Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Selasa, 10 Juni 2014

Antagonis Narkotik

A.    Sejarah dan Kimia Analgetik Antagonis Narkotik
Dalam tahun 1915 Pohl melihat bahwa N-alil-nor kodein dapat mencegah atau menghilangkan depresi napas yang ditimbulkan oleh morfin dan heroin. Lebih dari 25 tahun sesudah itu Unna, demikian juga Hart dan Mc Cawley secara sendiri-sendiri menjelaskan efek antagonis morfin yang dimiliki nalorfin. Saat itu kegunaan klinik nalorfin tidak diketahui, baru pada tahun 1951, Eckenhoff dan kawan-kawan melaporkan manfaat nalorfin sebagai antidotum pada keracunan morfin yang terjadi pada manusia. Kemudian, pada tahun 1953 Wikler dan kawan-kawan menunjukkan bahwa nalorfin menimbulkan gejala putus obat akut pada pecandu morfin, metadon dan heroin dalam waktu singkat. Pada sebagian besar orang nonadiksi, dosis besar nalorfin tidak menimbulkan euphoria tetapi justru disforia dan kegelisahan. Lasagna dan Beecher melihat adanya antagonisme nalorfin terhadap efek analgetik morfin, namun nalorfin juga efektif untuk mengatasi nyeri pascabedah. Efek disforia yang timbul menyebabkan nalorfin kurang tepat digunakan sebagai analgesik. Pencarian senyawa antagonis opioid yang masih mempunyai efek analgetik tanpa menimbulkan disforia menyebabkan ditemukannya nalokson, pentazosin dan propiram yang memperbesar khasanah analgesic (Tanu, 2007).
Senyawa analog yang diturunkan dari 14-hidroksimorfon, yaitu nalokson, yang ditemukan pada tahun 1961, bersifat antagonis murni. Analog siklopropilmetilnya, naltrekson, bahkan lebih berguna, karena masa kerjanya lebih panjang. Levalorfan dan siklorfan merupakan turunan morfinan, sedangkan oksilorfan adalah analog 14-OH-nya. Naloksazon, bentuk hidrazon senyawa naltrekson, adalah suatu antagonis yang masa kejanya lama (Nogrady, 1992).
Dengan ditemukannya obat yang berefek subyektif seperti morfin dan sekaligus melawan efek morfin, maka studi tentang hubungan aktivitas dan struktur kimia pada opioid dan antagonis opioid menjadi lebih kompleks dan menarik. Substitusi gugus alil pada gugus N-metil pada kodein, morfin, levorfanol, oksimorfon dan fenazosin menghasilkan obat yang bersifat antagonis. Belakangan ternyata bahwa substitusi sederhana tersebut tidak selalu menghasilkan suatu analog yang bersifat antagonis. Ini terjadi karena senyawa tersebut bertindak sebagai agonis pada satu reseptor opioid dan merupakan antagonis kompetitif pada reseptor opioid lain (Tanu, 2007).
B.     Teori Umum
1.    Definisi
Antagonis narkotik adalah antidotum untuk takar lajak analgesik narkotik. Antagonis narkotik mempunyai daya ikat yang lebih kuat pada tempat reseptor opiat/opioid daripada narkotik yang dipakai. Antagonis narkotik menghambat reseptor dan mengambil alih setiap narkotik yang berada pada reseptor itu, sehingga menghambat kerja narkotik (Kee dan Evelyn, 1996). Antagonis narkotik merupakan obat-obatan yang menggantikan opioid dari tempat reseptor (Hamilton, 1995).
Reseptor-reseptor digolongkan menjadi 4 famili reseptor, yang ditunjukkan dengan huruf Yunani : µ (mu), κ (kappa), σ (sigma), dan δ (delta). Tiap reseptor menunjukkan spesifitas yang berlainan untuk obat-obat yang diikatnya.
·      Reseptor µ (mu), yang ternyata berperan dalam efek-efek analgesik, pernapasan, dan ketergantungan fisik;
·      Reseptor κ (kappa), yang mungkin memperantarai efek-efek analgesik spinal, miosis, dan sedasi;
·      Reseptor σ (sigma), yang berperan dalam efek-efek halusinogenik dan perangsangan jantung (Rahardjo, 2009).
Antagonis narkotik memperbaiki depresi sistem syaraf pusat yang disebabkan oleh narkotik. Obat tersebut dengan sendirinya merupakan analgesic yang paten (Hamilton, 1995). Obat-obat yang tergolong antagonis opioid umunya tidak menimbulkan banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis opioid atau bila opioid endogen yang sedang aktif, misalnya pada keadaan stress atau syok (Tanu, 2007).
Dua antagonis narkotik yang umum digunakan dalam obstetric adalah levallorphan (lorfan) dan naloxone (narcan). Obat ini sangat membantu terutama bila diberikan narkotik intramuscular dan kelahiran terjadi lebih cepat daripada yang telah diduga. Antagonis narkotik tidak memperbaiki efek depresan barbiturat atau ataraktik. Bila diberikan pada orang yang kecanduan narkotik, obat ini menyebabkan gejala putus obat dan memperberat penghilang rasa sakit (Hamilton, 1995).
Tabel 1. Penggolongan opioid menurut jenis efek/potensi dan kegunaannya serta contoh senyawa masing-masing
2.    Mekanisme Kerja
Sedikit perbedaan struktur antara agonis dan antagonis opiat/opioid telah mendorong munculnya banyak hipotesis tentang topografi reseptor yang dapat menerangkan pembedaan pengikatan semua senyawa ini. Keterangan yang paling sederhan: terdapat sisi pengikatan yang berbeda untuk agonis dan antagonis.
Satu skema tentang penggambaran reseptor yang diajukan oleh Snyder dan kerabat kerjanya yang dapat menerangkan mengapa sedikit perubahan struktur dapat mengubah suatu agonis menjadi antagonis. Snyder mempertahankan ‘bidang datar’-atau sisi pengikatan fenil (L) yang lipofil pada reseptor- dan sisi anion model sebelumnya, tetapi ditambah dengan dua bidang pengikatan lagi: satu sisi agonis (AG) dan satu sisi antagonis (AN).
Pada senyawa antagonis murni, rantai sampingnya dipaksa berada pada konformasi antagonis yang ekuatorial akibat halangan ruang gugus 14-OH, sehingga tidak terikat pada sisi AG (Nogrady, 1992). Namun, menurut Kee dan Evelyn (1996) menjelaskan bahwa antagonis narkotik merupakan antagonis kompetitif yang menghambat reseptor dan mengambil alih setiap narkotik yang berada pada reseptor itu, sehingga menghambat kerja narkotik.
Berdasarkan pada perbedaan afinitas opioid yang dikenal untuk terjadinya ikatan dengan preparat reseptor, maka dianggap ada tiga tipe reseptor: µ, κ, dan σ-reseptor, yang diperkirakan berefek mrnghambat aktivitas neuron. Tergantung apakah opioid itu bersifat agonis (parsial) atau antagonis terhadap µ-, κ-, atau σ-reseptor, maka ada perbedaan dalam intensitas efek, efek samping dan potensial untuk mengakibatkan ketergantungan (Schmitz dkk, 2009).

3.    Farmakodinamika Antagonis Narkotik
·      Efek tanpa pengaruh opioid
Pada berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa nalokson (1) menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang nyerinya tinggi; (2) mengantagonis efek analgetik placebo; (3) mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat jarum akupuntur. Semua efek ini diduga berdasarkan antagonism nalokson terhadap opioid endogen yang dalam keadaan lebih aktif. Namun masih perlu pembuktian lebih lanjut efek nalokson ini sebab banyak faktor fisiologi yang berperan dalam analgesia di atas. Dugaan yang sama juga timbul tentang efek nalokson terhadap hipotensi pada hewan dalam keadaan syok, dan efeknya dalam mencegah overeating dan obesitas pada tikus-tikus yang diberi stress berat (Tanu, 2007). Levalorfan memiliki aksi melawan depresi pernapasan pada narkotik, tetapi tidak efektif bila bersama barbiturat atau atariktik (Hamilton, 1995).
Efek subyektif yang ditimbulkan nalorfin pada manusia tergantung dari dosis, sifat orang yang bersangkutan dan keadaan. Pemberian 10-15 mg nalorfin atau 10 mg morfin menimbulkan analgesia sama kuat pada pasien dengan nyeri pascabedah. Efek tersebut diduga disebabkan oleh kerja agonis pada reseptor κ. Nalorfin juga menimbulkan depresi napas yang diduga karena kerjanya pada reseptor κ seperti halnya pada levalorfan (Tanu, 2007).
·      Efek dengan pengaruh opioid
Semua efek agonis opioid pada reseptor µ diantagonis oleh nalokson dosis kecil (0.4-0.8 mg) yang diberikan IM atau IV. Pada dosis besar, nalokson juga menyebabkan kebalikan efek dari efek psikotomimetik dan disforia akibat agonis-antagonis. Semua antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi napas akibat takar lajak opioid pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang mendapat opioid sewaktu persalinan; atau akibat tentamen suicide dengan suatu opioid (Tanu, 2007).
4.    Farmakokinetika Antagonis Narkotik
Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya segera terlihat stelah penyuntuikan IV (Tanu, 2007). Levalorfan juga hanya diberikan melalui intramuskular (Kee dan Evelyn, 1996). Keduanya diberikan secara injeksi karena mengalami metabolisme lintas pertama atau first pass effect (Tanu, 2007).
Naltrekson diberikan secara oral karena lebih efektif dengan kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam. Naltrekson lebih poten dari nalokson, pada pasien adiksi opioid pemberian 100 mg oral dapat menghambat efek euphoria yang ditimbulkan oleh 25 mg heroin IV selama 24 jam (Tanu, 2007).

5.    Sintesis dan Rumus Struktur
·      Sintesis Nalorfin
Gambar 1. Sintesis Nalorfin (Sriram dan Yogeeswari, 2010)
·      Sintesis Nalokson
Gambar 2. Sintesis Nalokson (Sriram dan Yogeeswari, 2010)

·      Sintesis Naltrekson
Gambar 3. Sintesis Naltrekson (Sriram dan Yogeeswari, 2010)

·      Sintesis Levalorfan








Gambar 4. Sintesis Levalorfan (Vardanyan dan Viktor, 2006)
6.    Interaksi Obat
Antagonis narkotik mengalami interaksi dengan obat yang menekan pusat serta alkohol. Efek interaksi ini akan menyebabkan terjadinya efek samping yang lebih besar (Mutscler, 2001).
Obat jenis ini juga mengalami interaksi dengan obat-obat yang meredakan secara sentral seperti barbiturat, fenotiazin, penghambat MAO, antidepresi trisiklik dsb. Memprkuat efek sedatif dan depresi pernapasan. Fenotiazin menguatkan efek penurunan tekanan darah (Schmitz dkk, 2009).

7.    Obat Pilihan (Drug of Choice) untuk Nyeri
Levalorfan tartrat (Lorfan) merupakan obat yang memiliki efek antagonis narkotik yang kuat. Obat ini diberikan dengan injeksi. Efeknya memulihkan depresi pernapasan dan SSP akibat narkotik dan merupakan contoh yang sempurna dari antagonis farmakologik (Kee dan Evelyn, 1996). Levalorfan memiliki aksi melawan depresi pernapasan pada narkotik, tetapi tidak efektif bila bersama barbiturat atau atariktik (Hamilton, 1995).




8.       
DAFTAR PUSTAKA
Hamilton, P.M. 1995. Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas. Edisi 6. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta
Kee, J.L. dan Evelyn R.H. 1996. Farmakologi, Pendekatan Proses Keperawatan. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta
Mutscler, D. 2001. Dinamika Obat. Penerbit ITB. Bandung
Nogrady, T. 1992. Kimia Medisinal, Pendekatan Secara Biokimia. Penerbit ITB. Bandung
Rahardjo, R. 2009. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Edisi 2. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta
Schmitz, G., Hans L., Michael H. 2009. Farmakologi dan Toksikologi. Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Sriram, D. dan Yogeeswari P. 2010. Medicinal Chemistry. 2nd edition. Dorling Kindersley Pvt. Ltd. New Delhi
Tanu, I. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi Kelima. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
Vardanyan, R. dan Victor R. 2006. Synthesis of Essential Drug. Elsevier B.V. Amsterdam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar