A. Definisi Hepatitis
Hepatitis
adalah peradangan yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh infeksi atau oleh
toksin termasuk alcohol. ( Elizabeth J. Corwin. 2000 : 573 ). Hepatitis adalah
infeksi virus pada hati yang berhubungan dengan manifestasi klinik berspektrum
luas dari infeksi tanpa gejala, melalui hepatitis ikterik sampai nekrosis hati.
( Sandra M. Nettina. 2001 : 248 ). Hepatitis virus merupakan infesi sistemik
oleh virus disertai nekrosis dan inflamasi pada sel-sel hati yang merupakan
kumpulan peruahan klinis, biokimia, serta seluler yang khas. (Brunner &
Suddarth. 2001 : 1169 )
Hepatitis
adalah peradangan atau inflamasi pada hepar yang umumnya terjadi akibat infeksi
virus, tetapi dapat pula disebabkan oleh zat-zat toksik. Hepatitis berkaitan
dengan sejumlah hepatitis virus dan paling sering adalah hepatitis virus A,
hepatitis virus B, serta hepatitis virus C (Sue hanclif, 2000: 105).
Dari beberapa
penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Hepatitis adalah peradangan yang
terjadi pada hati yang merupakan infeksi sistemik oleh virus atau oleh toksin
termasuk alkohol yang berhubungan dengan manifestasi klinik berspektrum luas
dari infeksi tanpa gejala, melalui hepatitis ikterik sampai nekrosis hati yang
menghasilkan kumpulan Perubahan klinis, biokimia serta seluler yang khas.
B. Patofisiologi Hepatitis
Yaitu perubahan
morfologi yang terjadi pada hati, seringkali mirip untuk berbagai virus yang
berlainan. Pada kasus yang klasik, hati tampaknya berukuran basar dan berwarna
normal, namun kadang-kadang agak edema, membesar dan pada palpasi “terasa nyeri
di tepian”. Secara histologi. Terjadi kekacauan susunan hepatoselular, cedera
dan nekrosis sel hati dalam berbagai derajat, dan peradangan periportal.
Perubahan ini bersifat reversibel sempurna, bila fase akut penyakit mereda.
Namun pada beberapa kasus nekrosis, nekrosis submasif atau masif dapat
menyebabkan gagal hati fulminan dan kematian (Price dan Wilson , 2005: 485).
Hepatitis A
Hepatitis B
Hepatitis C
C. Sasaran Terapi, Strategi Terapi dan Penatalaksanaan Terapi
Sasaran pengobatan hepatitis adalah
menurunkan kadar HBV DNA serendah mungkin, serokonversi HBeAg dan normalisasi
kadar ALT. Strategi terapi hepatitis meliputi monoterapi (terapi tunggal) dan
terapi kombinasi. Tujuan terapi hepatitis B kronis adalah untuk mengeliminasi
secara bermakna replikasi VHB dan mencegah progresi penyakit hati menjadi
sirosis yang berpotensial menuju gagal hati, dan mencegah karsinoma
hepatoselular.
Tujuan Penatalaksanaan
HB kronik
1.
Menentukan status pasien pada waktu mnya
pemeriksaan
2.
Pada status replikasi memberi terapi
spesifik dengan tujuan mengubah status replikasi ke arah status non replikasi. Transaminase jadi normal dan bila mungkin : - HBeAg dan HBVDNA menjadi
negatif. Tujuan ini biasanya dicapai dengan memberi terapi spesifik. - HBsAg
biasanya tetap positif.
3.
Pada status non replikasi dimonitor secara berkala kadar transaminase dan
diberi nasihat non spesifik.
4.
Dalam keadaan tertentu perlu dilakukan biopsi yang hasilnya lebih tepat
dibandingkan pemeriksaan seromarker dan transaminase.
Terapi Hepatitis dengan
obat
Obat-obatan
yang dipakai untuk hepatitis B kronis ada dua pilihan. Pilihan pertama yaitu
obat yang dapat menekan replikasi virus sekaligus untuk memodulasi sistem imun
penderita, yang dikenal dengan nama interferon. Yang sekarang dipakai adalah
pegylated interferon yang memberikan hasil memuaskan. Keuntungan obat ini dapat
menekan replikasi virus dalam jumlah yang besar, lama pemakaian tertentu (6
bulan sampai1 tahun), relatif aman, dan
ditoleransi baik oleh pasien yang sudah mengalami sirosis khususnya yang masih
terkompensasi. Namun harga obat ini masih cukup mahal. Pilihan kedua adalah
dari golongan analog nukleosida yang dapat menekan replikasi virus. Diantaranya
adalah lamivudine, adefovir, entecavir dan masih dalam tahap ujicoba adalah
telbivudine dan tenofovir. Pemakaian obat-obat ini relatif lebih lama (lebih
dari 1 tahun) dan dapat terjadi resistensi virus hepatitis B terhadap obat
tersebut, khususnya lamivudine yang mencapai angka 70% setelah pemakaian 5
tahun.
Terapi dengan Vaksinasi
Interferon
mempunyai sistem imun alamiah tubuh dan bertugas untuk melawan virus. Obat ini
bermanfaat dalam menangani hepatitis B, C dan D. Imunoglobulin hepatitis B
dapat membantu mencegah berulangnya hepatitis B setelah transplantasi hati.
Interferon adalah glikoprotein yang diproduksi oleh
sel-sel tertentu dan T- limfosit
selama infeksi virus.
Ada 3 tipe
interferon manusia, yaitu interferon α, interferon β dan
interferon γ; yang sejak tahun 1985 telah diperoleh murni dengan jalan teknik
rekombinan DNA. Pada proses ini, sepotong DNA dari leukosit yang mengandung gen
interferon, dimasukkan ke dalam plasmid bakteri E.coli. Dengan demikian,
bakteri ini mampu memperbanyak DNA tersebut dan mensintesa interferon.
Antiviral
Lamivudine
adalah obat antivirus yang efektif untuk penderita hepatitis B. Virus hepatitis
B membawa informasi genetik DNA. Obat ini
bekerja dengan cara mempengaruhi proses replikasi DNA dan membatasi kemampuan
virus hepatitis B berproliferasi. Lamivudine merupakan analog nukleosida
deoxycytidine dan bekerja dengan menghambat pembentukan DNA virus hepatitis B. Pengobatan dengan lamivudine akan menghasilkan HBV DNA yang menjadi negatif
pada hampir semua pasien yang diobati dalam waktu 1 bulan. Lamivudine akan
meningkatkan angka serokonversi HBeAg, mempertahankan fungsi hati yang optimal,
dan menekan terjadinya proses nekrosis-inflamasi. Lamivudine juga dapat
mengurangi kemungkinan terjadinya fibrosis dan sirosis serta dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya kanker hati. Profil keamanan lamivudine sangat
memuaskan, dimana profil keamanannya sebanding dengan plasebo.
Lamivudine diberikan per
oral sekali sehari, sehingga memudahkan pasien dalam
penggunaannya dan meningkatkan keteraturan pengobatan. Oleh karenanya
penggunaan lamivudine adalah rasional
untuk terapi pada pasien dengan hepatitis B kronis aktif.
Dalam
pengobatan Anti Retroviral (ARV) pada koinfeksi hepatitis C, saat ini tersedia
ARV gratis di Indonesia. ARV yang tersedia gratis adalah Duviral (Zidovudine +
Lamivudine) dan Neviral (Nevirapine). Sedangkan Efavirenz (Stocrin) tersedia gratis dalam jumlah yang
amat terbatas. Didanosine atau Stavudine
tidak boleh diminum untuk penderita yang sedang mendapat pengobatan Interferon dan
Ribavirin, karena beratnya efek samping terhadap gangguan faal hati.
Zidovudine,
termasuk Duviral dan Retrovir harus ketat dipantau bila digunakan bersama Ribavirin
(untuk pengobatan hepatitis C),
karena masing-masing memudahkan timbulnya anemia. Anemia bisa
diantisipasi dengan pemberian eritropoetin atau transfusi darah. Neviral dapat
mengganggu faal hati. Jadi, kadar hemoglobin dan leukosit serta tes faal hati
(SGOT, SGPT, bilirubin, dan lain-lain) harus dipantau ketat.
Menurut
tim ahli Amerika (DHHS April 2005), Nevirapine walaupun dapat menimbulkan gangguan
faal hati, boleh
digunakan pada penderita dengan koinfeksi hepatitis
C, dengan pemantauan
yang seksama.
Konsensus Paris 2005 menganjurkan pemberian Pegylated
Interferon- Ribavirin selama 48 minggu. Koinfeksi dengan hepatitis C memerlukan
penatalaksanaan yang lebih khusus dan komprehensif. Jenis kombinasi ARV juga
perlu dipantau lebih ketat terhadap gangguan faal hati, anemia dan leukopenia.
Peginterferon dan Ribavirin dalam kombinasi dengan Interferon selain bermanfaat
mengatasi hepatitis C juga untuk hepatitis D. Ada juga obat-obatan yang merupakan
kombinasi imunologi dan antivirus yang tampaknya dapat menekan kadar virus
hepatitis C dalam darah secara lebih efektif dari pada terapi ulang dengan
interferon saja.
Penatalaksanaan
dengan Peginterferon dan Ribavirin :
·
Peginterferon
α-2a dengan Ribavirin untuk infeksi
·
Peginterferon α
dengan Ribavirin, Interferon α dengan Ribavirin untuk infeksi genotip 2 dan 3.
·
Peginterferon
α-2a tunggal untuk pasien dengan kontraindikasi
terhadap Ribavin.
·
Peginterferon α
tunggal : tes Hepatitis C RNA selama 12 minggu, jika ada respon lanjutkan
pengobatan selama 48 minggu, jika tidak ada respon (positif HCV RNA) hentikan
pengobatan.
·
Tes Hepatitis C
RNA 6 bulan setelah penghentian
pengobatan untuk melihat respon.
·
Ribavirin tidak efektif
jika digunakan tunggal.
·
Ribavirin dengan
Peginterferon α untuk infeksi genotip 1.
·
Ribavirin dengan
Peginterferon α atau Ribavirin dengan Interferon α untuk infeksi genotip 2 dan
3.
·
Peginterferon α
tunggal jika kontraindikasi dengan Ribavirin.
·
Terapi untuk
infeksi 1 dan 4 selama 48 minggu.
·
Terapi untuk
infeksi 2 dan 3 selama 24 minggu.
Penatalaksanaan dengan Lamivudin :
·
Tes untuk HBeAg
dan anti HBe di akhir pengobatan selama tahun dan kemudian setiap 3 -6 bulan.
·
Durasi
pengobatan optimal untuk hepatitis B belum diketahui, tetapi pengobatan dapat
dihentikan setelah 1 tahun jika ditemukan adanya serokonversi HBeAg.
·
Pengobatan lebih
lanjut 3 – 6 bulan setelah ada serokonversi HBeAg untuk mengurangi kemungkinan
kambuh.
·
Monitoring
fungsi hati selama paling sedikit 4 bulan setelah penghentian terapi dengan
Lamivudine.
D. Evaluasi Obat Yang Beredar Di Indonesia
1. Lamivudin
Indikasi : Hepatitis B kronik.
Dosis : Dewasa, anak > 12 tahun :
100 mg 1 x sehari. Anak usia 2 –11 tahun
: 3 mg/kg 1 x sehari (maksimum 100 mg/hari).
Efek
samping : diare, nyeri perut, ruam,
malaise, lelah, demam, anemia,
neutropenia, trombositopenia, neuropati,
jarang
pankreatitis.
Interaksi obat : Trimetroprim
Perhatian
: Pankreatitis, kerusakan ginjal berat, penderita sirosis
berat, hamil dan laktasi.
2.
Interferon
α
Indikasi : Hepatitis B kronik, hepatitis C kronik
Dosis :
Hepatitis B kronik
a. Interferon
α-2a
SC/IM, 4,5 x 106
unit, 3x seminggu. Jika terjadi toleransi dan tidak menimbulkan respon setelah
1 bulan, secara bertahap naikkan dosis sampai dosis maksimum 18 x 106.
Pertahankan dosis minimum terapi selama 4-6 bulan kecuali pada keadaan
intoleran.
b. Interferon
α-2b
SC, 3 x 106
unit, 3x seminggu. Tingkatkan dosis 5-10 x 106 unit, 3x seminggu,
setelah 1 bulan jika terjadi toleransi pada dosis rendah dan tidak berefek.
Pertahankan dosis minimum terapi selama 4-6 bulan kecuali pada keadaan
intoleran.
Hepatitis C
kronik
Gunakan bersama
Ribavirin (kecuali kontraindikasi). Kombinasi Interferon α dengan Ribavirin lebih
efektif.
a. Interferon α-2a dan α-2b
SC, 3 x 106 unit, 3 x seminggu selama 12
minggu. Lakukan tes Hepatitis C RNA dan
jika pasien memberikan respon, lanjutkan selama 6-12 bulan.
b. Peginterferon
α-2a
SC, 180 μg 1 x seminggu c.Peginterferon α-2b
c. Peginterferon α-2b
SC, 0,5 μg/kg (1 μg/kg digunakan untuk infeksi genotip
1) 1 x seminggu
3.
Ribavirin dengan Interferon
Indikasi : Hepatitis C kronik pada pasien
penyakit hati >18 tahun yang mengalami
kegagalan dengan monoterapi menggunakan Interferon α-2a atau α-2b.
Ribavirin
dengan Peginterferon α-2a atau α-2b
Untuk Hepatitis C kronik pada pasien > 18 tahun
yang mengalami relaps setelah mendapat terapi dengan Interferon α.
Kontraindikasi : Wanita hamil dan suami dari wanita hamil,
pasangan yang berencana memiliki anak kandung, mempunyai reaksi alergi terhadap
Ribavirin, penyakit jantung berat 6 bulan yang lalu, haemoglobinopathy,
hepatitis autoimun, sirosis hati yang tidak terkompensasi, penyakit tiroid,
adanya penyakit atau riwayat kondisi psikiatrik berat, terutama depresi,
keinginan atau ada upaya bunuh diri.
Perhatian : Wanita subur dan pria harus
menggunakan kontrasepsi efektif selama terapi 6 bulan
sesudahnya, tes hamil harus dilakukan tiap 6 bulan selama terapi. Lakukan tes
darah lengkap secara berkala sejak awal terapi. Riwayat penyakit paru atau diabetes mellitus yang cenderung
ketoasidosis, gangguan pembekuan darah atau mielosupresi berat. Tes daya visual
dianjurkan sebelum terapi pada pasien diabetes mellitus atau hipertensi.
Monitor fungsi jantung pada pasien dengan riwayat penyakit jantung kongestif, miokard infark dan gangguan
aritmia. Dapat menimbulkan kekambuhan penyakit psoriasis.
Efek
Samping : Hemolisis, anemia,
neutropenia, mulut kering, hiperhidrosis, asthenia, lemah,
demam, sakit kepala,
gejala menyerupai flu, kekakuan, berat badan menurun, gangguan GI,
artralgia, mialgia, insomnia, somnolen, batuk, dispnea, faringitis, alopesia,
depresi.
Interaksi Obat : Zidovudine, Stavudine.
Dosis :
Ribavirin
dengan Interferon α-2b
Interferon α-2b : 3 x 106 unit SC 3 x seminggu dan Ribavirin per hari
berdasarkan berat badan : < 75 kg, Ribavirin 400 mg pagi dan 600 mg sore
hari, sedangkan berat badan > 75 kg, Ribavirin 600 mg pagi dan sore hari
Ribavirin
dengan Peginterferon α-2a
Peginterferon
α-2a : 180 µg SC 1 x seminggu dengan Ribavirin per hari berdasarkan berat badan
dan genotip HCV.
Genotip 1, < 75 kg, 400 mg pagi dan 600 mg malam
hari, >75 kg, 600 mg pagi dan malam hari. Sedangkan genotip 2 dan 3, 400 mg
pagi dan malam hari.
Ribavirin dengan Peginterferon α-2b
·
Peginterferon α-2b
: 1,5 µg/kg
SC 1 x
seminggu dan Ribavirin berdasarkan berat badan :
·
< 65 kg, SC
Peginterferon α-2b 100 µg 1 x seminggu, oral Ribavirin 400 mg pagi dan malam
hari.
·
65-80 kg, SC
Peginterferon α-2b 120 µg 1 x seminggu, oral Ribavirin 400 mg pagi dan 600 mg
malam hari.
·
>80-85 kg, SC
Peginterferon α-2b 150 µg 1 x seminggu, oral Ribavirin
·
400 mg pagi dan
600 mg malam hari.
·
85 kg, SC
Peginterferon α-2b 150 µg 1 x seminggu, oral Ribavirin 600 mg pagi dan 600 mg
malam hari.
4.
Analog Nucleotide Lainnya
Di samping entecavir, saat ini beberapa obat antivirus
sedang dalam tahap penelitian, seperti : telbivudine, emtricitabine, clevudine
dan LB 80380 (ANA 380). Berdasarkan studi acak buta, telbivudine 400-800 mg
selama 52 minggu dapat menurunkan HBV DNA sampai 6 logs, dan risiko timbulnya
mutasi YMDD turun sebesar 4,9%. Emtricitabine yang merupakan derivat lamivudin,
mempunyai potensi dan peluang yang hampir sama dengan lamivudin dalam memicu
terjadinya mutasi YMDD. Clevudine yang merupakan analog pirimidin, sedang dalam
studi fase II. Pemberian clevudine 100-200 mg/hari selama 28 hari dapat
menurunkan 3 logs HBV DNA.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Pharmaceutical
Care untuk Penyakit Hati. Jakarta
:Departemen Kesehatan RI.
Brunner & Suddarth. 2001. Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta : EGC.
Corwin,
Elizabeth J. 2000). Buku
Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta
: Balai Penerbit FKUI
Firdayani. Pengembangan Kandidat
Senyawa Obat Turunan Naftokuinon Sebagai Inhibitor Virus Hepatitis B. Prosiding
InSINas. Jakarta.
Hincliff, Sue. 2000. Kamus Keperawatan Jakarta: EGC.
Isselbacher, Kurt J. 2000. Harrison prinsip-prinsip
ilmu penyakit dalam. Volume 3. Edisi 13. Jakarta : EGC.
Price & Wilson.
2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Jakarta: EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar