Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 25 Januari 2014

Tugas hepatitis II



A.    Definisi Hepatitis

Hepatitis adalah peradangan yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh infeksi atau oleh toksin termasuk alcohol. ( Elizabeth J. Corwin. 2000 : 573 ). Hepatitis adalah infeksi virus pada hati yang berhubungan dengan manifestasi klinik berspektrum luas dari infeksi tanpa gejala, melalui hepatitis ikterik sampai nekrosis hati. ( Sandra M. Nettina. 2001 : 248 ). Hepatitis virus merupakan infesi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan inflamasi pada sel-sel hati yang merupakan kumpulan peruahan klinis, biokimia, serta seluler yang khas. (Brunner & Suddarth. 2001 : 1169 )
Hepatitis adalah peradangan atau inflamasi pada hepar yang umumnya terjadi akibat infeksi virus, tetapi dapat pula disebabkan oleh zat-zat toksik. Hepatitis berkaitan dengan sejumlah hepatitis virus dan paling sering adalah hepatitis virus A, hepatitis virus B, serta hepatitis virus C (Sue hanclif,  2000: 105).
Dari beberapa penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Hepatitis adalah peradangan yang terjadi pada hati yang merupakan infeksi sistemik oleh virus atau oleh toksin termasuk alkohol yang berhubungan dengan manifestasi klinik berspektrum luas dari infeksi tanpa gejala, melalui hepatitis ikterik sampai nekrosis hati yang menghasilkan kumpulan Perubahan klinis, biokimia serta seluler yang khas.

B.     Patofisiologi Hepatitis

Yaitu perubahan morfologi yang terjadi pada hati, seringkali mirip untuk berbagai virus yang berlainan. Pada kasus yang klasik, hati tampaknya berukuran basar dan berwarna normal, namun kadang-kadang agak edema, membesar dan pada palpasi “terasa nyeri di tepian”. Secara histologi. Terjadi kekacauan susunan hepatoselular, cedera dan nekrosis sel hati dalam berbagai derajat, dan peradangan periportal. Perubahan ini bersifat reversibel sempurna, bila fase akut penyakit mereda. Namun pada beberapa kasus nekrosis, nekrosis submasif atau masif dapat menyebabkan gagal hati fulminan dan kematian (Price dan Wilson , 2005: 485).
Hepatitis A
Hepatitis B
Hepatitis C

C.    Sasaran Terapi, Strategi Terapi dan Penatalaksanaan Terapi

Sasaran pengobatan hepatitis adalah menurunkan kadar HBV DNA serendah mungkin, serokonversi HBeAg dan normalisasi kadar ALT. Strategi terapi hepatitis meliputi monoterapi (terapi tunggal) dan terapi kombinasi. Tujuan terapi hepatitis B kronis adalah untuk mengeliminasi secara bermakna replikasi VHB dan mencegah progresi penyakit hati menjadi sirosis yang berpotensial menuju gagal hati, dan mencegah karsinoma hepatoselular.
Tujuan Penatalaksanaan HB kronik
1. Menentukan status pasien pada  waktu mnya pemeriksaan
2. Pada status replikasi memberi terapi  spesifik dengan tujuan mengubah status replikasi ke arah status non  replikasi. Transaminase jadi normal  dan bila mungkin : - HBeAg dan HBVDNA menjadi negatif. Tujuan ini biasanya dicapai dengan memberi terapi spesifik. - HBsAg biasanya tetap positif.
3. Pada status non replikasi dimonitor secara berkala kadar transaminase dan diberi nasihat non spesifik.
4. Dalam keadaan tertentu perlu dilakukan biopsi yang hasilnya lebih tepat dibandingkan pemeriksaan seromarker dan transaminase.
Terapi Hepatitis dengan obat
                 Obat-obatan yang dipakai untuk hepatitis B kronis ada dua pilihan. Pilihan pertama yaitu obat yang dapat menekan replikasi virus sekaligus untuk memodulasi sistem imun penderita, yang dikenal dengan nama interferon. Yang sekarang dipakai adalah pegylated interferon yang memberikan hasil memuaskan. Keuntungan obat ini dapat menekan replikasi virus dalam jumlah yang besar, lama pemakaian tertentu (6 bulan  sampai1 tahun), relatif aman, dan ditoleransi baik oleh pasien yang sudah mengalami sirosis khususnya yang masih terkompensasi. Namun harga obat ini masih cukup mahal. Pilihan kedua adalah dari golongan analog nukleosida yang dapat menekan replikasi virus. Diantaranya adalah lamivudine, adefovir, entecavir dan masih dalam tahap ujicoba adalah telbivudine dan tenofovir. Pemakaian obat-obat ini relatif lebih lama (lebih dari 1 tahun) dan dapat terjadi resistensi virus hepatitis B terhadap obat tersebut, khususnya lamivudine yang mencapai angka 70% setelah pemakaian 5 tahun.
Terapi dengan Vaksinasi
                 Interferon mempunyai sistem imun alamiah tubuh dan bertugas untuk melawan virus. Obat ini bermanfaat dalam menangani hepatitis B, C dan D. Imunoglobulin hepatitis B dapat membantu mencegah berulangnya hepatitis B setelah transplantasi hati.
Interferon adalah glikoprotein yang diproduksi oleh sel-sel tertentu dan T- limfosit  selama  infeksi  virus.  Ada  3  tipe  interferon  manusia,  yaitu interferon α, interferon β dan interferon γ; yang sejak tahun 1985 telah diperoleh murni dengan jalan teknik rekombinan DNA. Pada proses ini, sepotong DNA dari leukosit yang mengandung gen interferon, dimasukkan ke dalam plasmid bakteri E.coli. Dengan demikian, bakteri ini mampu memperbanyak DNA tersebut dan mensintesa interferon.
Antiviral
                 Lamivudine adalah obat antivirus yang efektif untuk penderita hepatitis B. Virus hepatitis B membawa informasi genetik DNA. Obat ini bekerja dengan cara mempengaruhi proses replikasi DNA dan membatasi kemampuan virus hepatitis B berproliferasi. Lamivudine merupakan analog nukleosida deoxycytidine dan bekerja dengan menghambat pembentukan DNA virus hepatitis  B.  Pengobatan dengan  lamivudine akan  menghasilkan HBV DNA yang menjadi negatif pada hampir semua pasien yang diobati dalam waktu 1 bulan. Lamivudine akan meningkatkan angka serokonversi HBeAg, mempertahankan fungsi hati yang optimal, dan menekan terjadinya proses nekrosis-inflamasi. Lamivudine juga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya fibrosis dan sirosis serta dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kanker hati. Profil keamanan lamivudine sangat memuaskan, dimana  profil  keamanannya sebanding dengan  plasebo.  Lamivudine  diberikan  per  oral  sekali  sehari, sehingga memudahkan pasien dalam penggunaannya dan meningkatkan keteraturan pengobatan. Oleh karenanya penggunaan lamivudine adalah  rasional untuk terapi pada pasien dengan hepatitis B kronis aktif.
                 Dalam pengobatan Anti Retroviral (ARV) pada koinfeksi hepatitis C, saat ini tersedia ARV gratis di Indonesia. ARV yang tersedia gratis adalah Duviral (Zidovudine + Lamivudine) dan Neviral (Nevirapine). Sedangkan Efavirenz  (Stocrin) tersedia gratis dalam jumlah yang amat terbatas.  Didanosine atau Stavudine tidak boleh diminum untuk penderita yang  sedang mendapat pengobatan Interferon dan Ribavirin, karena beratnya efek samping terhadap gangguan faal hati.
                 Zidovudine, termasuk Duviral dan Retrovir harus ketat dipantau bila digunakan bersama  Ribavirin  (untuk  pengobatan hepatitis  C),  karena masing-masing memudahkan timbulnya anemia. Anemia bisa diantisipasi dengan pemberian eritropoetin atau transfusi darah. Neviral dapat mengganggu faal hati. Jadi, kadar hemoglobin dan leukosit serta tes faal hati (SGOT, SGPT, bilirubin, dan lain-lain) harus dipantau ketat.
                 Menurut tim ahli Amerika (DHHS April 2005), Nevirapine walaupun dapat menimbulkan  gangguan  faal  hati,  boleh  digunakan  pada  penderita dengan koinfeksi  hepatitis  C,  dengan  pemantauan  yang  seksama.
Konsensus Paris 2005 menganjurkan pemberian Pegylated Interferon- Ribavirin selama 48 minggu. Koinfeksi dengan hepatitis C memerlukan penatalaksanaan yang lebih khusus dan komprehensif. Jenis kombinasi ARV juga perlu dipantau lebih ketat terhadap gangguan faal hati, anemia dan leukopenia. Peginterferon dan Ribavirin dalam kombinasi dengan Interferon selain bermanfaat mengatasi hepatitis C juga untuk hepatitis D. Ada juga obat-obatan yang merupakan kombinasi imunologi dan antivirus yang tampaknya dapat menekan kadar virus hepatitis C dalam darah secara lebih efektif dari pada terapi ulang dengan interferon saja.
              Penatalaksanaan dengan Peginterferon dan Ribavirin :
·         Peginterferon α-2a dengan Ribavirin untuk infeksi
·         Peginterferon α dengan Ribavirin, Interferon α dengan Ribavirin untuk infeksi genotip 2 dan 3.
·         Peginterferon α-2a tunggal untuk pasien dengan kontraindikasi  terhadap Ribavin.
·         Peginterferon α tunggal : tes Hepatitis C RNA selama 12 minggu, jika ada respon lanjutkan pengobatan selama 48 minggu, jika tidak ada respon (positif HCV RNA) hentikan pengobatan.
·         Tes Hepatitis C RNA 6 bulan  setelah penghentian pengobatan untuk melihat respon.
·         Ribavirin tidak efektif jika digunakan tunggal.
·         Ribavirin dengan Peginterferon α untuk infeksi genotip 1.
·         Ribavirin dengan Peginterferon α atau Ribavirin dengan Interferon α untuk infeksi genotip 2 dan 3.
·         Peginterferon α tunggal jika kontraindikasi dengan Ribavirin.
·         Terapi untuk infeksi 1 dan 4 selama 48 minggu.
·         Terapi untuk infeksi 2 dan 3 selama 24 minggu.
Penatalaksanaan dengan Lamivudin :
·      Tes untuk HBeAg dan anti HBe di akhir pengobatan selama tahun dan kemudian setiap 3 -6 bulan.
·      Durasi pengobatan optimal untuk hepatitis B belum diketahui, tetapi pengobatan dapat dihentikan setelah 1 tahun jika ditemukan adanya serokonversi HBeAg.
·      Pengobatan lebih lanjut 3 – 6 bulan setelah ada serokonversi HBeAg untuk mengurangi kemungkinan kambuh.
·      Monitoring fungsi hati selama paling sedikit 4 bulan setelah penghentian terapi dengan Lamivudine.

D.    Evaluasi Obat Yang Beredar Di Indonesia

1.      Lamivudin
Indikasi               : Hepatitis B kronik.
Dosis                 : Dewasa, anak > 12 tahun : 100 mg 1 x sehari. Anak usia  2 –11 tahun : 3 mg/kg 1 x sehari (maksimum 100 mg/hari).
Efek samping      : diare, nyeri perut, ruam, malaise, lelah, demam, anemia,
      neutropenia, trombositopenia, neuropati, jarang  
      pankreatitis.
Interaksi obat      : Trimetroprim
Perhatian             : Pankreatitis, kerusakan ginjal berat, penderita sirosis
                                        berat, hamil dan laktasi.
2.      Interferon α
Indikasi : Hepatitis B kronik, hepatitis C kronik
Dosis     :
Hepatitis B kronik
a. Interferon α-2a
SC/IM, 4,5 x 106 unit, 3x seminggu. Jika terjadi toleransi dan tidak menimbulkan respon setelah 1 bulan, secara bertahap naikkan dosis sampai dosis maksimum 18 x 106. Pertahankan dosis minimum terapi selama 4-6 bulan kecuali pada keadaan intoleran.
  b. Interferon α-2b
SC, 3 x 106 unit, 3x seminggu. Tingkatkan dosis 5-10 x 106 unit, 3x seminggu, setelah 1 bulan jika terjadi toleransi pada dosis rendah dan tidak berefek. Pertahankan dosis minimum terapi selama 4-6 bulan kecuali pada keadaan intoleran.
Hepatitis C kronik
Gunakan  bersama  Ribavirin  (kecuali  kontraindikasi).  Kombinasi Interferon α dengan Ribavirin lebih efektif.
a.       Interferon α-2a dan α-2b
SC, 3 x 106 unit, 3 x seminggu selama 12 minggu. Lakukan tes Hepatitis C   RNA dan jika pasien memberikan respon, lanjutkan selama 6-12 bulan.
b.      Peginterferon  α-2a
SC, 180 μg 1 x seminggu c.Peginterferon α-2b
c.       Peginterferon α-2b
SC, 0,5 μg/kg (1 μg/kg digunakan untuk infeksi genotip 1) 1 x seminggu
3.      Ribavirin dengan Interferon
Indikasi            : Hepatitis C kronik pada pasien penyakit hati >18 tahun yang mengalami  kegagalan dengan monoterapi menggunakan Interferon α-2a atau α-2b.
Ribavirin dengan Peginterferon α-2a atau α-2b
Untuk Hepatitis C kronik pada pasien > 18 tahun yang mengalami relaps setelah mendapat terapi dengan Interferon α.
Kontraindikasi    : Wanita hamil dan suami dari wanita hamil, pasangan yang berencana memiliki anak kandung, mempunyai reaksi alergi terhadap Ribavirin, penyakit jantung berat 6 bulan yang lalu, haemoglobinopathy, hepatitis autoimun, sirosis hati yang tidak terkompensasi, penyakit tiroid, adanya penyakit atau riwayat kondisi psikiatrik berat, terutama depresi, keinginan atau ada upaya bunuh diri.
Perhatian        : Wanita subur dan pria harus menggunakan kontrasepsi efektif selama terapi 6 bulan sesudahnya, tes hamil harus dilakukan tiap 6 bulan selama terapi.  Lakukan tes  darah lengkap secara  berkala  sejak awal terapi. Riwayat penyakit paru atau          diabetes mellitus yang cenderung ketoasidosis, gangguan pembekuan darah atau mielosupresi berat. Tes daya visual dianjurkan sebelum terapi pada pasien diabetes mellitus atau hipertensi. Monitor fungsi jantung pada pasien dengan riwayat penyakit jantung kongestif,         miokard infark            dan      gangguan aritmia. Dapat menimbulkan kekambuhan penyakit psoriasis.
Efek Samping : Hemolisis, anemia,  neutropenia, mulut  kering,  hiperhidrosis, asthenia, lemah,  demam,  sakit  kepala,  gejala  menyerupai flu,  kekakuan, berat badan menurun, gangguan GI, artralgia, mialgia, insomnia, somnolen, batuk, dispnea, faringitis, alopesia, depresi.
Interaksi Obat : Zidovudine, Stavudine.
Dosis :
Ribavirin dengan Interferon α-2b
Interferon α-2b : 3 x 106  unit SC 3 x seminggu dan Ribavirin per hari berdasarkan berat badan : < 75 kg, Ribavirin 400 mg pagi dan 600 mg sore hari, sedangkan berat badan > 75 kg, Ribavirin 600 mg pagi dan sore hari
Ribavirin dengan Peginterferon α-2a
Peginterferon α-2a : 180 µg SC 1 x seminggu dengan Ribavirin per hari berdasarkan berat badan dan genotip HCV.
Genotip 1, < 75 kg, 400 mg pagi dan 600 mg malam hari, >75 kg, 600 mg pagi dan malam hari. Sedangkan genotip 2 dan 3, 400 mg pagi dan malam hari.
Ribavirin dengan Peginterferon α-2b
·         Peginterferon  α-2b  :  1,5  µg/kg  SC  1  x  seminggu  dan  Ribavirin berdasarkan berat badan :
·         < 65 kg, SC Peginterferon α-2b 100 µg 1 x seminggu, oral Ribavirin 400 mg pagi dan malam hari.
·         65-80 kg, SC Peginterferon α-2b 120 µg 1 x seminggu, oral Ribavirin 400 mg pagi dan 600 mg malam hari.
·         >80-85 kg, SC Peginterferon α-2b 150 µg 1 x seminggu, oral Ribavirin
·         400 mg pagi dan 600 mg malam hari.
·         85 kg, SC Peginterferon α-2b 150 µg 1 x seminggu, oral Ribavirin 600 mg pagi dan 600 mg malam hari.
4.             Analog Nucleotide Lainnya
        Di samping entecavir, saat ini beberapa obat antivirus sedang dalam tahap penelitian, seperti : telbivudine, emtricitabine, clevudine dan LB 80380 (ANA 380). Berdasarkan studi acak buta, telbivudine 400-800 mg selama 52 minggu dapat menurunkan HBV DNA sampai 6 logs, dan risiko timbulnya mutasi YMDD turun sebesar 4,9%. Emtricitabine yang merupakan derivat lamivudin, mempunyai potensi dan peluang yang hampir sama dengan lamivudin dalam memicu terjadinya mutasi YMDD. Clevudine yang merupakan analog pirimidin, sedang dalam studi fase II. Pemberian clevudine 100-200 mg/hari selama 28 hari dapat menurunkan 3 logs HBV DNA.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hati. Jakarta :Departemen Kesehatan RI.
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta : EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2000). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Firdayani. Pengembangan Kandidat Senyawa Obat Turunan Naftokuinon Sebagai Inhibitor Virus Hepatitis B.  Prosiding InSINas. Jakarta.
Hincliff, Sue. 2000. Kamus Keperawatan Jakarta: EGC.
Isselbacher, Kurt J. 2000. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Volume 3. Edisi 13. Jakarta : EGC.
Price & Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Jakarta: EGC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar