INTERAKSI
OBAT DALAM PROSES ABSORPSI
Sebagian
besar obat-obat yang diberikan secara oral melalui membrane mukosa saluran
pencernaan, dan sebagian besar interaksi yang terjadi lebih banyak
mengakibatkan penurunan daripada kenaikan absorpsi. Harus dibedakan antara
penurunan kecepatan absorpsi dan peningkatan jumlah total yang diabsorpsi.
Untuk obat-obat yang diberikan dalam jangka panjang, misalnya dalam dosis
berulang (seperti antikoagulan oral) kecepatan absorpsi biasanya tidak penting,
karena jumlah total obat yang diabsorpsi tidak meningkat. Dalam hal lain
obat-obat yang diberikan dalam dosis tunggal, dikehendaki diabsorpsi secara
cepat (misalnya hipnotik atau analgesic), dimana obat-obat tsb dibutuhkan
secara cepat dalam konsentrasi tinggi sehingga penurunan kecepatan absorpsi
menyebabkan kegagalan dalam mencapai efek yang diperlukan.
Interaksi dalam
proses farmakokinetik, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi
(ADME) dapat meningkatkan ataupun menurunkan kadar plasma obat. Interaksi obat
secara farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat tidak dapat
diekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk obat lainnya meskipun masih dalam satu
kelas terapi, disebabkan karena adanya perbedaan sifat fisikokimia, yang
menghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda. Contohnya, interaksi
farmakokinetik oleh simetidin tidak dimiliki oleh H2-bloker lainnya;
interaksi oleh terfenadin, aztemizole tidak dimiliki oleh antihistamin
non-sedatif lainnya.
Obat-obat
yang digunakan secara oral biasanya diserap dari saluran cerna ke dalam sistem
sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadi interaksi selama obat melewati
saluran cerna. Absorpsi obat dapat terjadi melalui transport pasif maupun
aktif, di mana sebagian besar obat diabsorpsi secara pasif. Proses ini melibatkan
difusi obat dari daerah dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar obat yang
lebih rendah. Pada transport aktif terjadi perpindahan obat melawan gradien
konsentrasi (contohnya ion-ion dan molekul yang larut air) dan proses ini
membutuhkan energi. Absorpsi obat secara transport aktif lebih cepat dari pada
secara tansport pasif. Obat dalam bentuk tak-terion larut lemak dan mudah
berdifusi melewati membran sel, sedangkan obat dalam bentuk terion tidak larut
lemak dan tidak dapat berdifusi. Di bawah kondisi fisiologi normal absorpsinya
agak tertunda tetapi tingkat absorpsinya biasanya sempurna.
Bila
kecepatan absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan lebih mudah
terjadi, terutama obat dengan waktu paro yang pendek atau bila dibutuhkan kadar
puncak plasma yang cepat untuk mendapatkan efek. Mekanisme interaksi akibat
gangguan absorpsi antara lain :
A.
Perubahan pH
saluran cerna
The passage of
drugs through mucous membranes by simple passive diffusion depends upon the
extent to which they exist in the non-ionised lipid-soluble form. Absorption is
therefore governed by the pKa of the drug, its lipid-solubility, the pH of the
contents of the gut and various other parameters relating to the pharmaceutical
formulation of the drug. Thus the absorption of salicylic acid by the stomach
is much greater at low pH than at high. On theoretical grounds it might be
expected that alterations in gastric pH caused by drugs such as the H2-receptor
antagonists would have a marked effect on absorption, but in practice the
outcome is often uncertain because a number of other mechanisms may also come
into play, such as chelation, adsorption and changes in gut motility, which can
considerably affect what actually happens. However, in some cases the effect
can be significant. Rises in pH due to ‘proton pump inhibitors’, (p.218), ‘H2-receptor
antagonists’, (p.217) can markedly reduce the absorption of ketoconazole
Untuk
obat-obat yang diabsorpsi di usus, bukan dilambung, mempunyai efek akibat perubahan
pH saluran pencernaan yakni :
Jika ada zat
yang bersifat basa (garam bikarbonat) yang masuk bersamaan dengan obat
yang bersifat asam (pKa 2,5-7,5, misalnya NSAID dan gol penisilin), maka
zat yang bersifat basa ini akan menurunkan absorbsi obat karena obat yang
bersifat asam ini akan berinteraksi dengan zat yang bersifat basa
sehingga obat akan lebih cenderung dalam bentuk ion bukan molekulnya.
