BAB V
PEMBAHASAN
Tumbuhan
obat yang banyak terdapat di Indonesia juga diperkaya dengan berkembangnya
pemanfaatan tumbuhan tersebut dari yang semula hanya sebagai bahan baku dalam
masakan, bertambah fungsinya menjadi pilihan alternatif bagi pemeliharaan
kesehatan. Pemilihan sumber tanaman obat sebagai bahan baku simplisia
nabati merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada mutu dan
pengolahan maupun jenis tahan tempat tumbuh tanaman obat.
Standarisasi adalah proses dalam
menetapkan standar yang dilaksanakan secara tertib. Standar adalah sesuatu yang
dibakukan dan disusun berdasarkan konsesus semua pihak terkait dengan
memperhatikan syarat-syarat kesehatan, keamanan, keselamatan lingkungan,
berdasarkan pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk
memperoleh manfaat.
Tujuan
dilakukan standarisasi simplisia adalah untuk mendapatkan efek yang dapat
diulang (reproducible). Kandungan kimia yang dapat digunakan sebagai
standar adalah kandungan kimia yang berkhasiat, atau kandungan kimia yang hanya
sebagai petanda (marker), atau yang
memiliki sidik jari (fingerprint)
pada kromatogram. Untuk mendapatkan simplisia dengan mutu standar diperlukan
pembudidayaan dalam kondisi standar.
Dewasa ini industri obat tradisional disarankan dan didorong untuk
melakukan budidaya dan mengembangkan sendiri tanaman sumber simplisianya sehingga
diharapkan diperoleh simplisia dengan mutu standar yang relatif homogen.
Standarisasi tidak saja diperlukan pada simplisia, tetapi juga pada metode
pembuatan sediaan termasuk pelarut yang digunakan dan standardisasi sediaan
jadinya.
Simplisia adalah bahan alamiah
yang dipergunakan sebagai bahan obat, kecuali dipergunakan sebagai bahan obat,
kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang berupa bahan yang telah dikeringkan.
Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun kegunaan simplisia harus
memenuhi persyaratan minimal untuk standardisasi simplisia.
Pada
praktikum standarisasi bahan obat alam ini kami menggunakan sampel tumbuhan
yang diambil dari berbagai desa yang ada dikendari dan raha. Untuk bahan baku
tanaman jahe diperoleh dari desa Sumber
Sari kecamatan Moramo. Tanaman in
merupakan tanaman Budidaya. Pemanenan tanaman jahe dilakukan pada umur 10 bulan
pada musim kemarau pukul 08.00 WITA. Tanaman jahe diambil rimpangnya dengan
cara menggali tanah dengan alat besi (Cangkul) tanpa menyentuh rimpang tanaman
dan menarik batang tanaman. Rimpang temulawak yang tersisa ditanah diambil dan
dikumpulkan.
Tanaman
pare diperoleh dari desa Kusambi kecamatan Kusambi, Raha. Tanaman in merupakan
tanaman budidaya dengan umur panen 2 bulan. Pemanenan buah pare pada pagi hari
pukul 08.10. Buah pare diambil dengan cara manual yaitu dipetik dengan tangan.
Tanaman
jambu biji Bahan diperoleh dari desa Ponggaluku kecamatan Lainea Konawe
selatan. Tanaman in merupakan tanaman liar yang tumbuh di pekarangan rumah
warga. Pemanenan dilakukan pukul 16.00 WITA. Tanaman jambu biji diambil bagian
daunnya dengan cara manual yaitu dipetik menggunakan tangan.
Tanaman
temulawak diperoleh dari desa Wonua Sari kecamatan Mowila Konawe selatan.
Tanaman ini merupakan tanaman liar yang tumbuh di perkebunan. Pemanenan tanaman
temulawak diambil rimpangnya dengan cara menggali tanah dengan alat besi (linggis
dan Cangkul) tanpa menyentuh rimpang tanamn
dan menarik batang tanaman. Rimpang temulawak yang rersisa ditanah
diambil dan dikumpulkan.
Tanaman
lengkuas diperoleh dari desa Sumber Sari kecamatan Moramo, Konawe selatan.
Tanaman in merupakan tanaman liar yang tumbuh di perkebunan. Pemanenan tanaman
lengkuas dilakukan pada pukul 16.00 WITA. Tanaman Lengkuas diambil rimpangnya
dengan cara menggali tanah dengan alat besi (linggis dan Cangkul) tanpa
menyentuh rimpang tanaman dan menarik
batang tanaman. Rimpang temulawak yang rersisa ditanah diambil dan dikumpulkan.
Tanaman
seledri diperoleh dari desa SP 5 kecamatan Palangga, Konawe selatan. Tanaman in
merupakan tanaman budidaya. Pemanenan tanaman seledri dipanen pada pukul 16.00
WITA dan diambil dari bagian pelepah
sampai ke daun dengan cara manual yaitu dipetik menggunakan tangan.
Setelah
itu, dilakukan tahap-tahap penyiapan simpilisia yang sesuai dengan standar yang
meliputi:
Pengumpulan bahan baku : Kadar
senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda antara lain tergantung
pada:Bagian tanaman yang digunakan, Umur tanaman atau bagian tanaman pada saat
panen, Waktu panen dan Lingkungan tempat tumbuh. Sortasi basah : Sortasi basah dilakukan
untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan
simplisia. Misalnya pada simplisia yang dibuat dari akar suatu tanaman obat,
bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah
rusak serta pengotor-pengotor lainnya harus dibuang. Pencucian : Pencucian dilakukan untuk
menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang melekat pada
bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih yang mengali. Perajangan : Beberapa jenis bahna
simplisia tertentu ada yang memerlukan proses
perajangan. Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses
pengeringan, pengepakan dan penggilingan.
Pengeringan : Tujuan
pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga
dapat disimpan dalam waktu lama. Pengeringan Hal-hal yang perlu
diperhatikan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu
pengeringan (cepat), dan luas permukaan bahan. suhu pengeringan bergantung pada
simplisia dan cara
pengeringan. Pengeringan dapat dilakukan antara suhu 30o-90o
C. Pengeringan dilakukan untuk mengeluarkan atau
menghilangkan air dari suatu bahan dengan menggunakan sinar matahari. Cara ini sederhana dan hanya
memerlukan lantai jemur. Dengan menurunkan kadar air dapat mencegah tumbuhnya kapang
dan menurunkan reaksi enzimatik sehingga dapat dicegah terjadinya penurunan
mutu atau pengrusakan simplisia. Secara umum kadar air simplisia tanaman obat
maksimal 10%. Pengeringan dapat memberikan
keuntungan antara lain memperpanjang masa simpan, mengurangi penurunan mutu
sebelum diolah lebih lanjut, memudahkan dalam pengangkutan, menimbulkan aroma
khas pada bahan serta memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Sortasi kering : Tujuan
sortasi untuk memisahkan benda-benda asing dan pengotor-pengotor lain yang
masih ada dan tertinggal pada simplisia kering. Pengepakan dan penyimpanan : Simplisia
dapat rusak atau berubah mutunya karena faktor luar
dan dalam, antara lain cahaya, oksigen, reaksi kimia intern, dehidrasi,
penyerapan air, pengotoran, serangga dan kapang.
Setelah
dilakukan tahap sortasi maka sampel yang telah dikeringkan diblender. Setelah
halus sampel diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi pada wadah kaca
selama 3x24 jam menggunakan methanol dan kemudian disaring untuk mendapatkan ekstrak
dari sampel. Ekstraksi
adalah proses penarikan suatu zat dengan pelarut sehingga terpisah dari bahan
yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Seringkali campuran bahan padat dan
cair tidak dapat atau sukar sekali dipisahkan dengan metode pemisahan mekanis
atau termis. Misalnya saja, karena komponennya saling bercampur secara sangat
erat, peka terhadap panas, beda sifat-sifat fisikanya terlalu kecil, atau
tersedia dalam konsentrasi yang terlalu rendah. Dalam hal semacam itu,
seringkali ekstraksi adalah satu-satunya proses yang dapat digunakan atau yang
mungkin paling ekonomis.
Teknik ekstraksi sangat berguna untuk
pemisahan secara cepat dan bersih, baik untuk zat organik atau anorganik, untuk
analisis makro maupun mikro. Selain untuk kepentingan analisis kimia, ekstraksi
juga banyak digunakan untuk pekerjaan preparatif dalam bidang kimia organik,
biokimia, dan anorganik di laboratorium. Tujuan ekstraksi ialah memisahkan
suatu komponen dari campurannya dengan menggunakan pelarut. Pada praktikum ini
digunakan metode ekstraksi maserasi.
Maserasi merupakan
proses ekstraksi menggunakan pelarut diam atau dengan pengocokan pada suhu
ruangan. Pelarut yang digunakan yaitu methanol karena pelarut tersebut
yang mampu mengekstrak sebagian besar senyawa kimia baik senyawa yang bersifat
polar hingga yang bersifat non polar. Kemampuan ini disebabkan karena pada
struktur pelarut metanol memiliki gugus hidroksil sebagai gugus polar dan gugus
alkil sebagai gugus nonpolar. Selama
proses perendaman terjadi proses penarikan senyawa dalam sampel yang dimaserasi
adalah cairan akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif. Kemudian zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka
larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut terus berulang hingga
terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan antara larutan di luar sel
dengan larutan di dalam sel. Kemudian disaring, filtrat yang diperoleh
di evaporasi dan pelarut hasil evaporasi di gunakan lagi untuk maserasi selama
tiga kali.
Rotary evaporator
ialah alat yang biasa digunakan di laboratorium kimia untuk mengefisienkan dan
mempercepat pemisahan pelarut dari suatu larutan. Alat ini menggunakan prinsip
vakum destilasi, sehingga tekanan akan menurun dan pelarut akan menguap dibawah
titik didhnya. Rotary evaporator sering digunakan dibandingkan dengan alat lain
yang memiliki fungsi sama karena alat ini mampu menguapkan pelarut dibawah
titik didih sehingga zat yang terkandung di dalam pelarut tidak rusak oleh suhu
tinggi.
Rotary evaporator
bekerja seperti alat destilasi. Pemanasan pada rotary evaporator menggunakan
penangas air yang dibantu dengan rotavapor akan memutar labu yang berisi sampel
oleh rotavapor sehingga pemanasan akan lebih merata. Selain itu, penurunan
tekanan diberikan ketika labu yang berisi sampel diputar menyebabkan penguapan
lebih cepat. Dengan adanya pemutaran labu maka penguapan pun menjadi lebih
cepat terjadi. Pompa vakum digunakan untuk menguapkan larutan agar naik ke kondensor
yang selanjutnya akan mengalami kondensasi menjadi molekul-molekul
cairan pelarut murni yang ditampung dalam labu alas bulat penampung.Setelah
proses penguapan selesai, Rotary Evaporator dihentikan dengan cara terlebih
dahulu dilakukan pemutaran tombol rotor kearah nol (menghentikan putaran rotor)
dan temperatur pada waterbath di-nol-kan. Pompa vakum dihentikan, kemudian labu
alas bulat dikeluarkan setelah sebelumnya kran pengatur tekanan pada ujung
kondensor dibuka
Setelah
dievaporasi semua ekstrak dilihat pola noda pada profil KLT, dimana KLT adalah suatu metode analisis
yang digunakan untuk memisahkan suatu campuran senyawa secara cepat dan
sederhana. Prinsipnya didasarkan atas partisi dan adsorpsi. Zat penjerap
merupakan fase stasioner, berupa bubuk halus dibuat serba rata dan tipis diatas
lempeng kaca. Fase diam yang umum digunakan adalah silika gel, baik yang normal
fase maupun reversed fase. Komponen kimia bergerak naik mengikuti cairan
pengembang karena daya serap adsorben (silika gel) terhadap komponen-komponen
kimia tidak sama sehingga komponen dapat bergerak dengan kecepatan yang
berbeda-beda berdasarkan tingkat kepolarannya dan hal inilah yang menyebabkan
terjadinya pemisahan. Penggunaan sistem pelarut untuk memisahkan noda pada
plat KLT. Sistem pelarut merupakan campuran dua atau lebih pelarut sebagai fasa
gerak dalam pemisahan menggunakan teknik kromatografi. Penggunaan dua atau
lebih sistem pelarut dilakukan dengan syarat dapat tercampur dengan sempurna.
Uji KLT ekstrak dilakukan menggunakan sistem pelarut jahe n-heksan:eter (4:6),
temulawak kloroform:metanol (9:1), seledri etil asetat:metanol:air (10:1:1),
pare n-heksan:etil asetat (8:2), lengkuas yaitu toluene:etil asetat (93:7). Kemudian dilakukan visualisasi menggunakan lampu UV
dimana suatu
molekul yang mengabsorbsi cahaya ultraviolet akan mencapai suatu keadaan
tereksitasi dan kemudian memancarkan cahaya tampak pada waktu kembali ke
tingkat dasar (emisi), emisi inilah yang digambarkan sebagai fluoresensi. Setelah itu disemprot dengan pereaksi penampak noda serium sulfat 2%
dalam H2SO4 2% kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu
100oC. Penambahan pereaksi penampak dapat mengoksidasi senyawa yang
ada pada plat dalam bentuk noda yang berwarna hitam sedang pemanasan bertujuan untuk mempercepat
reaksi oksidasi.
Nilai Rf sangat karakterisitik untuk
senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal tersebut dapat digunakan untuk
mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam sampel. Senyawa yang mempunyai
Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya.
Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar. Senyawa yang lebih polar
akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf
KLT yang bagus berkisar antara 0,2 -
0,8. Jika Rf terlalu tinggi yang harus dilakukan adalah mengurangi kepolaran
eluen dan sebaliknya.
Pada praktikum SBOA ini karena standar yang
tersedia hanya untuk sampel temulawak yaitu kurkumin sehingga hanya kadar
kurkumin yang dapat dianalisis kuantitatif dengan menggunakan spektrofotometri
dan sampel yang lain akan dilakukan analisis gugus fungsi yang terdapat pada
ekstrak paria, jahe, jambu biji, dan lengkuas menggunakan fourier transform
infra red. Pada ekstrak temlawak dilakukan analisis penentuan kadar senyawa
kurkumin dengan menggunakan metode spektrofotometri. Spektrofotometri yang
digunakan tepatnya adalah spektrofotometri visible.
Pada spektrofotometri ini yang digunakan
sebagai sumber sinar/energi adalah cahaya tampak (visible). Cahaya visible
termasuk spektrum elektromagnetik yang dapat ditangkap oleh mata manusia.
Panjang gelombang sinar tampak adalah 380 sampai 750 nm. Sehingga semua sinar
yang dapat dilihat oleh kita, entah itu putih, merah, biru, atau hijau selama
ia dapat dilihat oleh mata, maka sinar tersebut termasuk ke dalam sinar tampak
(visible). Sample yang dapat dianalisa dengan metode ini hanya sample yang
memiliki warna seperti kurkumin yang berwarna kuning.
Kromofor adalah suatu gugus fungsi, tidak
terhubung dengan gugus lain, yang menampakkan spektrum absorpsi karakteristik
pada daerah sinar UV-sinar tampak. Kromofor dalam senyawa organik mampu
menyerap sinar ultraviolet dan sinar tampak. Pada Senyawa kurkumin memiliki
gugus kromofor yaitu rangkap tunggal yang ada pada ikatan kurkumin sehingga
dapat ditentukan kadarnya secara spektrofotometri visible. Semakin panjang
rantai rangkap tunggal maka panjang λ suatu senyawa semakin besar
sehingga dilihat dari struktur kurkumin dapat dideteksi pada daerah visibel dan
tepatnya pada panjang gelombang yaitu 420 nm.
Penentuan kadar kurkumin dalam suatu ekstrak
dibagi menjadi beberapa tahapan. Tahapan tersebut antara lain, pembuatan
larutan induk kurkumin, pembuatan larutan standar, kemudian pengukuran
absorbansi larutan baku dengan berbagai konsentrasi dan ekstrak dengan
spektrofotometer.
Tahap pertama yaitu pembuatan larutan induk
kurkumin 100 ppm dengan cara menimbang kurkumin murni sebanyak 10 mg, dimasukkan dalam
labu takar 100 ml dan diencerkan dengan pelarut. Dalam melakukan pengukuran
serapan suatu larutan sebaiknya digunakan pelarut yang sesuai yaitu yang dapat
melarutkan zat yang akan dianalisis. Pada percobaan ini digunakan pelarut
etanol. Setelah itu dari 100 ppm diencerkan menjadi 10 ppm dan dari 10 ppm
dibuat larutan standar kurkumin dengan konsentrasi 1,2,3,4,5 ppm.
Dalam penentuan kadar kurkumin dalam ekstrak
temulawak menggunakan spektrofotometri visible perlu dibuat larutan baku.
Tujuannya adalah untuk membuat kurva kalibrasi antara absorbansi dan
konsentrasi yang nantinya akan digunakan untuk menghitung kadar kurkumin
Tahap selanjutnya dilakukan pengukuran
absorbansi untuk larutan standar pada panjang gelombang maksimum 420 nm. Sesuai
hukum Lambert beer, A = ε b c, dimana absorbansi berbanding lurus dengan
konsentrasi larutan. Semakin besar konsentrasi larutan, maka absorbansi yang
diperoleh juga akan semakin besar. Pada percobaan yang dilakukan dalam membuat
larutan standar dengan volume larutan induk yang berbeda-beda dimana semakin
banyak volume larutan induk maka absorbansinya semakin meningkat. Dari data
absorbansi deret standar ini dibuat kurva standar dengan persamaan garis 0.106x + 0.464. Absorbansi sampel adalah 0,505, didapatkan
kadar kurkumin 0,0772 mg dalam 10 ml.
Pada analisis gugus fungsi untuk ekstrak
paria, jahe, jambu biji, dan lengkuas, seledri menggunakan FTIR dimana secara
prinsip, tingkat energi cahaya di daerah sinar infra merah sesuai dengan energi
vibrasi dan rotasi dari ikatan-ikatan yang ada di dalam molekul. Apabila sinar
infra merah mengenai ikatan ikatan yang ada di dalam molekul yang tingkat
energinya sesuai atau sama dengan tingkat energi tersebut, maka sinar infra
merah akan diserap. Karena setiap jenis ikatan mempunyai tingkat energi yang
berbeda, maka nilai bilangan gelombang sinar infra merah yang diserap juga akan
berbeda. Inilah yang menyebabkan spektrofotometri infra merah dapat
dipergunakan untuk menentukan gugus fungsi yang ada di dalam suatu molekul.
Pada
perlakuannya masing-masing ekstrak digerus
dengan KBr sampai homogen dan merupakan serbuk halus. Setelah homogen, diambil
sejumlah serbuk tersebut yang kemudian dimasukkan ke dalam alat yang berfungsi
untuk membuat pellet. Di dalam alat tersebut, ekstrak-KBr diberi tekanan dengan
gaya sekitar seratus ribu kiloNewton. Pada pembuatan pellet diupayakan setipis
mungkin sehingga pembacaan absorobansi dapat maksimal. Pellet yang terbentuk
kemudian dimasukkan ke dalam spektrometer infra merah dan dibuat spektranya.
Penggerusan dilakukan untuk memperkecil
ukuran molekul-molekul sehingga ketika ditembak dengan menggunakan sindar infra
merah, energi dari sinar infra merah dapat diserap langsung oleh gugus fungsi
dan ikatan-ikatan yang ada di dalamnya dengan mudah. Jika suatu molekul yang
ukurannya besar ditembak dengan menggunakan sinar infra merah, sinar itu juga
akan terhambur dan penyerapan yang terjadi tidak maksimal. Hasilnya,
puncak-puncak yang dihasilkan oleh spektra infra merah juga tidak akurat.
Selain itu, penggerusan juga dilakukan agar kedua zat yang digerus dapat
tercampur secara merata atau homogen dan
karna energy vibrasi radiasi IR tidak terlalu besar, sampel dapat
diletakkan langsung berhadapan dengan sumber radiasi IR karna gelas kuarsa atau
mortar dari batu porselen memberikan kontaminasi yang menyerap radiasi IR, hendaklah
pemakaiannya dihindari preparasi cuplikan harus memakai mortar dari batu agate
dan pengempaan dipakai logam monel.
Pemipihan juga dilakukan untuk suatu tujuan
yang sama, yaitu agar sisi yang ditembak dengan sinar infra merah tidak terlalu
tebal. Jika sisi yang ditembak dengan sinar infra merah terlalu tebal, maka
sinar infra merah juga akan terhambur dengan tidak optimal. Ini menyebabkan
puncak puncak yang terjadi pada spektra infra merah tidak akurat lagi.
Tingkatan energi ikatan pada KBr tidak masuk
ke dalam daerah infra merah, sehingga ketika spektrofotometri infra merah
dilakukan, gugus fungsi atau ikatan ikatan yang ada di dalam KBr tidak
terdeteksi sebagai suatu puncak. Inilah yang menyebabkan teknik pellet KBr
lebih baik dari teknik lain seperti nujol mull. Setelah semua spektra dari
masing-masing ekstrak terbentuk dapat dilihat setiap gugus fungsi (ikatan) di
dalam suatu molekul mempunyai tingkatan energi vibrasi dan rotasi yang berbeda,
oleh karena itu, gugus fungsi ditentukan dari nilai bilangan gelombang yang
terserap oleh ikatan tersebut. Nilai bilangan gelombang yang terserap
ditentukan dari puncak yang mengidentifikasikan adanya % Transmittan yang
bernilai kecil (Absorbansi bernilai cukup besar).
Dari data spektra dapat dilihat perbedaan antara ekstrak jambu biji, lengkuas, pare, seledri
dan jahe. Salah satunya adalah gugus C-O hanya terdapat pada jambu biji dan
lengkuas.Gugus C = O atau karbonil hanya terdapat pada pare dan jambu biji .
Gugus C≡C tidak terdapat pada jambu biji. Dari data spektra ekstrak jahe,
lengkuas ,pare dan seledri terdapat gugus OH pada bilangan gelombang 3000-3750 cm -1
namun tidak terdapat gugus karboksil dengan demikian gugus asam karboksilat
tidak ada dalam ekstrak tersebut, kemudian gugus C=C pada bilangan gelombang 1500-1900 cm -1,menandakan
adanya gugus aromatik pada ekstrak tersebut. kumudian gugus C-H alkana pada bilangan gelombang 2850-2970cm -1 kecuali pada jahe.
Gugus C≡C alkuna terdapat pada ekstrak tersebut. Dengan demikian ekstrak jahe, lengkuas ,pare dan seledri
memiliki gugus yang sama. Dari data spektra
jambu biji memiliki gugus C=O dan O-H yang menandakan adanya gugus asam
karboksilat. Kemudian terdapat gugus C-O pada bilangan gelombang
800-1300 cm -1 dan gugus
C=C
pada bilangan gelombang 1500-1900 cm -1,menandakan adanya gugus
aromatik pada ekstrak.
BAB VI
KESIMPULAN
- Pengolahan sampel meliputi panen, sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan sortasi kering, penyerbukan dan penyimpanan.
- Profil KLT ekstrak dilakukan menggunakan sistem pelarut jahe n-heksan:eter (4:6), temulawak kloroform:metanol (9:1), seledri etil asetat:metanol:air (10:1:1), pare n-heksan:etil asetat (8:2), lengkuas yaitu toluene:etil asetat (93:7).
- Kadar kurkumin dalam sampel temulawak sebesar 0,0772 mg dalam 10 ml
Tidak ada komentar:
Posting Komentar