Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 25 Januari 2014

Bab II Prak.SBOA



BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keanekaragaman tanaman terutama hasil pertanian dan rempah-rempah. Hal ini didukung oleh keadaan geografis Indonesia yang beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata tinggi sepanjang tahun. Sumber daya alam yang dimiliki telah memberikan manfaat dalam kehidupan sehari-hari disamping sebagai bahan makanan, juga dimanfaatkan sebagai obat tradisional (Muhlisah, 1999).
Indonesia memiliki lebih kurang 30.000 spesies tumbuhan dan 940 spesies di antaranya termasuk tumbuhan berkhasiat obat sehingga merupakan potensi pasar obat herbal (Herbal medicine). Obat herbal telah diterima secara luas di negara berkembang dan negara maju (Wahyuningsih, 2011).
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil komoditas tanaman obat dan prospek pengembangannya cukup cerah mengingat potensi flora, tanah dan iklim yang sesuai untuk tanaman obat. Pemanfaatan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan alternatif bagi pengobatan cenderung meningkat seiring dengan mahalnya beberapa jenis obat-obatan yang terbuat dari bahan kimia atau sintetis. Hal ini dipicu dengan semakin berkembangnya kesadaran masyarakat untuk “kembali ke alam” (back to nature). Pemanfaatan obat alami juga dilatarbelakangi oleh tingginya nilai manfaat dengan efek samping yang relatif kecil bila dibandingkan dengan obat-obatan kimia (Wardana dkk, 2002).
Di Indonesia dari tahun ketahun terjadi peningkatan industri obat tradisional bahkan menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan sampai tahun 2002 terdapat 1012 industri obat tradisional yang memiliki izin usaha industri yang terdiri dari 105 industri berskala besar dan 907 industri berskala kecil. Maraknya industri obat tradisional yang ada di Indonesia dan tuntutan akan produk yang berkualitas oleh masyarakat, sehingga kerjasama dengan institusi akademik untuk membuktikan khasiat dan standardisasi produk perlu dilakukan melalui penelitian (Wahyuningsih, 2011).

2.1    Jahe

2.1.1   Taksonomi

Dalam sistematika tumbuhan, jahe memiliki klasifikasi :
Regnum                  : Plantae
Divisi                      : Magnoliophyta
Class                       : Liliopsida
Ordo                       : Zingiberales
Familya                   : Zingiberaceae
Genus                     : Zingiber
Spesies                    : Zingiber officinale Roxb.

2.1.2   Morfologi dan Pertelaan Tanaman

Morfologi jahe secara umum terdiri atas struktur rimpang, batang, daun, bunga dan buah. Batang jahe merupakan batang semu dengan tinggi 30-100 cm. Akarnya berbentuk rimpang dengan daging akar berwarna kuning hingga kemerahan dengan bau menyengat. Berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna rimpangnya ada tiga jenis jahe yang dikenal, yaitu: jahe gajah (Zingiber officinale var. Roscoe) atau jahe putih, jahe putih kecil atau jahe emprit (Zingiber officinale var. Amarum), dan jahe merah (Zingiber officinale var. Rubrum) atau jahe sunti (Wardana dkk, 2002).
Terna berbatang semu, tinggi 30 cm sampai 1 mm, rimpang bila dipotong berwarna kuning atau jingga. Daun sempit, panjang 15 sampai 23 mm, lebar 8 sampai 15 mm, tangkai daun berambut, panjang 2 sampai 4 mm; bentuk lidah daun memanjang, panjang 7,5 mm sampai 1 cm, tidak berambut, seludang agak berambut. Perbungaan berupa malai tersembul di permukaan tanah, berbentuk tongkat atau bulat telur yang sempit, sangat tajam, panjang malai 3,5 sampai 5 cm, dan lebar 1,5 sampai 1,75 cm. Daun pelindung berbentuk bundar telur terbalik, panjang 2,5 cm, lebar 1 cm sampai 1,75 cm; mahkota bunga berbentuk tabung, panjang tabung 2 cm sampai 2,5 cm, helainya agak sempit, bentuk tajam, berwarna kuning kehijauan, panjang 1,5 mm sampai 2,5 mm, lebar 3 mm sampai 3,5 mm (Depkes RI “MMI-II”, 1978).

2.1.3   Kandungan Kimia

Isi simplisia jahe yaitu minyak atsiri 2% sampai 3 % mengandung zingiberen, felandren, kamfen, limonen, borneol, sineol, sitral dan zingiberol, minyak damar yang mengandung zingeron (Depkes RI, 1978).
Jahe memiliki sifat khas, yaitu oleoresin dan minyak atsiri. Komposisi kuantitatif oleoresin tergantung pada jenis pelarut yang digunakan dan secara umum tersusun oleh komponen-komponen: (1) gingerol dan zingeron, senyawa turunan fenol dan keto-fenol, (2) shogaol dengan rumus bangun (C17H24O3), yaitu senyawa homolog dari zingeron, (3) minyak volatil, dan (4) resin (Koswara, 1995). Selain itu, oleoresin jahe juga mengandung komponen-komponen minor seperti gingerdiol, paradol, heksahidrokurkumin, dan gingerdiasetat, lemak, lilin, karbohidrat, vitamin, dan mineral (Kimura et al., 2005; Shukla dan Singh, 2006).
Komponen utama minyak atsiri jahe adalah seskuiterpen, monoterpen, dan monoterpen teroksidasi. Beberapa kandungan minyak atsiri jahe yaitu, zingiberen, kurkumin, borneol, geraniol, dan linalool. Komponen utama minyak atsiri yang membuat harum adalah zingiberen dan zingiberol. Zingiberen merupakan seskuiterpen hidrokarbon, sedangkan zingiberol merupakan seskuiterpen alkohol (Koswara, 1995).

2.1.4   Khasiat dalam Pengobatan

Rimpang jahe digunakan secara luas sebagai bumbu dapur dan obat herbal untuk beberapa penyakit. Rimpang jahe mengandung beberapa komponen kimia yang berkhasiat bagi kesehatan. Jahe segar digunakan sebagai anti muntah (antiematic), anti batuk (antitussive/expectorant), merangsang pengeluaran keringat, dan menghangatkan tubuh (Kimura et al., 2005).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa ekstrak jahe dapat menghambat proliferasi sel kanker (THP-1/monocytic leukimia cell line, K-562/erythroleukemic cell line, dan A549/lung carcinoma) serta sel normal (sel vero/Kidney African Green Monkey) pada konsentrasi tertentu tergantung pada karakteristik sel itu sendiri (Agustinasari, 1998). Selain itu, berdasarkan penelitian Yuliasari (1997), ektrak jahe-air yang ditambahkan pada media kultur sel dapat meningkatkan aktivitas sel NK (natural killer) dalam melisis sel kanker secara in vitro. Oleoresin jahe juga diketahui dapat meningkatkan aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) pada hati dan ginjal tikus yang mengalami perlakuan stres (Prasetyawati, 2003; Nurdiana, 2003).

2.2     Jambu Biji

2.2.1   Taksonomi

Sistematika dan klasifikasi tanaman jambu biji adalah sebagai berikut:
Regnum        : Plantae
Divisi            : Magnoliophyta
Class             : Magnoliopsida
Ordo            : Myrtales
Family           : Myrtaceae
Genus            : Psidium
Species          : Psidium guajava L.

2.2.2   Morfologi dan Pertelaan Tanaman

Semak atau pohon, tinggi 3 m sampai 10 m, kulit batang halus permukaannya, berwarna coklat dan mudah mengelupas. Daun berhadapan, bertulang menyirip, berbintik, berbentuk bundar telur agak menjorong atau agak bundar sampai meruncing, panjang helai daun 6 cm sampai 14 cm, lebar 3 cm sampai 6 cm, panjang tangkai 3 mm sampai 7 mm, daun yang muda berambut, daun yang tua permukaan atasnya menjadi licin. Perbungaan terdiri dari 1 sampai 3 bunga, panjang gagang perbungaan 2 cm sampai 4 cm; panjang kelopak 7 mm sampai 10 mm. Buah bentuk bulat atau bulat telur, kalau masak berwarna kuning, panjang 5 cm sampai 8,5 cm, berdaging yang meliputi biji-biji dalam massa berwarna kuning atau merah jambu (Depkes RI “MMI-I”, 1978).

2.2.3   Kandungan Kimia

Daun jambu biji (Psidium guajava L.) mengandung berbagai macam komponen, diantaranya kelompok senyawa tanin dan flavonoid yang dinyatakan sebagai kuersetin dengan struktur sebagai berikut.
Daun jambu biji diketahui mengandung senyawa tanin 9-12%, minyak atsiri, minyak lemak dan asam malat (Depkes RI “MMI-I”, 1978). Sedangkan senyawa kimia yang terkandung didalam buah jambu adalah benzaldehid, D-ribosa, L-arabinosa, D-ramnosa, D-glukosa, D-galaktosa, D-fruktosa dan sukrosa (Yuliani dkk, 2001).
Daun jambu biji banyak mengandung bahan aktifantara lain tannin, kuersetin, guayaverin, leukosianidin, minyak atsiri, asam malat, dan asam oksalat (Mesah. 2013).

2.2.4   Khasiat dalam Pengobatan

Daun jambu biji dimanfaatkan sebagai antidiare (Depkes RI “MMI-I”, 1978). Selain mempunyai khasiat sebagai antidiare,daun jambu biji juga berkhasiat sebagai astringen, sariawan dan menghentikan pendarahan. Sebagai obat anti diare telah dipasarkan dalam bentuk jamu modern atau pil, bahkan industri farmasi seperti “Kimia Farma” telah memformulasikan menjadi obat fitofarmaka yang sudah banyak beredar dipasaran dengan nama “Fitodiar”, produk lainnya dari pabrik “Soho” yaitu Diapet (Depkes RI, 1989).
Daun jambu biji mengandung berbagai macam komponen yang berkhasiat mengatasi DBD. Kelompok senyawa tanin dan flavonoid yang dinyatakan sebagai quersetin dalam ekstrak daun jambu biji dapat menghambat aktivitas enzim reverse transcriptase sehingga dapat menghambat pertumbuhan Virus Dengue (VD) (Achmad dan Wahono, 2001; Soegijanto dkk, 2010).

2.3    Temulawak

2.8.1   Taksonomi

Kedudukan tanaman temulawak dalam tata nama (sistematika) tumbuhan termasuk kedalam klasifikasi
Regnum           : Plantae
Divisi               : Magnoliophyta
Class                : Monocotyledonae
Ordo                : Zingiberales
Family             : Zingiberaceae
Genus              : Curcuma
Spesies             : Curcuma xanthorrhiza Roxb.
(Afifah, 2003)

2.8.1   Morfologi dan Pertelaan Tanaman

Temulawak termasuk tanaman terna berbatang semu dengan tinggi antara 1m hingga 2m, berwarna hijau atau coklat gelap. Akar rimpang temulawak terbentuk dengan sempurna dan memiliki cabang yang kuat, berwarna hijau gelap. Tiap batang mempunyai daun 2 – 9 helai dengan bentuk bundar memanjang sampai bangun lanset, warna daun hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap, panjang daun berkisar antara 31 – 84cm dengan lebar sekitar 10 – 18cm, panjang tangkai daun termasuk helaian 43 – 80cm. Perbungaan pada tanaman temulawak termasuk perbungaan lateral, tangkai ramping dan sisik berbentuk garis dengan panjang tangkai antara 9 – 23cm dan lebar sekitar 4 – 6cm, berdaun pelindung banyak yang panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga. Kelopak bunga berwarna putih berbulu dengan panjang antara 8 – 13mm, mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4.5cm, helaian bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah dengan panjang 1.25 – 2cm dan lebar 1cm (Prakasa, 2010).

2.8.1   Kandungan Kimia

Kandungan kimia rimpang temulawak adalah zat pati (sebagai kandungan terbanyak, biasanya digunakan sebagai bahan makanan), kurkuminoid, dan minyak atsiri. Kandungan utama dalam minyak atsiri temulawak adalah: xanthorrhizol (21%), germakren, isofuranogermakren, trisiklin, afla-aromadendren (Setiawan, 2008).
Komponen kurkuminoid terdiri atas campuran senyawa diarilheptanoid, yakni kurkumin (1), demetoksi kurkumin (2), dan bisdemetoksikurkumin (3).
            (Cahyono dkk, 2011).

2.8.1   Khasiat dalam Pengobatan

Secara empirik, temulawak banyak digunakan sebagai obat, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran, yaitu sebagai hepatoprotektor, anti-inflamasi, antikanker, antidiabetes, antimikroba, antihiperlipidemia, dan pencegah kolera. Khasiat lainnya yang dimiliki oleh komponen kimia dalam temulawak adalah anti bakteri, anti cendawan, antioksidan, neuroprotektor, anti kanker, antialergi, dan anti hiperkolesterolemia (Nurcholis dkk, 2012).
Dilaporkan banyak masyarakat menggunakan rimpang temulawak sebagai bahan baku obat (hepatoprotector) untuk mengobati penyakit lever yang memperbaiki fungsi hati dan menurunkan kadar SGPT dan SGOT (Hadipoentyanti dan Sitti, 2007).
Temulawak secara historis mempunyai kegunaan tradisional dan sosial cukup luas dikalangan masyarakat Indonesia, banyak kalangan yang mempromosikan temulawak sebagai tanaman obat khas Indonesia, yang sangat efektif untuk mengatasi gangguan lever, rematik dan lelah juga berkhasiat sebagai penghilang rasa sakit, anti bakteri/jamur, antidiabetik, antidiare, anti oksidan, anti tumor, diuretik, dan depresi (Hayani, 2006).
Kurkuminoid dalam rimpang temulawak bermanfaat menetralkan racun, meningkatkan sekresi empedu, menurunkan kadar kolesterol dan trigeliserida darah, anti bakteri, serta dapat mencegah terjadinya perlemakan dalam sel-sel hati dan sebagai anti oksidan penangkal senyawa-senyawa radikal bebas yang berbahaya. Minyak atsiri pada temulawak secara umum bersifat meningkatkan produksi getah empedu dan bersifat antiinflamatori. (Setiawan, 2008).

2.4     Seledri

2.4.1   Taksonomi

Regnum                 : Plantae
Divisi                     : Magnoliophyta
Class                      : Magnoliopsida
Ordo                     : Apiales
Family                   : Apiaceae
Genus                    : Apium
Spesies                  : Apium graveolens L.
(Cronquist, 1981)

2.4.2   Morfologi dan Pertelaan Tanaman

Seledri (Apium graveolens L.) tumbuh di ketinggian 1000 – 1500 meter diatas permukaan laut. Terna, tumbuh tegak, tinggi sekitar 50 cm dengan bau aromatik yang khas. Batang bersegi, beralur, beruas, tidak berambut, bercabang banyak, berwarna hijau pucat. Daun majemuk menyirip ganjil dengan anak daun 3–7 helai. Anak daun bertangkai yang panjangnya 1–2,7 cm, helaian daun tipis dan rapuh, pangkal dan ujung runcing, tepi beringgit, panjang 2–7,5 cm, lebar 2–5 cm, pertulangan menyirip, berwarna hijau keputih-putihan. Bunga majemuk berbentuk payung, 8–12 buah, kecil-kecil, berwarna putih, mekar secara bertahap. Buahnya buah kotak, kecil berbentuk kerucut, panjang 1–1,5 mm, berwarna hijau kekuningan (Dalimartha, 2000).

2.4.3   Kandungan Kimia

Daun seledri banyak mengandung apiin, apigenin, manitol, inositol, asparagin, glutamin, kholin, dan linamarose (Sukandar dkk, 2006). Salah satu senyawa flavonoid yang turut berperan sebagai kandungan aktif antihipertensi adalah apigenin, suatu flavon dengan gugus hidroksi bebas pada atom karbon nomor 5,7 dan 4’ (Djatmiko dan Pramono, 2001).
Kandungan herba seledri tiap 100 g berisi 93 ml air, 0.9 g protein, 0.1 g lemak, 4 g karbohidrat, 0.9 g serat, 1.7 g abu, 130 IU vitamin A, 0.08 mg vitamin B1, 0.12 mg vitamin B2, 0,6 mg niacin, 15 mg vitamin C, 50 mg Ca, 40 mg P, 1 mg Fe, 151 mg Na, 85 g Mg, dan 400 mg K. Nilai energinya adalah 113 kJ/100 g. Seledri juga mengandung glukosida apiin, flavonoid, saponin, tanin, apigenin, minyak atsiri, kolin, lipase, asparaginase, tirosin, glutamin, serta diosmin (Putri, 2006).

2.4.4   Khasiat dalam Pengobatan

Seledri banyak digunakan untuk mengobati sakit mata, keseleo, reumatik, hipertensi, dan sebagai penyubur rambut (Sukandar dkk, 2006).
Hampir semua bagian dari tanaman seledri memiliki khasiat sebagai obat. Akar seledri berkhasiat stomakik dan diuretik, sedangkan buah dan bijinya berkhasiat sebagai antispasmodik, menurunkan kadar asam urat darah, antirematik, diuretik, karminatif, afrosidisiak, dan sedatif. Herba seledri yang memiliki rasa manis, berbau aromatik, sedikit pedas, dan sifatnya sejuk, berkhasiat sebagai tonik, stomakik, hipotensif, penghenti pendarahan (hemostatis), diuretik, peluruh haid, karminatif, mengeluarkan asam urat darah yang tinggi, pembersih darah, memperbaiki fungsi hormon yang terganggu. Seledri juga dapat digunakan sebagai antiinflamsi. Seledri berkhasiat sebagai antiinflamasi dan senyawa yang berperan sebagai antiinflamasi adalah diosmin (Putri, 2006).

2.5     Pare

2.5.1   Taksonomi

Regnum      : Plantae
Divisi          : Magnoliophyta
Class           : Magnoliopsida
Ordo           : Cucurbitales
Family         : Cucurbitaceae
Genus         : Momordica
Spesies        : Momordica charantia L

2.5.2   Morfologi dan Pertelaan Tanaman

Batang: Batang berusuk lima, panjang 2-5 m, yang mudaberambut rapat. Bertangkai yang panjangnya 1,5-5,3cm, letak berseling, bentuknya bulat panjang, denganpanjang 3,5-8,5 cm, lebar 4 cm, berbagi menjari 5-7,pangkal berbentuk jantung, warnanya hijau tua, yangmuda berambut cukup rapat.
 Daun: Daun tunggal dengan panjang 3,5-8,5 cm, lebar 4 cm,berbagi menjari 5-7, pangkal berbentuk jantung, garistengah 4-17cm berbintik-bintik tembus cahaya, tajubergigi kasar hingga berlekuk menyirip, warnanyahijau tua. Daun pare yang tumbuh liar disebut daun tundung yang lebih berkhasiat sebagai obat
Bunga: Tangkai bunga 5-15cm dekat pangkalnya dengandaun pelindung berbentuk jantung hingga ginjal,kelompok bentuk lonceng, dengan banyak rusuk atautulang membujur, yang berakhir pada 2-3 sisik yangmelengkung ke bawah. Mahkota berbentuk roda, tajuberbentuk memanjang hingga bulat telur terbalik,bertulang 1,5-2 kali 1,3cm bunga jantan benang sari3, kepala sari orange, semula bergandengan satudengan lainnya, kemudian lepas, bakal buah berparuhpanjang, berduri temple halus dan berambut panjang,putik 3, berlekuk 2 dalam atau 1 diantaranya utuh
Buah : Buah bulat memanjang berbentuk seperti cylindris,permukaan buahnya bintil-bintil tidak beraturandengan panjang 8-30 cm. Warna buah hijau dan jikasudah masak jika dipecah akan berwarna orangedengan 3 katup.
Biji : Biji banyak, berwarna coklat kekuningan pucat,bentuknya pipih memanjang dan keras. Jika buahmasih mentah maka biji akan berwarna putih.
Akar : Akar tunjang, sisi berserabut yang berkembang luasdi kawasan sekeliling. Tumbuh atau memanjat dengan alat pembelit atau sulur berbentuk spiral,banyak bercabang.

2.5.3   Kandungan Kimia

Buah pare mengandung albuminoid, karbohidrat, zat warna, karantin,hydroxytryptamine, vitamin A, B dan C. Per 100 gr bagian buah yang dapat dimakan mengandung 29 kilo kalori; 1,1 gr protein; 0,3 gr lemak; 6,6 gr karbohidrat; 45 mg kalsium; 64 mg fosfor; 1,4 mg besi; 180 s.l. nilai vit A; 0,08 mg vit B1; 52 mg vit C dan91,2 gr air. Selain itu juga mengandung saponin, flavonoid, polifenol, alkaloid,triterpenoid, momordisin, glikosida cucurbitacin, charantin, asam butirat, asam palmitat,asam linoleat, dan asam stearat. Daun pare mengandung momordisina, momordina, karantina, resin, asam trikosanik, asam resinat, saponin, vitamin A, dan C serta minyak lemak yang terdiri dari asam oleat, asam linoleat, asam stearat dan L.oleostearat. Biji pare mengandung saponin, alkanoid, triterpenoid, asam momordial dan momordisin.Sedangkan akar pare mengandung asam momordial dan asam oleanolat.

2.5.4   Khasiat dalam Pengobatan

Secara umum, buah pare mempunyai  berbagai khasiat antara lain antiinflamasi dan antelmintik, selain itu juga dapat sebagai obat untuk penyakit batuk, radang tenggorokan, sakit mata merah, demam, malaria, menambah nafsu makan, kencing manis, rhematik, sariawan, bisul, abses, demam, malaria, sakit liver, serta sembelit. Buah pare digunakan pada demam, disentri biasanya digunakan 2 buah pare segar, kencing manis yang biasanya digunakan 2 buah pare digunakan pada disentri, kencing manis, radang tenggorokan. Daun, membangkitkan nafsu makan, nifas, pelancar ASI, sakit liver, bisul (obat luar) digunakan 1 buah segar lalu dilumatkan dandiborehkan, radang kulit bernanah (obat luar). Sedangkan akar pare digunakan padadisentri amoeba (Cahyadi, 2009).

2.6     Lengkuas

2.5.1   Taksonomi

Regnum                  : Plantae
Divisi                      : Magnoliophyta
Class                       : Liliopsida
Ordo                       : Zingiberales
Keluarga                 : Zingiberaceae
Genus                     : Languas
Spesies                    : Languas galanga L.

2.5.2   Morfologi dan Pertelaan Tanaman

Tanaman lengkuas memiliki batang yang sebagian besar dapat mencapai ketinggian sekitar 1 - 3,5 meter. Biasanya tumbuh dalam rumpun yang rapat, memiliki batang tegak yang tersusun oleh pelepah-pelepah daun yang bersatu membentuk batang semu dan berwarna hijau agak keputih-putihan. Batang muda keluar sebagai tunas dari pangkal batang tua. Daunnya tunggal, berwarna hijau, bertangkai pendek, dan tersusun berseling. Daun disebelah bawah dan atas biasanya lebih kecil dari pada yang di tengah. Bentuk daun lanset memanjang, ujung runcing, pangkal tumpul, dengan tepi daun rata, dan pertulangan daun menyirip. Panjang daun sekitar 20 - 60 cm, dan lebarnya 4 - 15 cm. Buah dari tanaman lengkuas seperti buah buni, berbentuk bulat, keras. Sewaktu masih muda berwarna hijau-kuning, setelah tua berubah menjadi hitam kecoklatan dengan diameter lebih kurang 1 cm. Bijinya kecil-kecil, berbentuk lonjong,dan berwarna hitam. Rimpang lengkuas bentuknya besar dan tebal, berdaging, berbentuk silindris dengan diameter sekitar 2-4 cm, dan bercabang-cabang. Bagian luar berwarna coklat agak kemerahan atau kuning kehijauan pucat mempunyai sisik-sisik berwarna putih atau kemerahan, keras mengkilap, sedangkan bagian dalamnya berwarna putih. Daging rimpang yang sudah tua memiliki serat yang kasar. Rasanya tajam pedas, menggigit, dan berbau harum karena kandungan minyak atsirinya Untuk mendapatkan rimpang yang masih berserat halus, panen harus dilakukan sebelum tanaman berumur lebih kurang 3 bulan.

2.5.3   Kandungan Kimia

Lengkuas memiliki kandungan zat kimia seperti basonin, eugenol, galangan, galangol, dan kandungan senyawa kimia 1’asetoksikavikolasetat dalam minyak atsirinya.

2.5.4   Khasiat dalam Pengobatan

Lengkuas memiliki khasiat sebagai antijamur selain itu lengkuas juga dapat mengobati penyakit gangguan perut, demam, pembengkakan limfa, radang telinga, bronkhitis, rematik dan sebagai obat kuat (aprodisiak). Oleh karena lengkuas memiliki khasiat yang sangat melimpah ini sehingga  lengkuas banyak dimanfaatkan sebagai produk fitofarmaka atau produk yangmemanfaatkan sumber daya nabati sebagai sumber bahan obat-obatan (Budiarti, 2007).

2.7     Simplisia

Simplisia adalah bahan alami yang digunakan sebagai bahan baku obat yang belum mengalami pengolahan tetapi sudah dikeringkan (Ditjen POM 1982). Jenis olahan tersebut merupakan bentuk produk yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku industri obat tradisonal.
Dalam penyiapan atau pembuatan simplisia, tahapan yang perlu diperhatikan adalah (a) bahan baku simplisia, (b) proses pembuatan simplisia, dan (c) cara pengepakan/pengemasan dan penyimpanan simplisia.
a.    Bahan baku simplisia
Dalam pembuatan simplisia, kualitas bahan baku simplisia merupakan faktor yang penting yang perlu diperhatikan. Sumber bahan baku dapat berupa tumbuhan, hewan, maupun mineral. Simplisia nabati yang ideal dapat ditinjau dari asal tumbuhan tersebut. Tumbuhan tersebut dapat berasal dari tanaman budidaya maupun tumbuhan liar.
b.    Tanaman budidaya
Tanaman ini sengaja dibudidaya untuk itu bibit tanaman harus dipilih yang baik, ditinjau dari penampilan dan kandungan senyawa berkhasiat, atau dengan kata lain berkualitas atau bermutu tinggi. Simplisia yang berasal dari tanaman budidaya selain berkualitas, juga sama rata atau homogen sehingga dari waktu ke waktu akan dihasilkan simplisia yang bermutu mendekati ajeg atau konsisten. Dari simplisia tersebut akan dihasilkan produk obat tradisional yang “reproducible” atau ajeg khasiatnya. Perlu diperhatikan pula bahwa tanaman budidaya dapat bervariasi kualitasnya bila ditanam secara monokultur (tanaman tunggal) dibanding dengan tanaman tumpangsari. Demikian juga terdapat faktor lain yang berpengaruh terhadap penampilan dan kandungan kimia suatu tanaman, antara lain tempat tumbuh, iklim, pemupukan, waktu panen, pengolahan pasca panen dsb.
c.    Tumbuhan liar
Tumbuhan liar artinya tumbuhan tersebut tidak dibudidaya atau tumbuh liar. Sebetulnya tumbuhan liar tersebut dapat dibudidayakan. Namun hal ini jarang dilakukan oleh petani karena tradisi atau kebiasaan. Agar bahan tumbuhan yang berasal dan tumbuhan liar ini mutunya dapat dipertahankan, diperlukan pengawasan kualitas secara intern yang baik. Apabila suatu bahan baku simplisia yang berasal dari tumbuhan liar ini melangka, padahal permintaan pasar tinggi, maka sering kita jumpai adanya pemalsuan. Dan pengalaman dapat kita lacak kemudian dicatat asal-usul bahan tumbuhan yang berasal dari tumbuhan liar tersebut, kita periksa kadar bahan berkhasiat, sehingga kita dapat memilih bahan simplisia serupa untuk produk kita di masa mendatang.
Ketentuan saat pemanenan tumbuhan atau bagian tumbuhan adalah sebagai benikut.
a.    Biji (semen) dipanen pada saat buah sudah tua atau buah mengering, misalnya biji kedawung.
b.    Buah (fructus) dikumpulkan pada saat buah sudah masak atau sudah tua
tetapi belum masak, misalnya lada (misalnya pada pemanenan lada, kalau dilakukan pada saat buah sudah tua tetapi belum masak akan dihasilkan lada hitam (Piperis nigri Fructus); tetapi kalau sudah masak akan dihasilkan lada putih (Piperis aIbi Fructus).
c.    Daun (folia) dikumpulkan pada saat tumbuhan menjelang berbunga atau sedang berbunga tetapi belum berbuah.
d.   Bunga (flores/flos) dipanen pada saat masih kuncup (misalnya cengkeh
atau melati) atau tepat mekar (misalnya bunga mawar, bunga srigading).
e.    Kulit batang (cortex) diambil dari tanaman atau tumbuhan yang telah tua atau umun yang tepat, sebaiknya pada musim kemarau sehingga kulit kayu mudah dikelupas.
f.     Umbi Iapis (bulbus) dipanen pada waktu umbi mencapai besar optimum, yaitu pada waktu bagian atas tanaman sudah mulai mengering (misalnya bawang putih dan bawang merah).
g.    Rimpang atau “empon-empon (rhizomad) dipanen pada waktu pertumbuhan maksimal dan bagian di atas tanah sudah mulai mengering, yaitu pada permulaan musim kemarau.

2.8    Penanganan Pasca Panen

Setelah dilakukan pemanenan bahan baku simplisia, maka tahapan penanganan pasca panen adalah sebagai berikut.

2.8.1     Sortasi Basah

Tahap ini perlu dilakukan karena bahan baku simplisia harus benar dan murni, artinya berasal dari tanaman yang merupakan bahan baku simplisia yang dimaksud, bukan dari tanaman lain. Dalam kaitannya dengan ini, perlu dilakukan pemisahan dan pembuangan bahan organik asing atau tumbuhan atau bagian tumbuhan lain yang terikut. Bahan baku simplisia juga harus bersih, artinya tidak boleh tercampur dengan tanah, kerikil, atau pengotor lainnya (misalnya serangga atau bagiannya).

2.8.2     Pencucian

Pencucian. Pencucian seyogyanya jangan menggunakan air sungai, karena cemarannya berat. Sebaiknya digunakan air dari mata air, sumur, atau air ledeng (PAM). Setelah dicuci ditiriskan agar kelebihan air cucian mengalir. Ke dalam air untuk mencuci dapat dilarutkan kalium permanganat seperdelapan ribu, hal ini dilakukan untuk menekan angka kuman dan dilakukan untuk pencucian rimpang.

2.8.3     Perajangan

Perajangan. Banyak simplisia yang memerlukan perajangan agar proses pengeringan berlangsung lebih cepat. Perajangan dapat dilakukan “manual” atau dengan mesin perajang singkong dengan ketebalan yang sesuai. Apabila terlalu tebal maka proses pengeringan akan terlalu lama dan kemungkinan dapat membusuk atau berjamur. Perajangan yang terlalu tipis akan berakibat rusaknya kandungan kimia karena oksidasi atau reduksi. Alat perajang atau pisau yang digunakan sebaiknya bukan dan besi (misalnya “stainless steel” atau baja nirkarat).

2.8.4     Pengeringan

Pengeringan merupakan proses pengawetan simplisia sehingga simplisia tahan lama dalam penyimpanan. Selain itu pengeringan akan menghindari teruainya kandungan kimia karena pengaruh enzim. Pengeringan yang cukup akan mencegah pertumbuhan mikroorganisme dan kapang (jamur). Jamur Aspergilus flavus akan menghasilkan aflatoksin yang sangat beracun dan dapat menyebabkan kanker hati, senyawa ini sangat ditakuti oleh konsumen dari Barat. Menurut persyaratan obat tradisional tertera bahwa Angka khamir atau kapang tidak Iebih dari 104. Mikroba patogen harus negatif dan kandungan aflatoksin tidak lebih dari 30 bagian per juta (bpj). Tandanya simplisia sudah kering adalah mudah meremah bila diremas atau mudah patah. Menurut persyaratan obat tradisional pengeringan dilakukan sampai kadar air tidak lebih dari 10%. Cara penetapan kadar air dilakukan menurut yang tertera dalam Materia Medika Indonesia atau Farmakope Indonesia. Pengeringan sebaiknya jangan di bawah sinar matahari langsung, melainkan dengan almari pengering yang dilengkapi dengan kipas penyedot udara sehingga terjadi sirkulasi yang baik. Bila terpaksa dilakukan pengeringan di bawah sinar matahari maka perlu ditutup dengan kain hitam untuk menghindari terurainya kandungan kimia dan debu. Agar proses pengeringan berlangsung lebih singkat bahan harus dibuat rata dan tidak bertumpuk. Ditekankan di sini bahwa cara pengeringan diupayakan sedemikian rupa sehingga tidak merusak kandungan aktifnya.

2.8.5   Sortasi kering

 Simplisia yang telah kering tersebut masih sekali lagi dilakukan sortasi untuk memisahkan kotoran, bahan organik asing, dan simplisia yang rusak karena sebagai akibat proses sebelumnya.

2.8.6      Pengepakan dan penyimpanan

 Bahan pengepak harus sesuai dengan simplisia yang dipak. Misalnya simplisia yang mengandung minyak atsiri jangan dipak dalam wadah plastik, karena plastik akan menyerap bau bahan tersebut. Bahan pengepak yang baik adalah karung goni atau karung plastik. Simplisia yang ditempatkan dalam karung goni atau karung plastik praktis cara penyimpanannya, yaitu dengan ditumpuk. Selain itu, cara menghandelnya juga mudah serta cukup menjamin dan melindungi simplisia di dalamnya. Pengepak lainnya digunakan menurut keperluannya. Pengepak yang dibuat dari aluminium atau kaleng dan seng mudah melapuk, sehingga perlu dilapisi dengan plastik atau malam atau yang sejenis dengan itu. Penyimpanan harus teratur, rapi, untuk mencegah resiko tercemar atau saling mencemari satu sama lain, serta untuk memudahkan pengambilan, pemeriksaan, dan pemeliharaannya. Simplisia yang disimpan harus diberi label yang mencantumkan identitas, kondisi, jumlah, mutu, dan cara penyimpanannya. Adapun tempat atau gudang penyimpanan harus memenuhi syarat antara lain harus bersih, tentutup, sirkulasi udara baik, tidak lembab, penerangan cukup bila diperlukan, sinar matahari tidak boleh leluasa masuk ke dalam gudang, konstruksi dibuat sedemikian rupa sehingga serangga atau tikus tidak dapat Ieluasa masuk, tidak mudah kebanjiran serta terdapat alas dari kayu yang baik (hati-hati karena balok kayu sangat disukai rayap) atau bahan lain untuk meletakkan simplisia yang sudah dipak tadi. Pengeluaran simplisia yang disimpan harus dilaksanakan dengan cara mendahulukan bahan yang disimpan Iebih awal (“First in First out” = FIFO).
            (Emilan dkk, 2011)

2.9    Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu proses penyarian senyawa kimia yang terdapat didalam bahan alam atau berasal dari dalam sel dengan menggunakan pelarut dan metode yang tepat. Sedangkan ekstrak adalah hasil dari proses ekstraksi, bahan yang diekstraksi merupakan bahan alam.
Pada prinsipnya ekstraksi adalah melarutkan dan menarik senyawa dengan menggunakan pelarut yang tepat. Ada tiga tahapan proses pada waktu ekstraksi yaitu:
1.    Penetrasi pelarut kedalam sel tanaman dan pengembangan sel
2.    Disolusi pelarut ke dalam sel tanaman dan pengembangan sel
3.    Difusi bahan yang terekstraksi ke luar sel
Proses diatas diharapkan terjadinya kesetimbangan antara solut dan pelarut. Kecepatan untuk mencapai kesetimbangan umumnya tergantung pada suhu, pH, ukuran partikel dan gerakan partikel. Prinsip yang utama adalah yang berkaitan dengan kelarutan, yaitu senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar dan senyawa nonpolar akan mudah larut dalam pelarut nonpolar.
Secara umum, ekstraksi dilakukan secara berturut-turut mulai dengan pelarut non polar (n-heksan) lalu dengan pelarut yang kepolarannya menengah (diklormetan, kloroform) kemudian dengan pelarut polar (etanol atau metanol). Dengan demikian, akan dieroleh ekstrak awal (crude extract) yang secara berturut-turut mengandung senyawa nonpolar, kepolaran menengah, dan senyawa polar. Pengekstraksian dengan senyawa nonpolar biasanya diperlukan juga sebagai pengawalemakan (deffating) sebelum diekstraksi dengan pelarut yang sesuai (ekstrak yang diperoleh bersifat bebas lemak). Selanjutnya adalah penghilangan pelarut organic atau pelarut air yang digunakan, pelarut tersebut harus dihilangkanatau diperkecil volumenya. Untuk pelarut organic biasanya dilakukan dengan penguapan putar vakum. Sedangkan untuk pelarut air biasanya dilakukan dengan pengeringbekuan (freeze-drying). Mula-mula ekstrak dihilangkan pelarut organiknya kemudian dibekukan dalam wadah kaca khusus dan bahan yang beku.
Dalam memperoleh ekstraksi yang baik harus diperhatikan parameter-parameter sebagai berikut;
1.      Parameter Nonspesifik
a.       Parameter susut pengeringan
Adalah pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperature 105 0C selama 30 menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nila prosen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak menguap/atsiri dan sisa pelarut organic menguap) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di atmosfer/lingkungan udara terbuka.
Tujuannya adalah untuk memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi.
b.      Parameter bobot jenis
Adalah masa per satuan volume pada suhu kamar tertenru (25 0C) yang ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat lainnya. Tujuannya untuk memberikan batasan tentang besarnya masa per satuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai 14 ekstrak pekat (kental) yang masih dapat dituang. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi.
c.       Kadar air
Pengukuran kandungan air yang berada didalam bahan, dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara titrasi, destilasi atau gravimetric. Tujuannya untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air didalam bahan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi.
d.      Kadar abu
Bahan dipanaskan pada temperature dimana senyawa organic dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga menyisakan unsur mineral dan anorganik. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbantuk ekstrak. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi.

e.       Sisa pelarut
Menentukan kandungan sisa pelarut tertenru (yang memang ditambahkan) yang secara umum dengan kromatografi gas. Untuk ekstrak cair berarti kandungan pelarutnya, misalnya kadar alkohol. Tujuannya adalah memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada. Sedangkan untuk ekstrak cair menunjukkan jumlahh pelarut (alcohol) sesuai denngan yang ditetapkan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi.
f.       Residu pestisida
Menentukan kandungan sisa pestisida yang mungkin saja pernah ditambahkan atau mengkontaminasi pada bahan simplisia pembuat ekstrak. Tujuannya untuk memberukan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung pestisida melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi.
g.      Cemaran logam berat
Menentukan kandungan logam berat secara spektroskopi serapan atomNatau lainnya yang lebih valid. Tujuannya untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu (Hg, Pb, Cd, dll) melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi.
h.      Cemaran mikroba
Menentukan adanya mikroba yang pathogen secara analisis mikrobiologis. Tujuannya untuk memberikan jaminan bahwa ektrak tidak boleh mengandung mikroba pathogen dan tidak mengandung mikroba non pathogen melabihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan berbahaya bagi kesehatan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi.
2.      Parameter Spesifik
a.       Identitas
Meliputi deskripsi tata nama (nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan, nama tumbuhan indonesia) dan dapat mempunyai senyawa identitas. Tujuannya untuk memberikan identitas objektif dari nama dan spesifik dari senyawa identitas.
b.      Organoleptik
Meliputi penggunaan panca indra untuk mendeskripsikan bentuk (padat, serbuk-kering, kental, cair, dll), warna (kuning, coklat, dll), bau (aromatic, tidak berbau, dll), rasa (pahit, manis, kelat, dll). Dengan tujuan untuk pengenalan awal yang sederhana.
c.       Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu
Melarutkan pelarut ekstrak dengan pelarut (alcohol atau air) untuk ditetapkan jumlah solute yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetric. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam palarut lain misalnya heksana, diklormetan, metanol. Tujuannya untuk memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan.
(Emilan, 2011)

2.10 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara pemisahan campuran senyawa menjadi senyawa murninya dan mengetahui kuantitasnya yang menggunakan. Kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya yang dapat digunakan untuk memisahkan senyawa – senyawa yang sifatnya hidrofobik seperti lipida – lipida dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. Pelaksanaan kromatografi lapis tipis bisa digunakan dengan kromatogram atau perhitungan Rf atau pengidentifikasian senyawa-senyawa. Pelaksanaan kromatografi biasanya digunakan dalam pemisahan pewarna yang merupakan sebuah campuran dari beberapa zat pewarna. Jumlah perbedaan warna yang telah terbentuk dari campuran, pengukuran diperoleh dari lempengan untuk memudahkan identifikasi senyawa-senyawa yang muncul. Identifikasi bercak pada lempeng kromatogram dapat dilakukan dengan cara kimia dan cara fisika. KLT dapat digunakan untuk analisa kualitatif, kuantitatif dan analisa preparatif (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.11      Spektrofotometri UV-Vis

Teknik spektroskopi pada daerah ultraviolet dan sinar tampak biasa disebut spektroskopi UV-Vis. Dari spektrum absorpsi dapat diketahui panjang gelombang dengan absorbansi maksimum dari suatu unsur atau senyawa. Konsentrasi suatu unsur atau senyawa juga dengan mudah dapat dihitung dari kurva standar yang diukur pada panjang gelombang dengan absorbansi maksimum.
Berdasarkan hukum Lambert-Beer, absorbansi dari suatu sampel akan sebanding dengan ketebalan, konsentrasi sampel dan absorptifitas molar. Bila ketebalan benda (b) atau konsentrasi materi (c) yang dilewati bertambah, maka cahaya akan lebih banyak diserap. Jadi absorbansi berbanding lurus dengan ketebalan dan konsentrasi. Selain itu, faktor yang berpengaruh terhadap besar kecilnya absorbansi adalah absorptifitas molar (ε) dari larutan yang di ukur itu sendiri. Sehingga dari persamaan diatas dapat dirumuskan sebagai berikut:
A = ε b c
Ada beberapa persyaratan yang harus diperhatikan yang mengikuti hukum Lambert-Beer, yaitu:
1.    Syarat konsentrasi, larutan yang dianalisis harus encer. Pada konsentrasi tinggi jarak rata-rata di antara zat pengabsorbsi menjadi kecil sehingga masing-masing zat mempengaruhi distribusi muatan tetangganya. Interaksi ini dapat mengubah kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya pada panjang gelombang yang diberikan.
2.    Syarat kimia, zat pengabsorbsi tidak boleh terdisosiasi atau bereaksi dengan pelarut menghasilkan suatu produk yang berbeda dari zat yang dianalisis.
3.    Syarat cahaya, hukum Beer berlaku untuk cahaya yang betul-betul monokrhomatik (cahaya yang mempunyai satu macam panjang gelombang).
4.    Syarat kejernihan, larutan yang dianalisis harus jernih karena kekeruhan larutan yang disebabkan oleh partikel-partikel koloid akan dihamburkan oleh partikel-partikel koloid akibatnya kekuatan cahaya yang diabsorbsi berkurang dari yang seharusnya


Instrumen pada spektroskopi UV-Vis terdiri dari lima komponen utama, yaitu:
1.        Sumber radiasi, merupakan sumber cahaya. Untuk spektroskopi UV-Vis digunakan lampu wolfram (tungsten). Lampu ini mirip dengan bola lampu pijar biasa, daerah panjang gelombang (λ) adalah 350-2200 nm.
2.        Monokhromator, berfungsi untuk merubah sinar polikromatis menjadi sinar monokromatris sesuai yang dibutuhkan untuk pengukuran. Ada 2 macam monokromator yaitu prisma dang gratting (kisi difraksi).
3.        Wadah sampel, berfungsi untuk menyimpan sampel. Wadah sampel umumnya disebut sel atau kuvet. Kuvet harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut :
-          Tidak berwarna sehingga dapat mentransmisikan semua cahaya.
-          Permukaannya secara optis harus benar- benar sejajar.
-          Harus tahan (tidak bereaksi) terhadap bahan- bahan kimia.
-          Tidak boleh rapuh.
-          Mempunyai bentuk (design) yang sederhana.
4.        Detektor, berfungsi untuk merubah sinar menjadi energi listrik yang sebanding dengan besaran yang dapat diukur.
5.        Recorder, di dalam recorder signal tersebut direkam sebagai spektrum yang berbentuk puncak-puncak. Spektrum absorpsi merupakan plot antara absorbans sebagai ordinat dan panjang gelombang sebagai absis. (Wiryawan, 2007).

2.12     Spektrofotometri Infra Merah

Spektroskopi inframerah merupakan teknik yang sangat berguna untuk mengidentifikasi senyawa-senyawa yang tidak dikenal, misalnya produk dari suatu sintesis atau metabolit kemih dari seekor hewan percobaan, terutama ketika digunakan bersama-sama dengan teknik eksudasi struktur lainnya, seperti resomans magnetic nuklir dan spektrofotometri masa (Cairns, 2004).
Radiasi inframerah (IR) ditemukan oleh Sir William Herschel pada tahun 1800. Radiasi inframerah terletak pada daerah panjang gelombang (wavelength): 0,78 - 1000 μm atau bilangan gelombang (wavenumber): 12.800 - 10 cm-1. Sinar inframerah biasanya dibedakan menjadi: IR dekat (Near IR), IR tengah (middle IR) dan IR jauh (far IR). Penggolangan tersebut  didasarkan pada kedekatannya dengan radiasi tampak (Hanif, 2010).
Spektrum peresapan IR merupakan perubahan simultan dari energi vibrasi dan energi rotasi dari suatu molekul. Kebanyakan molekul organik cukup besar sehingga spektrum peresapannya kompleks. Konsep dasar dari spektra vibrasi dapat diterangkan dengan menggunakan molekul sederhana yang terdiri dari dua atom dengan ikatan kovalen. Dengan menggunakan Hukum Hooke, dua atom tersebut dihubungkan dengan sebuah pegas. Persamaan yang diturunkan dari Hukum Hooke menyatakan hubungan antara frekuensi, massa atom, dan tetapan dari kuatnya ikatan (forse constant of the bond) (Anonim, 2007).
Komponen dasar spektrofotometer IR sama dengan UV tampak , tetapi sumber, detektor dan komponen optiknya sedikit berbeda. Mula-mula sinar infra marah di lewatkan melaui sampel dan larutan pambanding kemudian di lewatkan pada monokromator untuk menghilangkan sinar yang tidak diinginkan. Berkas ini kemudian dididspersikan melalui prisma atau gratting. Dengan melewatkannya melalui slit, sinar akan di fokuskan pada detektor. Alat IR biasanya dapat merekam sendiri absorbansinya sendiri (Khopkar, 1990).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar