BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konstipasi adalah gejala defekasi yang
tidak memuaskan,yang ditandai
oleh buang air besar kurang dari 3 kali dalam 1 minggu atau kesulitan dalam
evakuasi feses akibat feses yang keras. Konstipasi dipicu oleh berbagai faktor risiko, di
antaranya aktivitas fisik kurang, asupan makanan yang kurang, diet rendah
serat, obat-obatan, depresi, dan riwayat pelecehan seksual. Beberapa kondisi
klinis juga bisa menghadirkan konstipasi, misalnya penyakit saraf seperti
Parkinson dan stroke, penyakit metabolik: diabetes mellitus, hiperkalsemia, dan
hipotiroid, penyumbatan semu usus, atau secara mekanik memang ditemukan tumor, penyumbatan
usus, dan divertickulosis (Gerai, 2013).
Konstipasi sendiri sebenarnya
bukanlah suatu penyakit, tetapi lebih tepat disebut gejala yang dapat menandai adanya
suatu penyakit atau masalah dalam tubuh, misalnya terjadi gangguan pada saluran
pencernaan (irritable bowel syndrome),
gangguan metabolisme (diabetes), maupun gangguan pada sistem endokrin
(hipertiroidisme) (Dipiro, et al,
2005).
Konstipasi biasanya
menyebabkan anoreksia dan kurangnya kenaikan berat badan, yang akan membaik jika
konstipasinya diobati. Berbagai posisi tubuh, menyilangkan kedua kaki, menarik
kaki kanan dan kiri secara bergantian ke depan dan belakang (seperti berdansa)
merupakan manuver menahan feses dan kadang kala perilaku tersebut menyerupai
kejang. Selain itu, jika feses berada lama di rektum, lebih banyak bakteri
berkolonisasi di perineum sehingga akan meningkatkan risiko infeksi saluaran
kemih (Dianne, dkk., 2013).
Karena alasan tersebut, maka
konstipasi tidak boleh dianggap sebagai hal yang biasa dan tidak diberikan
terapi. Sehingga, dibutuhkan suatu pedoman penatalaksanaan untuk terapi konstipasi,
agar obat-obat kosntipasi dapat digunakan secara rasional.
B. Rumusan Masalah
Rumusan
masalah dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut :
1. Jelaskan
patofisiologi dari konstipasi !
2. Jelaskan
bagaimana sasaran, strategi dan penatalaksanaan terapi konstipasi !
3. Jelaskan
evaluasi obat-obat konstipasi yang beredar di Indonesia !
C. Tujuan
Tujuan
yang dapat diperoleh dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui bagaimana patofisiologi dari konstipasi.
2. Untuk
mengetahui sasaran, strategi dan penatalaksanaan terapi konstipasi.
3. Untuk
mengetahui cara mengeevaluasi obat-obat konstipasi yang beredar di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Konstipasi merupakan
keadaan yang sering ditemukan pada anak dan dapat menimbulkan masalah sosial
maupun psikologis. Konstipasi lebih merupakan suatu gejala klinis dibanding
sebagai suatu penyakit tersendiri. Kata constipation atau konstipasi
berasal dari bahasa Latin constipare yang mempunyai arti ‘bergerombol
bersama, yaitu suatu istilah yang berarti menyusun ke dalam menjadi bentuk
padat. Baru pada abad 16 istilah konstipasi digunakan pada keadaan ditemukan
sejumlah tinja terakumulasi di dalam kolon yang berdilatasi. Berdasarkan
patofisiologis, konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi konstipasi akibat
kelainan struktural dan konstipasi fungsional. Konstipasi akibat kelainan
struktural terjadi melalui proses obstruksi aliran tinja, sedangkan konstipasi
fungsional berhubungan dengan gangguan motilitas kolon atau anorektal (Endyarni
dan Badriul, 2004).
Konstipasi merupakan suatu
kondisi dimana seseorang mengalami
kesulitan defekasi akibat tinja yang mengeras, otot polos usus yang lumpuh maupun gangguan refleks
defekasi (Arif dan Sjamsudin, 1995) yang mengakibatkan frekuensi maupun proses
pengeluaran feses terganggu. Frekuensi defekasi/ buang air besar (BAB) yang
normal adalah 3 sampai 12 kali dalam seminggu.
Namun, seseorang baru
dapat dikatakan konstipasi
jika ia mengalami frekuensi BAB
kurang dari 3 kali dalam seminggu, disertai konsistensi feses yang keras, kesulitan mengeluarkan feses (akibat ukuran
feses besar-besar maupun akibat
terjadinya gangguan refleks defekasi),
serta mengalami sensasi rasa tidak puas pada saat BAB
(McQuaid, 2007).
Anamnesis merupakan hal
penting dalam menentukan adanya konstipasi pada anak. Dalam melakukan anamnesis
terdapat tiga hal penting yang perlu diketahui, yaitu (1) pola buang air besar seperti frekuensi b.a.b, ukuran tinja, konsistensi
tinja, dan nyeri saat b.a.b, (2) keadaan anak secara umum, dan (3) riwayat
konstipasi, seperti saat mekonium pertama muncul, saat penerapan latihan
berhajat, dan lainnya (Buller et al, 2002).
Kebanyakan individu
sedikitnya melakukan defekasi sekali dalam sehari. Rentang normal, rentang
normal, adalah tiga kali defekasi dalam sehari atau kurang dalam seminggu. Pada
individu yang mengalami konstipasi, defekasi terjadi secara tidak teratur,
disertai feses yang keras. Beberapa orang yang mengalami konstipasi
kadang-kadang menghasilkan feses cair sebagai akibat dari iritasi yang
disebabkan oleh massa feses yang keras dan kering dalam kolon. Feses ini
mengandung banyak sekali mukus, yang disekresi oleh kelenjar dalam kolon dalam responsnya
terhadap massa pengiritasi ini (Firmansyah, 1994).
Konstipasi
dapat disebabkan oleh obat-obatan tertentu (tranquilizer, antikolinergis,
antihipertensif, opioid, antasida, dengan aluminium; ganggauan rektal/anal
(hemoroid, fisura); obstruksi (kanker usus); kondisi metabolis, neurologis, dan
neuromuskuler (diabetes militus, parkinsonisme, sklerosis multipel); kondisi
endokrin (hipotiroidisme, feokromositoma); keracunan timah; dan gangguan
jaringan penyambung (skleroderma, lupus erimatosus). Konstipasi adalah masalah
utama pada pasien yang menggunakan opioid untuk mengatasi nyeri kronis.
Penyakit kolon yang biasanya dihubungkan dengan konstipasi adalah sindrom usus
peka dan penyakit divertikuler.
Faktor
penyebab lainnya mencakup kelemahan, imobilitas, kecacatan, keletihan, dan
ketidakmampuan untuk meningkatkan tekanan intra-abdomen untuk mempermudah
pasase feses, seperti yang terjadi pada emfisema. Banyak orang yang mengalami
konstipasi karena mereka tidak menyempatkan diri untuk defekasi. Di Amerika Serikat,
konstipasi jg tampak sebagai akibat kebiasaan diet (konsumsi rendah terhadam
masukan serat dan kurangnya asupan cairan), kurang latihan teratur, dan stres (Santosa dkk, 2002).
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Konstipasi
Kata
constipation atau konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare
yang mempunyai arti ‘bergerombol bersama’, yaitu suatu istilah yang berarti
menyusun ke dalam menjadi bentuk padat. Baru pada abad 16 istilah konstipasi
digunakan pada keadaan ditemukan sejumlah tinja terakumulasi di dalam kolon
yang berdilatasi.
Konstipasi
merupakan keadaan yang sering ditemukan pada anak dan dapat menimbulkan masalah
sosial maupun psikologis. Konstipasi lebih merupakan suatu gejala klinis
dibanding sebagai suatu penyakit tersendiri. Salah satu kendala dalam
mempelajari konstipasi adalah sulitnya
menentukan definisi kelainan ini. Terdapat tiga aspek penting untuk menentukan
adanya konstipasi, yaitu konsistensi tinja, frekuensi defekasi dan temuan pada
feses (Endyarni, 2004).
B.
Patofisiologi
Konstipasi
Proses
normal defekasi diawali dengan teregangnya dinding rektum. Regangan tersebut
menimbulkan refleks relaksasi dari sfingter anus interna yang akan direspon
dengan kontraksi sfingter anus eksterna. Saat proses defekasi, sfingter anus
eksterna dan muskulus puborektalis mengadakan relaksasi sedemikian rupa
sehingga sudut antara kanal anus dan rektum terbuka, membentuk jalan lurus bagi
tinja untuk keluar melalui anus. Kemudian dengan mengedan, yaitu meningkatnya
tekanan abdomen dan kontraksi rektum, akan mendorong tinja keluar melalui anus.
Pada posisi jongkok, sudut antara anus dan rektum ini akan menjadi lurus akibat
fleksi maksimal dari paha. Hal ini akan memudahkan proses defekasi dan tidak
memerlukan tenaga mengedan yang kuat. Pada posisi duduk, sudut antara anus dan
rektum ini menjadi tidak cukup lurus sehingga membutuhkan tenaga mengedan yang
lebih kuat. Akibat semakin kuat tenaga mengedan yang dibutuhkan, lama-kelamaan
dapat menimbulkan kerusakan pada daerah rektoanal yang dapat menimbulkan
konstipasi dan hemorrhoid.
Proses
defekasi yang normal memerlukan keadaan anatomi dan persyarafan yang normal
dari rektum, otot puborektal dan sfingter ani. Rektum adalah organ sensitif
yang mengawali proses defekasi. Tekanan pada dinding rektum akan merangsang
sistem saraf intrinsik rektum dan menyebabkan relaksasi sfi ngter ani interna,
yang dirasakan sebagai keinginan untuk defekasi. Sfingter ani eksterna kemudian
menjadi relaksasi dan feses dikeluarkan mengikuti peristaltik kolon melalui
anus. Bila relaksasi sfingter ani interna tidak cukup kuat, maka sfingter ani
eksterna akan berkontraksi secara reflek, selanjutnya sesuai dengan kemauan.
Otot puborektal akan membantu sfingter ani eksterna sehingga anus mengalami
konstriksi. Bila konstriksi sfingter eksterna berlangsung cukup lama, refleks
sfingter internus akan menghilang, sehingga keinginan defekasi juga menghilang.
Pada
konstipasi, feses yang terkumpul di rektum dalam waktu lama akan menyebabkan
dilatasi rektum. Akibatnya mengurangi aktivitas peristaltik yang mendorong
feses ke luar sehingga menyebabkan retensi feses yang lebih banyak. Peningkatan volume
feses pada rektum menyebabkan kemampuan
sensorik rektum berkurang sehingga retensi feses makin mudah terjadi.
C.
Sasaran
Terapi Konstipasi
Sasaran
terapi
konstipasi yaitu: (1) massa
feses, (2) refleks
peristaltik dinding kolon. Tujuan
terapinya adalah
menghilangkan gejala, artinya
pasien tidak lagi mengalami
konstipasi atau proses
defekasi/ BAB (meliputi frekuensi dan konsistensi feses) kembali
normal.
D.
Sasaran
Terapi Konstipasi
Strategi
terapi dapat menggunakan terapi farmakologis
maupun non-farmakologis. Terapi
non-farmakologis digunakan
untuk meningkatkan frekuensi
BAB pada pasien
konstipasi, yaitu dengan menambah asupan serat sebanyak 10-12
gram per hari dan meningkatkan volume cairan
yang diminum, serta
meningkatkan aktivitas fisik/
olahraga. Sumber makanan yang
kaya akan serat, antara lain: sayuran, buah,
dan gandum. Serat dapat menambah ‘volume’ feses (karena dalam saluran pencernaan manusia ia
tidak dicerna), mengurangi penyerapan air dari feses, dan membantu mempercepat
feses melewati usus sehingga frekuensi defekasi/ BAB meningkat.
Sedangkan
terapi farmakologis dengan obat laksatif/ pencahar digunakan untuk meningkatkan
frekuensi BAB dan untuk mengurangi konsistensi feses yang kering dan
keras. Secara umum,
mekanisme kerja obat
pencahar meliputi pengurangan
absorpsi air dan elektrolit, meningkatkan osmolalitas dalam lumen, dan
meningkatkan tekanan hidrostatik dalam usus.
Obat pencahar ini mengubah kolon,
yang normalnya merupakan organ tempat
terjadinya penyerapan cairan
menjadi organ yang mensekresikan air dan elektrolit (Dipiro, et al, 2005). Obat pencahar sendiri dapat dibedakan menjadi 3 golongan, yaitu:
(1) pencahar yang melunakkan feses dalam waktu 1-3 hari (pencahar bulk-forming, docusates, dan laktulosa); (2)
pencahar yang mampu menghasilkan feses yang lunak atau semicair dalam waktu
6-12 jam (derivat difenilmetan dan derivat antrakuinon), serta (3) pencahar
yang mampu menghasilkan pengluaran feses yang cair dalam waktu 1-6 jam (saline
cathartics, minyak castor, larutan elektrolit polietilenglikol).
E.
Penatalaksanaan
Terapi Konstipasi
a. Pengobatan
non-farmakologis
1. Latihan
usus besar : melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang
disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita
dianjurkan mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk memanfaatkan
gerakan usus besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan,
sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan
ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk
BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
2. Diet
: peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia
lanjut. Data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat
mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam penyakit gastrointestinal
lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa
dan berat feses serta mempersingkat waktu transit di usus. untuk mendukung
manfaa serat ini, diharpkan cukup asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila
tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.
3. Olahraga
: cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi konstipasi
jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan
pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk memeperkuat otot-otot
dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni pada otot perut.
4. Cairan:
Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi. Kecuali ada
kontraindikasi, orang lanjut usia perlu diingatkan untuk minum sekurang
kurangnya 6-8 gelas sehari (1500 ml cairan perhari) untuk mencegah dehidrasi.
Asupan cairan dapat dicapai bila tersedia cairan/minuman yang dibutuhkan di
dekat pasien, demikian pula cairan yang berasal dari sup,sirup, dan es. Asupan
cairan perlu lebih banyak bagi mereka yang mengkonsumsi diuretik tetapi kondisi
jantungnya stabil.
5. Serat:
Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna menurunkan waktu transit
(transit time). Pada orang lanjut usia disarankan agar mengkonsumsi serat
skitar 6-10 gram per hari. Ada juga yang menyarankan agar mengkonsumsi serat
sebanyak 15-20 per hari. Serat berasal dari biji-bijian, sereal, beras merah,
buah, sayur, kacang-kacangan. Serat akan memfasilitasi gerakan usus dengan
meningkatkan masa tinja dan mengurangi waktu transit usus. Serat juga
menyediakan substrat untuk bakteri kolon, dengan produksi gas dan asam lemak
rantai pendek yang meningkatkan gumpalan tinja. Perlu diingat serat tidaklah
efektif tanpa cairan yang cukup, dan dikontraindikasikan pada pasien dengan
impaksi tinja (skibala) atau dilatasi kolon. Peningkatan jumlah serat dapat
menyebabkan gejala kembung, banyak gas, dan buang besar tidak teratur terutama
pada 2-3 minggu pertama, yang seringkali menimbulkan ketidakpatuhan obat.
b. Pengobatan
farmakologis
Jika
modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologis, dan
biasanya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat
pencahar :
1. Pencahar
pembentuk tinja (pencahar bulk/bulk laxative)
Pencahar
bulk merupakan 25% pencahar yang beredar di pasaran. Sediaan yang ada merupakan
bentuk serat alamiah non-wheat seperti pysilium dan isophagula husk, dan
senyawa sintetik seperti metilselulosa. Bulking agent sistetik dan serat
natural sama-sama efektif dalam meningkatkan frekuensi dan volume tinja. Obat
ini tidak menyebabkan malabsorbsi zat besi atau kalsium pada orang usia lanjut,
tidak seperti bran yang tidak diproses. Pencahar bulk terbukti menurunkan
konstipasi pada orang usia lanjut dan nyeri defekai pada hemoroid. Sama halnya
dengan serat, obat ini juga harus diimbangi dengan asupan cairan.
2. Pelembut
tinja
Docusate
seringkali direkomendasikan dan digunakan oleh orang lanjut usia sebagai
pencahar dan sebagai pelembut tinja. Docusate sodium bertindak
sebagaisurfaktan, menurunkan tegangan permukaan feses untuk membiarakan air
masuk dam memperlunak feses. Docusate sebenarnya tidak dapat menolong
konstipasi yang kronik, penggunaannya sebaiknya dibatasi pada situasi dimana
mangedan harus dicegah.
3. Pencahar
stimulan
Senna
merupakan obat yang aman digunakan oleh orang usia lanjut. Senna meningkatkan
peristaltik di kolon distal dan menstimulasi peristaltik diikuti dengan
evakuasi feses yang lunak. Pemberian 20 mg senna per hari selama 6 bulan oleh
pasien berusia lebih dari 80 tahun tidak menyebabkan kehilangan protein atau
elektrolit. Senna umumnya menginduksi evakuasi tinja 8-12 jam setelah
pemberian. Orang usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama yakni
sampai dengan 10 minggu sebelum mencapai kebiasaan defekasi yang teratur.
Pemberian sebelum tidur malam mengurangi risiko inkontininsia fekal malam hari
dan dosis juga harus ditritasi berdasarkan respon individu. Terapi dengan
Bisakodil supositoria memiliki absorbsi sistemik minimal dan sangat menolong
untuk mengatasi diskezia rectal pada usia lanjut. Sebaiknya diberikan segera setelah
makan pagi secara supositoria untuk mendapatka efek refleks gastrokolik.
Penggunaan rutin setiap hari dapat menyebabkan sensasi terbakar pada rectum,
jadi sebaiknya digunakan secara rutin, melainkan sekitar 3 kali seminggu.
4. Pencahar
hiperosmolar
Pencahar
hiperosmolar terdiri atas laktulosa disakarida dan sorbitol. Di dalam kolon
keduanya di metabolisme oleh bakteri kolon menjadi bentuk laktat, aetat, dan
asam dengan melepaskan karbondioksida. Asam organik dengan berat molekul rendah
ini secara osmotic meningkatkan cairan intraluminal dan menurunkan pH feses.
Laktulosa sebagai pencahar hiperosmolar terbukti memperpendek waktu transit
pada sejumlah kecil penghni panti rawat jompo yang mengalami konstipasi.
Laktulosa dan sorbitol juga sama-sama menunjukkan efektifitasnya dalam
mengobati konstipasi pada orang usia lanjut yang berobat jalan. Sorbitol
sebaiknya diberikan 20-30 selama empat kali sehari. Glikol polietelin merupakan
pencahar hiperosmolar yang potensial yang mengalirkan cairan ke lumen dan merupakan
zat pembersih usus yang efektif. Gliserin adalah pencahar hiperomolar yang
dugunakan hanya dalam bentuk supositoria.
5. Enema
Enema
merangsang evakuasi sebagai respon terhadap distensi kolon; hasil yang kurang
baik biasanya karena pemberian yang tidak memadai. Enema harus digunakan secara
hati-hati pada usia lanjut. Pasien usia lanjut yang mengalami tirah baring
mungkin membutuhkan enema secara berkala untuk mencegah skibala. Namun,
pemberian enema tertentu terlalu sering dapat mengakibatkan efek samping. Enema
yang berasal dari kran (tap water) merupakan tipe paling aman untuk penggunaan
rutin, karena tidak menghasilkan iritasi mukosa kolon. Enema yang berasal dari
air sabun (soap-suds) sebaiknya tidak diberikan pada orang usia lanjut.
F.
Evaluasi
Obat-Obat Konstipasi di Indonesia
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan
yang dapat diambil dari makalah ini, yaitu :
1. Feses
yang terkumpul di rektum dalam waktu lama akan menyebabkan dilatasi rektum.
Akibatnya mengurangi aktivitas peristaltik yang mendorong feses ke luar
sehingga menyebabkan retensi feses yang
lebih banyak. Peningkatan volume feses
pada rektum menyebabkan kemampuan sensorik rektum berkurang sehingga
retensi feses makin mudah terjadi.
2. Sasaran terapi
konstipasi yaitu: (1) massa
feses, (2) refleks
peristaltik dinding kolon. Strategi
dan penatalksanaan terapi dapat menggunakan terapi farmakologis maupun
non-farmakologis.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan yaitu,
perbanyaklah referensi agar semakin banyak pengetahuan yang diperoleh tentang
konstipasi. Untuk mencegah sebelum terjadinya konstipasi jagalah pola hidup,
seperti makan makanan yang sehat dan olahraga teratur.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, A., dan
Sjamsudin, U. 1995 . Obat Lokal. Dalam :
Ganiswara, S.G. Farmakologi dan Terapi.
Edisi Keempat. UI-Press. Jakarta.
Buller MA, Ginkel VR, Benninga MA. 2002. “Constipation
in children, pathophysiology and clinical approach”. Prosiding KONIKA ke-12,
Bali.
Dianne, Y. J., Sofni, S., Yorfa, S., 2013. “Konstipasi
pada Anak”. CDK, Vol. 40, No.1. Universitas
Andalas. Sumatera Barat.
Dipiro, J. T., Robert, L.T., Gary, C., Barbara, G.W.,
Michael, P. 2005. Pharmacotherapy :A
Pathophysiologic Approach Seventh Edition. The McGraw-Hill Companies. New
York.
Endyarni B dan Badriul H S. 2004. “Konstipasi
Fungsional”. Sari Pediatri. Vol. 6 No. 2.
Firmansyah A.1994. “Konstipasi Pada Anak”. Sari Pediatri. Vol. 2 No.5.
Gerai, 2013. “Gastroenterologi : Kenali Jenis
Konstipasi dan Tentukan Terapi”. Farmacia.
McQuaid K.R. 2007. Gastrointestinal disorders. In S.J.McPhee,
M.A.Papadakis, L.M.Tierney: Current medical diagnosis & treatment 2008.
47th ed. New York: McGraw-Hill.
Santosa, Nindya. dkk. 2002. Farmakologi Jilid II (untuk kelas II) Cetakan Ketiga. Jakarta
wihh nice info, saya pengunjung setia web anda
BalasHapuskunjung balik, di web kami banyak penawaran dan tips tentang kesehatan
Ada artikel menarik tentang obat tradisional yang mampu menyembuhkan penyakit berat, cek yuk
http://goldengamat.biz/obat-tradisional-meningioma/