Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 25 Januari 2014

Bab V dan VI Prak.SBOA



BAB V

PEMBAHASAN

Tumbuhan obat yang banyak terdapat di Indonesia juga diperkaya dengan berkembangnya pemanfaatan tumbuhan tersebut dari yang semula hanya sebagai bahan baku dalam masakan, bertambah fungsinya menjadi pilihan alternatif bagi pemeliharaan kesehatan. Pemilihan sumber tanaman obat sebagai bahan baku simplisia nabati  merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada mutu dan pengolahan maupun jenis tahan tempat tumbuh tanaman obat.
Standarisasi adalah proses dalam menetapkan standar yang dilaksanakan secara tertib. Standar adalah sesuatu yang dibakukan dan disusun berdasarkan konsesus semua pihak terkait dengan memperhatikan syarat-syarat kesehatan, keamanan, keselamatan lingkungan, berdasarkan pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat.
Tujuan dilakukan standarisasi simplisia adalah untuk mendapatkan efek yang dapat diulang (reproducible). Kandungan kimia yang dapat digunakan sebagai standar adalah kandungan kimia yang berkhasiat, atau kandungan kimia yang hanya sebagai petanda (marker), atau yang memiliki sidik jari (fingerprint) pada kromatogram. Untuk mendapatkan simplisia dengan mutu standar diperlukan pembudidayaan dalam kondisi standar.  Dewasa ini industri obat tradisional disarankan dan didorong untuk melakukan budidaya dan mengembangkan sendiri tanaman sumber simplisianya sehingga diharapkan diperoleh simplisia dengan mutu standar yang relatif homogen. Standarisasi tidak saja diperlukan pada simplisia, tetapi juga pada metode pembuatan sediaan termasuk pelarut yang digunakan dan standardisasi sediaan jadinya.
 Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai bahan obat, kecuali dipergunakan sebagai bahan obat, kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang berupa bahan yang telah dikeringkan. Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun kegunaan simplisia harus memenuhi persyaratan minimal untuk standardisasi simplisia.
Pada praktikum standarisasi bahan obat alam ini kami menggunakan sampel tumbuhan yang diambil dari berbagai desa yang ada dikendari dan raha. Untuk bahan baku tanaman jahe  diperoleh dari desa Sumber Sari  kecamatan Moramo. Tanaman in merupakan tanaman Budidaya. Pemanenan tanaman jahe dilakukan pada umur 10 bulan pada musim kemarau pukul 08.00 WITA. Tanaman jahe diambil rimpangnya dengan cara menggali tanah dengan alat besi (Cangkul) tanpa menyentuh rimpang tanaman dan menarik batang tanaman. Rimpang temulawak yang tersisa ditanah diambil dan dikumpulkan.
Tanaman pare diperoleh dari desa Kusambi kecamatan Kusambi, Raha. Tanaman in merupakan tanaman budidaya dengan umur panen 2 bulan. Pemanenan buah pare pada pagi hari pukul 08.10. Buah pare diambil dengan cara manual yaitu dipetik dengan tangan.
Tanaman jambu biji Bahan diperoleh dari desa Ponggaluku kecamatan Lainea Konawe selatan. Tanaman in merupakan tanaman liar yang tumbuh di pekarangan rumah warga. Pemanenan dilakukan pukul 16.00 WITA. Tanaman jambu biji diambil bagian daunnya dengan cara manual yaitu dipetik menggunakan tangan.
Tanaman temulawak diperoleh dari desa Wonua Sari kecamatan Mowila Konawe selatan. Tanaman ini merupakan tanaman liar yang tumbuh di perkebunan. Pemanenan tanaman temulawak diambil rimpangnya dengan cara menggali tanah dengan alat besi (linggis dan Cangkul) tanpa menyentuh rimpang tanamn  dan menarik batang tanaman. Rimpang temulawak yang rersisa ditanah diambil dan dikumpulkan.
Tanaman lengkuas diperoleh dari desa Sumber Sari kecamatan Moramo, Konawe selatan. Tanaman in merupakan tanaman liar yang tumbuh di perkebunan. Pemanenan tanaman lengkuas dilakukan pada pukul 16.00 WITA. Tanaman Lengkuas diambil rimpangnya dengan cara menggali tanah dengan alat besi (linggis dan Cangkul) tanpa menyentuh rimpang tanaman  dan menarik batang tanaman. Rimpang temulawak yang rersisa ditanah diambil dan dikumpulkan.
Tanaman seledri diperoleh dari desa SP 5 kecamatan Palangga, Konawe selatan. Tanaman in merupakan tanaman budidaya. Pemanenan tanaman seledri dipanen pada pukul 16.00 WITA dan  diambil dari bagian pelepah sampai ke daun dengan cara manual yaitu dipetik menggunakan tangan.
Setelah itu, dilakukan tahap-tahap penyiapan simpilisia yang sesuai dengan standar yang meliputi:
            Pengumpulan bahan baku : Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda antara lain tergantung pada:Bagian tanaman yang digunakan, Umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen, Waktu panen dan Lingkungan tempat tumbuh. Sortasi basah : Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak serta pengotor-pengotor lainnya harus dibuang. Pencucian : Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang    melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih yang mengali. Perajangan : Beberapa jenis bahna simplisia tertentu ada yang memerlukan proses perajangan. Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan.
Pengeringan : Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu lama. Pengeringan Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan (cepat), dan luas permukaan bahan. suhu pengeringan bergantung pada simplisia dan cara pengeringan. Pengeringan dapat dilakukan antara suhu 30o-90o C. Pengeringan dilakukan untuk mengeluarkan atau menghilangkan air dari suatu bahan dengan menggunakan sinar matahari. Cara ini sederhana dan hanya memerlukan lantai jemur. Dengan menurunkan kadar air dapat mencegah tumbuhnya kapang dan menurunkan reaksi enzimatik sehingga dapat dicegah terjadinya penurunan mutu atau pengrusakan simplisia. Secara umum kadar air simplisia tanaman obat maksimal 10%. Pengeringan dapat memberikan keuntungan antara lain memperpanjang masa simpan, mengurangi penurunan mutu sebelum diolah lebih lanjut, memudahkan dalam pengangkutan, menimbulkan aroma khas pada bahan serta memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Sortasi kering : Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing dan pengotor-pengotor lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering. Pengepakan dan penyimpanan : Simplisia dapat rusak atau berubah mutunya karena faktor luar dan dalam, antara lain cahaya, oksigen, reaksi kimia intern, dehidrasi, penyerapan air, pengotoran, serangga dan kapang.
Setelah dilakukan tahap sortasi maka sampel yang telah dikeringkan diblender. Setelah halus sampel diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi pada wadah kaca selama 3x24 jam menggunakan methanol dan kemudian disaring untuk mendapatkan ekstrak dari sampel. Ekstraksi adalah proses penarikan suatu zat dengan pelarut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Seringkali campuran bahan padat dan cair tidak dapat atau sukar sekali dipisahkan dengan metode pemisahan mekanis atau termis. Misalnya saja, karena komponennya saling bercampur secara sangat erat, peka terhadap panas, beda sifat-sifat fisikanya terlalu kecil, atau tersedia dalam konsentrasi yang terlalu rendah. Dalam hal semacam itu, seringkali ekstraksi adalah satu-satunya proses yang dapat digunakan atau yang mungkin paling ekonomis.
Teknik ekstraksi sangat berguna untuk pemisahan secara cepat dan bersih, baik untuk zat organik atau anorganik, untuk analisis makro maupun mikro. Selain untuk kepentingan analisis kimia, ekstraksi juga banyak digunakan untuk pekerjaan preparatif dalam bidang kimia organik, biokimia, dan anorganik di laboratorium. Tujuan ekstraksi ialah memisahkan suatu komponen dari campurannya dengan menggunakan pelarut. Pada praktikum ini digunakan metode ekstraksi maserasi.
Maserasi merupakan proses ekstraksi menggunakan pelarut diam atau dengan pengocokan pada suhu ruangan. Pelarut yang digunakan yaitu methanol karena pelarut tersebut yang mampu mengekstrak sebagian besar senyawa kimia baik senyawa yang bersifat polar hingga yang bersifat non polar. Kemampuan ini disebabkan karena pada struktur pelarut metanol memiliki gugus hidroksil sebagai gugus polar dan gugus alkil sebagai gugus nonpolar. Selama proses perendaman terjadi proses penarikan senyawa dalam sampel yang dimaserasi adalah cairan akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Kemudian zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut terus berulang hingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan antara larutan di luar sel dengan larutan di dalam sel. Kemudian disaring, filtrat yang diperoleh di evaporasi dan pelarut hasil evaporasi di gunakan lagi untuk maserasi selama tiga kali.
Rotary evaporator ialah alat yang biasa digunakan di laboratorium kimia untuk mengefisienkan dan mempercepat pemisahan pelarut dari suatu larutan. Alat ini menggunakan prinsip vakum destilasi, sehingga tekanan akan menurun dan pelarut akan menguap dibawah titik didhnya. Rotary evaporator sering digunakan dibandingkan dengan alat lain yang memiliki fungsi sama karena alat ini mampu menguapkan pelarut dibawah titik didih sehingga zat yang terkandung di dalam pelarut tidak rusak oleh suhu tinggi.
Rotary evaporator bekerja seperti alat destilasi. Pemanasan pada rotary evaporator menggunakan penangas air yang dibantu dengan rotavapor akan memutar labu yang berisi sampel oleh rotavapor sehingga pemanasan akan lebih merata. Selain itu, penurunan tekanan diberikan ketika labu yang berisi sampel diputar menyebabkan penguapan lebih cepat. Dengan adanya pemutaran labu maka penguapan pun menjadi lebih cepat terjadi. Pompa vakum digunakan untuk menguapkan larutan agar naik ke kondensor yang selanjutnya akan mengalami kondensasi menjadi molekul-molekul cairan pelarut murni yang ditampung dalam labu alas bulat penampung.Setelah proses penguapan selesai, Rotary Evaporator dihentikan dengan cara terlebih dahulu dilakukan pemutaran tombol rotor kearah nol (menghentikan putaran rotor) dan temperatur pada waterbath di-nol-kan. Pompa vakum dihentikan, kemudian labu alas bulat dikeluarkan setelah sebelumnya kran pengatur tekanan pada ujung kondensor dibuka
Setelah dievaporasi semua ekstrak dilihat pola noda pada profil KLT, dimana KLT adalah suatu metode analisis yang digunakan untuk memisahkan suatu campuran senyawa secara cepat dan sederhana. Prinsipnya didasarkan atas partisi dan adsorpsi. Zat penjerap merupakan fase stasioner, berupa bubuk halus dibuat serba rata dan tipis diatas lempeng kaca. Fase diam yang umum digunakan adalah silika gel, baik yang normal fase maupun reversed fase. Komponen kimia bergerak naik mengikuti cairan pengembang karena daya serap adsorben (silika gel) terhadap komponen-komponen kimia tidak sama sehingga komponen dapat bergerak dengan kecepatan yang berbeda-beda berdasarkan tingkat kepolarannya dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya pemisahan. Penggunaan sistem pelarut untuk memisahkan noda pada plat KLT. Sistem pelarut merupakan campuran dua atau lebih pelarut sebagai fasa gerak dalam pemisahan menggunakan teknik kromatografi. Penggunaan dua atau lebih sistem pelarut dilakukan dengan syarat dapat tercampur dengan sempurna. Uji KLT ekstrak dilakukan menggunakan sistem pelarut jahe n-heksan:eter (4:6), temulawak kloroform:metanol (9:1), seledri etil asetat:metanol:air (10:1:1), pare n-heksan:etil asetat (8:2), lengkuas yaitu toluene:etil asetat (93:7). Kemudian dilakukan visualisasi menggunakan lampu UV dimana suatu molekul yang mengabsorbsi cahaya ultraviolet akan mencapai suatu keadaan tereksitasi dan kemudian memancarkan cahaya tampak pada waktu kembali ke  tingkat dasar (emisi), emisi inilah yang digambarkan sebagai fluoresensi. Setelah itu disemprot dengan pereaksi penampak noda serium sulfat 2% dalam H2SO4 2% kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 100oC. Penambahan pereaksi penampak dapat mengoksidasi senyawa yang ada pada plat dalam bentuk noda yang berwarna hitam  sedang pemanasan bertujuan untuk mempercepat reaksi oksidasi.
Nilai Rf sangat karakterisitik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam sampel. Senyawa yang mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar. Senyawa yang lebih polar akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf  KLT yang bagus berkisar antara 0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi yang harus dilakukan adalah mengurangi kepolaran eluen dan sebaliknya.
Pada praktikum SBOA ini karena standar yang tersedia hanya untuk sampel temulawak yaitu kurkumin sehingga hanya kadar kurkumin yang dapat dianalisis kuantitatif dengan menggunakan spektrofotometri dan sampel yang lain akan dilakukan analisis gugus fungsi yang terdapat pada ekstrak paria, jahe, jambu biji, dan lengkuas menggunakan fourier transform infra red. Pada ekstrak temlawak dilakukan analisis penentuan kadar senyawa kurkumin dengan menggunakan metode spektrofotometri. Spektrofotometri yang digunakan tepatnya adalah spektrofotometri visible.
