Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 27 September 2014

Inflammatory bowel disease (IBD)

BAB I

PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang

Inflammatory bowel disease (IBD) menggambarkan kondisi peradangan saluran cerna kronik dan idiopatik. Secara umum dibagi atas kolitis ulseratif (KU), penyakit Crohn (PC) dan IBD type unclassifi ed (IBDU, dulu dikenal sebagai indeterminate colitis).1
Etiopatogenesis IBD belum sepenuhnya dimengerti. Faktor genetik dan lingkungan dalam saluran cerna seperti perubahan bakteri usus dan peningkatan permeabilitas epitel saluran cerna diduga berperan dalam gangguan imunitas saluran cerna yang berujung pada kerusakan saluran cerna.1-3
Insidens IBD sejak akhir Perang Dunia ke- II di negara Barat sampai dasawarsa 90-an selalu meningkat dan cenderung terjadi pada kelompok kulit putih, sosial ekonomi tinggi, bukan perokok, pemakai kontrasepsi oral dan diet rendah.4 Gambaran klinis kedua entitas IBD dapat berbentuk ringan, dalam arti mencapai remisi tanpa penggunaan obatobatan dalam jangka lama atau dalam bentuk kronik aktif yakni pasien mengalami remisi hanya jika mengonsumsi obat-obatan dalam jangka lama. Mengingat patofi siologi IBD yang diterima luas berupa adanya respons imun berlebihan pada saluran cerna maka secara umum terapi IBD saat ini lebih banyak berupa anti-infl amasi atau imunosupresan.2,3,5 Dalam beberapa waktu terakhir, kemajuan pesat terjadi dalam hal pengobatan IBD, khususnya terapi biologi.
Penatalaksanaan IBD sejatinya tidak hanya berupa terapi medis melainkan harus melalui tiga pendekatan yakni rencana diagnostik, rencana Terapeutik dan rencana edukasional.

B.            Rumusan masalah

Permasalahan pada penulisan makalah ini adalah :
1.    Bagaimana Patofisiologi Dari Inflammatory bowel disease (IBD) ?
2.    Bagimana Sasaran,srategi, dan penatalaksanaan dari Inflammatory bowel disease (IBD) ?
3.    Bagaimana Evaluasi Obat-obat yang beredar di Indonesia ?

C.           Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.    Untuk mengetahui Patofisiologi dari Inflammatory bowel disease (IBD).
2.    Untuk mengetahui Sasaran, srategi, dan penatalaksanaan dari Inflammatory bowel disease (IBD).
3.    Untuk mengetahui Evaluasi Obat-obat yang beredar di Indonesia.


 

BAB II

PEMBAHASAN


A.      Definisi Inflammatory Bowel Disease

Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan penyakit idiopatik, yang diperkirakan melibatkan reaksi imun dalam tubuh terhadap saluran pencernaan. Dua tipe mayor daripada penyakit ini adalah Ulcerative Colitis (UC) dan Crohn Disease (CD). Seperti namanya, UC terbatas pada kolon, sedangkan CD mencakup semua segmen daripada traktus gastrointestinal dari mulut sampai anus.
Kedua kelainan tersebut harus dibedakan dengan kelainan yang mirip seperti infeksi, alergi dan keganasan. Karena IBD sering berhubungan dengan gejala klinis ekstraintestinal yang beragam dan mencakup berbagai organ seperti kulit, muskuloskeletal, hepato-bilier, mata, ginjal hematokrit dan gangguan tumbuh kembang, maka klinisi harus memperhatikan kelainan tersebut sebagai bagian dari gejala klinis IBD.

B.       Epidemiologi

Sekitar satu hingga dua juta orang di Amerika Serikat diperkirakan mengalami KU ataupun PC, dengan insindens berkisar 70-150 kasus per 100.000 individu. Sedangkan di Eropa, insidens KU berkisar 7.3 kasus per 100.000 penduduk dan insidens PC sekitar 5.8 kasus per 100.000 penduduk.6 Di Indonesia sendiri belum ada studi epidemiologi mengenai IBD, data masih didasarkan laporan rumah sakit saja (hospital based). Simadibrata dari Jakarta pada tahun 2002 melaporkan 5.2% kasus PC dan KU dari seluruh total kasus kolonoskopi yang dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo.
Dari data di unit endoskopi pada beberapa rumah sakit di Jakarta (RSCM, RS Tebet, RS Siloam Gleaneagles, RS Jakarta) terdapat kesan bahwa kasus IBD berkisar 12.2% kasus yang dikirim dengan diare kronik, 3.9% kasus hematoschezia, 25.9% kasus diare kronik, berdarah dan nyeri perut, sedangkan pada kasus nyeri perut didapatkan sekitar 2.8%.
Data ini juga menyebutkan bahwa secara umum, kejadian KU lebih banyak dari pada kasus PC.4 Secara global dikatakan bahwa insidens IBD adalah 10 kasus per 100.000 penduduk, KU 2.2–14.3 kasus per 100.000 penduduk dan PC 3.1–14.6 kasus per 100.000 penduduk.

B.       Etiologi

Walaupun etiologi sebenarnya tidak pasti, ada penelitian yang memperkirakan teori etiologi IBD, yaitu infeksi spesifik yang persisten, disbiosis (ratio abnormal daripada agen mikroba yang menguntungkan dan komensal yang merugikan), fungsi barier mukosa yang terganggu, dan clearance mikroba yang terganggu.3 Faktor-faktor pencetus yang memungkinkan terjadinya aktivasi respon imun pada IBD adalah organisme patogenik (yang belum dapat diidentifikasi), respon imun terhadap antigen intraluminal (contohnya protein dari susu sapi), atau suatu proses autoimun dimana ada respon imun yang appropriate terhadap antigen intraluminal, adapula respon yang inappropriate pada antigen yang mirip yang terjadi pada sel epitel intestinal (contohnya perubahan fungsi barrier). Menurut studi prospektif E3N, ditemukan bahwa makan makanan dengan protein hewani yang tinggi (daging atau ikan) berhubungan dengan meningkatnya resiko terjadi IBD.1 Penderita IBD mungkin memiliki predisposisi genetik terhadap penyakit ini. Beberapa penelitian menemukan kromosom 16 (gen IBD1), yang akhirnya menyebabkan teridentifikasinya gen NOD2 (yang saat ini disebut CARD15) merupakan gen pertama yang secara jelas beruhubugan dengan IBD (merupakan gen yang dicurigai berhubungan terhadap CD). Ada juga penelitian yang menemukan kromosom 5 (5q31) dan 6 (6p21 dan 19p) sebagai gen yang dicurigai ada hubungannya dengan IBD. Kesimpulannya, dari semua gen-gen yang berpotensial ini, mereka dikatakan bukan penyebab (kausatif) daripada IBD, namun gen-gen ini mendukung untuk terjadinya IBD (permisif).1
Resiko berkembangnya UC meningkat pada orang-orang yang tidak merokok, namun bukan berarti dengan merokok dapat menimbulkan perbaikan gejala terhadap penyakit UC. Sebaliknya, untuk CD insiden lebih tinggi ditemukan pada perokok daripada populasi umum, dan pasien-pasien dengan CD yang tetap melanjutkan merokok akan lebih sedikit responnya terhadap terapi.

D.      Patogenesis

Beberapa faktor predisposisi terjadinya IBD adalah:
a.       Faktor Genetik
Penderita IBD mempunyai faktor predisposisi genetik. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa 25% penderita IBD memiliki riwayat keluarga dengan IBD. (penulis lain 10-25%). Pada kembar monozigot peluang untuk Penyakit Crohn sekitar 42%-58% dan peluang untuk Kolitis Ulserativa sekitar 6%-17%.
Sampai saat ini telah ditemukan beberapa kelainan kromosom yang berhubungan dengan Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa atau keduanya. Kromosom 16 (gen IBDI) atau gen CARD15 berhubungan dengan Penyakit Crohn. Perinuclear antinetrophil antibody (pANCA) ditemukan pada 70% penderita Kolitis Ulserativa. Kromosom 5 (5q31), 6 (6p21 dan 19p) sering ditemukan pada penderita IBD.
b.      Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan lain yang diduga pencetus IBD adalah stres psikososial, faktor makanan, seperti pajanan susu sapi atau food additives, asupan serat kurang dan zat toksin lingkungan.
c.       Faktor Imunologi
Kelainan respon kekebalan telah diduga mempunyai peranan dalam patogenesis IBD. Pada IBD, setelah pajanan primer oleh antigen, sistem kekebalan akan mengalami kelainan regulasi yang bersifat menetap dan bertindak sebagai lingkaran setan yang mengakibatkan proses inflamasi. Sel T helper/CD4+ mempunyai peran penting dalam kelainan regulasi sistem kekebalan pada IBD. Sel Th1 menghasilkan interleukin (IL)-2, interferon (INF)-g, dan tumor necrosis factor (TNF)-a yang merangsang reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Sel Th1 dan sitokin yang dihasilkan akan merangsang aktivasi makrofag dan pembentukan granuloma, merupakan gambaran histologi yang sering ditemukan pada Penyakit Crohn.. Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan sitokin seperti IL-4. IL-5, Il-6 dan Il-10, akan merangsang antibody-mediated immune respons. Hal ini akan mengakibatkan kerusakan jaringan oleh aktivasi antibodi dan komplemen lebih sering ditemukan pada Kolitis Ulserativa.
Beberapa penelitian telah membuktikan kelainan autoimun dengan adanya antibodi, immune-complex complement atau aktifitas limfosit terhadap mukosa kolon, namun semua fenomena ini tidak berlangsung secara konsisten dan tidak berhubungan dengan perjalanan penyakit. Selain itu, adanya kerusakan sel mukosa tanpa disertai adanya agen eksogen spesifik, dan respon terhadap pemberian kortikosteroid dan obat imunosupresif mendukung kemungkinan mekanisme kelainan kekebalan. Pada Kolitis Ulserativa ternyata berhubungan dengan prevalens atopi keluarga, dan umumnya disertai dengan kelainan ekstraintestinal seperti eritema nodusum, artritis, dan uveitis. Akan tetapi, sampai saat ini masih belum dapat dibuktikan apakah kelainan kekebalan tersebut mempunyai peranan primer atau sekunder pada patogenesis IBD. Diduga, kelainan kekebalan poligenik, yang menjelaskan manifestasi klinis yang beragam pada IBD.
Sistem kekebalan humoral lokal saluran gastrointestinal pada IBD diduga mempunyai kelainan. Pada periode neonatus, defisiensi immunoglobulin A (IgA) sekretori atau fungsi barier mukosa yang imatur akan menyebabkan meningkatnya permeabilitas terhadap protein-protein di lumen usus yang bersifat antigenik, sehingga terjadi peningkatan pajanan terhadap makromolekul dan sensitasi sistem kekebalan saluran pencernaan terhadap antigen, bakteri atau alergen makanan dan perubahan sekresi dan komposisi mukus. Pendapat lain mengatakan bahwa local gut associated lymphoid tissue mengalami sensitasi terhadap antigen, kemudian membentuk tahapan/dasar yang kemudian hari teraktivasi oleh pajanan cross-reacting antigents melalui respon imun antibody-dependent cell-mediated.
d.      Integritas Epitel
Kelainan barier epitel mukosa akan menyebabkan peningkatan pajanan antigen terhadap sistem kekebalan traktus gastrointestinal diduga sebagai faktor inisial pada IBD. Pada Penyakit Crohn dijumpai adanya gangguan integritas mukosa yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas terhadap protein-protein dilumen usus yang bersifat antigenik, sehingga terjadi perubahan sekresi dan komposisi mukus. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan antibodi spesifik terhadap protein susu sapi, produk-produk bakteri enterik, dan protein luminal pada penderita Penyakit Crohn.
Konsep Dasar Patogenesis

C.      Patofisiologi

Jalur akhir umum daripada patofisiologi IBD adalah inflamasi pada mukosa traktus intestinal menyebabkan ulserasi, edema, perdarahan, kemudian hilangnya air dan elektrolit. Banyak mediator inflamasi yang telah diidentifikasi pada IBD, dimana mediator-mediator ini memiliki peranan penting pada patologi dan karakteristik klinik penyakit ini. Sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag karena respon daripada berbagai rangsangan antigenik, berikatan dengan reseptor-reseptor yang berbeda, kemudian menghasilkan efek-efek autokrin, parakrin, dan endokrin. Sitokin juga akan mendiferensiasikan limfosit menjadi berbagai tipe sel T. Sel T helper tipe 1 (TH-1) berhubungan dengan CD, sedangkan TH-2 berhubungan dengan UC. Respon imun inilah yang akan merusak mukosa intestinal dan menyebab proses inflamasi yang kronis.
Ulcerative Colitis Pada UC, inflamasi dimulai dari rektum dan meluas sampai kolon bagian proksimal, dengan cepat melibatkan hampir seluruh bagian dari usus besar. Rektum selalu terkena pada UC, dan tidak ada “skip area” (area normal pada usus yang diselang-selingi oleh area yang terkena penyakit), dimana skip area ini didapatkan pada CD. 25% dari kasus UC perluasannya hanya sampai rektum saja dan sisanya, biasanya menyebar ke proksimal dan sekitarnya. Pancolitis terjadi pada 10% dari kasus-kasus yang ada. Usus halus tidak pernah terlibat kecuali jika bagian akhir distal daripada ileum mengalami inflamasi superfisial, maka dapat disebut dengan backwash ileitis. Walaupun keterlibatan total dari kolon lebih sedikit, penyakit ini menyerang serentak dan berkesinambungan. Jika UC menjadi kronik, maka kolon akan menjadi kaku (rigid), memiliki sedikit haustral marking, yang menyebabkan gambaran pipa yang lebam/hitam pada barium enema.
Crohn Disease CD dapat melibatkan bagian manapun daripada saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus, dan menyebabkan tiga pola penyakit yaitu penyakit inflamasi, striktur, dan fistula. Penyakit ini melibatkan segmen-segmen oleh karena proses inflamasi granuloma nonspesifik. Tanda patologi yang paling penting dari CD adalah transmural, melibatkan seluruh lapisan daripada usus, tidak hanya mukosa dan submukosa, dimana jika mukosa dan submukosa saja merupakan cirri daripada UC. Selain itu, CD tidak berkesinambungan, dan memiliki skip area antara satu atau lebih dari area yang terkena penyakit. Jika penyakit ini berlanjut, mukosa akan tampak seperti batu bulat (cobblestone) oleh karena ulserasi yang dalam dan longitudinal pada mukosa yang normal. Tiga pola mayor dari keterlibatan terhadap CD adalah penyakit pada ileum dan ceccum (40%), penyakit terbatas pada usus halus (30%) dan terbatas pada kolon (25%). Rectal sparing khas terjadi pada CD, tetapi tidak selalu terjadi. Namun, komplikasi anorektal seperti fistula 7  dan abses sering terjadi. Walaupun jarang terjadi, CD dapat melibatkan bagian saluran pencernaan yang lebih proksimal, seperti mulut, lidah, esofagus, lambung dan duodenum.




E.       Sasaran, Startegi,  dan Penatalaksanaan

Sasaran Strategi Terapi
a.      Ulcerative Colitis
Ø  Ringan sampai Sedang Penyakit
Kebanyakan pasien dengan ulseratif aktif kolitis memiliki penyakit ringan sampai sedang dan tidak memerlukan parenteral obat (Gambar 36-2 ) . Baris pertama terapi obat untuk pasien dengan penyakit yang luas adalah sulfasalazine lisan atau mesalamine turunan oral. Mesalamine topikal lebih efektif daripada mesalamine lisan atau steroid topikal untuk disease.36 distal Kombinasi lisan dan mesalamine topikal lebih efektif daripada baik sendiri untuk distal aktif disease.26 , 36,64,65 Bila diberikan secara oral , biasanya 4 sampai 6 g / hari , dan mungkin hingga 8 g / hari , dari sulfasalazine diperlukan untuk mencapai kendali aktif peradangan. Apabila tidak dapat peningkatan dapat dengan peningkatan dosis lebih dari 6 g / hari, meskipun efek samping meningkat. Bahkan dengan penggunaan dosis yang memadai , peningkatan pasien biasanya memakan waktu 4 minggu , dan kadang-kadang longer. Dosis sulfasalazine yang dapat diberikan biasanya dibatasi oleh toleransi pasien agen , kebanyakan efek samping dari sulfasalazine berkaitan dengan dosis ( GI gangguan , sakit kepala , dan arthralgia ) .Terapi Sulfasalazine harus dilembagakan pada 500 mg / hari dan meningkat setiap beberapa hari hingga 4 g / hari atau maksimal ditoleransi . Ini tidak boleh digunakan pada pasien dengan alergi terhadap sulfonamide mengandung obat . Mesalamine jelas lebih efektif daripada placebo tapi tidak lebih efektif daripada sulfasalazine untuk penyakit yang luas.
Ø  Parah Atau Terselesaikan Penyakit
Pasien dengan kolitis berat yang tidak terkontrol atau yang memiliki incapacitating gejala memerlukan rawat inap untuk manajemen yang efektif . Sebagian besar obat diberikan melalui rute parenteral . Secara keseluruhan sulit untuk mengevaluasi obat dalam pengaturan ini , karena pasien dengan penyakit berat hampir selalu menerima obat tambahan termasuk steroid . Steroid telah berharga dalam pengobatan penyakit yang parah karena penggunaan agen ini dapat memungkinkan beberapa pasien untuk menghindari kolektomi . Hidrokortison intravena 300 hingga 400 mg sehari dalam tiga dosis terbagi atau methylprednisolone 48-60 mg sekali sehari adalah dipertimbangkan sebagai lini pertama agents. Methylprednisolone biasanya disukai karena efek mineralokortikoid yang lebih rendah.
Terapi Ulcerative Colitis



Ø  Mempertahankan remisi
Setelah remisi dari penyakit aktif dicapai , tujuan terapi adalah untuk kemudian mempertahankan remisi . Para agen utama yang digunakan untuk pemeliharaan remisi adalah sulfasalazine dan mesalamine yang derivatives. Nilai sulfasalazine dalam mencegah kekambuhan telah didokumentasikan dalam beberapa trials.80 placebo-controlled. Sulfasalazine , paling sering diberikan 2 g / hari , lebih unggul mesalamine ketika menggunakan titik akhir utama kegagalan untuk mempertahankan endoskopi atau remisi klinis ( rasio odds kepercayaan 1,29 [ 95 % Interval 1,05-1,57 ] ) .Sulfasalazine juga tampaknya lebih efektif dalam mempertahankan remisi dibandingkan dengan agen baru , seperti olsalazine . Untuk pasien dengan penyakit distal atau proktitis , enema mesalamine atau supositoria dianggap lini pertama agents. Frekuensi administrasi agen topikal mungkin dapat mengurangi ke setiap malam ketiga dari waktu ke waktu . Agen lisan , termasuk sulfasalazine , mesalamine , dan Balsalazide , juga pilihan efektif jika pasien melakukan tidak ingin menggunakan preparations. Kombinasi mesalamine topikal dan oral unggul baik rejimen sendiri untuk terapi pemeliharaan
b.      Crohn’s Disease
Manajemen penyakit Crohn sering terbukti lebih sulit daripada pengelolaan ulcerative colitis, sebagian karena semakin besar kompleksitas presentasi dengan penyakit Crohn (Gambar 2 ). Penyakit ini melibatkan setiap segmen dari saluran pencernaan, dari mulut ke anus, dan mungkin melibatkan struktur visceral lain dan jaringan lunak
melalui fistulization.
Terapi Crohn’s Disease
Ø  Penyakit Crohn aktif
Tujuan dari pengobatan untuk penyakit Crohn aktif adalah untuk mencapai remisi. Namun, pada banyak pasien, pengurangan gejala sehingga pasien dapat melakukan kegiatan normal, atau pengurangan dosis steroid diperlukan untuk kontrol , merupakan prestasi yang signifikan . Dalam mayoritas pasien , penyakit Crohn aktif diobati dengan sulfasalazine , derivatif mesalamine , atau steroid , meskipun azathioprine , merkaptopurin , methotrexate , infliximab , dan metronidazol sering digunakan . Peran sulfasalazine dalam pengobatan penyakit aktif Crohn tidak juga ditetapkan sebagai perannya dalam pengobatan ulseratif
kolitis . Sulfasalazine unggul dengan plasebo , tetapi lebih efektif bila Penyakit Crohn melibatkan colon. Hasil variabel pada pasien dengan aktif Crohn disease. Hanya beberapa percobaan kecil dengan menggunakan Asacol sebesar 3,8 g / hari atau Pentasa pada 4 g / hari memiliki
menunjukkan keunggulan dengan plasebo untuk pengobatan aktif Crohn disease.  Meskipun efektivitas variabel , turunan mesalamine mungkin lebih baik ditoleransi daripada sulfasalazine , terutama pada dosis yang lebih tinggi
Ø Pemeliharaan Remisi
Pencegahan kambuhnya penyakit jelas lebih sulit dengan Penyakit Crohn daripada dengan kolitis ulserativa. Ada bukti minimal untuk mendukung sulfasalazine dan efektivitas mesalamine derivatif lisan  untuk pemeliharaan penyakit Crohn berikut medis remission. diinduksiMeskipun temuan ini, upaya untuk mempertahankan remisi dengan sulfasalazine dan mesalamine mulut setelah induksi medis remisi adalah wajar mengingat side effect menguntungkan profil obat ini dibandingkan dengan imunosupresif yang agen dan infliximab.79 mesalamine tidak muncul untuk memiliki beberapa keberhasilan dalam mencegah kekambuhan pascaoperasi setelah reseksi, dengan
pengurangan risiko absolut dari 10% sampai 15% untuk kambuh dilaporkan di beberapa studi.
Penatalaksaan Terapi

Tujuan terapi pada IBD adalah mengurangi proses inflamasi, mencegah komplikasi dan mencegah relaps atau perburukan penyakit, memperbaiki status nutrisi dan kualitas hidup.
Konsultasi ke bagian Gizi dilakukan karena gagal tumbuh sering terjadi pada penderita IBD. Tujuan dari dukungan nutrisi adalah pemulihan hemostasis metabolisme dengan koreksi defisit nutrien dan mengganti ongoing losses; kecukupan energi, protein dan mineral untuk keseimbangan positif nitrogen dan penyembuhan. Sampai saat belum diketahui zat makanan tertentu yang menyebabkan aktivasi IBD. Pemberian nutrisi enteral mungkin mempengaruhi proses inflamasi pada Penyakit Crohn, tetapi tidak mempunyai penranan dalam proses inflamasi pada Kolitis Ulserativa.

o  Terapi Medikamentosa
Medikamentosa yang digunakan untuk induksi remisi, mempertahankan remisi, mencegah dan mengurangi relaps adalah:
1.    Aminosalisilat (ASA), terutama untuk mempertahankan remisi. Dosis tinggi digunakan untuk induksi remisi
·      Sulfasalasin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam 2-4 dosis, dapat ditingkatkan sampai 75 mg/kg
·      Mesalamin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam2-4 dosis (maksimal 3,2g/hari).
·      Olsalazin, dosis 30 mg/kg/hari dalam 2 dosis
2.    Kortikosteroid, untuk induksi remisi. Tidak berperan dalam mempertahankan remisi.
·      Prednison, dosis: 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal atau dosis terbagi
·      Metilprednisolon, dosis: 2 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis
3.    Imunomodulator, digunakan untuk induksi dan mempertahankan remisi.
·      Azathioprine, dosis: 2-2,5 mg/kg/hari dosis tunggal
·      6-Mercatopurin, dosis: 1,5 mg/kg/hari dosis tunggal
4.    Anti-tumor necrosis factor untuk induksi remisi
·      Infliximab merupakan antibodi monoklonal anti-TNF-alfa. Infliximab, dosis: 5 mg/kg dilarutkan dengan 250 ml NaCl fisiologis secara intravena. Infliximab dosis tunggal untuk Penyakit Crohn derajat moderat-berat atau pada fistula dengan dosis 5mg/kg dalam 2 jam 3 kali pada minggu 0, 2, dan 6, sering diikuti pemberian setiap 8 minggu. Data penggunaan infliximab pada Kolitis Ulserativa tidak sebaik pada Penyakit Crohn.
5.         Antibiotika
·      Metronidazole, dosis: 30-50 mg/kg/hari dalam 3 dosis. Metronidazole diberikan pada kelainan perianal Penyakit Crohn
Terapi medikamentosa pada Kolitis Ulserativa tergantung dari derajat berat dan luasnya inflamasi. Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk mengendalikan proses inflamasi, menghilangkan gejala klinis, mencegah komplikasi, dan mencegah relaps, serta mempersiapkan untuk tindakan bedah karena 20% penderita akan mengalami tindakan bedah. Luasnya inflamasi terbagi menjadi 2 tipe yaitu:
·      Tipe distal, inflamasi terbatas pada kolon dibawah fleksura llienalis dan dapat dicapai dengan terapi topikal
·      Tipe ekstensif, inflamasi meluas kearah proksimal dari fleksura lienalis dan memerlukan terapi sistemik
Pada Penyakit Crohn sampai saat ini belum ada terapi definitif, penatalaksanaan umumnya terdiri dari terapi medikamentosa dan dukungan nutrisi. Sampai saat ini, belum ada regimen medikamentosa yang dapat mempengaruhi outcome jangka panjang Penyakit Crohn. Oleh karena itu, medika mentosa digunakan untuk serangan eksaserbasi dan mengurangi frekuensi serangan eksaserbasi.
o   Terapi Bedah
Pendekatan terapi bedah pada IBD tergantung dari jenis dan berat penyakit. Tujuan terapi bedah pada Kolitis Ulserativa dan Penyakit Crohn berbeda. Karena kelainan Kolitis Ulserativa terbatas pada kolon, maka total kolektomi merupakan terapi definitif. Akan tetapi, pada Penyakit Crohn dimana kelainan traktus gastrointestinal dapat terjadi mulai dari mulut sampai anus, saat ini belum ada terapi bedah definitif.
Indikasi bedah Penyakit Crohn adalah:
·      Obstruksi traktus gastrointestinal
·      Fistula
·      Abses
·      Perdarahan yang tidak terkontrol
·      Megakolon toksik
·      Perforasi
·      Penyakit fulminan yang tidak responsif terhadap terapi medikamentosa
·      Gagal tumbuh dengan kelainan mukosa traktus gastrointestinal yang terbatas (localized disease)

Indikasi bedah untuk Kolitis Ulserativa adalah:
·      Megakolon toksik
·      Perdarahan yang masif/tidak terkontrol
·      Perforasi
·      Prolonged corticostreoid dependent
·      Komplikasi akibat kortikosteroid pada penyakit kronis aktif
·      Gagal tumbuh setelah mendapat dukungan nutrisi
·      Displasia epitel dan resiko tinggi keganasan
·      Penyakit yang tidak respon terhadap terapi medikamentosa
·      Struktur



F.       Evaluasi Obat

Langkah pertama dalam terapi pengobatan biasanya adalah aminosalicylates. Beberapa keuntungan telah ditunjukkan untuk agen tertentu baik untuk kolitis ulserativa maupun penyakit Crohn.  Untuk penyakit Crohn, metronidazole atau siprofloksasin kadang-kadang digunakan, terutama untuk penyakit perianal atau peradangan massa. Kebutuhan dosis mesalamine beberapa kali sehari baru-baru ini dipertanyakan.
Sebuah studi oleh Sandborn dkk membandingkan efektivitas dan keamanan Mesalamine 400 mg dengan dosis dua kali sehari untuk pemeliharaan remisi. Saat 6 bulan terapi, 90,5% dari pasien yang menerima dosis sekali sehari berhasil mempertahankan remisi klinis, dibandingkan dengan 91,8% dari mereka yang menerima dosis dua kali sehari.  Saat 12 bulan terapi, kedua kelompok memiliki tingkat perawatan klinis identik 85,4% (Molodecky. 2010).
Ketika IBD gagal merespon aminosalicylates, langkah kedua adalah kortikosteroid. Kortikosteroid cenderung memberikan remisi cepat gejala dan penurunan yang signifikan dalam peradangan tetapi dibatasi oleh efek sampingnya, terutama untuk penggunaan jangka panjang.  Konsensus tentang pengobatan dengan kortikosteroid adalah bahwa mereka harus di-tappering-off secepat mungkin. Kortikosteroid tidak memiliki peran dalam mempertahankan remisi. Jika pasien mengalami kesulitan mengurangi dosis kortikosteroid, IBD refrakter terhadap terapi kortikosteroid, atau memiliki flare yang sering dan memerlukan terapi kortikosteroid.
Langkah ketiga untuk pengobatan adalah salah satu agen imunomodulator baik 6-MP atau azathioprine.  Agen ini tidak digunakan untuk flare akut karena waktu dari awal pengobatan untuk terjadinya tindakan yang signifikan mungkin selama 2-3 bulan.  Respon untuk agen-agen ini mungkin tergantung dosis. Dilakukan pemantauan jumlah sel darah untuk melindungi pasien dari toksisitas hematologi yang terkait dengan agen ini. 
Langkah ketiga alternatif yang tersedia adalah infliximab, yaitu antibodi monoklonal terhadap tumor necrosis factor (TNF)-alpha. Pemberiannya secara intravena melalui infus.  Obat ini umumnya diberikan dalam 3 dosis selama 6 minggu, yaitu pada minggu 0, 2, dan 6, diikuti dengan regimen pemeliharaan.  Pemberian obat setiap 8 minggu telah terbukti efektif untuk mempertahankan remisi. Infliximab memiliki tingkat respon yang sangat baik untuk penyakit Crohn (> 80%) sedangkan laju respon untuk kolitis ulseratif telah berkurang (sekitar 50%).
Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui prednisone, budesonide, dan infliximab untuk pengobatan penyakit Crohn. Infliximab juga disetujui FDA untuk pengobatan kolitis ulserativa. Imunomodulator thiopurine tunggal atau dengan kombinasi obat lain memiliki efek yang tahan lama dan positif terhadap kualitas hidup pasien IBD ( Bastida et al. 2010).  Langkah terakhir untuk pengobatan IBD melibatkan agen yang memiliki tingkat keberhasilan yang kurang baik.  Untuk penyakit Crohn, methotrexate 12,5-25 mg/minggu termasuk dalam kategori ini.  Untuk kolitis ulseratif, siklosporin A (biasanya dimulai secara intravena) dan patch nikotin juga termasuk dalam kategori ini.  Akhirnya, sejumlah uji klinis agen biologis dan diet yang sedang dilakukan dapat menunjukkan kemanjuran pada orang dengan IBD.
Beberapa pasien melaporkan gejala seperti diare, kejang/nyeri, ketidaknyamanan epigastrium dan peradangan sehingga perlu obat-obatan simptomatik untuk mengurangi gejala-gejala tersebut.  Pengobatan ini termasuk terapi dengan agen antidiare, agen pengikat asam empedu, antispasmodik, dan penekan asam sesuai kebutuhan.  Obat-obat ini bukan tanpa komplikasi dan kehati-hatian diperlukan. Indikasi absolut untuk pemberian besi intravena mencakup anemia berat, intoleransi atau besi oral, penyakit usus berat, atau penggunaan agen perangsang eritropoietik ( Muñoz. 2009).



BAB IV

KESIMPULAN


Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
1.      Patofisiologis IBDsecara umum, karena adanya banyak mediator inflamasi yang telah diidentifikasi pada IBD, dimana mediator-mediator ini memiliki peranan penting pada patologi dan karakteristik klinik penyakit ini. Sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag karena respon daripada berbagai rangsangan antigenik, berikatan dengan reseptor-reseptor yang berbeda, kemudian menghasilkan efek-efek autokrin, parakrin, dan endokrin. Sitokin juga akan mendiferensiasikan limfosit menjadi berbagai tipe sel T. Sel T helper tipe 1 (TH-1) berhubungan dengan CD, sedangkan TH-2 berhubungan dengan UC. Respon imun inilah yang akan merusak mukosa intestinal dan menyebab proses inflamasi yang kronis.
2.      Sasaran Strategi Terapi dari IBD
·         Ulcerative Colitis yaitu terdiri dari Ringan sampai Sedang Penyakit, Parah atau terselesaikan Penyakit,dan Mempertahankan remisi.
·         Crohn’s Disease yaitu Penyakit Crohn aktif dan Pemeliharaan Remisi.
Tujuan terapi pada IBD adalah mengurangi proses inflamasi, mencegah komplikasi dan mencegah relaps atau perburukan penyakit, memperbaiki status nutrisi dan kualitas hidup. Terapi IBD terdiri dari terapi medikamentosa dan terapi bedah.,
3.      Evaluasi Obat IBD yaitu salah satu obat aminosalicylates, Untuk penyakit Crohn, metronidazole atau siprofloksasin, Kortikosteroid, agen imunomodulator baik 6-MP atau azathioprine. Langkah ketiga alternative yang tersedia adalah infliximab, yaitu antibodi monoclonal.
Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui prednisone, budesonide, dan infliximab untuk pengobatan penyakit Crohn. Infliximab juga disetujui FDA untuk pengobatan kolitis ulserativa.

DAFTAR PUSTAKA


Bastida G, Nos P, Aguas M, et al. 2010.The effects of thiopurine therapy on health- related quality of life in Inflammatory Bowel Disease patients. BMC Gastroenterology.
Dipiro, JT,et all. 2000. Pharmacoterapy,A, Pathophysiologic Approach,7th Edition, Mc-Graw Hill USA
Doug Knutson, Gregg G, Holly C. Management of Crohn Disease. http//www.aafp.org/
Hyams J. Inflammatory Bowel Disease. Richard EB, Robert MK, Hal BJ, editor. Nelson Texbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. Hal 1248-1255
Kathleen a. Calendra, W.Daniel J, Richard JG. Inflammatory Bowel Disease. M.Gracey, Valerie B, editor Pediatric gastroenterology and hepatology. Edisi ke-3. Boston: Blackwell,1993. Hlm 859-879.
M, Gómez-ramírez S, García-erce JA. 2009. Intravenous iron in inflammatory bowel disease. Journal of Gastroenterology.;15(37):4666-4674.
Molodecky NA, Kaplan GG. 2010. Environmental Risk Factors for Inflammatory Bowel Disease. Hepatology.;6(5):339-346.
Rowe WA. Inflammatory Bowel Disease. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/179037-print.
V.Alin Botoman, Gregory F. Bonner, Daniella A. Bootman. Management of Inflammatory Bowel Disease. http//www.aafp.org/
William A Rowe. Inflammatory Bowel Disease. Htttp://www.emedicine.com

1 komentar:


  1. Although therapy has become more tolerable and once daily FDC tables have made it easier to adhere to prescribed treatment, it still requires that patients take their medication regularly to achieve sustained viral suppression. When treatment adherence is inadequate and replication is therefore not suppressed, But dr itua promised and fulfilled his promised to me as he said I will share his work to people that are suffering from Infertility, Herpes,Cervical Cancer,Bone Cancer,Brain Cancer,Prostate Cancer,Leukemia,Brain Tumor,Breast Cancer,Blood Cancer,Kidney Cancer,, Hepatitis A/B, Fibroid, HIV/ Aids, Alzheimer's disease, Arthritis, Copd, Diabetes, Liver/Kidney Inflamotry,Glaucoma., Cataracts,Macular degeneration,Cardiovascular disease,Lung disease.Enlarged prostate,Osteoporosis.Alzheimer's disease,
    Dementia. Fibromyalgia,Bipolar Disorder, Parkinson's disease, I have read a lot of testimony online from Jesus McKinney,Achima Abelard and Tara Omar on how dr itua heal them with his herbal medicine I contacted him on Email drituaherbalcenter@gmail.com /info@drituaherbalcenter.com. then we talk on whatsapp +2348149277967 he gave me instruction on how to drink it for two weeks then after drinking it for two weeks I went for test then I find out I was cured of HIV, I thank him allot i also send him some money for appreciation, Contact this great herbal doctor if you are a sick person.

    BalasHapus