A.
Sejarah dan Kimia Analgetik Antagonis Narkotik
Dalam tahun 1915 Pohl melihat bahwa N-alil-nor
kodein dapat mencegah atau menghilangkan depresi napas yang ditimbulkan oleh morfin
dan heroin. Lebih dari 25 tahun sesudah itu Unna, demikian juga Hart dan Mc
Cawley secara sendiri-sendiri menjelaskan efek antagonis morfin yang dimiliki
nalorfin. Saat itu kegunaan klinik nalorfin tidak diketahui, baru pada tahun
1951, Eckenhoff dan kawan-kawan melaporkan manfaat nalorfin sebagai antidotum
pada keracunan morfin yang terjadi pada manusia. Kemudian, pada tahun 1953
Wikler dan kawan-kawan menunjukkan bahwa nalorfin menimbulkan gejala putus obat
akut pada pecandu morfin, metadon dan heroin dalam waktu singkat. Pada sebagian
besar orang nonadiksi, dosis besar nalorfin tidak menimbulkan euphoria tetapi
justru disforia dan kegelisahan. Lasagna dan Beecher melihat adanya antagonisme
nalorfin terhadap efek analgetik morfin, namun nalorfin juga efektif untuk
mengatasi nyeri pascabedah. Efek disforia yang timbul menyebabkan nalorfin kurang
tepat digunakan sebagai analgesik. Pencarian senyawa antagonis opioid yang
masih mempunyai efek analgetik tanpa menimbulkan disforia menyebabkan
ditemukannya nalokson, pentazosin dan propiram yang memperbesar khasanah analgesic
(Tanu, 2007).
Senyawa analog yang diturunkan dari
14-hidroksimorfon, yaitu nalokson,
yang ditemukan pada tahun 1961, bersifat antagonis murni. Analog
siklopropilmetilnya, naltrekson,
bahkan lebih berguna, karena masa kerjanya lebih panjang. Levalorfan dan siklorfan merupakan
turunan morfinan, sedangkan oksilorfan adalah
analog 14-OH-nya. Naloksazon, bentuk
hidrazon senyawa naltrekson, adalah
suatu antagonis yang masa kejanya lama (Nogrady, 1992).
Dengan ditemukannya obat yang berefek subyektif
seperti morfin dan sekaligus melawan efek morfin, maka studi tentang hubungan
aktivitas dan struktur kimia pada opioid dan antagonis opioid menjadi lebih
kompleks dan menarik. Substitusi gugus alil pada gugus N-metil pada kodein,
morfin, levorfanol, oksimorfon dan fenazosin menghasilkan obat yang bersifat
antagonis. Belakangan ternyata bahwa substitusi sederhana tersebut tidak selalu
menghasilkan suatu analog yang bersifat antagonis. Ini terjadi karena senyawa
tersebut bertindak sebagai agonis pada satu reseptor opioid dan merupakan
antagonis kompetitif pada reseptor opioid lain (Tanu, 2007).
B.
Teori Umum
1.
Definisi
Antagonis
narkotik adalah antidotum untuk takar lajak analgesik narkotik. Antagonis
narkotik mempunyai daya ikat yang lebih kuat pada tempat reseptor opiat/opioid
daripada narkotik yang dipakai. Antagonis narkotik menghambat reseptor dan
mengambil alih setiap narkotik yang berada pada reseptor itu, sehingga
menghambat kerja narkotik (Kee dan Evelyn, 1996). Antagonis narkotik merupakan
obat-obatan yang menggantikan opioid dari tempat reseptor (Hamilton, 1995).
Reseptor-reseptor
digolongkan menjadi 4 famili reseptor, yang ditunjukkan dengan huruf Yunani : µ (mu), κ (kappa), σ (sigma), dan δ (delta). Tiap reseptor menunjukkan spesifitas yang berlainan untuk obat-obat
yang diikatnya.
· Reseptor
µ (mu), yang ternyata berperan dalam efek-efek
analgesik, pernapasan, dan ketergantungan fisik;
· Reseptor
κ (kappa), yang mungkin memperantarai efek-efek
analgesik spinal, miosis, dan sedasi;
· Reseptor
σ (sigma), yang berperan dalam efek-efek halusinogenik
dan perangsangan jantung (Rahardjo, 2009).
Antagonis
narkotik memperbaiki depresi sistem syaraf pusat yang disebabkan oleh narkotik.
Obat tersebut dengan sendirinya merupakan analgesic yang paten (Hamilton,
1995). Obat-obat yang tergolong antagonis opioid umunya tidak menimbulkan
banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis opioid atau bila
opioid endogen yang sedang aktif, misalnya pada keadaan stress atau syok (Tanu,
2007).
Dua
antagonis narkotik yang umum digunakan dalam obstetric adalah levallorphan
(lorfan) dan naloxone (narcan). Obat ini sangat membantu terutama bila
diberikan narkotik intramuscular dan kelahiran terjadi lebih cepat daripada
yang telah diduga. Antagonis narkotik tidak
memperbaiki efek depresan barbiturat atau ataraktik. Bila diberikan pada orang
yang kecanduan narkotik, obat ini menyebabkan gejala putus obat dan memperberat
penghilang rasa sakit (Hamilton, 1995).
Tabel 1. Penggolongan opioid menurut jenis efek/potensi dan kegunaannya serta
contoh senyawa masing-masing
2.
Mekanisme Kerja
Sedikit
perbedaan struktur antara agonis dan antagonis opiat/opioid telah mendorong
munculnya banyak hipotesis tentang topografi reseptor yang dapat menerangkan
pembedaan pengikatan semua senyawa ini. Keterangan yang paling sederhan:
terdapat sisi pengikatan yang berbeda untuk agonis dan antagonis.
Satu
skema tentang penggambaran reseptor yang diajukan oleh Snyder dan kerabat
kerjanya yang dapat menerangkan mengapa sedikit perubahan struktur dapat
mengubah suatu agonis menjadi antagonis. Snyder mempertahankan ‘bidang
datar’-atau sisi pengikatan fenil (L) yang lipofil pada reseptor- dan sisi
anion model sebelumnya, tetapi ditambah dengan dua bidang pengikatan lagi: satu
sisi agonis (AG) dan satu sisi antagonis (AN).
Pada
senyawa antagonis murni, rantai sampingnya dipaksa berada pada konformasi
antagonis yang ekuatorial akibat halangan ruang gugus 14-OH, sehingga tidak
terikat pada sisi AG (Nogrady, 1992). Namun, menurut Kee dan Evelyn (1996)
menjelaskan bahwa antagonis narkotik merupakan antagonis kompetitif yang
menghambat reseptor dan mengambil alih setiap narkotik yang berada pada
reseptor itu, sehingga menghambat kerja narkotik.
Berdasarkan
pada perbedaan afinitas opioid yang dikenal untuk terjadinya ikatan dengan
preparat reseptor, maka dianggap ada tiga tipe reseptor: µ, κ, dan σ-reseptor,
yang diperkirakan berefek mrnghambat aktivitas neuron. Tergantung apakah opioid
itu bersifat agonis (parsial) atau antagonis terhadap µ-, κ-, atau σ-reseptor,
maka ada perbedaan dalam intensitas efek, efek samping dan potensial untuk
mengakibatkan ketergantungan (Schmitz dkk, 2009).
3.
Farmakodinamika Antagonis Narkotik
· Efek
tanpa pengaruh opioid
Pada berbagai
eksperimen diperlihatkan bahwa nalokson (1) menurunkan ambang nyeri pada mereka
yang biasanya ambang nyerinya tinggi; (2) mengantagonis efek analgetik placebo;
(3) mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat jarum
akupuntur. Semua efek ini diduga berdasarkan antagonism nalokson terhadap
opioid endogen yang dalam keadaan lebih aktif. Namun masih perlu pembuktian
lebih lanjut efek nalokson ini sebab banyak faktor fisiologi yang berperan
dalam analgesia di atas. Dugaan yang sama juga timbul tentang efek nalokson
terhadap hipotensi pada hewan dalam keadaan syok, dan efeknya dalam mencegah overeating dan obesitas pada tikus-tikus
yang diberi stress berat (Tanu, 2007). Levalorfan memiliki aksi melawan depresi
pernapasan pada narkotik, tetapi tidak efektif bila bersama barbiturat atau
atariktik (Hamilton, 1995).
Efek subyektif yang
ditimbulkan nalorfin pada manusia tergantung dari dosis, sifat orang yang
bersangkutan dan keadaan. Pemberian 10-15 mg nalorfin atau 10 mg morfin
menimbulkan analgesia sama kuat pada pasien dengan nyeri pascabedah. Efek
tersebut diduga disebabkan oleh kerja agonis pada reseptor κ. Nalorfin juga menimbulkan depresi napas yang
diduga karena kerjanya pada reseptor κ seperti halnya pada levalorfan (Tanu, 2007).
· Efek
dengan pengaruh opioid
Semua efek agonis
opioid pada reseptor µ
diantagonis oleh nalokson dosis kecil (0.4-0.8 mg) yang diberikan IM atau IV.
Pada dosis besar, nalokson juga menyebabkan kebalikan efek dari efek
psikotomimetik dan disforia akibat agonis-antagonis. Semua antagonis opioid
diindikasikan untuk mengatasi depresi napas akibat takar lajak opioid pada bayi
yang baru dilahirkan oleh ibu yang mendapat opioid sewaktu persalinan; atau
akibat tentamen suicide dengan suatu
opioid (Tanu, 2007).
4.
Farmakokinetika Antagonis Narkotik
Nalokson
hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya segera terlihat stelah
penyuntuikan IV (Tanu, 2007). Levalorfan juga hanya diberikan melalui
intramuskular (Kee dan Evelyn, 1996). Keduanya diberikan secara injeksi karena
mengalami metabolisme lintas pertama atau first
pass effect (Tanu, 2007).
Naltrekson
diberikan secara oral karena lebih efektif dengan kadar puncak dalam plasma
dicapai dalam waktu 1-2 jam. Naltrekson lebih poten dari nalokson, pada pasien
adiksi opioid pemberian 100 mg oral dapat menghambat efek euphoria yang
ditimbulkan oleh 25 mg heroin IV selama 24 jam (Tanu, 2007).
5.
Sintesis dan Rumus Struktur
·
Sintesis Nalorfin
Gambar 1. Sintesis
Nalorfin (Sriram dan Yogeeswari, 2010)
·
Sintesis Nalokson
Gambar 2. Sintesis
Nalokson (Sriram dan Yogeeswari, 2010)
·
Sintesis Naltrekson
Gambar 3. Sintesis
Naltrekson (Sriram dan Yogeeswari, 2010)
·
Sintesis Levalorfan
Gambar
4. Sintesis Levalorfan
(Vardanyan dan Viktor, 2006)
6.
Interaksi Obat
Antagonis
narkotik mengalami interaksi dengan obat yang menekan pusat serta alkohol. Efek
interaksi ini akan menyebabkan terjadinya efek samping yang lebih besar
(Mutscler, 2001).
Obat
jenis ini juga mengalami interaksi dengan obat-obat yang meredakan secara
sentral seperti barbiturat, fenotiazin, penghambat MAO, antidepresi trisiklik
dsb. Memprkuat efek sedatif dan depresi pernapasan. Fenotiazin menguatkan efek
penurunan tekanan darah (Schmitz dkk, 2009).
7.
Obat Pilihan (Drug of Choice) untuk Nyeri
Levalorfan
tartrat (Lorfan) merupakan obat yang memiliki efek antagonis narkotik yang
kuat. Obat ini diberikan dengan injeksi. Efeknya memulihkan depresi pernapasan
dan SSP akibat narkotik dan merupakan contoh yang sempurna dari antagonis
farmakologik (Kee dan Evelyn, 1996). Levalorfan memiliki aksi melawan depresi
pernapasan pada narkotik, tetapi tidak efektif bila bersama barbiturat atau
atariktik (Hamilton, 1995).
8.
DAFTAR PUSTAKA
Hamilton, P.M. 1995. Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas.
Edisi 6. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta
Kee, J.L. dan Evelyn R.H. 1996. Farmakologi, Pendekatan Proses Keperawatan.
Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta
Mutscler, D. 2001. Dinamika Obat. Penerbit ITB. Bandung
Nogrady, T. 1992. Kimia Medisinal, Pendekatan Secara Biokimia.
Penerbit ITB. Bandung
Rahardjo, R. 2009. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Edisi 2.
Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta
Schmitz, G., Hans L., Michael H.
2009. Farmakologi dan Toksikologi.
Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Sriram, D. dan Yogeeswari P.
2010. Medicinal Chemistry. 2nd
edition. Dorling Kindersley Pvt. Ltd. New Delhi
Tanu, I. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi Kelima.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta
Vardanyan, R. dan
Victor R. 2006. Synthesis of Essential
Drug. Elsevier B.V. Amsterdam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar