A.
Diabetes Melitus
1.
Definisi
Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai
suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang
ditandai dengan tingginya kadar gula darah atau hiperglikemia (glukosa
puasa ≥ 126 mg/dl atau glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dl) yang disertai
dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat
insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh
gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar
pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap
insulin (WHO, 1999). Penyebab kerusakan sel-sel beta pankreas diantaranya
adalah radikal bebas atau infeksi virus (Suarsana et al. 2008). Penyakit diabetes
mellitus ditandai poliuria
(banyak berkemih), polidipsia
(banyak minum), dan polifagia (banyak makan),
walaupun banyak makan
tetapi berat tubuh menurun,
hiperglikemia, glikosuria, ketosis
dan asidosis (Ganong, 1998).
2.
Patofisiologi
Diabetes mellitus dibagi menjadi 2 kategori
utama, yaitu (1) Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM = insulin
dependent diabetes mellitus) atau tipe I, dan (2) Diabetes mellitus tidak
tergantung insulin (NIDDM = non-insulin dependent diabetes mellitus)
atau tipe II.
Diabetes mellitus (DM) tipe I adalah diabetes
yang disebabkan oleh
gangguan autoimun dimana terjadi penghancuran
sel-sel β Langerhans pankreas penghasil insulin akibat infeksi virus,
pemberian senyawa toksin, diabetogenik (streptozotosin, aloksan), atau secara
genetik (wolfram sindrome) yang mengakibatkan produksi insulin sangat rendah
atau berhenti sama sekali. Hal tersebut mengakibatkan penurunan pemasukan
glukosa dalam otot dan jaringan adiposa. Secara patofisiologi, penyakit ini
terjadi lambat dan membutuhkan waktu yang bertahun-tahun, biasanya terjadi
sejak anak-anak atau awal remaja. Penurunan berat badan merupakan ciri khas
dari penderita DM I yang tidak terkontrol. Gejala yang sering mengiringi DM I
yaitu poliuria, polidipsia, dan polifagia..
Pada DM I, kadar glukosa darah sangat tinggi, tetapi tubuh tidak dapat
memanfaatkannya secara optimal untuk membentuk energi. Oleh karena itu, energi
diperoleh melalui peningkatan katabolisme protein dan lemak. Seiring dengan
kondisi tersebut, terjadi perangsangan lipolisis serta peningkatan kadar asam
lemak bebas dan gliserol darah. Penyakit
ini tergantung pada terapi insulin (Lawrence, 1994; Karam et al., 1996).
Pada kondisi DM II tersebut cenderung terjadi pada individu usia lanjut
dan biasanya didahului oleh keadaan sakit atau stres yang membutuhkan kadar
insulin tinggi. Pada DM II, kehadiran insulin tidak cukup untuk mencegah
glukosuria. Secara patofisiologi, DM tipe II disebabkan karena dua hal yaitu
(1) penurunan respon jaringan perifer terhadap insulin, peristiwa tersebut
dinamakan resistensi insulin, dan (2) Penurunan kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin sebagai
respon terhadap beban glukosa. Sebagian besar DM tipe II diawali dengan
kegemukan karena kelebihan makan. Sebagai kompensasi, sel β pankreas merespon dengan mensekresi insulin
lebih banyak sehingga kadar insulin meningkat (hiperinsulinemia). Konsentrasi
insulin yang tinggi mengakibatkan reseptor insulin berupaya melakukan
pengaturan sendiri (self regulation) dengan menurunkan jumlah reseptor
atau down regulation. Hal ini membawa
dampak pada penurunan respon reseptornya dan lebih lanjut mengakibatkan
terjadinya resistensi insulin. Secara patologis, pada permulaan DM tipe II
terjadi peningkatan kadar glukosa plasma dibanding normal, namun masih diiringi
dengan sekresi insulin yang berlebihan (hiperinsulinemia). Seiring dengan
kejadian tersebut, sel β pankreas mengalami adaptasi diri sehingga
responnya untuk mensekresi insulin menjadi kurang sensitif, dan pada akhirnya
membawa akibat pada defisiensi insulin. Pemberian obat-obat oral antidiabetes sulfonilurea
masih dapat merangsang kemampuan sel β-Langerhans pankreas untuk
mensekresi insulin (Unger dan Foster, 1992; Lawrence, 1994; Kahn, 1995).
B.
Tanaman Salam
1.
Nama Daerah
Salam
(Indonesia, Sunda, Jawa,
Madura); gowok (Sunda); manting
(Jawa); kastolam (Kangean); dan
meselangan, ubar serai (Melayu)
2.
Klasifikasi
Divisi :
Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas :
Dicotyledoneae
Ordo : Myrtales
Family :
Myrtaceae
Genus : Syzygium
Spesies : Syzygium
polyanthum
(Wight) Walp.
3.
Deskripsi Tanaman
Salam merupakan tanaman
asli Indonesia dan tumbuh
di wilayah iklim
tropis dan subtropis, termasuk
di Asia Tenggara
dan Cina. Secara morfologi
(Gambar 1), salam merupakan pohon
bertajuk rimbun dengan tinggi mencapai 25
m, berakar tunggang, dan berbatang bulat dengan permukaan
yang licin. Daun tunggal, berbentuk lonjong hingga elips, letak berhadapan,
panjang tangkai 0,5-1
cm, ujung meruncing, pangkal
runcing, tepi rata, panjang
5-15 cm, lebar
3-8 cm, pertulangan menyirip, permukaan atas licin
berwarna hijau tua, dan permukaan
bawah berwarna hijau muda. Bunga majemuk, tersusun dalam
malai yang keluar dari ujung ranting, berwarna putih dan baunya
harum. Buah buni,
berbentuk bulat, diameter 8-9
mm, saat masih
muda berwarna hijau, saat
matang berubah warna menjadi merah gelap, dan rasanya agak
sepat. Biji berbentuk bulat, penampang sekitar 1 cm, dan berwarna coklat
(Sumono, 2008).
4.
Penggunaan Secara Tradisional
Untuk mengobati
penyakit diabetes, daun salam digunakan secara tradisional dengan cara :
a. Daun salam direbus dengan air 4 gelas hingga
tersisa 3 gelas, diminum 3 kali sehari (Syarif dkk, 2010)
b. Daun salam 5-7 lembar direbus dengan air 2
gelas menjadi 1 gelas, diminum 3-7 hari, dan kemudian cek di laboratorium
(Santoso dan Yulfira, 2003).
5.
Kandungan Kimia
Kandungan kimia
tanaman salam dilaporkan di
antaranya minyak atsiri
(0,05%) yang terdiri dari sitral
dan eugenol (Sumono, 2008), serta
mengandung tanin tidak
kurang dari 21,7% dan
flavonoid dengan fluoretin
dan kuersitrin sebagai golongan
utama (BPOM, 2004).
Winarto (2004) menyatakan bahwa daun
salam mempunyai kandungan
kimia yaitu tanin, flavonoid, dan minyak asiri 0,05% yang
terdiri dari eugenol
dan sitral. Kandungan Eugenia
polyantha merupakan bahan
aktif yang diduga mempunyai efek
farmakologis.
6.
Data Ilmiah
a. Limawan (1998) menyatakan dalam penelitiannya bahwa
infus daun salam dengan dosis 175 mg/kg BB kelinci dapat menurunkan kadar
glukosa darah kelinci.
b. Studiawan
(2004) menyatakan dalam penelitiannya
bahwa ekstrak etanol daun
salam dengan dosis 2,62 mg/kg BB dapat menurunkan kadar glukosa darah
pada tikus.
C.
Mekanisme Kerja Daun Salam sebagai Anti
Diabetik
Salah
satu kandungan daun
salam adalah senyawa golongan
flavonoid. Golongan senyawa
ini, terutama yang berada
dalam bentuk glikosidanya mempunyai gugus-gugus
gula. Zat aktif
utama pada daun salam yakni
flavonoid jenis quersetin dan fluoretin
yang dapat berfungsi
sebagai antioksidan (BPOM, 2004). Dalam penelitian, glikosida flavonoid
yang terkandung dalam daun
salam tersebut bertindak
sebagai penangkap radikal
hidroksil, sehingga dapat mencegah aksi
diabetogenik (Santosa, 2005).
c
Radikal
bebas adalah substansi
reaktif yang dibentuk dalam
sel-sel tubuh sebagai hasil
proses metabolisme. Radikal
bebas merupakan molekul atau
atom yang tidak stabil karena memiliki satu atau lebih
elektron tidak berpasangan pada
orbital terluarnya. Radikal bebas
sangat berbahaya karena sangat reaktif
dalam mencari pasangan
elektronnya, bereaksi dengan cepat
pada biomolekul melalui banyak
jenis reaksi, antara
lain penangkapan hidrogen, donor
elektron, dan penggunaan elektron
bersama. Radikal bebas akan
melepaskan elektron pada
molekul sekitarnya untuk menghasilkan
pasangan elektron untuk menjadi
molekul yang stabil. Reaksi ini
akan berlangsung terus-menerus dalam tubuh
dan bila tidak
dihentikan akan menimbulkan berbagai
penyakit seperti kanker, penuaan
dini, serta penyakit degeneratif lainnya
(Pourmorad, 2006).
Antioksidan
dinyatakan sebagai senyawa yang
secara nyata dapat
memperlambat oksidasi, walaupun dengan
konsentrasi yang lebih rendah
dibandingkan dengan substrat yang
dapat dioksidasi. Antioksidan
dapat menangkap berbagai jenis
oksigen yang secara biologis
bersifat reaktif (O2-,
H2O2, -OH, -HOCl, dsb),
dengan cara mengubah pembentukan molekul
radikal bebas atau dengan
melengkapi kekurangan elektron radikal bebas
yang dapat menimbulkan
stress oksidatif (Pietta 2000).
Luasnya komplikasi pada diabetes tampaknya berkorelasi
dengan konsentrasi glukosa darah sehingga glukosa berlebih diduga menjadi
penyebab utama kerusakan jaringan. Fenomena ini dapat disebabkan oleh kemampuan
hiperglikemia secara in vivo dalam modifikasi oksidatif berbagai substrat.
Selain itu, hiperglikemia juga terlibat dalam proses pembentukan radikal bebas.
Hiperglikemia menyebabkan autooksidasi
glukosa, glikasi protein, dan aktivasi jalur metabolisme poliol yang
selanjutnya mempercepat pembentukan senyawa oksigen reaktif. Pembentukan
senyawa oksigen reaktif tersebut dapat meningkatkan modifikasi lipid, DNA, dan
protein pada berbagai jaringan. Modifikasi molekuler pada berbagai jaringan
tersebut mengakibatkan ketidakseimbangan antara antioksidan protektif
(pertahanan antioksidan) dan peningkatan produksi radikal bebas. Hal itu
merupakan awal kerusakan oksidatif yang dikenal sebagai stres oksidatif. untuk
meredam kerusakan oksidatif tersebut diperlukan antioksidan. Peningkatan suplai
antioksidan yang cukup akan membantu pencegahan komplikasi klinis diabetes
melitus (Setiawan, 2005).
Glukosa dapat teroksidasi sebelum berikatan dengan protein demikian juga
glukosa setelah berikatan dengan protein dapat teroksidasi menghasilkan Reactive
Oxygen Species (ROS). Kombinasi
glikasi dan oksidasi glukosa menghasilkan pembentukan AGEs (advanced glycogen end-products). Proses
pembentukan AGEs merupakan proses irreversible
yang berlangsung lama dan dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Pembentukan
AGEs cara lain dengan mengoksidasi glukosa kemudian produk oksidasi bereaksi
dengan protein. Monosakarida dapat dioksidasi dan dikatalisis oleh ion Fe dan
Cu menghasilkan O2*-, H2O2,*OH dan karbonil toksik yang dapat merusak protein,
reaksi ini disebut Maillard browning (Widowati, 2008).
Dalam mekanisme penyembuhan penyakit diabetes,
flavonoid diduga berperan secara signifikan meningkatkan aktivitas enzim antioksidan
dan mampu meregenerasi sel-sel β-pankreas yang rusak sehingga defisiensi
insulin dapat diatasi. Mekanisme kerja
flavonoid dalam melindungi
tubuh terhadap efek radikal bebas adalah mengikat ion logam yang
menyebabkan kompleks ion inert sehingga tidak dapat mengawali terjadinya
peroksidasi lipid serta menghentikan aktivitas radikal bebas (Winarsi, 2007).
Studi secara epidemiologi yang dilakukan
Griffiths, et al. (2002) menjelaskan bahwa senyawa-senyawa flavonoid, termasuk
kuersetin memiliki kemampuan pada penyakit diabetes tipe II. Jo, et al. (2009)
dalam jurnalnya membuktikan bahwa kuersetin memiliki kemampuan aktivitas
inhibisi α-glukosidase. Hasil penelitiannya juga
menjelaskan bahwa kuersetin memiliki hasil yang signifikan dalam menginhibisi α-glukosidase
dibandingkan acarbose yang selama ini sudah dijadikan obat diabetes. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan Gustina (2012) bahwa nilai inhibisi
dari kuersetin memiliki hasil yang cukup besar, yaitu 86,55%.
Enzim α-glukosidase
adalah suatu biokatalisator yang berfungsi untuk meningkatkan hidrolisis
karbohidrat menjadi glukosa (gula sederhana) di usus. Inhibitor enzim α-glukosidase merupakan obat
antihiperglikemia untuk pasien diabetes melitus tipe II. Karbohidrat yang
dikonsumsi secara normal akan diubah terlebih dahulu menjadi monosakarida untuk
dapat diserap oleh usus menjadi glukosa darah. Inhibitor enzim α-glukosidase
ini akan mencegah pemecahan karbohidrat, seperti pati dan oligosakarida lainnya
sehingga dapat mengurangi konsentrasi gula darah dari karbohidrat yang
dikonsumsi (Chiasson, 2002). Contoh obat dari jenis inhibitor enzim
α-glukosidase, diantaranya adalah acarbose, maglitol, dan voglibose (Neal,
2002).
Cara kerja dari kuersetin sebagai antidiabetes
disebabkan adanya substituen gugus hidroksil pada cincin C-3 (Lukacinova et al.,
2008). Hidroksilasi cincin C-3 pada cincin karbon kerangka flavonol
tersebut berperan penting dalam penghambatan enzim α-glukosidase. Tadera et al.
(2006) menyatakan bahwa aktivitas penghambatan enzim yang tinggi itu
diakibatkan karena adanya reaksi hidroksilasi pada C-3 (C-3-OH).
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia. 2004. Monografi
Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume 1 . Jakarta: BPOM RI.
Chiasson J, Josse
RG, Gomis R, Hanefeld M, Karasik
A, Laakso M. 2002. Acarbose for prevention of type 2 diabetes mellitus: the stop NIDDM randomized. Medical Progress 359: 2072-2077.
Ganong, W.
F. (1998). Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. Edisi
XVII. Jakarta: Penerbit EGC.
Halaman 335.
Griffiths G, Trueman
L, Crowther T, dan Thomas B. 2002. Onions, a global benefit to
health. Phytotherapy Res 17:603-615.
Gustina, Nyi Mas Rosmeini Anica.
2012. Aktivitas Ekstrak, Fraksi Pelarut,
Dan Senyawa Flavonoid Daun Sukun (Artocarpus Altilis) Terhadap Enzim Α
-Glukosidase Sebagai Antidiabetes. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Jo SH, Ka EH, Lee HS,
Apostolidis E, Jang H-D dan Kwon Y-I. 2009. Comparison of antioxidant potential
and rat intestinal α-Glucosidases inhibitory activities of kuersetin, rutin,
and isokuersetin. International Journal
of Applied Research in Natural Products 2
(4): 52-60.
Karam, J.H., Patricia, P.R.,
Salber, and Forsham, P.H., 1996, Pancreatic Hormones and Diabetes Mellitus, In Greenspan,
F.S., Basic and Clinica Endocrinology,
3rd Ed, 593-649, Prentice-Hall International Inc., London.
Kahn, C.R. 1995, Disorder of
Fuel Metabolism, In Becker, K.L. (Ed.), Priciples and Practice of Endocrinology
and Metabolism, 2nd Ed., 1148-54,
Lawrence, J.C., 1994, Insulin
and Oral Hypoglycemic Agents, In Brody, T.M.,Larner, J., Minneman, K.P., and
Neu, H.C. (Ed.), Human Pharmacology,2nd Ed., 523-539, Mosby, London.
Limawan, P.H.,
1998, Pemberian Infus Daun
Syzygium Polyanthum (Weight)Walp Secara
Oral Terhadap Kadar Glukosa
Darah Kelinci Dengan
Cara Uji Toleransi Gula,
Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Surabaya.
Lukacinova, J. Mojzis, R.
Benacka, J. Keller, T. Maguth, P. Kurila, L. Vasko, O. Racz dan F. Nistiar .
2008. Preventive effects of flavonoids on alloxan-induced diabetes mellitus in
rats. ACTA VET BRNO (77): 175-182.
Neal, MJ. 2002. Medical
Pharmacology a Glance . New York: Blackwell Publishing.
Santoso, S. Sapardiyah dan
Yulfira Media. 2003. Obat Tradisional Untuk Penyembuhan Penyakit Diabetes
Mellitus dari Pengobat Tradisional (BATTRA) di DKI Jakarta, Yogyakarta dan
Surabaya. Jurnal Ekologi Kesehatan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Setiawan B.dan Eko Suhartono. 2005.
Stres Oksidatif dan Peran Antioksidan pada Diabetes Melitus. Maj Kedokt Indon, Volum: 55, Nomor: 2. Fakultas
Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Siswono Handoko Jati (2008). Efek Antioksidan Ekstrak Etanol 70% Daun
Salam (Syzygium polyantum) pada
Hati Tikus Putih
Jantan Galur Wistar
yang Diinduksi Karbon Tetraklorida (CCl4).
Studiawan, H. dan Mulja Hadi
Santosa. 2005. Uji Aktivitas Penurun Kadar Glukosa Darah Ekstrak Daun Eugenia
polyantha pada Mencit yang Diinduksi Aloksan. Media Kedokteran Hewan Vol. 21, No. 2. Universitas Airlangga
Surabaya
Syarif, dkk. 2010. Diskripsi Dan Manfaat Tanaman Obat Di Pedesaan Sebagai Upaya
Pemberdayaan Apotik Hidup (Studi Kasus Di Kecamatan Wonokerto. Fak.
Perikanan Univeritas Pekalongan.
Tadera K, Minami Y, Takamatsu
K, dan Matsuoka T. 2006. Inhibition of α-glucosidase and α-amylase by flavonoids. J Nutr Sci Vitaminol 52:149-153.
Unger, R.H. and Foster, D.W.,
1992, Diabetes Mellitus, In Wilson, J.D. and Foster, D.W., Endocrinology, 1255-1317, W.B Sunders
Company, A Division of Harcourt Brace and Company, London.
Widowati, Wahyu. Potensi
Antioksidan sebagai Antidiabetes. JKM.
Vol.7 No.2 Februari 2008. Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen
Maranatha, Bandung.
Winarto W. P., 2004, Memanfaatkan Bumbu Dapur untuk Mengatasi
Aneka Penyakit. Jakarta: Agromedia Pustaka.
kak mau softcopy jurnal nya Gustina, Nyi Mas Rosmeini Anica. 2012 masih ada?
BalasHapus