Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 27 September 2014

Infeksi Saluran Napas Akut (ISPA)

A.    DEFENISI ISPA
ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernapasan akut, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA (Infeksi Saluran Napas Akut) meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernapasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut (Depkes RI, 1994; Nasry, 2000)
a.         Infeksi adalah masuknya, tumbuh dan berkembangbiaknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia.
b.         Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernapasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernapasan (respiratory tract).
c.         Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. (Depkes RI, 1994)
Dengan demikian ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari, dimana secara klinis suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi di setiap bagian saluran pernapasan dengan berlangsung tidak lebih dari 14 hari. (Ditjen PP & PL, 2004)
Menurut Corwin (2001), infeksi saluran pernafasan akut adalah infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme termasuk common cold, faringitis, radang tenggorokan, dan laringitis.
B.     EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi penyakit ISPA yaitu mempelajari frekuensi, distribusi penyakit ISPA serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam distribusi penyakit ISPA ada 3 ciri variabel yang dapat dilihat yaitu variabel orang (person), variabel tempat (place) dan variabel waktu (time) :
1)      Epidemiologi ISPA berdasarkan Orang (person)
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada bayi dan anak balita di negara berkembang, sekitar 4 juta kematian disebabkan oleh penyakit ISPA terutama pneumonia.
Berdasarkan data dari SKRT 2001 menunjukkan bahwa proporsi ISPA sebagai penyebab kematian bayi < 1 tahun adalah sekitar 27,6 % sedangkan proporsi ISPA sebagai penyebab kematian anak balita adalah sekitar 22,68%.3 Berdasarkan hasil penelitian Bambang Sutrisna di Indramayu (1993) dikatakan bahwa faktor resiko terjadinya kematian bayi dan anak balita karena pneumonia dapat dipengaruhi oleh faktor anak yaitu anak yang tidak diimunisasi secara lengkap, tidak mendapatkan (defisiensi) vitamin A, yang mengalami berat badan lahir rendah, tidak memperoleh ASI secara eksklusif dan anak yang mengalami gizi kurang serta adanya aspek kepercayaan setempat dalam praktik pencarian pengobatan yang salah dan anak balita yang tidak memanfaatkan fasilitas kesehatan yang telah disediakan.
2)      Epidemiologi ISPA berdasarkan Tempat (place)
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan utama terutama di negara berkembang, seperti Indonesia. Sebagian besar hasil penelitian di negara berkembang menunjukkan bahwa 20-35% kematian bayi dan anak balita disebabkan oleh ISPA. 15 Berdasarkan hasil penelitian Djaja, S. dkk (2001), menunjukkan bahwa prevalensi balita penderita pneumonia di daerah perkotaan (11,2%) lebih tinggi daripada di daerah pedesaan (8,4%). Hal ini disebabkan karena tingginya prevalensi ISPA di perkotaan yang disebabkan tingkat pencemaran udara yang relatif cukup tinggi dibanding di pedesaan dan kepadatan penduduk yang relatif tinggi dibanding di pedesaan.
3)      Epidemiologi ISPA berdasarkan Waktu (time)
Berdasarkan data SDKI tahun 1991, 1994, dan 1997 dapat diketahui bahwa prevalensi pneumonia pada balita dari tahun 1991 sampai tahun 1997 telah mengalami sedikit penurunan yaitu dengan prevalensi 10% pada tahun 1991, 10% pada tahun 1994 dan 9% pada tahun 1997. Prevalensi pneumonia dari tahun 1991 (10%) sampai dengan tahun 1997 (9%) pada balita telah menurun, namun untuk kurun waktu 7 tahun penurunan ini relatif kecil yaitu sebesar 8%. Padahal tujuan dan sasaran pemberantasan penyakit ISPA pada pelita VI adalah menurunkan angka kesakitan pneumonia sebesar 20% dibandingkan akhir pelita V yaitu dari 10-20% per tahun menjadi 8-16% balita per tahun.18Berdasarkan data SKRT 1986, 1992, 1995 dan 2001 dapat diketahui bahwa proporsi kematian ISPA di Indonesia pada bayi dan balita dari tahun 1986-2001 telah mengalami beberapa perubahan yaitu dengan proporsi pada bayi 18,85% pada tahun 1986, 36,40% pada tahun 1992, 32,10% pada tahun 1995 dan 27,60% pada tahun 2001. Sementara itu, proporsi pada balita 22,80% pada tahun 1986, 18,20% pada tahun 1992, 38,80% pada tahun 1995 dan 22,80% pada tahun 2001.
C.    ETIOLOGI
Infeksi saluran pernapasan akut merupakan kelompok penyakit yang komplek dan heterogen, yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Etiologi ISPA terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri dan ricketsia serta jamur. Virus penyebab ISPA antara lain golongan Miksovirus (termasuk didalamnya virus influensa, virus para-influensa), Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus. Bakteri penyebab ISPA antara lain Streptokokus hemolitikus, stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus influenza, Bordetella pertusis, Korinebakterium diffteria. Ricketsia penyebab ISPA adalah Koksiela burnetti. Jamur penyebab ISPA adalah Kokiodoides imitis, Histoplasma kapsulatum, Blastomises dermatitidis, Aspergilus, Fikomesetes.( (Ditjen PP & PL, 2004; Dinkes DKI, 2005; Alsagaff dan Mukty, A., 2002)

D.    PATOFISOLOGI
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan.
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering. Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk.
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak.
Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke saluran nafas bawah. Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri.
Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek imunologis saluran nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran nafas yang sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun sistemik pada umumnya. Sistem imun saluran nafas yang terdiri dari folikel dan jaringan limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas system imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah bahwa IgA memegang peranan pada saluran nafas atas sedangkan IgG pada saluran nafas bawah. Diketahui pula bahwa sekretori IgA (sIgA) sangat berperan dalam mempertahankan integritas mukosa saluran nafas.
Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu:
a.         Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum menunjukkan reaksi apa-apa.
b.         Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya memang sudah rendah.
c.         Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala demam dan batuk.
d.        Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna, sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat pneumonia.

E.     KLASIFIKASI
1.      Klasifikasi Berdasarkan Umur
Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas 2 kelompok yaitu kelompok untuk umur 2 bulan - < 5 tahun dan kelompok umur < 2 bulan. Untuk kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun klasifikasi dibagi atas: (Dinkes Jawa Tengah, 2005)
a)      Pneumonia berat
b)      Pneumonia
c)      Bukan pneumonia
Untuk kelompok umur < 2 bulan klasifikasi dibagi atas:
a) Pneumonia berat
b) Bukan pneumonia
Dalam pendekatan manajemen terpadu balita sakit (MTBS) klasifikasi kelompok umur < 2 bulan adalah infeksi bakteri yang serius dan infeksi bakteri lokal.



a.    Klasifikasi pneumonia berat
Untuk klasifikasi pneumonia berat adalah sebagai berikut:
a.       Umur 2 bulan - < 5 tahun
Didasarkan adanya batuk atau kesukaran bernapas disertai nafas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing).
b.      Umur < 2 bulan
Didasarkan adanya nafas cepat (fast breathing) yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing).
Sementara itu, untuk pengklasifikasian terhadap penyakit sangat berat didasarkan atas tanda-tanda bahaya sebagai berikut:
a.       Umur 2 bulan - < 5 tahun
1.    Tidak dapat minum
2.    Kejang
3.    Rasa kantuk yang tidak wajar atau sulit bangun
4.    Stidor pada anak yang tenang
5.    Kurang gizi berat
b.      Umur < 2 bulan
1.    Berhenti minum susu
2.    Kejang
3.    Rasa kantuk yang tidak wajar atau sulit bangun
4.    Stidor saat anak tenang
5.    Mengi
6.    Demam atau suhu tubuh yang rendah
b.    Klasifikasi pneumonia
Untuk klasifikasi pneumonia adalah sebagai berikut:
1.    Umur 2 bulan - < 1 tahun
Didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran bernapas disertai adanya frekuensi napas dengan batas napas cepat (fast breathing 50 kali per menit).
2.    Umur 1 - < 5 tahun
Didasarkan pada adanya batuk atau kesulitan bernapas disertai adanya frekuensi napas dengan batas napas cepat (fast breathing 40 kali per menit).
c.     Klasifikasi bukan pneumonia
Klasifikasi bukan pneumonia mencakup kelompok penderita bayi dan balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam. Dengan demikian klasifikasi bukan pneumonia mencakup penyakit-penyakit ISPA lain diluar Pneumonia seperti batuk pilek bukan pneumonia (common cold, pharyngitis, tonsilis, otitis). Pola tatalaksana ISPA hanya dimaksudkan untuk tatalaksana penderita Pneumonia berat, Pneumonia dan batuk bukan Pneumonia. Sedangkan penyakit ISPA lain seperti nasopharyngitis, sinusitis, dan otitis sesuai standar operasional program yang berlaku disarana kesehatan.
2.      Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi
a.      Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA)
Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, otitis media, faringitis.
b.      Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA)
Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran nafas, seperti epiglotitis, laringitis, laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.
F.     DIAGNOSA
Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang dilakukan adalah biakan virus, serologis, diagnostik virus secara langsung. Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena bakteri dilakukan dengan pemeriksaan sputum, biakan darah, biakan cairan pleura (Halim, 2000).
Diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan penderita pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernafas yang disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat minum. Pada klasifikasi bukan pneumonia maka diagnosisnya adalah batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau penyakit non pnemonia lainnya (Halim, 2000).
G.    KOMPLIKASI
Apabila infeksi menjalar kesaluran pernafasan bawah atau bronkus dapat menimbulkan bronchitis, penyebaran lebih lanjut ke jaringan paru dapat menyebabkan pneumonia, infeksi dapat juga menyebar ke telinga bagian tangah yang menyebabkan otitis media, dan sinusitis.
Penjalaran infeksi sekunder dari nasofaring kearah bawah seperti laryngitis, trakeitis, bronkiis dan bronkopneumonia. Selain itu dapat pula terjadi komplikasi jauh, misalnya terjadi meningitis purulenta.
H.    TUJUAN TERAPI
Tujuan terapi penyakit ISPA meliputi;
1.    Mencegah eradikasi penyebab (pathogen)
2.    Menurunkan/mengurangi/mengatasi gejala secepat mungkin
3.    Mencegah penyebaran infeksi dan penularan
4.    Membatasi/mencegah komplikasi
I.       PENATALAKSANAAN
Sebelum dilakukan penatalaksanaan ISPA terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan test diagnostik sebagai berikut :
1.      Pemeriksaan darah lengkap yaitu Hb, Leukosit, Hematokrit, dan trombosit.
2.      Ro foto : thorax
Menurut DEPKES RI (2006) dan kemudian penulis mengelompokan berdasarkan golongan dan jenis tanda dan gejala dari ISPA sebagai berikut :
a.       Untuk penatalaksanaan ISPA yang tergolong ringan atau non pneumonia adalah jika anak penderita ISPA ringan maka perawat cukup dilakukan dirumah tidak perlu dibawa ke dokter atau puskesmas. Di rumah dapat diberikan obat penurun panas yang di jual di toko obat atau apotek, akan tetapi jika dalam dua hari gejala belum hilang anak harus segera di bawa ke dokter atau puskesmas terdekat. Selain itu juga bisa dengan menggunakan cara tradisional yaitu dengan ½ sendok teh jeruk nipis di tambah ½ sendok teh kecap manis atau madu di minumkan pada anak 3-4 kali/hari di minumkan selama kurang lebih 2-3 hari jika batuknya tidak kunjung sembuh harus segera dibawa ke dokter atau puskesmas terdekat.
b.      Untuk pelaksanaan ISPA yang tergolong sedang atau pneumonia maka harus segera diperiksakan pelayanan kesehatan mendapatkan terapi obat. Antibiotika/Anti mikroba untu membunuh virus dan bakteri yang ada dan mendapatkan terapi oksigen 2 sampai 4 liter 1 hari. Terapi yang diberikan pada penyakit ini biasanya pemberian antibiotik walaupun kebanyakan ISPA disebabkan oleh virus yang dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pemberian obat-obatan terapeutik. Pemberian antibiotik dapat mempercepat penyembuhan penyakit ini dibandingkan hanya pemberian obat-obatan symtomatik. Selain itu dengan pemberian antibiotik banyak mencegah terjadinya infeksi lanjutan dari bakterial pemberian.pemilihan antibiotik pada penyaki ini harus diperhatikan dengan baik agar tidak terjadi resistenkuman / bakterial kemudian hari. Namun pada penyakit ISPA yang sudah berlanjut dengan gejala dahak dan ingus yang sudah menjadi hijau, pemberian antibiotik merupakan keharusan karena dengan gejala tersebut membuktikan sudah ada bakteri yang terlibat.
c.       Untuk penatalaksanaan ISPA yang tergolong berat atau pneumonia berat harus segera di rawat di Rumah sakit atau Puskesmas karena perlu mendapatkan perawatan dengan perawatan khusus seperti oksigen dan infus Pada pasien anak, ia harus tinggal didalam lingkungan yang selalu hangat selama 2-3 hari, nafsu makan yang memburuk mungkin dapat dicoba diatasi dengan makanan kesukaannya, harus memperbaiki gizi yang baik seperti :
1.         Makanan yang mengandung kalori :nasi, jagung, sagu
2.         Makanan yang mengandung protein :putih telur, tempe, tahu, ikan, makanan tersebut berguna agar tidak menjadi lemah.
J.       PENGOBATAN (Rasmaliah, 2004)
·         Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral, oksigendan sebagainya.
     Pneumonia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.
     Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein,dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila  pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin) selama 10 hari.
K.    PELAYANAN FARMASI (Depkes RI, 2005)
1.    Infeksi Saluran Napas Atas
§  Assessmen:
1)   Menilai ada-tidaknya alergi terhadap antibiotika yang diresepkan
2)   Mengkaji ketepatan antibiotika, lama terapi yang digunakan
3)   Mengkaji kesesuaian dosis,bentuk obat terkait kondisi pasien
4)   Mengkaji ada-tidaknya efek samping ataupun ROB yang potensial akan terjadi.
5)   Mengkaji ada-tidaknya interaksi obat, khususnya bila dijumpai peresepan
6)   antasida
7)   Mengkaji respon terapi, resistensi maupun kegagalan terapi
8)   Menilai kepatuhan dan faktor yang menyebabkan kegagalan terapi
§  Rekomendasi
1)   Pemilihan antibiotika dan terapi pendukung
2)   Efek samping obat ataupun ROB, interaksi obat yang potensial serta penanganannya.
§  Monitor
1)      Efektivitas antibiotika dengan memantau tanda dan gejala infeksi saluran napas atas
2)      Menanyakan efek samping obat yang potensial seperti diare, mual , rash
§  Konseling
1)   Kontinuitas terapi hingga seluruh antibiotika diminum.
2)   Lama terapi yang tepat untuk mencegah resistensi, infeksi ulangan, maupun penyembuhan yang tidak tuntas.
3)   Tanda efek samping obat yang potensial dan cara mengatasinya.
4)   Cara pakai obat, khususnya tetes telinga, tetes hidung, obat kumur.
2.    Infeksi saluran nafas bawah
§  Assessmen
1)   Menilai perlu-tidaknya terapi antibiotika
2)   Menilai ada-tidaknya alergi terhadap antibiotika yang diresepkan
3)   Mengkaji ketepatan antibiotika, lama terapi yang digunakan
4)   Mengkaji kesesuaian dosis,bentuk obat terkait kondisi pasien
5)   Mengkaji ada-tidaknya efek samping ataupun ROB yang potensial akan terjadi.
6)   Mengkaji ada-tidaknya interaksi obat, khususnya bila dijumpai peresepan
7)   antasida
8)   Mengkaji respon terapi, resistensi maupun kegagalan terapi
9)   Menilai kepatuhan dan faktor yang menyebabkan kegagalan terapi
§  Rekomendasi
1)   Pemilihan antibiotika dan terapi pendukung seperti pada uraian BabVI, BabVII.
2)   Efek samping obat ataupun ROB, interaksi obat yang potensial serta
3)   penanganannya.
§  Monitor
a)   Bronkhitis
§  Efektivitas terapi: Frekuensi batuk, volume dan warna sputum
§  Efek samping obat potensial:
§  Takikardia, palpitasi akibat bronchodilator
§   Sedasi, konstipasi akibat pemakaian dekstrometorphan, codein
§  Interaksi Obat (lihat monografi obat)
b)   Pneumonia
§  Efektivitas terapi: Frekuensi batuk, volume dan warna sputum, sesak napas, nyeri dada, suhu badan, nadi, leukosit, fungsi paru pada pneumonia berat. Kegagalan antibiotika dalam menurunkan tanda-tanda infeksi dinilai dalam 48-72 jam setelah dosis pertama diberikan.
§  Efek samping obat potensial: Rash, urtikaria setelah pemberian antibiotika baik pada dosis pertama atau dosis selanjutnya. Antibiotika selain penicillin yang perlu diawasi karena mempunyai insiden alergi yang cukup besar adalah cefalosporin, quinolon, kotrimoksazol.
§  Takikardia, palpitasi akibat bronkhodilator
§  Interaksi Obat (lihat monografi obat)
§  Konseling
1)   Hidrasi secara oral pada pasien rawat jalan untuk mempermudah ekskresi sputum secara spontan.
2)   Kontinuitas terapi hingga seluruh antibiotika diminum, bila pasien mendapat antibiotika.
3)   Lama terapi yang tepat untuk mencegah resistensi, infeksi ulangan, maupun penyembuhan yang tidak tuntas.
L.     CONTOH STUDI KASUS (Depkes RI, 2005)
a.         Infeksi Saluran Napas Atas
Tn AS, 40 th datang ke apotek G membawa resep dari dokter THT yang berisi R/Avelox No V dengan signa 1x1.
Database:
Nama : AS
Umur : 40th
Dari soal di atas belum ada gambaran problem medik, riwayat alergi maupunriwayat obat, oleh karena itu dalam interview ditanyakan pertanyaan-pertanyaan
sbb:
Infeksi apa? Sinusitis
Apakah disertai nyeri wajah? Tidak, hanya isteri mengeluh bau pada saat
berdekatan maupun bicara dan ternyata betul tercium bau yang tidak sedap
ketika tn AS berbicara dengan Apoteker.
Apakah Bapak memiliki riwayat alergi dengan obat? Tidak pernah.
Apakah Bapak memiliki riwayat sakit kronik seperti kencing manis, sakit liver ?
Tidak
Apakah Bapak sudah minum obat lain sebelum ke dokter THT? Belum.
Assessmen
Rencana Pelayanan Kefarmasian (Care Plan)
Rekomendasi: Lama terapi ditambah menjadi 10 hari untuk terapi sinusitis
Rencana monitoring: Kondisi klinik pasien dengan memantau bau, pilek.
Rencana Konseling: Cara minum Avelox .
Implementasi Rencana Pelayanan Kefarmasian
Mengkomunikasikan dengan dokter penulis resep tentang lama terapi yang adekuat. Hasil : Dokter menolak rekomendasi Apoteker, merasa aneh dengan perubahan pelayanan farmasi.
b.      Infeksi Saluran Napas Bawah
Tn KS 42th, mendatangi Apotik P dengan resep Levocin 2x 1, Fluimucil 3 x100mg, Lasal 3x1 tab. Pada interview pasien mengaku sakit batuk disertai sesak napas dan didiagnosis radang paru ringan oleh dokter. Ketika diberitahu harga yang harus dibayar, pasien terkejut dan mengajukan keberatan. Pasien meminta penggantian ke obat lain yang lebih terjangkau. Apa yang dapat dilakukan Apoteker?
Jawab:
Database: Tn KS 42 th, diagnosis : Community Acquired Pneumonia
Asesmen:
Untuk dapat memilihkan alternatif antibiotika pengganti, perlu ditanyakan hal-hal
berikut:
Apakah Bapak pernah sakit yang sama sebelumnya? Tidak pernah
Apakah Bapak punya penyakit kencing manis, sakit lain? Tidak ada, pasien
mengaku tidak pernah sakit
PTO: pasien tidak mendapat obat karena tidak mampu membeli
Rencana Pelayanan Kefarmasian:
Rekomendasi: Antibiotika yang dapat dipilih selain fluoroquinolon seperti
tercantum pada resep adalah derivat makrolida, dalam hal ini eritromisin.
Rencana Monitoring: Frekuensi batuk, sesak napas, demam untuk melihat
efektivitas eritromisin. Mual, sakit perut, diare untuk melihat efek samping
eritromisin. Takikardia dan palpitasi untuk melihat efek samping salbutamol.
Rencana Konseling: kontinuitas terapi sampai seluruh antibiotika diminum
meskipun kondisi klinis membaik sebelum antibiotika habis, efek samping
potensial dari eritromisin dan salbutamol disertai penjelasan cara mencegah dan
mengatasinya.
Implementasi Rencana Pelayanan Kefarmasian
Menghubungi dokter penulis resep dan menyampaikan PTO yang ada serta
rekomendasi dari Apoteker.




STUDI KASUS
Infeksi Saluran Napas Bawah




DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, H., Mukty, A., 2002. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press, Surabaya.

Corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi (hands book of pathophysiologi). Jakarta: EGC

Depkes RI, 1994. Pedoman Program P2 ISPA Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita. Depkes RI. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan. Depkes RI. Jakarta.

Dinkes DKI, 2005. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). http://www.dinkes-dki.go.id/penyakit.htm#ispa

Dinkes Jawa Tengah, 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit ISPA. http://www.health-irc.or.id/sdm/bab3.htm

Ditjen PP & PL, 2004. Kajian Riset Operasional Intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular. Tahun 1998/1999 – 2003. http://www. Litbang.depkes.go.id

Halim, D., 2000. Ilmu Penyakit Paru, Jakarta : Hipokrates.



Nasry Noor, N., 2000. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Rasmaliah. 2004. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan penanggulangannya. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universtias Sumatera Utara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar