Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 25 Januari 2014

“KONSTIPASI”



BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Konstipasi adalah gejala defekasi yang tidak memuaskan,yang ditandai oleh buang air besar kurang dari 3 kali dalam 1 minggu atau kesulitan dalam evakuasi feses akibat feses yang keras. Konstipasi dipicu oleh berbagai faktor risiko, di antaranya aktivitas fisik kurang, asupan makanan yang kurang, diet rendah serat, obat-obatan, depresi, dan riwayat pelecehan seksual. Beberapa kondisi klinis juga bisa menghadirkan konstipasi, misalnya penyakit saraf seperti Parkinson dan stroke, penyakit metabolik: diabetes mellitus, hiperkalsemia, dan hipotiroid, penyumbatan semu usus, atau secara mekanik memang ditemukan tumor, penyumbatan usus, dan divertickulosis (Gerai, 2013).
Konstipasi sendiri sebenarnya bukanlah suatu penyakit, tetapi lebih tepat  disebut gejala yang dapat menandai adanya suatu penyakit atau masalah dalam tubuh, misalnya terjadi gangguan pada saluran pencernaan (irritable bowel syndrome), gangguan metabolisme (diabetes), maupun gangguan pada sistem endokrin (hipertiroidisme) (Dipiro, et al, 2005).
Konstipasi biasanya menyebabkan anoreksia dan kurangnya kenaikan berat badan, yang akan membaik jika konstipasinya diobati. Berbagai posisi tubuh, menyilangkan kedua kaki, menarik kaki kanan dan kiri secara bergantian ke depan dan belakang (seperti berdansa) merupakan manuver menahan feses dan kadang kala perilaku tersebut menyerupai kejang. Selain itu, jika feses berada lama di rektum, lebih banyak bakteri berkolonisasi di perineum sehingga akan meningkatkan risiko infeksi saluaran kemih (Dianne, dkk., 2013).
Karena alasan tersebut, maka konstipasi tidak boleh dianggap sebagai hal yang biasa dan tidak diberikan terapi. Sehingga, dibutuhkan suatu pedoman penatalaksanaan untuk terapi konstipasi, agar obat-obat kosntipasi dapat digunakan secara rasional.

B.     Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut :
1.      Jelaskan patofisiologi dari konstipasi !
2.      Jelaskan bagaimana sasaran, strategi dan penatalaksanaan terapi konstipasi !
3.      Jelaskan evaluasi obat-obat konstipasi yang beredar di Indonesia !

C.    Tujuan

Tujuan yang dapat diperoleh dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari konstipasi.
2.      Untuk mengetahui sasaran, strategi dan penatalaksanaan terapi konstipasi.
3.      Untuk mengetahui cara mengeevaluasi obat-obat konstipasi yang beredar di Indonesia.




BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Konstipasi merupakan keadaan yang sering ditemukan pada anak dan dapat menimbulkan masalah sosial maupun psikologis. Konstipasi lebih merupakan suatu gejala klinis dibanding sebagai suatu penyakit tersendiri. Kata constipation atau konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang mempunyai arti ‘bergerombol bersama, yaitu suatu istilah yang berarti menyusun ke dalam menjadi bentuk padat. Baru pada abad 16 istilah konstipasi digunakan pada keadaan ditemukan sejumlah tinja terakumulasi di dalam kolon yang berdilatasi. Berdasarkan patofisiologis, konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi konstipasi akibat kelainan struktural dan konstipasi fungsional. Konstipasi akibat kelainan struktural terjadi melalui proses obstruksi aliran tinja, sedangkan konstipasi fungsional berhubungan dengan gangguan motilitas kolon atau anorektal (Endyarni dan Badriul, 2004).
Konstipasi merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami  kesulitan defekasi  akibat  tinja yang mengeras,  otot polos usus yang lumpuh maupun gangguan refleks defekasi (Arif dan Sjamsudin, 1995) yang mengakibatkan frekuensi maupun proses pengeluaran feses terganggu. Frekuensi defekasi/ buang air besar (BAB) yang normal adalah 3 sampai 12 kali dalam seminggu.  Namun,  seseorang  baru  dapat  dikatakan  konstipasi  jika  ia mengalami frekuensi BAB kurang dari 3 kali dalam seminggu, disertai konsistensi feses yang keras,  kesulitan mengeluarkan feses (akibat ukuran feses besar-besar maupun akibat  terjadinya gangguan refleks defekasi),  serta  mengalami  sensasi rasa tidak puas pada saat BAB (McQuaid, 2007).
Anamnesis merupakan hal penting dalam menentukan adanya konstipasi pada anak. Dalam melakukan anamnesis terdapat tiga hal penting yang perlu diketahui, yaitu (1)  pola buang air besar seperti  frekuensi b.a.b, ukuran tinja, konsistensi tinja, dan nyeri saat b.a.b, (2) keadaan anak secara umum, dan (3) riwayat konstipasi, seperti saat mekonium pertama muncul, saat penerapan latihan berhajat, dan lainnya (Buller et al, 2002).
Kebanyakan individu sedikitnya melakukan defekasi sekali dalam sehari. Rentang normal, rentang normal, adalah tiga kali defekasi dalam sehari atau kurang dalam seminggu. Pada individu yang mengalami konstipasi, defekasi terjadi secara tidak teratur, disertai feses yang keras. Beberapa orang yang mengalami konstipasi kadang-kadang menghasilkan feses cair sebagai akibat dari iritasi yang disebabkan oleh massa feses yang keras dan kering dalam kolon. Feses ini mengandung banyak sekali mukus, yang disekresi oleh kelenjar dalam kolon dalam responsnya terhadap massa pengiritasi ini (Firmansyah, 1994).
Konstipasi dapat disebabkan oleh obat-obatan tertentu (tranquilizer, antikolinergis, antihipertensif, opioid, antasida, dengan aluminium; ganggauan rektal/anal (hemoroid, fisura); obstruksi (kanker usus); kondisi metabolis, neurologis, dan neuromuskuler (diabetes militus, parkinsonisme, sklerosis multipel); kondisi endokrin (hipotiroidisme, feokromositoma); keracunan timah; dan gangguan jaringan penyambung (skleroderma, lupus erimatosus). Konstipasi adalah masalah utama pada pasien yang menggunakan opioid untuk mengatasi nyeri kronis. Penyakit kolon yang biasanya dihubungkan dengan konstipasi adalah sindrom usus peka dan penyakit divertikuler.
Faktor penyebab lainnya mencakup kelemahan, imobilitas, kecacatan, keletihan, dan ketidakmampuan untuk meningkatkan tekanan intra-abdomen untuk mempermudah pasase feses, seperti yang terjadi pada emfisema. Banyak orang yang mengalami konstipasi karena mereka tidak menyempatkan diri untuk defekasi. Di Amerika Serikat, konstipasi jg tampak sebagai akibat kebiasaan diet (konsumsi rendah terhadam masukan serat dan kurangnya asupan cairan), kurang latihan teratur, dan stres (Santosa dkk, 2002).



BAB III

PEMBAHASAN

A.  Definisi Konstipasi
Kata constipation atau konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang mempunyai arti ‘bergerombol bersama’, yaitu suatu istilah yang berarti menyusun ke dalam menjadi bentuk padat. Baru pada abad 16 istilah konstipasi digunakan pada keadaan ditemukan sejumlah tinja terakumulasi di dalam kolon yang berdilatasi.
Konstipasi merupakan keadaan yang sering ditemukan pada anak dan dapat menimbulkan masalah sosial maupun psikologis. Konstipasi lebih merupakan suatu gejala klinis dibanding sebagai suatu penyakit tersendiri. Salah satu kendala dalam mempelajari  konstipasi adalah sulitnya menentukan definisi kelainan ini. Terdapat tiga aspek penting untuk menentukan adanya konstipasi, yaitu konsistensi tinja, frekuensi defekasi dan temuan pada feses (Endyarni, 2004).
B.  Patofisiologi Konstipasi
Proses normal defekasi diawali dengan teregangnya dinding rektum. Regangan tersebut menimbulkan refleks relaksasi dari sfingter anus interna yang akan direspon dengan kontraksi sfingter anus eksterna. Saat proses defekasi, sfingter anus eksterna dan muskulus puborektalis mengadakan relaksasi sedemikian rupa sehingga sudut antara kanal anus dan rektum terbuka, membentuk jalan lurus bagi tinja untuk keluar melalui anus. Kemudian dengan mengedan, yaitu meningkatnya tekanan abdomen dan kontraksi rektum, akan mendorong tinja keluar melalui anus. Pada posisi jongkok, sudut antara anus dan rektum ini akan menjadi lurus akibat fleksi maksimal dari paha. Hal ini akan memudahkan proses defekasi dan tidak memerlukan tenaga mengedan yang kuat. Pada posisi duduk, sudut antara anus dan rektum ini menjadi tidak cukup lurus sehingga membutuhkan tenaga mengedan yang lebih kuat. Akibat semakin kuat tenaga mengedan yang dibutuhkan, lama-kelamaan dapat menimbulkan kerusakan pada daerah rektoanal yang dapat menimbulkan konstipasi dan hemorrhoid.
Proses defekasi yang normal memerlukan keadaan anatomi dan persyarafan yang normal dari rektum, otot puborektal dan sfingter ani. Rektum adalah organ sensitif yang mengawali proses defekasi. Tekanan pada dinding rektum akan merangsang sistem saraf intrinsik rektum dan menyebabkan relaksasi sfi ngter ani interna, yang dirasakan sebagai keinginan untuk defekasi. Sfingter ani eksterna kemudian menjadi relaksasi dan feses dikeluarkan mengikuti peristaltik kolon melalui anus. Bila relaksasi sfingter ani interna tidak cukup kuat, maka sfingter ani eksterna akan berkontraksi secara reflek, selanjutnya sesuai dengan kemauan. Otot puborektal akan membantu sfingter ani eksterna sehingga anus mengalami konstriksi. Bila konstriksi sfingter eksterna berlangsung cukup lama, refleks sfingter internus akan menghilang, sehingga keinginan defekasi juga menghilang.
Pada konstipasi, feses yang terkumpul di rektum dalam waktu lama akan menyebabkan dilatasi rektum. Akibatnya mengurangi aktivitas peristaltik yang mendorong feses ke luar sehingga menyebabkan retensi feses  yang lebih banyak. Peningkatan volume feses  pada rektum menyebabkan kemampuan sensorik rektum berkurang sehingga retensi feses makin mudah terjadi.
C.  Sasaran Terapi Konstipasi
Sasaran  terapi  konstipasi yaitu:  (1)  massa  feses,  (2)  refleks  peristaltik dinding  kolon.  Tujuan  terapinya adalah  menghilangkan  gejala,  artinya  pasien tidak lagi mengalami  konstipasi  atau proses defekasi/  BAB (meliputi  frekuensi dan konsistensi feses) kembali normal.
D.  Sasaran Terapi Konstipasi
Strategi terapi dapat menggunakan terapi farmakologis  maupun  non-farmakologis.  Terapi  non-farmakologis  digunakan untuk  meningkatkan  frekuensi  BAB  pada  pasien  konstipasi,  yaitu  dengan menambah asupan serat sebanyak 10-12 gram per hari dan meningkatkan volume cairan  yang  diminum,  serta  meningkatkan  aktivitas  fisik/  olahraga.  Sumber makanan yang kaya akan serat,  antara  lain: sayuran,  buah,  dan gandum.  Serat dapat  menambah ‘volume’ feses  (karena dalam saluran pencernaan manusia ia tidak dicerna), mengurangi penyerapan air dari feses, dan membantu mempercepat feses melewati usus sehingga frekuensi defekasi/ BAB meningkat.
Sedangkan terapi farmakologis dengan obat laksatif/ pencahar digunakan untuk meningkatkan frekuensi BAB dan untuk mengurangi konsistensi feses yang kering  dan  keras.  Secara  umum,  mekanisme  kerja  obat  pencahar  meliputi pengurangan absorpsi air dan elektrolit, meningkatkan osmolalitas dalam lumen, dan meningkatkan tekanan hidrostatik dalam usus.  Obat pencahar ini mengubah kolon,  yang normalnya merupakan organ tempat  terjadinya  penyerapan cairan menjadi organ yang mensekresikan air dan elektrolit (Dipiro, et  al, 2005). Obat pencahar sendiri  dapat dibedakan menjadi 3 golongan, yaitu: (1) pencahar yang melunakkan feses dalam waktu 1-3 hari (pencahar  bulk-forming,  docusates, dan laktulosa); (2) pencahar yang mampu menghasilkan feses yang lunak atau semicair dalam waktu 6-12 jam (derivat difenilmetan dan derivat antrakuinon), serta (3) pencahar yang mampu menghasilkan pengluaran feses yang cair dalam waktu 1-6 jam (saline cathartics, minyak castor, larutan elektrolit polietilenglikol).
E.  Penatalaksanaan Terapi Konstipasi
a.    Pengobatan non-farmakologis
1.    Latihan usus besar : melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
2.    Diet : peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia lanjut. Data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat waktu transit di usus. untuk mendukung manfaa serat ini, diharpkan cukup asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.
3.    Olahraga : cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi konstipasi jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk memeperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni pada otot perut.
4.    Cairan: Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi. Kecuali ada kontraindikasi, orang lanjut usia perlu diingatkan untuk minum sekurang kurangnya 6-8 gelas sehari (1500 ml cairan perhari) untuk mencegah dehidrasi. Asupan cairan dapat dicapai bila tersedia cairan/minuman yang dibutuhkan di dekat pasien, demikian pula cairan yang berasal dari sup,sirup, dan es. Asupan cairan perlu lebih banyak bagi mereka yang mengkonsumsi diuretik tetapi kondisi jantungnya stabil.
5.    Serat: Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna menurunkan waktu transit (transit time). Pada orang lanjut usia disarankan agar mengkonsumsi serat skitar 6-10 gram per hari. Ada juga yang menyarankan agar mengkonsumsi serat sebanyak 15-20 per hari. Serat berasal dari biji-bijian, sereal, beras merah, buah, sayur, kacang-kacangan. Serat akan memfasilitasi gerakan usus dengan meningkatkan masa tinja dan mengurangi waktu transit usus. Serat juga menyediakan substrat untuk bakteri kolon, dengan produksi gas dan asam lemak rantai pendek yang meningkatkan gumpalan tinja. Perlu diingat serat tidaklah efektif tanpa cairan yang cukup, dan dikontraindikasikan pada pasien dengan impaksi tinja (skibala) atau dilatasi kolon. Peningkatan jumlah serat dapat menyebabkan gejala kembung, banyak gas, dan buang besar tidak teratur terutama pada 2-3 minggu pertama, yang seringkali menimbulkan ketidakpatuhan obat.
b.    Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologis, dan biasanya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar :
1.    Pencahar pembentuk tinja (pencahar bulk/bulk laxative)
Pencahar bulk merupakan 25% pencahar yang beredar di pasaran. Sediaan yang ada merupakan bentuk serat alamiah non-wheat seperti pysilium dan isophagula husk, dan senyawa sintetik seperti metilselulosa. Bulking agent sistetik dan serat natural sama-sama efektif dalam meningkatkan frekuensi dan volume tinja. Obat ini tidak menyebabkan malabsorbsi zat besi atau kalsium pada orang usia lanjut, tidak seperti bran yang tidak diproses. Pencahar bulk terbukti menurunkan konstipasi pada orang usia lanjut dan nyeri defekai pada hemoroid. Sama halnya dengan serat, obat ini juga harus diimbangi dengan asupan cairan.
2.    Pelembut tinja
Docusate seringkali direkomendasikan dan digunakan oleh orang lanjut usia sebagai pencahar dan sebagai pelembut tinja. Docusate sodium bertindak sebagaisurfaktan, menurunkan tegangan permukaan feses untuk membiarakan air masuk dam memperlunak feses. Docusate sebenarnya tidak dapat menolong konstipasi yang kronik, penggunaannya sebaiknya dibatasi pada situasi dimana mangedan harus dicegah.
3.    Pencahar stimulan
Senna merupakan obat yang aman digunakan oleh orang usia lanjut. Senna meningkatkan peristaltik di kolon distal dan menstimulasi peristaltik diikuti dengan evakuasi feses yang lunak. Pemberian 20 mg senna per hari selama 6 bulan oleh pasien berusia lebih dari 80 tahun tidak menyebabkan kehilangan protein atau elektrolit. Senna umumnya menginduksi evakuasi tinja 8-12 jam setelah pemberian. Orang usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama yakni sampai dengan 10 minggu sebelum mencapai kebiasaan defekasi yang teratur. Pemberian sebelum tidur malam mengurangi risiko inkontininsia fekal malam hari dan dosis juga harus ditritasi berdasarkan respon individu. Terapi dengan Bisakodil supositoria memiliki absorbsi sistemik minimal dan sangat menolong untuk mengatasi diskezia rectal pada usia lanjut. Sebaiknya diberikan segera setelah makan pagi secara supositoria untuk mendapatka efek refleks gastrokolik. Penggunaan rutin setiap hari dapat menyebabkan sensasi terbakar pada rectum, jadi sebaiknya digunakan secara rutin, melainkan sekitar 3 kali seminggu.
4.    Pencahar hiperosmolar
Pencahar hiperosmolar terdiri atas laktulosa disakarida dan sorbitol. Di dalam kolon keduanya di metabolisme oleh bakteri kolon menjadi bentuk laktat, aetat, dan asam dengan melepaskan karbondioksida. Asam organik dengan berat molekul rendah ini secara osmotic meningkatkan cairan intraluminal dan menurunkan pH feses. Laktulosa sebagai pencahar hiperosmolar terbukti memperpendek waktu transit pada sejumlah kecil penghni panti rawat jompo yang mengalami konstipasi. Laktulosa dan sorbitol juga sama-sama menunjukkan efektifitasnya dalam mengobati konstipasi pada orang usia lanjut yang berobat jalan. Sorbitol sebaiknya diberikan 20-30 selama empat kali sehari. Glikol polietelin merupakan pencahar hiperosmolar yang potensial yang mengalirkan cairan ke lumen dan merupakan zat pembersih usus yang efektif. Gliserin adalah pencahar hiperomolar yang dugunakan hanya dalam bentuk supositoria.
5.    Enema
Enema merangsang evakuasi sebagai respon terhadap distensi kolon; hasil yang kurang baik biasanya karena pemberian yang tidak memadai. Enema harus digunakan secara hati-hati pada usia lanjut. Pasien usia lanjut yang mengalami tirah baring mungkin membutuhkan enema secara berkala untuk mencegah skibala. Namun, pemberian enema tertentu terlalu sering dapat mengakibatkan efek samping. Enema yang berasal dari kran (tap water) merupakan tipe paling aman untuk penggunaan rutin, karena tidak menghasilkan iritasi mukosa kolon. Enema yang berasal dari air sabun (soap-suds) sebaiknya tidak diberikan pada orang usia lanjut.
F.   Evaluasi Obat-Obat Konstipasi di Indonesia





BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini, yaitu :
1.      Feses yang terkumpul di rektum dalam waktu lama akan menyebabkan dilatasi rektum. Akibatnya mengurangi aktivitas peristaltik yang mendorong feses ke luar sehingga menyebabkan retensi feses  yang lebih banyak. Peningkatan volume feses  pada rektum menyebabkan kemampuan sensorik rektum berkurang sehingga retensi feses makin mudah terjadi.
2.      Sasaran  terapi  konstipasi yaitu:  (1)  massa  feses,  (2)  refleks  peristaltik dinding  kolon. Strategi dan penatalksanaan terapi dapat menggunakan terapi farmakologis  maupun  non-farmakologis.

B.     Saran

Saran yang dapat diberikan yaitu, perbanyaklah referensi agar semakin banyak pengetahuan yang diperoleh tentang konstipasi. Untuk mencegah sebelum terjadinya konstipasi jagalah pola hidup, seperti makan makanan yang sehat dan olahraga teratur.



DAFTAR PUSTAKA

Arif,  A., dan Sjamsudin, U. 1995 . Obat Lokal. Dalam : Ganiswara, S.G. Farmakologi  dan Terapi. Edisi Keempat. UI-Press. Jakarta.
Buller MA, Ginkel VR, Benninga MA. 2002. “Constipation in children, pathophysiology and clinical approach”. Prosiding KONIKA ke-12, Bali.
Dianne, Y. J., Sofni, S., Yorfa, S., 2013. “Konstipasi pada Anak”. CDK, Vol. 40, No.1. Universitas Andalas. Sumatera Barat.
Dipiro, J. T., Robert, L.T., Gary, C., Barbara, G.W., Michael, P. 2005. Pharmacotherapy :A Pathophysiologic Approach Seventh Edition. The McGraw-Hill Companies. New York.
Endyarni B dan Badriul H S. 2004. “Konstipasi Fungsional”. Sari Pediatri. Vol. 6 No. 2.
Firmansyah A.1994. “Konstipasi Pada Anak”. Sari Pediatri. Vol. 2 No.5.
Gerai, 2013. “Gastroenterologi : Kenali Jenis Konstipasi dan Tentukan Terapi”. Farmacia.
McQuaid K.R. 2007. Gastrointestinal disorders. In S.J.McPhee, M.A.Papadakis, L.M.Tierney: Current medical diagnosis & treatment 2008. 47th ed. New York: McGraw-Hill.
Santosa, Nindya. dkk. 2002. Farmakologi Jilid II (untuk kelas II) Cetakan Ketiga. Jakarta

1 komentar:

  1. wihh nice info, saya pengunjung setia web anda
    kunjung balik, di web kami banyak penawaran dan tips tentang kesehatan
    Ada artikel menarik tentang obat tradisional yang mampu menyembuhkan penyakit berat, cek yuk
    http://goldengamat.biz/obat-tradisional-meningioma/

    BalasHapus