BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Inflammatory
bowel disease (IBD)
menggambarkan kondisi peradangan saluran cerna kronik dan idiopatik. Secara
umum dibagi atas kolitis ulseratif (KU), penyakit Crohn (PC) dan IBD
type unclassifi ed (IBDU, dulu dikenal sebagai indeterminate
colitis).1
Etiopatogenesis IBD belum sepenuhnya
dimengerti. Faktor genetik dan lingkungan dalam saluran cerna seperti perubahan
bakteri usus dan peningkatan permeabilitas epitel saluran cerna diduga berperan
dalam gangguan imunitas saluran cerna yang berujung pada kerusakan saluran
cerna.1-3
Insidens IBD sejak akhir Perang Dunia
ke- II di negara Barat sampai dasawarsa 90-an selalu meningkat dan cenderung
terjadi pada kelompok kulit putih, sosial ekonomi tinggi, bukan perokok,
pemakai kontrasepsi oral dan diet rendah.4 Gambaran klinis kedua entitas IBD
dapat berbentuk ringan, dalam arti mencapai remisi tanpa penggunaan obatobatan
dalam jangka lama atau dalam bentuk kronik aktif yakni pasien mengalami remisi
hanya jika mengonsumsi obat-obatan dalam jangka lama. Mengingat patofi siologi
IBD yang diterima luas berupa adanya respons imun berlebihan pada saluran cerna
maka secara umum terapi IBD saat ini lebih banyak berupa anti-infl amasi atau
imunosupresan.2,3,5 Dalam beberapa waktu terakhir, kemajuan pesat terjadi dalam
hal pengobatan IBD, khususnya terapi biologi.
Penatalaksanaan IBD sejatinya tidak
hanya berupa terapi medis melainkan harus melalui tiga pendekatan yakni rencana
diagnostik, rencana Terapeutik dan rencana edukasional.
B.
Rumusan masalah
Permasalahan
pada penulisan makalah ini adalah :
1. Bagaimana
Patofisiologi Dari Inflammatory bowel disease (IBD) ?
2. Bagimana
Sasaran,srategi, dan penatalaksanaan dari Inflammatory bowel disease (IBD) ?
3. Bagaimana
Evaluasi Obat-obat yang beredar di Indonesia ?
C.
Tujuan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk
mengetahui Patofisiologi dari Inflammatory bowel disease (IBD).
2. Untuk
mengetahui Sasaran, srategi, dan penatalaksanaan dari Inflammatory bowel
disease (IBD).
3. Untuk
mengetahui Evaluasi Obat-obat yang beredar di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Inflammatory
Bowel Disease
Inflammatory
bowel disease (IBD)
merupakan penyakit idiopatik, yang diperkirakan melibatkan reaksi imun dalam
tubuh terhadap saluran pencernaan. Dua tipe mayor daripada penyakit ini adalah Ulcerative
Colitis (UC) dan Crohn Disease (CD). Seperti namanya, UC terbatas pada kolon, sedangkan CD
mencakup semua segmen daripada traktus gastrointestinal dari mulut sampai anus.
Kedua
kelainan tersebut harus dibedakan dengan kelainan yang mirip seperti infeksi,
alergi dan keganasan. Karena IBD sering berhubungan dengan gejala klinis
ekstraintestinal yang beragam dan mencakup berbagai organ seperti kulit,
muskuloskeletal, hepato-bilier, mata, ginjal hematokrit dan gangguan tumbuh
kembang, maka klinisi harus memperhatikan kelainan tersebut sebagai bagian dari
gejala klinis IBD.
B.
Epidemiologi
Sekitar
satu hingga dua juta orang di Amerika Serikat diperkirakan mengalami KU
ataupun
PC, dengan insindens berkisar 70-150 kasus per 100.000
individu. Sedangkan di Eropa, insidens KU berkisar 7.3 kasus per
100.000 penduduk dan insidens PC sekitar 5.8 kasus per 100.000 penduduk.6 Di Indonesia
sendiri
belum ada studi epidemiologi mengenai IBD, data masih
didasarkan laporan rumah sakit saja (hospital based).
Simadibrata dari Jakarta pada tahun 2002 melaporkan 5.2% kasus
PC
dan KU dari seluruh total kasus kolonoskopi yang dilakukan di
RS Cipto Mangunkusumo.
Dari
data di unit endoskopi pada beberapa rumah sakit di Jakarta (RSCM, RS Tebet,
RS
Siloam Gleaneagles, RS Jakarta) terdapat kesan bahwa kasus
IBD berkisar 12.2% kasus yang dikirim dengan diare kronik, 3.9%
kasus
hematoschezia, 25.9% kasus diare kronik, berdarah dan nyeri
perut, sedangkan pada kasus nyeri perut didapatkan sekitar
2.8%.
Data
ini juga menyebutkan bahwa secara umum, kejadian KU lebih banyak dari pada kasus PC.4 Secara
global dikatakan bahwa insidens IBD adalah 10 kasus per
100.000
penduduk, KU 2.2–14.3 kasus per 100.000 penduduk dan PC
3.1–14.6 kasus per 100.000 penduduk.
B.
Etiologi
Walaupun
etiologi sebenarnya tidak pasti, ada penelitian yang memperkirakan teori
etiologi IBD, yaitu infeksi spesifik yang persisten, disbiosis (ratio abnormal
daripada agen mikroba yang menguntungkan dan komensal yang merugikan), fungsi
barier mukosa yang terganggu, dan clearance mikroba yang terganggu.3 Faktor-faktor
pencetus yang memungkinkan terjadinya aktivasi respon imun pada IBD adalah
organisme patogenik (yang belum dapat diidentifikasi), respon imun terhadap
antigen intraluminal (contohnya protein dari susu sapi), atau suatu proses
autoimun dimana ada respon imun yang appropriate terhadap antigen
intraluminal, adapula respon yang inappropriate pada antigen yang mirip
yang terjadi pada sel epitel intestinal (contohnya perubahan fungsi barrier).
Menurut studi prospektif E3N, ditemukan bahwa makan makanan dengan protein
hewani yang tinggi (daging atau ikan) berhubungan dengan meningkatnya resiko
terjadi IBD.1
Penderita
IBD mungkin memiliki predisposisi genetik terhadap penyakit ini. Beberapa
penelitian menemukan kromosom 16 (gen IBD1), yang akhirnya menyebabkan
teridentifikasinya gen NOD2 (yang saat ini disebut CARD15) merupakan gen
pertama yang secara jelas beruhubugan dengan IBD (merupakan gen yang dicurigai
berhubungan terhadap CD). Ada juga penelitian yang menemukan kromosom 5 (5q31)
dan 6 (6p21 dan 19p) sebagai gen yang dicurigai ada hubungannya dengan IBD.
Kesimpulannya, dari semua gen-gen yang berpotensial ini, mereka dikatakan bukan
penyebab (kausatif) daripada IBD, namun gen-gen ini mendukung untuk terjadinya
IBD (permisif).1
Resiko
berkembangnya UC meningkat pada orang-orang yang tidak merokok, namun bukan
berarti dengan merokok dapat menimbulkan perbaikan gejala terhadap penyakit
UC. Sebaliknya, untuk CD insiden lebih tinggi ditemukan pada perokok daripada
populasi umum, dan pasien-pasien dengan CD yang tetap melanjutkan merokok akan
lebih sedikit responnya terhadap terapi.
D.
Patogenesis
Beberapa faktor predisposisi
terjadinya IBD adalah:
a.
Faktor Genetik
Penderita IBD mempunyai faktor predisposisi
genetik. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa 25% penderita IBD memiliki
riwayat keluarga dengan IBD. (penulis lain 10-25%). Pada kembar monozigot
peluang untuk Penyakit Crohn sekitar 42%-58% dan peluang untuk Kolitis
Ulserativa sekitar 6%-17%.
Sampai saat ini telah ditemukan beberapa kelainan
kromosom yang berhubungan dengan Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa atau
keduanya. Kromosom 16 (gen IBDI) atau gen CARD15 berhubungan dengan Penyakit
Crohn. Perinuclear antinetrophil antibody (pANCA) ditemukan pada
70% penderita Kolitis Ulserativa. Kromosom 5 (5q31), 6 (6p21 dan 19p) sering
ditemukan pada penderita IBD.
b.
Faktor
Lingkungan
Faktor lingkungan lain yang diduga pencetus IBD adalah stres psikososial,
faktor makanan, seperti pajanan susu sapi atau food additives, asupan
serat kurang dan zat toksin lingkungan.
c.
Faktor
Imunologi
Kelainan respon kekebalan telah diduga mempunyai peranan dalam patogenesis
IBD. Pada IBD, setelah pajanan primer oleh antigen, sistem kekebalan akan
mengalami kelainan regulasi yang bersifat menetap dan bertindak sebagai
lingkaran setan yang mengakibatkan proses inflamasi. Sel T helper/CD4+
mempunyai peran penting dalam kelainan regulasi sistem kekebalan pada IBD. Sel
Th1 menghasilkan interleukin (IL)-2, interferon (INF)-g, dan tumor necrosis factor (TNF)-a yang merangsang reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Sel Th1 dan sitokin
yang dihasilkan akan merangsang aktivasi makrofag dan pembentukan granuloma,
merupakan gambaran histologi yang sering ditemukan pada Penyakit Crohn.. Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan sitokin seperti
IL-4. IL-5, Il-6 dan Il-10, akan merangsang antibody-mediated immune respons.
Hal ini akan mengakibatkan
kerusakan jaringan oleh aktivasi antibodi dan komplemen lebih sering ditemukan
pada Kolitis Ulserativa.
Beberapa penelitian telah membuktikan kelainan autoimun dengan adanya
antibodi, immune-complex complement atau aktifitas limfosit terhadap
mukosa kolon, namun semua fenomena ini tidak berlangsung secara konsisten dan
tidak berhubungan dengan perjalanan penyakit. Selain itu, adanya kerusakan sel
mukosa tanpa disertai adanya agen eksogen spesifik, dan respon terhadap
pemberian kortikosteroid dan obat imunosupresif mendukung kemungkinan mekanisme
kelainan kekebalan. Pada Kolitis Ulserativa ternyata berhubungan dengan
prevalens atopi keluarga, dan umumnya disertai dengan kelainan ekstraintestinal
seperti eritema nodusum, artritis, dan uveitis. Akan tetapi, sampai saat ini
masih belum dapat dibuktikan apakah kelainan kekebalan tersebut mempunyai
peranan primer atau sekunder pada patogenesis IBD. Diduga, kelainan kekebalan
poligenik, yang menjelaskan manifestasi klinis yang beragam pada IBD.
Sistem kekebalan humoral lokal saluran gastrointestinal pada IBD diduga
mempunyai kelainan. Pada periode neonatus, defisiensi immunoglobulin A (IgA)
sekretori atau fungsi barier mukosa yang imatur akan menyebabkan meningkatnya
permeabilitas terhadap protein-protein di lumen usus yang bersifat antigenik,
sehingga terjadi peningkatan pajanan terhadap makromolekul dan sensitasi sistem
kekebalan saluran pencernaan terhadap antigen, bakteri atau alergen makanan dan
perubahan sekresi dan komposisi mukus. Pendapat lain mengatakan bahwa local
gut associated lymphoid tissue mengalami sensitasi terhadap antigen,
kemudian membentuk tahapan/dasar yang kemudian hari teraktivasi oleh pajanan cross-reacting
antigents melalui respon imun antibody-dependent cell-mediated.
d.
Integritas
Epitel
Kelainan barier epitel mukosa akan menyebabkan peningkatan pajanan antigen
terhadap sistem kekebalan traktus gastrointestinal diduga sebagai faktor
inisial pada IBD. Pada Penyakit Crohn dijumpai adanya gangguan integritas
mukosa yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas terhadap protein-protein
dilumen usus yang bersifat antigenik, sehingga terjadi perubahan sekresi dan
komposisi mukus. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan antibodi spesifik
terhadap protein susu sapi, produk-produk bakteri enterik, dan protein luminal
pada penderita Penyakit Crohn.
Konsep Dasar Patogenesis
C.
Patofisiologi
Jalur akhir umum daripada patofisiologi IBD adalah
inflamasi pada mukosa traktus intestinal menyebabkan ulserasi, edema,
perdarahan, kemudian hilangnya air dan elektrolit. Banyak mediator inflamasi yang telah diidentifikasi pada IBD,
dimana mediator-mediator ini memiliki peranan penting pada patologi dan
karakteristik klinik penyakit ini. Sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag
karena respon daripada berbagai rangsangan antigenik, berikatan dengan
reseptor-reseptor yang berbeda, kemudian menghasilkan efek-efek autokrin,
parakrin, dan endokrin. Sitokin juga akan mendiferensiasikan limfosit menjadi
berbagai tipe sel T. Sel T helper tipe 1 (TH-1) berhubungan dengan CD, sedangkan TH-2 berhubungan dengan UC.
Respon imun inilah yang akan merusak mukosa intestinal dan menyebab proses
inflamasi yang kronis.
Ulcerative
Colitis Pada UC,
inflamasi dimulai dari rektum dan meluas sampai kolon bagian proksimal, dengan
cepat melibatkan hampir seluruh bagian dari usus besar. Rektum selalu terkena
pada UC, dan tidak ada “skip area” (area normal pada usus yang
diselang-selingi oleh area yang terkena penyakit), dimana skip area ini
didapatkan pada CD. 25%
dari kasus UC perluasannya hanya sampai rektum saja dan sisanya, biasanya
menyebar ke proksimal dan sekitarnya. Pancolitis terjadi pada 10% dari
kasus-kasus yang ada. Usus halus tidak pernah terlibat kecuali jika bagian
akhir distal daripada ileum mengalami inflamasi superfisial, maka dapat disebut
dengan backwash ileitis. Walaupun keterlibatan total dari kolon lebih
sedikit, penyakit ini menyerang serentak dan berkesinambungan. Jika UC menjadi kronik, maka kolon akan
menjadi kaku (rigid), memiliki sedikit haustral marking, yang
menyebabkan gambaran pipa yang lebam/hitam pada barium enema.
Crohn
Disease CD dapat melibatkan bagian manapun daripada saluran pencernaan,
mulai dari mulut sampai anus, dan menyebabkan tiga pola penyakit yaitu penyakit
inflamasi, striktur, dan fistula. Penyakit ini melibatkan segmen-segmen oleh
karena proses inflamasi granuloma nonspesifik. Tanda patologi yang paling
penting dari CD adalah transmural, melibatkan seluruh lapisan daripada usus,
tidak hanya mukosa dan submukosa, dimana jika mukosa dan submukosa saja
merupakan cirri daripada UC. Selain itu, CD tidak berkesinambungan, dan
memiliki skip area antara satu atau lebih dari area yang terkena
penyakit. Jika penyakit
ini berlanjut, mukosa akan tampak seperti batu bulat (cobblestone) oleh
karena ulserasi yang dalam dan longitudinal pada mukosa yang normal. Tiga pola
mayor dari keterlibatan terhadap CD adalah penyakit pada ileum dan ceccum
(40%), penyakit terbatas pada usus halus (30%) dan terbatas pada kolon (25%). Rectal
sparing khas terjadi pada CD, tetapi tidak selalu terjadi. Namun,
komplikasi anorektal seperti fistula 7 dan abses sering terjadi. Walaupun
jarang terjadi, CD dapat melibatkan bagian saluran pencernaan yang lebih
proksimal, seperti mulut, lidah, esofagus, lambung dan duodenum.
E. Sasaran, Startegi, dan Penatalaksanaan
Sasaran Strategi Terapi
a.
Ulcerative Colitis
Ø
Ringan sampai Sedang Penyakit
Kebanyakan pasien dengan ulseratif aktif kolitis
memiliki penyakit ringan sampai sedang dan tidak memerlukan parenteral obat
(Gambar 36-2 ) . Baris pertama terapi obat untuk pasien dengan penyakit yang
luas adalah sulfasalazine lisan atau mesalamine turunan oral. Mesalamine
topikal lebih efektif daripada mesalamine lisan atau steroid topikal untuk
disease.36 distal Kombinasi lisan dan mesalamine topikal lebih efektif daripada
baik sendiri untuk distal aktif disease.26 , 36,64,65 Bila diberikan secara
oral , biasanya 4 sampai 6 g / hari , dan mungkin hingga 8 g / hari , dari
sulfasalazine diperlukan untuk mencapai kendali aktif peradangan. Apabila tidak
dapat peningkatan dapat dengan peningkatan dosis lebih dari 6 g / hari,
meskipun efek samping meningkat. Bahkan dengan penggunaan dosis yang memadai ,
peningkatan pasien biasanya memakan waktu 4 minggu , dan kadang-kadang longer.
Dosis sulfasalazine yang dapat diberikan biasanya dibatasi oleh toleransi
pasien agen , kebanyakan efek samping dari sulfasalazine berkaitan dengan dosis
( GI gangguan , sakit kepala , dan arthralgia ) .Terapi Sulfasalazine harus
dilembagakan pada 500 mg / hari dan meningkat setiap beberapa hari hingga 4 g /
hari atau maksimal ditoleransi . Ini tidak boleh digunakan pada pasien dengan
alergi terhadap sulfonamide mengandung obat . Mesalamine jelas lebih efektif
daripada placebo tapi tidak lebih efektif daripada sulfasalazine untuk penyakit
yang luas.
Ø
Parah Atau Terselesaikan Penyakit
Pasien dengan kolitis berat yang tidak terkontrol atau
yang memiliki incapacitating gejala memerlukan rawat inap untuk manajemen yang
efektif . Sebagian besar obat diberikan melalui rute parenteral . Secara
keseluruhan sulit untuk mengevaluasi obat dalam pengaturan ini , karena pasien
dengan penyakit berat hampir selalu menerima obat tambahan termasuk steroid . Steroid
telah berharga dalam pengobatan penyakit yang parah karena penggunaan agen ini
dapat memungkinkan beberapa pasien untuk menghindari kolektomi . Hidrokortison
intravena 300 hingga 400 mg sehari dalam tiga dosis terbagi atau
methylprednisolone 48-60 mg sekali sehari adalah dipertimbangkan sebagai lini
pertama agents. Methylprednisolone biasanya disukai karena efek
mineralokortikoid yang lebih rendah.
Terapi Ulcerative Colitis
Ø
Mempertahankan remisi
Setelah remisi dari penyakit aktif dicapai , tujuan
terapi adalah untuk kemudian mempertahankan remisi . Para agen utama yang
digunakan untuk pemeliharaan remisi adalah sulfasalazine dan mesalamine yang
derivatives. Nilai sulfasalazine dalam mencegah kekambuhan telah
didokumentasikan dalam beberapa trials.80 placebo-controlled. Sulfasalazine ,
paling sering diberikan 2 g / hari , lebih unggul mesalamine ketika menggunakan
titik akhir utama kegagalan untuk mempertahankan endoskopi atau remisi klinis (
rasio odds kepercayaan 1,29 [ 95 % Interval 1,05-1,57 ] ) .Sulfasalazine juga
tampaknya lebih efektif dalam mempertahankan remisi dibandingkan dengan agen
baru , seperti olsalazine . Untuk pasien dengan penyakit distal atau proktitis
, enema mesalamine atau supositoria dianggap lini pertama agents. Frekuensi
administrasi agen topikal mungkin dapat mengurangi ke setiap malam ketiga dari
waktu ke waktu . Agen lisan , termasuk sulfasalazine , mesalamine , dan
Balsalazide , juga pilihan efektif jika pasien melakukan tidak ingin
menggunakan preparations. Kombinasi mesalamine topikal dan oral unggul baik
rejimen sendiri untuk terapi pemeliharaan
b. Crohn’s
Disease
Manajemen penyakit
Crohn sering terbukti lebih sulit daripada pengelolaan ulcerative colitis, sebagian karena semakin besar kompleksitas presentasi dengan penyakit Crohn (Gambar 2 ).
Penyakit ini melibatkan setiap segmen dari saluran pencernaan, dari mulut ke anus, dan
mungkin melibatkan struktur visceral lain dan jaringan
lunak
melalui fistulization.
melalui fistulization.
Terapi Crohn’s Disease
Ø
Penyakit Crohn aktif
Tujuan dari pengobatan
untuk penyakit Crohn aktif
adalah untuk mencapai remisi. Namun, pada banyak pasien, pengurangan gejala sehingga pasien dapat melakukan kegiatan normal, atau pengurangan dosis steroid
diperlukan untuk kontrol , merupakan prestasi yang signifikan . Dalam
mayoritas pasien , penyakit Crohn aktif diobati dengan sulfasalazine , derivatif mesalamine , atau steroid ,
meskipun azathioprine , merkaptopurin , methotrexate , infliximab , dan
metronidazol sering digunakan . Peran sulfasalazine dalam pengobatan penyakit
aktif Crohn tidak juga ditetapkan sebagai perannya dalam pengobatan ulseratif
kolitis . Sulfasalazine unggul dengan plasebo , tetapi lebih efektif bila Penyakit Crohn melibatkan colon. Hasil variabel pada pasien dengan aktif Crohn disease. Hanya beberapa percobaan kecil dengan menggunakan Asacol sebesar 3,8 g / hari atau Pentasa pada 4 g / hari memiliki
menunjukkan keunggulan dengan plasebo untuk pengobatan aktif Crohn disease. Meskipun efektivitas variabel , turunan mesalamine mungkin lebih baik ditoleransi daripada sulfasalazine , terutama pada dosis yang lebih tinggi
kolitis . Sulfasalazine unggul dengan plasebo , tetapi lebih efektif bila Penyakit Crohn melibatkan colon. Hasil variabel pada pasien dengan aktif Crohn disease. Hanya beberapa percobaan kecil dengan menggunakan Asacol sebesar 3,8 g / hari atau Pentasa pada 4 g / hari memiliki
menunjukkan keunggulan dengan plasebo untuk pengobatan aktif Crohn disease. Meskipun efektivitas variabel , turunan mesalamine mungkin lebih baik ditoleransi daripada sulfasalazine , terutama pada dosis yang lebih tinggi
Ø Pemeliharaan Remisi
Pencegahan
kambuhnya penyakit jelas lebih sulit dengan Penyakit Crohn daripada dengan kolitis ulserativa. Ada bukti minimal untuk
mendukung sulfasalazine dan
efektivitas mesalamine derivatif
lisan untuk pemeliharaan penyakit
Crohn berikut medis
remission. diinduksiMeskipun temuan ini,
upaya untuk mempertahankan remisi dengan sulfasalazine
dan mesalamine mulut
setelah induksi medis remisi adalah wajar
mengingat side effect menguntungkan
profil obat ini dibandingkan
dengan imunosupresif yang agen dan infliximab.79 mesalamine
tidak muncul untuk memiliki beberapa
keberhasilan dalam mencegah kekambuhan
pascaoperasi setelah reseksi, dengan
pengurangan risiko absolut dari 10% sampai 15% untuk kambuh dilaporkan di beberapa studi.
pengurangan risiko absolut dari 10% sampai 15% untuk kambuh dilaporkan di beberapa studi.
Penatalaksaan Terapi
Tujuan terapi pada IBD adalah mengurangi proses inflamasi, mencegah
komplikasi dan mencegah relaps atau perburukan penyakit, memperbaiki status
nutrisi dan kualitas hidup.
Konsultasi ke bagian Gizi dilakukan karena gagal tumbuh sering terjadi pada
penderita IBD. Tujuan dari dukungan nutrisi adalah pemulihan hemostasis
metabolisme dengan koreksi defisit nutrien dan mengganti ongoing losses;
kecukupan energi, protein dan mineral untuk keseimbangan positif nitrogen
dan penyembuhan. Sampai saat belum diketahui zat makanan tertentu yang
menyebabkan aktivasi IBD. Pemberian nutrisi enteral mungkin mempengaruhi proses
inflamasi pada Penyakit Crohn, tetapi tidak mempunyai penranan dalam proses
inflamasi pada Kolitis Ulserativa.
o
Terapi Medikamentosa
Medikamentosa
yang digunakan untuk induksi remisi, mempertahankan remisi, mencegah dan
mengurangi relaps adalah:
1.
Aminosalisilat
(ASA), terutama untuk mempertahankan remisi. Dosis tinggi digunakan untuk
induksi remisi
· Sulfasalasin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam 2-4
dosis, dapat ditingkatkan sampai 75 mg/kg
· Mesalamin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam2-4 dosis
(maksimal 3,2g/hari).
· Olsalazin, dosis 30 mg/kg/hari dalam 2 dosis
2. Kortikosteroid, untuk induksi remisi. Tidak
berperan dalam mempertahankan remisi.
· Prednison, dosis: 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal atau
dosis terbagi
· Metilprednisolon, dosis: 2 mg/kg/hari dalam 2-3
dosis
3. Imunomodulator, digunakan untuk induksi dan
mempertahankan remisi.
· Azathioprine, dosis: 2-2,5 mg/kg/hari dosis tunggal
· 6-Mercatopurin, dosis: 1,5 mg/kg/hari dosis tunggal
4. Anti-tumor necrosis factor untuk induksi remisi
· Infliximab merupakan antibodi monoklonal
anti-TNF-alfa. Infliximab, dosis: 5 mg/kg dilarutkan dengan 250 ml NaCl
fisiologis secara intravena. Infliximab dosis tunggal untuk Penyakit Crohn
derajat moderat-berat atau pada fistula dengan dosis 5mg/kg dalam 2 jam 3 kali
pada minggu 0, 2, dan 6, sering diikuti pemberian setiap 8 minggu. Data penggunaan infliximab pada Kolitis Ulserativa
tidak sebaik pada Penyakit Crohn.
5.
Antibiotika
· Metronidazole, dosis: 30-50 mg/kg/hari dalam 3
dosis. Metronidazole diberikan pada kelainan perianal Penyakit Crohn
Terapi
medikamentosa pada Kolitis Ulserativa tergantung dari derajat berat dan luasnya
inflamasi. Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk mengendalikan proses
inflamasi, menghilangkan gejala klinis, mencegah komplikasi, dan mencegah
relaps, serta mempersiapkan untuk tindakan bedah karena 20% penderita akan
mengalami tindakan bedah. Luasnya inflamasi terbagi menjadi 2 tipe yaitu:
· Tipe distal, inflamasi terbatas pada kolon dibawah
fleksura llienalis dan dapat dicapai dengan terapi topikal
· Tipe ekstensif, inflamasi meluas kearah proksimal
dari fleksura lienalis dan memerlukan terapi sistemik
Pada Penyakit
Crohn sampai saat ini belum ada terapi definitif, penatalaksanaan umumnya
terdiri dari terapi medikamentosa dan dukungan nutrisi. Sampai saat ini, belum
ada regimen medikamentosa yang dapat mempengaruhi outcome jangka panjang
Penyakit Crohn. Oleh karena
itu, medika mentosa digunakan untuk serangan eksaserbasi dan mengurangi
frekuensi serangan eksaserbasi.
o
Terapi Bedah
Pendekatan terapi bedah pada IBD tergantung dari
jenis dan berat penyakit. Tujuan terapi bedah pada Kolitis Ulserativa dan
Penyakit Crohn berbeda. Karena kelainan Kolitis Ulserativa terbatas pada kolon,
maka total kolektomi merupakan terapi definitif. Akan tetapi, pada Penyakit
Crohn dimana kelainan traktus gastrointestinal dapat terjadi mulai dari mulut
sampai anus, saat ini belum ada terapi bedah definitif.
Indikasi bedah Penyakit Crohn
adalah:
· Obstruksi traktus gastrointestinal
· Fistula
· Abses
· Perdarahan yang tidak terkontrol
· Megakolon toksik
· Perforasi
· Penyakit fulminan yang tidak responsif terhadap
terapi medikamentosa
· Gagal tumbuh dengan kelainan mukosa traktus
gastrointestinal yang terbatas (localized disease)
Indikasi bedah
untuk Kolitis Ulserativa adalah:
· Megakolon toksik
· Perdarahan yang masif/tidak terkontrol
· Perforasi
· Prolonged corticostreoid dependent
· Komplikasi akibat kortikosteroid pada penyakit
kronis aktif
· Gagal tumbuh setelah mendapat dukungan nutrisi
· Displasia epitel dan resiko tinggi keganasan
· Penyakit yang tidak respon terhadap terapi
medikamentosa
· Struktur
F. Evaluasi Obat
Langkah pertama dalam terapi pengobatan biasanya
adalah aminosalicylates. Beberapa keuntungan telah ditunjukkan untuk agen
tertentu baik untuk kolitis ulserativa maupun penyakit Crohn. Untuk
penyakit Crohn, metronidazole atau siprofloksasin kadang-kadang digunakan,
terutama untuk penyakit perianal atau peradangan massa. Kebutuhan dosis
mesalamine beberapa kali sehari baru-baru ini dipertanyakan.
Sebuah studi oleh Sandborn dkk membandingkan
efektivitas dan keamanan Mesalamine 400 mg dengan dosis dua kali sehari untuk
pemeliharaan remisi. Saat 6 bulan terapi, 90,5% dari pasien yang menerima dosis
sekali sehari berhasil mempertahankan remisi klinis, dibandingkan dengan 91,8%
dari mereka yang menerima dosis dua kali sehari. Saat 12 bulan terapi,
kedua kelompok memiliki tingkat perawatan klinis identik 85,4% (Molodecky. 2010).
Ketika IBD gagal merespon aminosalicylates, langkah
kedua adalah kortikosteroid. Kortikosteroid cenderung memberikan remisi cepat
gejala dan penurunan yang signifikan dalam peradangan tetapi dibatasi oleh efek
sampingnya, terutama untuk penggunaan jangka panjang. Konsensus tentang
pengobatan dengan kortikosteroid adalah bahwa mereka harus di-tappering-off
secepat mungkin. Kortikosteroid tidak memiliki peran dalam mempertahankan
remisi. Jika pasien mengalami kesulitan mengurangi dosis kortikosteroid, IBD refrakter
terhadap terapi kortikosteroid, atau memiliki flare yang sering dan memerlukan
terapi kortikosteroid.
Langkah ketiga untuk pengobatan adalah salah satu agen
imunomodulator baik 6-MP atau azathioprine. Agen ini tidak digunakan
untuk flare akut karena waktu dari awal pengobatan untuk terjadinya tindakan
yang signifikan mungkin selama 2-3 bulan. Respon untuk agen-agen ini
mungkin tergantung dosis. Dilakukan pemantauan jumlah sel
darah untuk melindungi pasien dari toksisitas hematologi yang terkait dengan
agen ini.
Langkah ketiga alternatif yang tersedia adalah
infliximab, yaitu antibodi monoklonal terhadap tumor necrosis factor
(TNF)-alpha. Pemberiannya secara intravena melalui infus. Obat ini umumnya diberikan dalam 3 dosis selama 6
minggu, yaitu pada minggu 0, 2, dan 6, diikuti dengan regimen
pemeliharaan. Pemberian obat setiap 8 minggu telah terbukti efektif untuk
mempertahankan remisi. Infliximab memiliki tingkat respon yang sangat baik
untuk penyakit Crohn (> 80%) sedangkan laju respon untuk kolitis ulseratif
telah berkurang (sekitar 50%).
Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui
prednisone, budesonide, dan infliximab untuk pengobatan penyakit Crohn.
Infliximab juga disetujui FDA untuk pengobatan kolitis ulserativa. Imunomodulator thiopurine tunggal atau
dengan kombinasi obat lain memiliki efek yang tahan lama dan positif terhadap
kualitas hidup pasien IBD ( Bastida et al. 2010). Langkah terakhir untuk pengobatan IBD
melibatkan agen yang memiliki tingkat keberhasilan yang kurang baik.
Untuk penyakit Crohn, methotrexate 12,5-25 mg/minggu termasuk dalam kategori
ini. Untuk kolitis ulseratif, siklosporin A (biasanya dimulai secara
intravena) dan patch nikotin juga termasuk dalam kategori ini. Akhirnya,
sejumlah uji klinis agen biologis dan diet yang sedang dilakukan dapat
menunjukkan kemanjuran pada orang dengan IBD.
Beberapa pasien melaporkan gejala seperti diare,
kejang/nyeri, ketidaknyamanan epigastrium dan peradangan sehingga perlu
obat-obatan simptomatik untuk mengurangi gejala-gejala tersebut.
Pengobatan ini termasuk terapi dengan agen antidiare, agen pengikat asam
empedu, antispasmodik, dan penekan asam sesuai kebutuhan. Obat-obat ini
bukan tanpa komplikasi dan kehati-hatian diperlukan. Indikasi absolut untuk pemberian
besi intravena mencakup anemia berat, intoleransi atau besi oral, penyakit usus
berat, atau penggunaan agen perangsang eritropoietik ( Muñoz. 2009).
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
1.
Patofisiologis
IBDsecara umum, karena adanya banyak mediator inflamasi yang telah
diidentifikasi pada IBD, dimana mediator-mediator ini memiliki peranan penting
pada patologi dan karakteristik klinik penyakit ini. Sitokin yang dikeluarkan
oleh makrofag karena respon daripada berbagai rangsangan antigenik, berikatan
dengan reseptor-reseptor yang berbeda, kemudian menghasilkan efek-efek
autokrin, parakrin, dan endokrin. Sitokin juga akan mendiferensiasikan limfosit
menjadi berbagai tipe sel T. Sel T helper tipe 1 (TH-1) berhubungan dengan CD, sedangkan TH-2 berhubungan dengan UC.
Respon imun inilah yang akan merusak mukosa intestinal dan menyebab proses
inflamasi yang kronis.
2. Sasaran
Strategi Terapi dari IBD
·
Ulcerative Colitis yaitu terdiri dari Ringan sampai Sedang Penyakit, Parah atau terselesaikan Penyakit,dan Mempertahankan remisi.
·
Crohn’s Disease yaitu Penyakit Crohn aktif dan Pemeliharaan Remisi.
Tujuan terapi pada IBD adalah
mengurangi proses inflamasi, mencegah komplikasi dan mencegah relaps atau
perburukan penyakit, memperbaiki status nutrisi dan kualitas hidup. Terapi IBD
terdiri dari terapi medikamentosa dan terapi bedah.,
3. Evaluasi Obat IBD yaitu salah satu obat aminosalicylates, Untuk penyakit
Crohn, metronidazole atau siprofloksasin, Kortikosteroid, agen imunomodulator
baik 6-MP atau azathioprine. Langkah ketiga alternative yang tersedia adalah
infliximab, yaitu antibodi monoclonal.
Food and Drug Administration
(FDA) telah menyetujui prednisone, budesonide, dan infliximab untuk pengobatan
penyakit Crohn. Infliximab juga disetujui FDA untuk pengobatan kolitis
ulserativa.
DAFTAR PUSTAKA
Bastida
G, Nos P, Aguas M, et al. 2010.The effects of thiopurine therapy on health-
related quality of life in Inflammatory Bowel Disease patients. BMC
Gastroenterology.
Dipiro, JT,et all. 2000. Pharmacoterapy,A,
Pathophysiologic Approach,7th Edition, Mc-Graw Hill USA
Hyams J. Inflammatory Bowel Disease.
Richard EB, Robert MK, Hal BJ, editor. Nelson Texbook of Pediatrics. Edisi
ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. Hal 1248-1255
Kathleen
a. Calendra, W.Daniel J, Richard JG. Inflammatory Bowel Disease. M.Gracey,
Valerie B, editor Pediatric gastroenterology and hepatology. Edisi ke-3.
Boston: Blackwell,1993. Hlm 859-879.
M,
Gómez-ramírez S, García-erce JA. 2009. Intravenous iron in inflammatory bowel
disease. Journal of Gastroenterology.;15(37):4666-4674.
Molodecky
NA, Kaplan GG. 2010. Environmental Risk Factors for Inflammatory Bowel Disease.
Hepatology.;6(5):339-346.
Rowe
WA. Inflammatory Bowel Disease. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/179037-print.
V.Alin Botoman, Gregory F. Bonner,
Daniella A. Bootman. Management of Inflammatory Bowel Disease.
http//www.aafp.org/
William A Rowe. Inflammatory Bowel Disease.
Htttp://www.emedicine.com
BalasHapusAlthough therapy has become more tolerable and once daily FDC tables have made it easier to adhere to prescribed treatment, it still requires that patients take their medication regularly to achieve sustained viral suppression. When treatment adherence is inadequate and replication is therefore not suppressed, But dr itua promised and fulfilled his promised to me as he said I will share his work to people that are suffering from Infertility, Herpes,Cervical Cancer,Bone Cancer,Brain Cancer,Prostate Cancer,Leukemia,Brain Tumor,Breast Cancer,Blood Cancer,Kidney Cancer,, Hepatitis A/B, Fibroid, HIV/ Aids, Alzheimer's disease, Arthritis, Copd, Diabetes, Liver/Kidney Inflamotry,Glaucoma., Cataracts,Macular degeneration,Cardiovascular disease,Lung disease.Enlarged prostate,Osteoporosis.Alzheimer's disease,
Dementia. Fibromyalgia,Bipolar Disorder, Parkinson's disease, I have read a lot of testimony online from Jesus McKinney,Achima Abelard and Tara Omar on how dr itua heal them with his herbal medicine I contacted him on Email drituaherbalcenter@gmail.com /info@drituaherbalcenter.com. then we talk on whatsapp +2348149277967 he gave me instruction on how to drink it for two weeks then after drinking it for two weeks I went for test then I find out I was cured of HIV, I thank him allot i also send him some money for appreciation, Contact this great herbal doctor if you are a sick person.