sementara kita tahu, obat dalam bentuk ion tidak diabsorbsi oleh usus.
sebaliknya,
jika ada zat
yang bersifat asam (asam sitrat dan asam tartarat) dimana masuk bersamaan
dengan obat yang bersifat basa lemah (pKa 5 – 11, misalnya reserpin
&propoksifen), maka absorbsi obat akan turun.
sementara,
obat yang
bersifat basa sangat lemah dengan pKa < 5 (kofein pKa =0, 8), absorbsinya
tidak tergantung pada pH lambung. Hal ini bisa dijelaskan karena interaksi
dengan zatnya tidak menyebabkan ia menjadi bentuk ion.
contoh :
interaksi
antara tetrasiklin dengan simitidin.
simitidin adalah obat H2 blocker dimana dia akan
mengikat reseptor H2 didalam lambung sehingga produksi asam
dalam lambung berkurang. Akibatnya, pH lambung menjadi lebih basa/pH tinggi
(tidak asam) daripada normalnya. pH yang tinggi ini menyebabkan
tetrasiklin yang bersifat asam menjadi bentuk terionnya yang lebih banyak
daripada molekulnya. Akibatnya obat yang terabsorbsi lebih sedikit.
Dampak
dari absorbsi yang sedikit tersebut, kadar obat dalam darah menjadi sedikit dan
efeknya tidak mampu membunuh bakteri (karena tetarasiklin merupakan
antibiotik). Kegagalan yang lebih berbahanya adalah terjadinya efek resistensi
dari bakteri.
Pengatasannya
tetrasiklinnya diganti dengan antibiotik lain yang bersifat spectrum sempit.
Cairan saluran cerna yang
alkalis, misalnya akibat adanya antasid, akan meningkatkan kelarutan obat yang
bersifat asam yang sukar larut dalam saluran cerna, misalnya aspirin. Dengan
demikian dipercepatnya disolusi aspirin oleh basa akan mempercepat absorpsinya.
Akan tetapi, suasana alkalis di
saluran cerna akan mengurangi kelarutan beberapa obat yang bersifat basa
(misalnya tetrasiklin) dalam cairan saluran cerna, sehingga mengurangi
absorpsinya.
Berkurangnya keasaman lambung
oleh antasida akan mengurangi pengrusakan obat yang tidak tahan asam sehingga
meningkatkan bioavailabilitasnya.
Ketokonazol yang diminum per oral membutuhkan medium asam untuk melarutkan sejumlah yang dibutuhkan sehingga tidak memungkinkan diberikan bersama antasida, obat antikolinergik, penghambatan H2, atau inhibitor pompa proton (misalnya omeprazol). Jika memang dibutuhkan, sebaiknya abat-obat ini diberikan sedikitnya 2 jam setelah pemberian ketokonazol.
Ketokonazol yang diminum per oral membutuhkan medium asam untuk melarutkan sejumlah yang dibutuhkan sehingga tidak memungkinkan diberikan bersama antasida, obat antikolinergik, penghambatan H2, atau inhibitor pompa proton (misalnya omeprazol). Jika memang dibutuhkan, sebaiknya abat-obat ini diberikan sedikitnya 2 jam setelah pemberian ketokonazol.
B.
Kompleksasi
dan absorpsi
Activated charcoal is intended to act as an adsorbing agent within
the gut for the treatment of drug overdose or to remove other toxic materials,
but inevitably it can affect the absorption of drugs given in therapeutic
doses. Antacids can also adsorb a large number of drugs, but often other
mechanisms of interaction are also involved. For example, the tetracycline
antibacterials can chelate with a number of divalent and trivalent metallic
ions, such as calcium, aluminium, bismuth and iron, to form complexes that are
both poorly absorbed and have reduced antibacterial effects. These metallic
ions are found in dairy products and antacids. Separating the dosages by 2 to 3
hours goes some way towards reducing the effects of this type of interaction.
The marked reduction in the bioavailability of penicillamine caused by some
antacids seems also to be due to chelation, although adsorption may have some
part to play. Colestyramine, an anionic exchange resin intended to bind bile
acids and cholesterol metabolites in the gut, binds to a considerable number of
drugs (e.g. digoxin, warfarin, levothyroxine), thereby reducing their absorption.
Karbon aktif dikehendaki bekerja
sebagai bahan pengabsorpsi dalam saluran usus untuk mengobati kasus overdosis
obat-obatan atau untuk menghilangkan bahan-bahan toksik, tetapi tidak dapat
dielakkan dapat mengakibatkan juga mengabsoprsi obat-obat dalam dosis terapi.
Antasida juga dapat mengadsorpsi sejumlah besar obat, tetapi seringkali
mekanisme interaksi lainnya juga terjadi. Contohnya tetrasiklin dapat
mengkhelat sejumlah ion-ion logam divalent dan trivalent seperti kalsium,
aluminium, bismuth dan besi membentuk kompleks yang sulit diasbsorpsi sehingga
mengurangi efek antibakteri. Ion-ion logam ini terdapat dalam produk susu dan
antasida. Pemisahan dosis dengan cara perbedaan pemberian 2-3 jam dapat
mengurangi efek interaksi ini.
Pengurangan bioavailabilitas penisilamin yang disebabkan beberapa
antasida juga disebabkan oleh aksi
pengkhelatan meskipun adsorpsi telah berjalan beberapa waktu. Kolestiramin, suatu resin penukar anion
dikehendaki untuk mengikat asam-asam empedu dan metabolit kolesterol dalam usus
dapat mengikat sejumlah obat (misalnya digoksin, warfarin, levotiroksin)
sehingga mengurangi absorpsinya.
Suatu
obat apabila membentuk kompleks dengan senyawa pembentuk kompleks, maka
struktur molekulnya akan menjadi besar. Akibatnya tidak bisa di absorbsi oleh
usus.
misalnya
kolesteramin dapat membentuk kompleks dengan obat – obat yang memiliki gugus
karboksilat (NSAID) atau hidroksil (sulfonamid). Akibatnya struktur molekul obat
–obat membesar dan tidak bisa terabsorbsi.
contoh
interaksi lainnya adalah kolesteramin dengan warfarin (antikoagulan) yang
menyebabkan aktifitas koagulan lebih rendah (penurunan efek antikoagulan dari
warfarin). Selain itu , disebutkan pula bahwa terjadi peningkatan faktor
eliminasi dari warfarin.
Solusi : pemberian
dengan selang waktu (selama 3 jam)
contoh
lainnya adalah tetrasiklin dapat membentuk kompleks dengan ion calsium,
magnesium, besi , dan alumunium yang sering terdapat di obat-obat maag.
akibatnya absorbsi tetrasiklin menjadi menurun. Hal ini dapat menyebabkan resistensi
antibiotik juga. Pengatasannya adalah dengan pemberian selang waktu 3 – 4 jam.
Jika ada
obat antasida dan tetarasiklin, maka tetrasiklin dulu dengan selang waktu 6
jam, baru antasida. jangan dibalik, karena antasida itu tidak diabsorbsi (hanya
diadsorpsi, jadi tetap di lambung). sehingga walaupun dengan selang waktu,
tetrasiklin tetap tidak diabsorbsi.
Interaksi antara antibiotik
golongan fluorokinolon (siprofloksasin, enoksasin, levofloksasin,
lomefloksasin, norfloksasin, ofloksasin dan sparfloksasin) dan ion-ion divalent
dan trivalent (misalnya ion Ca2+ , Mg2+ dan Al3+
dari antasida dan obat lain) dapat menyebabkan penurunan yang signifikan dari
absorpsi saluran cerna, bioavailabilitas dan efek terapetik, karena
terbentuknya senyawa kompleks. Interaksi ini juga sangat menurunkan aktivitas
antibiotik fluorokuinolon. Efek interaksi ini dapat secara signifikan dikurangi
dengan memberikan antasida beberapa jam sebelum atau setelah pemberian
fluorokuinolon. Jika antasida benar-benar dibutuhkan, penyesuaian terapi,
misalnya penggantian dengan obat-obat antagonis reseptor H2 atau
inhibitor pompa proton dapat dilakukan.
Beberapa obat antidiare (yang mengandung atapulgit) menjerap obat-obat lain, sehingga menurunkan absorpsi. Walaupun belum ada riset ilmiah, sebaiknya interval pemakaian obat ini dengan obat lain selama mungkin.
Beberapa obat antidiare (yang mengandung atapulgit) menjerap obat-obat lain, sehingga menurunkan absorpsi. Walaupun belum ada riset ilmiah, sebaiknya interval pemakaian obat ini dengan obat lain selama mungkin.
obat menjadi terikat pada sekuestran asam empedu (BAS : bile acid
sequestrant) :
Kolestiramin dan kolestipol dapat berikatan dengan asam empedu dan mencegah reabsorpsinya, akibatnya dapat terjadi ikatan dengan obat-obat lain terutama yang bersifat asam (misalnya warfarin). Sebaiknya interval pemakaian kolestiramin atau kolestipol dengan obat lain selama mungkin (minimal 4 jam).
Kolestiramin dan kolestipol dapat berikatan dengan asam empedu dan mencegah reabsorpsinya, akibatnya dapat terjadi ikatan dengan obat-obat lain terutama yang bersifat asam (misalnya warfarin). Sebaiknya interval pemakaian kolestiramin atau kolestipol dengan obat lain selama mungkin (minimal 4 jam).
C.
Perubahan
motilitas saluran cerna dan laju pengosongan lambung
(percepatan atau lambatnya pengosongan
lambung, perubahan vaksularitas atau permeabilitas mukosa saluran cerna, atau
kerusakan mukosa dinding usus).
Since most drugs
are largely absorbed in the upper part of the small intestine, drugs that alter
the rate at which the stomach empties can affect absorption. Propantheline, for
example, delays gastric emptying and reduces ‘paracetamol (acetaminophen)’
absorption, (p.192), whereas ‘metoclopramide’, (p.191), has the opposite
effect. However, the total amount of drug absorbed remains unaltered.
Propantheline also increases the absorption of ‘hydrochlorothiazide’, (p.959).
Drugs with antimuscarinic effects decrease the motility of the gut, thus the
tricyclic antidepressants can increase the absorption of ‘dicoumarol’, (p.457),
probably because they increase the time available for dissolution and
absorption but in the case of ‘levodopa’, (p.690), they may reduce the
absorption, possibly because the exposure time to intestinal mucosal metabolism
is increased. The same reduced levodopa absorption has also been seen with
‘homatropine’, (p.682). These examples illustrate that what actually happens is
sometimes very unpredictable because the final outcome may be the result of
several different mechanisms.
Sebagian besar obat diabsorpsi pada bagian atas usus kecil, obat
yang mengubah kecepatan leju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi.
Contohnya propanthelin memperlambat pengosongan lambung dan mengurangi absorpsi
parasetamol sedangkan metoklopramide memperlihatkan efek sebaliknya. Namun,
jumlah total obat yang diabsorpsi tetap. Propantelin juga menaikkan absorpsi
hidroklorotiazid.
Obat-obat antimuskarinik menurunkan motilitas usus, demikian halnya
dengan antidepresan trisiklik dapat menaikkan absorpsi dikumarol, mungkin
disebabkan oleh kenaikan waktu disolusi dan absorpsi, tetapi dalam kasus
levodopa, obat-obat tsb mengurangi absorpsi, kemungkinan disebabkan pada waktu
transit di mukosa usus metabolisme meningkat. Pengurangan absorpsi levodopa juga
terlihat dengan homatropin.
Kesemuanya menggambarkan bahwa hal yang terjadi secara actual
seringkali tidak dapat diperkirakan karena hasil akhir mungkin diakibatkan oleh
beberapa mekanisme yang berbeda.
semakin lama obat tertahan di
lambung, maka absorbsi obat tersebut di dalam usus akan semakin lama. Dengan
demikian, apabila terjadi peningkatan kecepatan pengosongan lambung, maka akan
terjadi peningkatan absorbsi obat. Dan ternyata peningkatan absorbsi obat ini
menyebabkan efek toksik karena tingginya kadar obat di dalam darah.hal ini berbahaya untuk obat – obat yang memiliki indeks terapi sempit dimana saat obat masuk ke dalam lambung bersama dengan obat – obat yang memiliki kemampuan mempercepat pengosongan lambung, maka obat yang indeks terapi sempit tadi akan meningkat kecepatan absorbsinya. Akibatnya kadar obat dalam darah pada periode awal, konsentrasinya meningkat melebihi batas toksik.
Nampak jelas bahwa apabila obat 1 di minum sendiri, kadar dalam darah berada pada therapeutic effect. Namun dengan adanya obat 2 (drug 2) yang bersifat mempercepat pengosongan lambung,akan meningkatkan konsentrasi obat 1 (drug 1) dalam darah sehingga menyebabkan toksik.
Contoh obat-obat yang meningkatkan waktu pengosongan lambung adalah metoclopramide, reserpine, anticholinesterase, sodium bikarbonat
Obat=obat yang menurunkan waktu pengosongan lambung, contohnya isoniazid, analgesic sentral, morphine, chloroquine, phenytoin, Al(OH)3, Mg(OH)2
D.
Pengaruh
makanan
Obat
ketika digunakan dengan makanan (berlemak) absorbsinya dapat menjadi lebih kecil
dibandingkan diminum sendiri, begitu pula sebaliknya.
Pengaruh
makanan terhadap obat-obatan :
1. ampicilin merupakan obat
antibiotik yang efeknya sama dengan amoksisilin. Pada saat ini, amoksisilin
lebih digemari /diresepkan oleh dokter dari pada ampicilin. Hal ini
ternyata juga berkaitan dengan efek makanan dimana ampicilin ternyata
absorbsinya dipengaruhi oleh kosong tidaknya lambung, dan ampicilin harus di
minum pada saat lambung kosong(sebelum makan). Hal ini menyebabkan dokter
berpikir dua kali untuk meresepkan dan memilih amoksisilin dimana absorbsinya
tidak berpengaruh terhadap makanan.2. aspirin ada di dua daerah, yakni absorbsinya berkurang dan absorbsinya di tunda. namun bila kita menggunakan aspirin maka harus digunakan dengan interval setelah makan (1 jam).
Beberapa obat yang
strukturnya mirip asam amino à berkompetisi pada
absorpsi gastrointestinal
Makanan berlemak à meningkatkan absorpsi
obat yang larut dalam lemak
Makanan yang bersifat
asam à menguraikan obat yang tidak tahan asam
Obat analeptik dapat
meningkat efeknya dengan minum kopi.
Beberapa obat
(glikosida jantung, antihistamin, alkaloid, logam ) à mengendap oleh tanin
Konsumsi alkohol,
kangkung à meningkatkan efek sedatif dan depresan
SSP.
Umumnya interaksi
obat-makanan berupa turunnya derajat absorpsi à melalui pembentukan
kompleks, perubahan pH, perubahan motilitas, perubahan fungsi mukosa dan
perubahan mekanisme transport.
Pencegahan à gunakan obat saat
lambung kosong (kecuali obat yang mengiritasi lambung à gunakan saat lambung
isi)
Makanan mengandung
tiramin (keju tua, ekstrak yeast, daging asap, bir, alpukat, anggur merah,
minuman berkafein, yogurt, coklat, kecap) à berinteraksi dengan
obat MAOI (mono amin oksidase inhibitor).
Tiramin
adalah asam amino yang ditemukan dalam bermacam makanan di atas, yang merupakan
senyawa simpatomimetik tak langsung à dapat menyebabkan
hipertensi pada pasien yang menerima MAOI.
•
Jeruk à dikonsumsi bersama
antasid yang mengandung Al à meningkatkan absorpsi
Al
Bila
dengan antibiotik à keasamannya menurunkan
efektivitas antibiotik.
•
Susu à bila dikonsumsi
bersama bisakodil (laksatif) à meningkatkan efek
laksatif.
•
Serat oatmeal & sereal berserat tinggi à menurunkan absorpsi
digoxin.
•
Sayuran hijau kaya vit. K à menurunkan efektivitas
antikoagulan oral.
•
Sefalosporin, penisilin à minum saat lambung
kosong untuk mempercepat absorpsi
•
Eritromisin à jangan minum bersama
jus buah atau anggur à menurunkan efektivitas
obat
•
Tetrasiklin à produk susu menurunkan
efektivitas obat.
•
Linkomisin à makanan menurunkan
kadar plasma à hindari
•
Antidepresan trisiklik à Beberapa makanan
terutama daging, ikan dan makanan kaya vit. C à menurunkan absorpsi
obat.
•
ACE inhibitor à diminum saat lambung
kosong untuk meningkatkan absorpsi obat
•
Alfa-bloker à minum bersama cairan
atau makanan untuk menghindari turunnya TD yang berlebihan.
•
Antiaritmia à Hindari kafein yang
akan meningkatan resiko detak jantung tak normal
•
Beta-bloker à Minum saat perut
kosong. Makanan terutama daging à meningkatkan efek obat
& dapat menyebabkan rendahnya TD.
•
Digitalis à Hindari diminum
bersama susu dan makanan berserat tinggi karena akan mengurangi absorpsi obat
& meningkatkan terbuangnya K.
•
Diuretik à peningkatan resiko
defisiensi vit.K
•
Diuretik hemat K à jangan minum bersama suplemen K à dpt menyebabkan
kelebihan K.
•
Teofilin à Diet kaya protein akan
mengurangi absorpsi obat. Kafein meningkatkan resiko toksisitas obat
•
Antasida à mengganggu absorpsi
berbagai mineral à minum 1 jam sesudah
makan.
•
Simetidin, famotidin, sukralfat à Hindari makanan kaya
protein, kafein dan makanan lain yang dapat meningkatkan keasaman lambung.
•
Kontrasepsi oral à Makanan asin
meningkatkan retensi cairan tubuh. Obat ini mengurangi absorpsi asam folat,
vit. B6 dan zat gizi lain. Konsumsi
makanan dengan kadar zat-zat ini yang cukup tinggi untuk menghindari
defisiensi.
•
Asetosal dan NSAID kuat lain à jika diminum bersama
makanan untuk mengurangi resiko iritasi saluran cerna.
•
Tapi jika diminum bersama dapat mengurangi absorpsi à jika diinginkan efek
cepat ?
•
Jangan dikonsumsi bersama alkohol à dapat meningkatkan
resiko perdarahan. Pemakaian sering obat-obat ini à menurunkan absorpsi
asam folat dan vit. C.
•
Makanan menunda dan mengurangi absorpsi merkaptopurin à minum saat perut
kosong untuk memaksimalkan absorpsinya
E.
Pengikatan
oleh protein transport
The oral bioavailability of some drugs is limited by the action of
drug transporter proteins, which eject drugs that have diffused across the gut
lining back into the gut. At present, the most well characterised drug
transporter is ‘P-glycoprotein’, (p.8). Digoxin is a substrate of
P-glycoprotein, and drugs that induce this protein, such as rifampicin, may
reduce the bioavailability of ‘digoxin’, (p.938).
Bioavailabilitas beberapa obat dibatasi oleh aksi obat yang
diangkut oleh protein, yang melepaskan obat yang diangkut dengan cara difusi
melewati usus namun kembali diangkut oleh protein pengangkut kembali ke dalam
usus. Saat ini, protein pengangkut obat yang telah dikarakterisasi dengan baik
adalah P-glikoprotein. Digoksin merupakan substrat dari P-glikoprotein dan obat
yang menginduksi protein ini seperti rifampisin akan mengurangi
bioavailabilitas digoksin.
Mekanisme
interaksi melalui penghambatan transport aktif gastrointestinal, misalnya grapefruit
juice, yakni suatu inhibitor protein transporter uptake pump di
saluran cerna, akan menurunkan bioavailabilitas beta-bloker dan beberapa
antihistamin (misalnya, fexofenadin) jika diberikan bersama-sama.7 Pemberian
digoksin bersama inhibitor transporter efflux pump Pglikoprotein (a.l.
ketokonazol, amiodarone, quinidin) akan meningkatkan kadar plasma digoksin
sebesar 60-80% dan menyebabkan intoksikasi (blokade jantung derajat-3),
menurunkan ekskresinya lewat empedu, dan menurunkan sekresinya oleh sel-sel
tubulus ginjal proksimal penggunaan antibiotika berspektrum luas yang
mensupresi flora usus dapat menyebabkan menurunnya konversi obat menjadi
komponen aktif
obat dapat terjadi
melalui transport pasif maupun aktif, di mana sebagian besar obat diabsorpsi
secara pasif. Proses ini melibatkan difusi obat dari daerah dengan kadar tinggi
ke daerah dengan kadar obat yang lebih rendah. Pada transport aktif terjadi
perpindahan obat melawan gradien konsentrasi.
F.
Perubahan
flora saluran pencernaan
Contoh : Digoksin
yang digunakan bersamaan dengan antibiotik akan terjadi peningkatan konsentrasi
digoksin dan peningkatan toksisitas. Karena antibiotik akan membunuh bakteri
flora normal yang digunakan untuk mengurai digoksin.
G.
Keadaan malabsorpsi
Neomisin menyebabkan
sindrom malabsorpsi yang terlihat mirip dengan sariawan non tropic. Efek ini
mengurangi absorpsi sejumlah obat termasuk digoksin dan metotreksat.
Contoh-contoh interaksi obat pada proses
absorpsi dapat dilihat pada tabel berikut:
Obat yang Dipengaruhi
|
Obat yang mempengaruhi
|
Efek interaksi
|
Digoksin
|
Metoklopramida
Propantelin
|
Absorpsi digoksin dikurangi
Absorpsi digoksin ditingkatkan
(karena perubahan motilitas usus)
|
Digoksin
Tiroksin
Warfarin
|
Kolestiramin
|
Absorpsi dikurangi karena ikatan
dengan
Kolestiramin
|
Ketokonazol
|
Antasida
Penghambat H2
|
Absorpsi ketokonazol dikurangi
karena disolusi yang berkurang
|
Penisilamin
|
Antasida yang mengandung
Al3+, Mg2+ , preparat besi,
Makanan
|
Pembentukan khelat penisilamin yang kurang
larut menyebabkan berkurangnya absorpsi penisilamin
|
Penisilin
|
Neomisin
|
Kondisi malabsorpsi yang diinduksi
neomisin
|
Antibiotik kuinolon
|
Antasida yg mengandung
Al3+,Mg2+ , Fe2+, Zn, susu
|
Terbentuknya kompleks yang sukar
terabsorpsi
|
Tetrasiklin
|
Antasida yang mengandung
Al3+, Mg2+ , Fe2+, Zn, susu
|
Terbentuknya kompleks yang sukar
terabsorpsi
|
sangat membantu :)
BalasHapus