Pada spektrofotometri ini yang digunakan sebagai sumber sinar/energi adalah cahaya tampak (visible). Cahaya visible termasuk spektrum elektromagnetik yang dapat ditangkap oleh mata manusia. Panjang gelombang sinar tampak adalah 380 sampai 750 nm. Sehingga semua sinar yang dapat dilihat oleh kita, entah itu putih, merah, biru, atau hijau selama ia dapat dilihat oleh mata, maka sinar tersebut termasuk ke dalam sinar tampak (visible). Sample yang dapat dianalisa dengan metode ini hanya sample yang memiliki warna seperti kurkumin yang berwarna kuning.
Kromofor adalah suatu gugus fungsi, tidak terhubung dengan gugus lain, yang menampakkan spektrum absorpsi karakteristik pada daerah sinar UV-sinar tampak. Kromofor dalam senyawa organik mampu menyerap sinar ultraviolet dan sinar tampak. Pada Senyawa kurkumin memiliki gugus kromofor yaitu rangkap tunggal yang ada pada ikatan kurkumin sehingga dapat ditentukan kadarnya secara spektrofotometri visible. Semakin panjang rantai rangkap tunggal maka panjang λ suatu senyawa semakin besar sehingga dilihat dari struktur kurkumin dapat dideteksi pada daerah visibel dan tepatnya pada panjang gelombang yaitu 420 nm.
Penentuan kadar kurkumin dalam suatu ekstrak dibagi menjadi beberapa tahapan. Tahapan tersebut antara lain, pembuatan larutan induk kurkumin, pembuatan larutan standar, kemudian pengukuran absorbansi larutan baku dengan berbagai konsentrasi dan ekstrak dengan spektrofotometer.
Tahap pertama yaitu pembuatan larutan induk kurkumin 100 ppm dengan cara menimbang kurkumin murni  sebanyak 10 mg, dimasukkan dalam labu takar 100 ml dan diencerkan dengan pelarut. Dalam melakukan pengukuran serapan suatu larutan sebaiknya digunakan pelarut yang sesuai yaitu yang dapat melarutkan zat yang akan dianalisis. Pada percobaan ini digunakan pelarut etanol. Setelah itu dari 100 ppm diencerkan menjadi 10 ppm dan dari 10 ppm dibuat larutan standar kurkumin dengan konsentrasi 1,2,3,4,5 ppm.
Dalam penentuan kadar kurkumin dalam ekstrak temulawak menggunakan spektrofotometri visible perlu dibuat larutan baku. Tujuannya adalah untuk membuat kurva kalibrasi antara absorbansi dan konsentrasi yang nantinya akan digunakan untuk menghitung kadar kurkumin
Tahap selanjutnya dilakukan pengukuran absorbansi untuk larutan standar pada panjang gelombang maksimum 420 nm. Sesuai hukum Lambert beer, A = ε b c, dimana absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi larutan. Semakin besar konsentrasi larutan, maka absorbansi yang diperoleh juga akan semakin besar. Pada percobaan yang dilakukan dalam membuat larutan standar dengan volume larutan induk yang berbeda-beda dimana semakin banyak volume larutan induk maka absorbansinya semakin meningkat. Dari data absorbansi deret standar ini dibuat kurva standar dengan persamaan garis 0.106x + 0.464. Absorbansi sampel adalah 0,505, didapatkan kadar kurkumin 0,0772 mg dalam 10 ml.
Pada analisis gugus fungsi untuk ekstrak paria, jahe, jambu biji, dan lengkuas, seledri menggunakan FTIR dimana secara prinsip, tingkat energi cahaya di daerah sinar infra merah sesuai dengan energi vibrasi dan rotasi dari ikatan-ikatan yang ada di dalam molekul. Apabila sinar infra merah mengenai ikatan ikatan yang ada di dalam molekul yang tingkat energinya sesuai atau sama dengan tingkat energi tersebut, maka sinar infra merah akan diserap. Karena setiap jenis ikatan mempunyai tingkat energi yang berbeda, maka nilai bilangan gelombang sinar infra merah yang diserap juga akan berbeda. Inilah yang menyebabkan spektrofotometri infra merah dapat dipergunakan untuk menentukan gugus fungsi yang ada di dalam suatu molekul.
 Pada perlakuannya masing-masing  ekstrak digerus dengan KBr sampai homogen dan merupakan serbuk halus. Setelah homogen, diambil sejumlah serbuk tersebut yang kemudian dimasukkan ke dalam alat yang berfungsi untuk membuat pellet. Di dalam alat tersebut, ekstrak-KBr diberi tekanan dengan gaya sekitar seratus ribu kiloNewton. Pada pembuatan pellet diupayakan setipis mungkin sehingga pembacaan absorobansi dapat maksimal. Pellet yang terbentuk kemudian dimasukkan ke dalam spektrometer infra merah dan dibuat spektranya.
Penggerusan dilakukan untuk memperkecil ukuran molekul-molekul sehingga ketika ditembak dengan menggunakan sindar infra merah, energi dari sinar infra merah dapat diserap langsung oleh gugus fungsi dan ikatan-ikatan yang ada di dalamnya dengan mudah. Jika suatu molekul yang ukurannya besar ditembak dengan menggunakan sinar infra merah, sinar itu juga akan terhambur dan penyerapan yang terjadi tidak maksimal. Hasilnya, puncak-puncak yang dihasilkan oleh spektra infra merah juga tidak akurat. Selain itu, penggerusan juga dilakukan agar kedua zat yang digerus dapat tercampur secara merata atau homogen dan  karna energy vibrasi radiasi IR tidak terlalu besar, sampel dapat diletakkan langsung berhadapan dengan sumber radiasi IR karna gelas kuarsa atau mortar dari batu porselen memberikan kontaminasi yang menyerap radiasi IR, hendaklah pemakaiannya dihindari preparasi cuplikan harus memakai mortar dari batu agate dan pengempaan dipakai logam monel.
Pemipihan juga dilakukan untuk suatu tujuan yang sama, yaitu agar sisi yang ditembak dengan sinar infra merah tidak terlalu tebal. Jika sisi yang ditembak dengan sinar infra merah terlalu tebal, maka sinar infra merah juga akan terhambur dengan tidak optimal. Ini menyebabkan puncak puncak yang terjadi pada spektra infra merah tidak akurat lagi.
Tingkatan energi ikatan pada KBr tidak masuk ke dalam daerah infra merah, sehingga ketika spektrofotometri infra merah dilakukan, gugus fungsi atau ikatan ikatan yang ada di dalam KBr tidak terdeteksi sebagai suatu puncak. Inilah yang menyebabkan teknik pellet KBr lebih baik dari teknik lain seperti nujol mull. Setelah semua spektra dari masing-masing ekstrak terbentuk dapat dilihat setiap gugus fungsi (ikatan) di dalam suatu molekul mempunyai tingkatan energi vibrasi dan rotasi yang berbeda, oleh karena itu, gugus fungsi ditentukan dari nilai bilangan gelombang yang terserap oleh ikatan tersebut. Nilai bilangan gelombang yang terserap ditentukan dari puncak yang mengidentifikasikan adanya % Transmittan yang bernilai kecil (Absorbansi bernilai cukup besar).
Dari data spektra dapat dilihat perbedaan antara  ekstrak jambu biji, lengkuas, pare, seledri dan jahe. Salah satunya adalah gugus C-O hanya terdapat pada jambu biji dan lengkuas.Gugus C = O atau karbonil hanya terdapat pada pare dan jambu biji . Gugus C≡C tidak terdapat pada jambu biji. Dari data spektra ekstrak jahe, lengkuas ,pare dan seledri terdapat gugus OH pada bilangan gelombang 3000-3750 cm -1 namun tidak terdapat gugus karboksil dengan demikian gugus asam karboksilat tidak ada dalam ekstrak tersebut, kemudian gugus C=C pada bilangan gelombang 1500-1900 cm -1,menandakan adanya gugus aromatik pada ekstrak tersebut. kumudian gugus C-H  alkana pada bilangan gelombang  2850-2970cm -1 kecuali pada jahe. Gugus C≡C alkuna terdapat pada ekstrak tersebut. Dengan demikian ekstrak jahe, lengkuas ,pare dan seledri memiliki gugus yang sama. Dari data spektra jambu biji memiliki gugus C=O dan O-H yang menandakan adanya gugus asam karboksilat. Kemudian terdapat gugus C-O pada bilangan gelombang  800-1300 cm -1 dan gugus C=C pada bilangan gelombang 1500-1900 cm -1,menandakan adanya gugus aromatik pada ekstrak.




BAB VI

KESIMPULAN


  1. Pengolahan sampel meliputi panen, sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan sortasi kering, penyerbukan dan penyimpanan.
  2. Profil KLT ekstrak dilakukan menggunakan sistem pelarut jahe n-heksan:eter (4:6), temulawak kloroform:metanol (9:1), seledri etil asetat:metanol:air (10:1:1), pare n-heksan:etil asetat (8:2), lengkuas yaitu toluene:etil asetat (93:7).
  3. Kadar kurkumin dalam sampel temulawak sebesar 0,0772 mg dalam 10 ml
Gugus fungsi terdapat dalam ekstrak yaitu CC, O-H, C=C 1636 C-H alkil, C-O, C-H  alkana, C=O, kecuali jambu biji O-H dan OH alkohol, fenol (ikatan H)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar