau kesukaran bernafas yang disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak
dapat minum. Pada klasifikasi bukan pneumonia maka diagnosisnya adalah
batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau
penyakit non pnemonia lainnya (Halim, 2000).
G. KOMPLIKASI
Apabila infeksi menjalar kesaluran pernafasan bawah
atau bronkus dapat menimbulkan bronchitis, penyebaran lebih lanjut ke jaringan
paru dapat menyebabkan pneumonia, infeksi dapat juga menyebar ke telinga bagian
tangah yang menyebabkan otitis media, dan sinusitis.
Penjalaran infeksi sekunder dari nasofaring kearah
bawah seperti laryngitis, trakeitis, bronkiis dan bronkopneumonia. Selain itu
dapat pula terjadi komplikasi jauh, misalnya terjadi meningitis purulenta.
H.
TUJUAN TERAPI
Tujuan
terapi penyakit ISPA meliputi;
1. Mencegah eradikasi penyebab
(pathogen)
2. Menurunkan/mengurangi/mengatasi
gejala secepat mungkin
3. Mencegah penyebaran infeksi dan
penularan
4. Membatasi/mencegah komplikasi
I.
PENATALAKSANAAN
Sebelum dilakukan penatalaksanaan ISPA terlebih dahulu
dilakukan pemeriksaan test diagnostik sebagai berikut :
1.
Pemeriksaan
darah lengkap yaitu Hb, Leukosit, Hematokrit, dan trombosit.
2.
Ro foto : thorax
Menurut DEPKES RI (2006) dan kemudian penulis
mengelompokan berdasarkan golongan dan jenis tanda dan gejala dari ISPA sebagai
berikut :
a.
Untuk
penatalaksanaan ISPA yang tergolong ringan atau non pneumonia adalah jika anak
penderita ISPA ringan maka perawat cukup dilakukan dirumah tidak perlu dibawa
ke dokter atau puskesmas. Di rumah dapat diberikan obat penurun panas yang di
jual di toko obat atau apotek, akan tetapi jika dalam dua hari gejala belum
hilang anak harus segera di bawa ke dokter atau puskesmas terdekat. Selain itu
juga bisa dengan menggunakan cara tradisional yaitu dengan ½ sendok teh jeruk
nipis di tambah ½ sendok teh kecap manis atau madu di minumkan pada anak 3-4
kali/hari di minumkan selama kurang lebih 2-3 hari jika batuknya tidak kunjung
sembuh harus segera dibawa ke dokter atau puskesmas terdekat.
b.
Untuk
pelaksanaan ISPA yang tergolong sedang atau pneumonia maka harus segera
diperiksakan pelayanan kesehatan mendapatkan terapi obat. Antibiotika/Anti
mikroba untu membunuh virus dan bakteri yang ada dan mendapatkan terapi oksigen
2 sampai 4 liter 1 hari. Terapi yang diberikan pada penyakit ini biasanya
pemberian antibiotik walaupun kebanyakan ISPA disebabkan oleh virus yang dapat
sembuh dengan sendirinya tanpa pemberian obat-obatan terapeutik. Pemberian
antibiotik dapat mempercepat penyembuhan penyakit ini dibandingkan hanya
pemberian obat-obatan symtomatik. Selain itu dengan pemberian antibiotik banyak
mencegah terjadinya infeksi lanjutan dari bakterial pemberian.pemilihan
antibiotik pada penyaki ini harus diperhatikan dengan baik agar tidak terjadi
resistenkuman / bakterial kemudian hari. Namun pada penyakit ISPA yang sudah
berlanjut dengan gejala dahak dan ingus yang sudah menjadi hijau, pemberian
antibiotik merupakan keharusan karena dengan gejala tersebut membuktikan sudah
ada bakteri yang terlibat.
c.
Untuk
penatalaksanaan ISPA yang tergolong berat atau pneumonia berat harus segera di
rawat di Rumah sakit atau Puskesmas karena perlu mendapatkan perawatan dengan
perawatan khusus seperti oksigen dan infus Pada pasien anak, ia harus tinggal
didalam lingkungan yang selalu hangat selama 2-3 hari, nafsu makan yang
memburuk mungkin dapat dicoba diatasi dengan makanan kesukaannya, harus
memperbaiki gizi yang baik seperti :
1.
Makanan yang
mengandung kalori :nasi, jagung, sagu
2.
Makanan yang
mengandung protein :putih telur, tempe, tahu, ikan, makanan tersebut berguna
agar tidak menjadi lemah.
J.
PENGOBATAN (Rasmaliah,
2004)
·
Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan
antibiotik parenteral, oksigendan sebagainya.
• Pneumonia:
diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita tidak mungkin
diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian kontrmoksasol keadaan
penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin,
amoksisilin atau penisilin prokain.
• Bukan pneumonia:
tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan di rumah, untuk batuk
dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain yang tidak
mengandung zat yang merugikan seperti kodein,dekstrometorfan dan, antihistamin.
Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan
gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan
tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai pembesaran kelenjar
getah bening dileher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman
streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin) selama 10 hari.
K. PELAYANAN FARMASI (Depkes RI,
2005)
1. Infeksi Saluran Napas Atas
§ Assessmen:
1)
Menilai
ada-tidaknya alergi terhadap antibiotika yang diresepkan
2)
Mengkaji
ketepatan antibiotika, lama terapi yang digunakan
3)
Mengkaji
kesesuaian dosis,bentuk obat terkait kondisi pasien
4)
Mengkaji
ada-tidaknya efek samping ataupun ROB yang potensial akan terjadi.
5)
Mengkaji
ada-tidaknya interaksi obat, khususnya bila dijumpai peresepan
6)
antasida
7)
Mengkaji respon
terapi, resistensi maupun kegagalan terapi
8)
Menilai
kepatuhan dan faktor yang menyebabkan kegagalan terapi
§ Rekomendasi
1)
Pemilihan
antibiotika dan terapi pendukung
2)
Efek samping
obat ataupun ROB, interaksi obat yang potensial serta penanganannya.
§
Monitor
1)
Efektivitas
antibiotika dengan memantau tanda dan gejala infeksi saluran napas atas
2)
Menanyakan efek
samping obat yang potensial seperti diare, mual , rash
§ Konseling
1)
Kontinuitas
terapi hingga seluruh antibiotika diminum.
2)
Lama terapi yang
tepat untuk mencegah resistensi, infeksi ulangan, maupun penyembuhan yang tidak
tuntas.
3)
Tanda efek
samping obat yang potensial dan cara mengatasinya.
4)
Cara pakai obat,
khususnya tetes telinga, tetes hidung, obat kumur.
2. Infeksi
saluran nafas bawah
§ Assessmen
1)
Menilai perlu-tidaknya
terapi antibiotika
2)
Menilai
ada-tidaknya alergi terhadap antibiotika yang diresepkan
3)
Mengkaji
ketepatan antibiotika, lama terapi yang digunakan
4)
Mengkaji
kesesuaian dosis,bentuk obat terkait kondisi pasien
5)
Mengkaji
ada-tidaknya efek samping ataupun ROB yang potensial akan terjadi.
6)
Mengkaji
ada-tidaknya interaksi obat, khususnya bila dijumpai peresepan
7)
antasida
8)
Mengkaji respon
terapi, resistensi maupun kegagalan terapi
9)
Menilai
kepatuhan dan faktor yang menyebabkan kegagalan terapi
§
Rekomendasi
1)
Pemilihan
antibiotika dan terapi pendukung seperti pada uraian BabVI, BabVII.
2)
Efek samping
obat ataupun ROB, interaksi obat yang potensial serta
3)
penanganannya.
§
Monitor
a)
Bronkhitis
§ Efektivitas terapi: Frekuensi batuk, volume dan warna
sputum
§ Efek samping obat potensial:
§ Takikardia, palpitasi akibat bronchodilator
§ Sedasi,
konstipasi akibat pemakaian dekstrometorphan, codein
§ Interaksi Obat (lihat monografi obat)
b)
Pneumonia
§ Efektivitas terapi: Frekuensi batuk, volume dan warna
sputum, sesak napas, nyeri dada, suhu badan, nadi, leukosit, fungsi paru pada pneumonia
berat. Kegagalan antibiotika dalam menurunkan tanda-tanda infeksi dinilai dalam
48-72 jam setelah dosis pertama diberikan.
§ Efek samping obat potensial: Rash, urtikaria setelah
pemberian antibiotika baik pada dosis pertama atau dosis selanjutnya.
Antibiotika selain penicillin yang perlu diawasi karena mempunyai insiden
alergi yang cukup besar adalah cefalosporin, quinolon, kotrimoksazol.
§ Takikardia, palpitasi akibat bronkhodilator
§ Interaksi Obat (lihat monografi obat)
§
Konseling
1)
Hidrasi secara
oral pada pasien rawat jalan untuk mempermudah ekskresi sputum secara spontan.
2)
Kontinuitas
terapi hingga seluruh antibiotika diminum, bila pasien mendapat antibiotika.
3)
Lama terapi yang
tepat untuk mencegah resistensi, infeksi ulangan, maupun penyembuhan yang tidak
tuntas.
L. CONTOH
STUDI KASUS (Depkes RI,
2005)
a.
Infeksi
Saluran Napas Atas
Tn AS, 40 th datang ke apotek G membawa resep dari
dokter THT yang berisi R/Avelox No V dengan signa 1x1.
Database:
Nama : AS
Umur : 40th
Dari soal di
atas belum ada gambaran problem medik, riwayat alergi maupunriwayat obat, oleh
karena itu dalam interview ditanyakan pertanyaan-pertanyaan
sbb:
Infeksi apa?
Sinusitis
Apakah disertai
nyeri wajah? Tidak, hanya isteri mengeluh bau pada saat
berdekatan
maupun bicara dan ternyata betul tercium bau yang tidak sedap
ketika tn AS
berbicara dengan Apoteker.
Apakah Bapak
memiliki riwayat alergi dengan obat? Tidak pernah.
Apakah Bapak
memiliki riwayat sakit kronik seperti kencing manis, sakit liver ?
Tidak
Apakah Bapak
sudah minum obat lain sebelum ke dokter THT? Belum.
Assessmen
Rencana
Pelayanan Kefarmasian (Care Plan)
Rekomendasi:
Lama terapi ditambah menjadi 10 hari untuk terapi sinusitis
Rencana
monitoring: Kondisi klinik pasien dengan memantau bau, pilek.
Rencana
Konseling: Cara minum Avelox .
Implementasi
Rencana Pelayanan Kefarmasian
Mengkomunikasikan
dengan dokter penulis resep tentang lama terapi yang adekuat. Hasil : Dokter
menolak rekomendasi Apoteker, merasa aneh dengan perubahan pelayanan farmasi.
b. Infeksi Saluran Napas Bawah
Tn KS 42th, mendatangi Apotik P dengan resep Levocin
2x 1, Fluimucil 3 x100mg, Lasal 3x1 tab. Pada interview pasien mengaku sakit
batuk disertai sesak napas dan didiagnosis radang paru ringan oleh dokter.
Ketika diberitahu harga yang harus dibayar, pasien terkejut dan mengajukan
keberatan. Pasien meminta penggantian ke obat lain yang lebih terjangkau. Apa
yang dapat dilakukan Apoteker?
Jawab:
Database: Tn KS 42 th,
diagnosis : Community Acquired Pneumonia
Asesmen:
Untuk dapat memilihkan alternatif antibiotika pengganti, perlu
ditanyakan hal-hal
berikut:
Apakah Bapak pernah sakit yang sama sebelumnya? Tidak pernah
Apakah Bapak punya penyakit kencing manis, sakit lain? Tidak ada, pasien
mengaku tidak pernah sakit
PTO: pasien tidak mendapat obat karena tidak mampu membeli
Rencana Pelayanan Kefarmasian:
Rekomendasi: Antibiotika yang dapat dipilih selain fluoroquinolon
seperti
tercantum pada resep adalah derivat makrolida, dalam hal ini
eritromisin.
Rencana Monitoring: Frekuensi batuk, sesak napas, demam untuk melihat
efektivitas eritromisin. Mual, sakit perut, diare untuk melihat efek
samping
eritromisin. Takikardia dan palpitasi untuk melihat efek samping
salbutamol.
Rencana Konseling: kontinuitas terapi sampai seluruh antibiotika diminum
meskipun kondisi klinis membaik sebelum antibiotika habis, efek samping
potensial dari eritromisin dan salbutamol disertai penjelasan cara
mencegah dan
mengatasinya.
Implementasi Rencana Pelayanan Kefarmasian
Menghubungi dokter penulis resep dan menyampaikan PTO yang ada serta
rekomendasi dari Apoteker.
STUDI KASUS
Infeksi Saluran Napas Bawah
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, H., Mukty, A., 2002. Dasar-Dasar Ilmu
Penyakit Paru. Airlangga University Press, Surabaya.
Corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi (hands book of pathophysiologi). Jakarta:
EGC
Depkes
RI, 1994. Pedoman Program P2 ISPA Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita.
Depkes RI. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI.
2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan. Depkes RI.
Jakarta.
Dinkes DKI, 2005.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). http://www.dinkes-dki.go.id/penyakit.htm#ispa
Dinkes Jawa Tengah, 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit ISPA. http://www.health-irc.or.id/sdm/bab3.htm
Ditjen PP & PL, 2004. Kajian Riset Operasional Intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular.
Tahun 1998/1999 – 2003. http://www. Litbang.depkes.go.id
Halim, D., 2000. Ilmu
Penyakit Paru, Jakarta : Hipokrates.
Nasry
Noor, N., 2000. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar