BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam tiga
puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan penyakit) asma
terutama di negara-negara maju. Kenaikan prevalensi asma di Asia seperti
Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan juga mencolok. Kasus asma
meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun, baik
di negara berkembang maupun di negara maju. Beban global untuk penyakit ini
semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup,
produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya
kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian.
Asma
merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal ini
tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai
propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986
menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas)
bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma,
bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke-4 di Indonesia atau
sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar
13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Studi
pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuesioner International
Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan prevalensi
asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 % yang 64 %
diantaranya mempunyai gejala klasik.
Asma merupakan penyakit kronis saluran
pernapasan yang ditandai dengan peningkatan reaktivitas terhadap berbagai
stimulus dan sumbatan saluran napas yang bisa kembali spontan atau dengan
pengobatan yang sesuai.
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah dengan
meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup
normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Peran apoteker
dalam penanganan penyakit asma adalah mengatasi masalah terkait obat yang
mungkin timbul, memberikan informasi dan konseling, memotivasi pasien untuk
patuh dalam pengobatan serta membantu dalam pencatatan untuk pengobatan (Medication
Record).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu penyakit asma dan
bagaimana terapi/pengobatannya?
2.
Bagaimana pengobatan asma yang
dapat digunakan apoteker dalam menjalankan pelayanan kefarmasian?
C.
Tujuan
1.
Untuk meningkatkan pengetahuan tentang asma dan informasi
tentang terapi/pengobatan asma.
2.
Untuk mengetahui pengobatan asma
yang dapat digunakan apoteker dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di tempat
pelayanan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pelayanan
apotek pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat kepada pasien yang
mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan apotek yang semula hanya berfokus
pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan komprehensif yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Sebagai konsekuensi
perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan mengubah perilaku agar dapat melakukan interaksi lang sung
dengan pasien (Supardi dkk, 2011).
Asma
merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai oleh inflamasi,
peningkatan reaktivitas terhadap berbagai stimulus, dan sumbatan saluran napas
yang bisa kembali spontan atau dengan pengobatan yang sesuai. Meskipun
pengobatan efektif telah dilakukan untuk menurunkan morbiditas karena asma,
keefektifan hanya tercapai jika penggunaan obat telah sesuai. Seiring dengan
perlunya mengetahui hubungan antara terapi yang baik dan keefektifan terapetik,
baik peneliti maupun tenaga kesehatan harus memahami faktor-faktor yang berhubungan
dengan kepatuhan pasien (Depkes RI, 2007).
Kepatuhan
dalam menggunakan suatu obat didefinisikan sebagai sikap menjaga dan mengikuti
dosis serta saran atau anjuran dari tenaga kesehatan terhadap penyakit yang
diderita. Kepatuhan dalam mengikuti suatu terapi menunjukkan sebuah pemahaman
tentang bagaimana obat digunakan (Genaro, 2000).
Disamping
itu, penggunaan obat tersebut juga memenuhi syarat-syarat rasionalitas.
Penggunaan obat yang rasional didefinisikan sebagai tepat golongan, tepat obat,
sesuai antara keluhan dengan indikasi obat, tepat dosis, tepat lama pengobatan,
dan jika sakit berlanjut harus menghubungi tenaga kesehatan serta waspada pada
efek samping obat. Sehingga untuk mencapai efek terapi yang diinginkan maka
diperlukan adanya kepatuhan yang dapat diukur dari dosis, cara penggunaan,
interval, dan lama penggunaan obat (Suryaningroma dkk,
2009).
Apoteker
dalam hal ini dapat membantu penanganan penyakit asma dengan mengarahkan pasien
yang diduga menderita asma untuk memeriksakan dirinya, memotivasi pasien untuk
patuh dalam pengobatan, memberikan informasi dan konseling serta membantu dalam
pencatatan untuk pelaporan. Oleh karena itu, untuk memberikan bekal pengetahuan
bagi apoteker sebagai sumber informasi terutama untuk masalah terkait dengan
obat asma, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik juga merasa perlu untuk
membuat buku saku Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma (Depkes RI, 2007).
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Asma
a.
Definisi
Asma
merupakan suatu penyakit kronis yang paling umum yang terjadi di seluruh dunia
dan sedang meningkat pada anak-anak serta mungkin juga pada orang dewasa. Asma
dicirikan oleh adanya obstruksi saluran napas yang reversible, inflamasi jalan
napas, dan saluran napas yang hiperesponsif terhadap rangsangan.
Asma didefinisikan
sebagai penyakit inflamasi kronik pada saluran pernapasan dimana banyak sel dan
komponen seluler yang berperan, khususnya sel mast, eusinofil, sel Limfosit T,
neutrofil dan sel epithel. Pada kebanyakan pasien rentan, inflamasi menyebabkan
episode berulang dari bengek, sesak nafas, sempit dada dan batuk khususnya pada
malam atau dipagu hari. kejadian ini biasanya berhubungan dengan obstruksi
jalan udara yang sering reversibel baik secara spontan atau setelah pengobatan.
b.
Epidemiologi
Dalam
30 tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi asma. Kenaikan prevalensi asma
di Asia, seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan, juga mencolok.
Di Indonesia, penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan
kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun
1995 menunjukkan, prevalensi asma masih 2,1%, yang kemudian meningkat pada
tahun 2003 menjadi 5,2%. Kenaikan ini tentu saja memerlukan upaya pencegahan
agar prevalensi asma tetap rendah, tidak semakin tinggi. Depkes memprediksi
jumlah penderita penyakit asma di Indonesia terus meningkat, dari hanya 5% pada
tahun 1996, pada tahun 2005 dapat mencapai 15%.
c.
Etiologi
Ada
beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya
serangan asma bronkhial.
a)
Faktor predisposisi
·
Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat
alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas.
Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga
menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat
mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus.
Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
b)
Faktor presipitasi
·
Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3
jenis, yaitu :
1.
Inhalan, yang masuk melalui
saluran pernapasan. ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri
dan polusi
2.
Ingestan, yang masuk melalui
mulut. ex: makanan dan obat-obatan.
3.
Kontaktan, yang masuk melalui
kontak dengan kulit. ex: perhiasan, logam dan jam tangan
·
Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang
dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan
musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan
dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
·
Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi
pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang
sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita
asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka
gejala asmanya belum bisa diobati.
·
Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan
langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana
dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri
tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur
atau cuti.
·
Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar
penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau
aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai
aktifitas tersebut.
d.
Gejala
Gejala
asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa pengobatan.
Gejala awal berupa :
·
batuk terutama pada
malam atau dini hari
·
sesak napas
·
napas berbunyi (mengi)
yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya
·
rasa berat di dada
·
dahak sulit keluar.
Gejala
yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang termasuk
gejala yang berat adalah:
·
Serangan batuk yang
hebat
·
Sesak napas yang berat
dan tersengal-sengal
·
Sianosis (kulit
kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)
·
Sulit tidur dan posisi
tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk
·
Kesadaran menurun
e.
Patofisiologi
Patofisiologi
asma melibatkan hipersensitivitas pada jalan nafas setelah terpapar satu atau
lebih rangsangan iritan. Stimulan yang memicu reaksi asmatik antara lain yaitu
infeksi virus, debu, serbuk sari, bulu binatang, terpapar dingin dan refluks
salurang cerna. Mediator inflamasi utama pada rekasi asmatik yaitu eusinofil
yang berkontrkasi melepaskan zat kimia yang menstimulasi degranulasi sel mast
dan meanrik sel darah putih lainnya basofil dan netrofil, menstimulasi produksi
mukus, meningkatkan pembengkakan edema jaringan.
Suatu serangan asthma timbul karena
seorang yang atopi terpapar dengan alergen yang masuk kedalam tubuh melalui
saluran nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap makrofag yang bekerja
sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen diproses dalan sel APC,
alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal kepada sel
B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi menjadi sel
plasma dan membentuk imunoglobulin E (IgE).
IgE yang terbentuk akan diikat oleh
mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila
proses ini terjadai pada seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi atau
baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau
lebih dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang
sudah ada dalam permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan
influk Ca++ kedalam sel dan perubahan didalam sel yang menurunkan
kadar cAMP.
Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan
degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan menyebabkan dilepaskanya
mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow releasing suptance of
anaphylaksis (SRS-A), eosinophilic chomotetik factor of anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akan menyebabakan timbulnya
tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otot-otot polos baik saluran nafas yang
besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan
permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah semakin menyempitnya
saluran nafas, peningkatansekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi
mukus. Tiga reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi
ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas
ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis
pada tahap yangsangat lanjut
f.
Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan
etiologi, derajat berat ringannya dan gambaran dari obstruksi saluran nafas.
v Ditinjau dari segi etiologi, asma dibedakan menjadi :
Ø Asma Ekstrinsik, yang dibagi menjadi :
·
Asma Ekstrinsik Atopik
Penyebabnya adalah rangsangan alergen
eksternal spesifik dan dapat diperlihatkan dengan reaksi kulit tipe 1. Gejala
klinis dan keluhan cenderung timbul pada awal kehidupan, 85 % kasus terjadi
sebelum usia 30 tahun. Sebagian besar asma tipe ini mengalami perubahan dengan
tiba-tiba pada waktu puber, dengan serangan asma yang berbeda-beda pula.
Prognosis tergantung pada serangan pertama yaitu berat ringannya gejala yang
timbul. Jika serangan pertama pada usia muda disertai gejala yang berat, maka
prognosisnya lebih jelek. Didalam darah dijumpai meningkatnya kadar IgE
spesifik, dan pada riwayat keluarga didapatkan keluarga yang menderita asma.
·
Asma Ekstrinsik Non Atopik
Sifat
dari asma ini adalah serangan asma timbul karena paparan dengan bermacam
alergen spesifik, seringkali terjadi pada saat melakukan pekerjaan atau timbul
setelah mengalami paparan dengan alergen yang berlebihan. Tes kulit memberi
reaksi tipe segera, tipe lambat ataupun keduanya. Dalam serum didapatkan IgE
dan IgG yang spesifik. Timbulnya gejala cenderung pada akhir masa kehidupan,
yang disebabkan karena sekali tersensitisasi, maka respon asma dapat dicetuskan
oleh berbagai macam rangsangan non imunilogik seperti emosi, infeksi, kelelahan
dan faktor sikardian dari siklus biologis.
Ø Asma Kriptogenik, yang dibagi menjadi
·
Asma Intrinsik
Asma
intrinsik tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari alergen. Asma jenis
ini disebabkan oleh stres, infeksi, dan kondisi lingkungan seperti cuaca,
kelembapan dan suhu tubuh. Asma intrinsik biasanya berhubungan dengan menurunnya
kondisi ketahanan tubuh, terutama pada mereka yang memiliki riwayat kesehatan
paru-paru yang kurang baik, misalnya karena bronkitis dan radang paru-paru
(pneumonia). Penderita diabetes mellitus golongan lansia juga mudah terkena
asma intrinsik. Penderita asma jenis ini kebanyakan berusia di atas 30 tahun
·
Asma Idiopatik
Asma
jenis ini, alergen pencetusnya sukar ditentukan, tidak ada alergen ekstrinsik
sebagai penyebab, dan tes kulit memberikan hasil negatif. Merupakan kelompok
yang heterogen, respon untuk terjadi asma dicetuskan oleh penyebab dan melalui
mekanisme yang berbeda-beda. Sering ditemukan pada penderita dewasa, dimulai
pada umur diatas 30 tahun dan disebut late onset asthma. Serangan sesak pada
tipe ini dapat berlangsung lama dan seringkali menimbulkan kematian bila
pengobatan tanpa disertai kortikosteroid. Perubahan patologi yang terjadi sama
dengan asma ekstrinsik, namun tidak dapat dibuktikan keterlibatan IgE. Kadar
IgE serum dalam batas normal, tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan asma ekstrinsik.
v Berdasarkan berat penyakit
Klasifikasi asma berdasarkan berat
penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka
panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.
Derajat asma
|
Gejala
|
Fungsi Paru
|
Intermiten
|
Siang hari
< 2 kali per minggu
Malam hari
< 2 kali per bulan
Serangan
singkat
Tidak ada
gejala antar serangan
Intensitas
serangan bervariasi
|
Variabilitas
APE < 20%
VEP1 >
80% nilai prediksi
APE >
80% nilai terbaik
|
Persisten
Ringan
|
Siang hari
> 2 kali per minggu, tetapi < 1 kali per hari
Malam hari
> 2 kali per bulan
Serangan
dapat mempengaruhi aktifitas
|
Variabilitas
APE 20 - 30%
VEP1 >
80% nilai prediksi
APE >
80% nilai terbaik
|
Persisten
Sedang
|
Siang hari
ada gejala
Malam hari
> 1 kali per minggu
Serangan
mempengaruhi aktifitas
Serangan
> 2 kali per minggu
Serangan
berlangsung berhari-hari
Sehari-hari
menggunakan inhalasi β2-agonis short acting
|
Variabilitas
APE > 30%
VEP1
60-80% nilai prediksi
APE 60-80%
nilai terbaik
|
Persisten
Berat
|
Siang hari
terus menerus ada gejala
Setiap
malam hari sering timbul gejala
Aktifitas
fisik terbatas
Sering
timbul serangan
|
Variabilitas
APE > 30%
VEP1 <
60% nilai prediksi
APE <
60% nilai terbaik
|
v Ditinjau Dari Gejala Klinis
·
Serangan asma ringan : dengan
gejala batuk, mengi dan kadang-kadang sesak, Sa O2 ³ 95% udara ruangan, PEFR
lebih dari 200 liter per menit, FEV1 lebih dari 2 liter, sesak nafas dapat
dikontrol dengan bronkodilator dan faktor pencetus dapat dikurangi, dan
penderita tidak terganggu melakukan aktivitas normal sehari-hari.
·
Serangan asma sedang : dengan
gejala batuk, mengi dan sesak nafas walaupun timbulnya periodik, retraksi
interkostal dan suprasternal, SaO2 92-95% udara ruangan, PEFR antara 80-200
liter per menit, FEV1 antara 1-2 liter, sesak nafas kadang mengganggu aktivitas
normal atau kehidupan sehari-hari.
·
Serangan asma berat : dengan
gejala sesak nafas telah mengganggu aktivitas sehari-hari secara serius,
disertai kesulitan untuk berbicara dan atau kesulitan untuk makan, bahkan dapat
terjadi serangan asma yang mengancan jiwa yang dikenal dengan status asmatikus.
Asma berat bila SaO2 £ 91%, PEFR 80 liter per menit, FEV1 0,75 liter dan
terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas berat seperti pernafasan cuping
hidung, retraksi interkostal dan suprasternal, pulsus paradoksus ³ 20 mmHg,
berkurang atau hilangnya suara nafas dan mengi ekspirasi yang jelas.
g.
Diagnosa
Diagnosis
asma berdasarkan gejala yang bersifat episodik, pemeriksaan fisiknya dijumpai
napas menjadi cepat dan dangkal dan terdengar bunyi mengi pada pemeriksaan dada
(pada serangan sangat berat biasanya tidak lagi terdengar mengi, karena pasien
sudah lelah untuk bernapas). Dan yang cukup penting adalah pemeriksaan fungsi
paru, yang dapat diperiksa dengan spirometri atau peak expiratory flow meter.
Asma didiagnosis menggunakan spirometri yaitu alat yang mengukur atau
mengidentifikasi penurunan kapasitas vital dan penurunan laju ekspirasi puncak
(maksimum). Selama serangan asmatik, volume ekspirasi maksimum dan laju
maksimum ekspirasi menurun.
Macam-macam PEF meter
Individu
yang mengalami asma biasanya memperlihatkan pola diunal dengan hasil peak
flowmeter lebih buruk secara bermakna pada jam-jam awal setelah tengah malam
dibandingkan dengan siang hari menjelang sore. Saturasi oksigen diukur untuk
mengetahui bagaimana darah teroksigenasi dengan baik. Teknik ini dilakukan dengan
menempatkan sensor dijari. Informasi diperoleh dengan melihat warna darah yang
mengalir. Hemoglobin yang tidak tersaturasi berwarna lebih gelap dibanding yang
tersaturasi. Analisis gas darah mungkim memperlihatkan penurunan konsentrasi
oksigen arteri.
h.
Komplikasi
Status
asmatikus adalah keadaan spasme bronkiolus berkepanjangan yang mengancam jiwa
yang tidak dapat dipulihkan dengan pengobatan dapat terjadi pada beberapa
individu. Pada kasus ini, kerja pernapasan sangat menignkat. Apabila kerja
meningkat, kebutuhan oksigen juga meningkat. Karena individu yang mengalami
serangan asma tidak dapat memenuhi kebuthan oksigen normalnya, individu semakin
tidak sanggup memenuhi kebutuhan oksigen yang sangat tinggi yang dibutuhkan
untuk berinspirasi dan berekspirasi melawan spasme bronkioulus, pembengkakan
bronkiolus dan mukus yang kental. Situasi ini dapat menyebabkan pneumotoraks
akibat besarnya tekanan untuk melakukan ventilasi. Apabila individu kelelahan,
dapat terjadi asidosis respiratorik, gagal dapas dan kematian.
B.
Penatalaksanaan Asma
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah
meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup
normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan
penatalaksanaan asma :
1.
Menghilangkan dan mengendalikan
gejala asma
2.
Mencegah eksaserbasi akut
3.
Meningkatkan dan mempertahankan
faal paru seoptimal mungkin
4.
Mengupayakan aktiviti normal termasuk
exercise
5.
Menghindari efek samping obat
6.
Mencegah terjadinya keterbatasan
aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7.
Mencegah kematian karena asma
a.
Terapi nonfarmakologi
1)
Edukasi pasien
Edukasi pasien dan keluarga, untuk
menjadi mitra dokter dalam penatalaksanaan asma. Edukasi kepada pasien/keluarga
bertujuan untuk :
-
meningkatkan pemahaman (mengenai
penyakit asma secara umum dan pola penyakit asma sendiri)
-
meningkatkan keterampilan
(kemampuan dalam penanganan asma sendiri/asma mandiri)
-
meningkatkan kepuasan
-
meningkatkan rasa percaya diri
-
meningkatkan kepatuhan
(compliance) dan penanganan mandiri
-
membantu pasien agar dapat
melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma
2)
Pengukuran peak flow meter
Perlu dilakukan pada pasien dengan asma
sedang sampai berat. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow
Meter ini dianjurkan pada :
-
Penanganan serangan akut di gawat
darurat, klinik, praktek dokter dan oleh pasien di rumah.
-
Pemantauan berkala di rawat jalan,
klinik dan praktek dokter.
-
Pemantauan sehari-hari di rumah,
idealnya dilakukan pada asma persisten usia di atas > 5 tahun, terutama bagi
pasien setelah perawatan di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak mengenal
perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat serangan yang
mengancam jiwa
3)
Identifikasi dan mengendalikan
faktor pencetus
4)
Pemberian oksigen
5)
Banyak minum untuk menghindari
dehidrasi terutama pada anak-anak
6)
Kontrol secara teratur
7)
Pola hidup sehat
Dapat dilakukan dengan :
-
Penghentian merokok
-
Menghindari kegemukan
-
Kegiatan fisik misalnya senam asma
b.
Terapi farmakologi
1.
Simpatomimetik
Obat simpatomimetik selektif β2 memiliki manfaat yang besar dan
bronkodilator yang paling efektif dengan efek samping yang minimal pada terapi
asma. Penggunaan langsung melalui inhalasi akan meningkatkan
bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan memberikan efek
perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya alergen, latihan)
yang menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila diberikan secara sistemik
Mekanisme Kerja
Kerja farmakologi dari kelompok
simpatomimetik ini adalah sebagai berikut :
·
Stimulasi reseptor α adrenergik
yang mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi, dekongestan nasal dan peningkatan
tekanan darah.
·
Stimulasi reseptor β1 adrenergik
sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas dan irama jantung.
·
Stimulasi reseptor β2 yang
menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan klirens mukosiliari, stabilisasi sel
mast dan menstimulasi otot skelet
Indikasi
Agonis β2 kerja diperlama (seperti
salmeterol dan furmoterol) digunakan, bersamaan dengan obat antiinflamasi,
untuk kontrol jangka panjang terhadap gejala yang timbul pada malam hari. Obat
golongan ini juga dipergunakan untuk mencegah bronkospasmus yang diinduksi oleh
latihan fisik. Agonis β2 kerja singkat (seperti albuterol, bitolterol,
pirbuterol, terbutalin) adalah terapi pilihan untuk menghilangkan gejala akut
dan bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik.
Efek Samping
Efek samping umumnya berlangsung dalam
waktu singkat dan tidak ada efek kumulatif yang dilaporkan. Akan tetapi, tidak
berarti pengobatan dihentikan, pada beberapa kasus, perlu dilakukan penurunan
dosis untuk sementara waktu.
Kontra Indikasi
Obat simpatomimetik dikontraindikasikan
untuk penderita yang alergi terhadap obat dan komponennya (reaksi alergi jarang
terjadi), aritmia jantung yang berhubungan dengan takikardia, angina, aritmia
ventrikular yang memerlukan terapi inotopik, takikardia atau blok jantung yang
berhubungan dengan intoksikasi digitalis (karena isoproterenol), dengan
kerusakan otak organik, anestesia lokal di jari tangan, jari, dilatasi jantung,
insufisiensi jantung, arteriosklerosis serebral, penyakit jantung organik
(karena efinefrin).
2.
Xantin
Mekanisme Kerja
Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah
larut dan turunannya) akan merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan
pembuluh darah pulmonal, merangsang SSP, menginduksi diuresis, meningkatkan
sekresi asam lambung, menurunkan tekanan sfinkter esofageal bawah dan
menghambat kontraksi uterus. Teofilin juga merupakan stimulan pusat pernafasan.
Aminofilin mempunyai efek kuat pada kontraktilitas diafragma pada orang sehat
dan dengan demikian mampu menurunkan kelelahan serta memperbaiki kontraktilitas
pada pasien dengan penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik.
Indikasi
Untuk menghilangkan gejala atau pencegahan
asma bronkial dan bronkospasma reversibel yang berkaitan dengan bronkhitis
kronik dan emfisema.
Dosis
Aminofilin
Dosis Teofilin
Terapi Kronis menggunakan Teofilin
Dosis
awal : 16 mg/kg dalam 24 jam atau 400 mg dalam sehari,
yang dibatasi dengan pemberian teofilin anhidrous dalam interval 6-8 jam. Peningkatan dosis : dosis di atas dapat
ditingkatkan menjadi 25% dengan interval 3 hari sebagaimana dapat ditoleransi
sampai dosis maksimum tercapai.
Dosis Difilin dan
Oktrifilin
Nama
Obat
|
Bentuk
Sediaan
|
Dosis
|
|
Difilin
|
Tablet
Eliksir
|
Dewasa
Dewasa
Anak-anak
|
15
mg/kg setiap 6 jam
30
– 60 mL setiap 6 jam
Keamanan
dan efikasi belum diketahui
|
Okstrifilin
|
Tablet,
sirup dan eliksir
|
Dewasa
dan Anak lebih dari 12 tahun
Anak-anak
9 - 16 tahun dan perokok dewasa
Anak-anak
1-9 tahun
|
4,7
mg/kg setiap 8 jam
4,7
mg/kg setiap 6 jam
6,2
mg/kg setiap 6 jam.
|
Efek Samping
Reaksi efek samping jarang terjadi pada
level serum teofilin yang < 20 mcg/mL. Pada level lebih dari 20 mcg/mL : mual,
muntah, diare, sakit kepala, insomnia, iritabilitas. Pada level yang lebih dari
35 mcg/mL : hiperglisemia, hipotensi, aritmia jantung, takikardia (lebih besar
dari 10 mcg/mL pada bayi prematur), seizure, kerusakan otak dan kematian.
Lain – lain : demam, wajah kemerah-merahan, hiperglikemia,
sindrom ketidaksesuaian dengan hormon antiduretik, ruam, kerontokan pada
rambut. Etildiamin pada aminofilin dapat menyebabkan reaksi sensitivitas
termasuk dermatitis eksfoliatif dan urtikaria.
Kontra Indikasi
Hipersensitivitas terhadap semua xantin,
peptik ulser, mengalami gangguan seizure (kecuali menerima obat-obat
antikonvulsan yang sesuai). Aminofilin : hipersensitif terhadap etilendiamin.
Supositoria aminofilin : iritasi atau infeksi dari rektum atau kolon bagian
bawah.
3.
Antikolinergik
a.
Ipratropium Bromida
Mekanisme Kerja
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah
suatu antikolinergik (parasimpatolitik) yang akan menghambat refleks vagal
dengan cara mengantagonis kerja asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan
bersifat lokal, pada tempat tertentu dan tidak bersifat sistemik serta
mempunyai sifat antisekresi dan penggunaan lokal dapat menghambat sekresi
kelenjar serosa dan seromukus mukosa hidung.
Indikasi
Digunakan dalam bentuk tunggal atau
kombinasi dengan bronkodilator lain (terutama beta adrenergik) sebagai
bronkodilator dalam pengobatan bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit
paru-paru obstruktif kronik, termasuk bronkhitis kronik dan emfisema.
Dosis dan Cara
Penggunaan
Bentuk Sediaan
|
Dosis
|
Aerosol
|
2 inhalasi (36 mcg) empat kali sehari.
Pasien boleh menggunakan dosis tambahan tetapi tidak boleh melebihi 12
inhalasi dalam sehari
|
Larutan
|
Dosis yang umum adalah 500 mcg (1 unit
dosis dalam vial), digunakan dalam 3 sampai 4 kali sehari dengan menggunakan
nebulizer oral, dengan interval pemberian 6-8 jam. Larutan dapat dicampurkan
dalam nebulizer jika digunakan dalam waktu satu jam.
|
Efek Samping
Sakit punggung, sakit dada, bronkhitis,
batuk, penyakit paru obstruksi kronik yang semakin parah, rasa lelah berlebihan,
mulut kering, dispepsia, dipsnea, epistaksis, gangguan pada saluran pencernaan,
sakit kepala, gejala seperti influenza, mual, cemas, faringitis, rinitis,
sinusitis, infeksi saluran pernapasan atas dan infeksi saluran urin.
Kontra Indikasi
Hipersensitif terhadap ipratropium
bromida, atropin dan turunannya.
b.
Tiotropium Bromida
Mekanisme Kerja
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja
diperlama yang biasanya digunakan sebagai antikolinergik. Pada saluran
pernapasan, tiotropium menunjukkan efek farmakologi dengan cara menghambat
reseptor M3 pada otot polos sehingga terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang
timbul setelah inhalasi tiotropium bersifat sangat spesifik pada lokasi
tertentu.
Indikasi
Tiotropium digunakan sebagai perawatan
bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis termasuk
bronkitis kronis dan emfisema.
Efek Samping
Efek samping terjadi pada 3% pasien atau
lebih, terdiri dari sakit perut, nyeri dada (tidak spesifik), konstipasi, mulut
kering, dispepsia, edema, epistaksis, infeksi, moniliasis, myalgia, faringitis,
ruam, rhinitis, sinusitis, infeksi pada saluran pernapasan atas, infeksi
saluran urin dan muntah.
Kontra Indikasi
Riwayat hipersensitif terhadap atropin
atau turunannya, termasuk ipratropium atau komponen sediaan.
4.
Kromolin Sodium dan Nedokromil
a.
Kromolin Natrium
Mekanisme Kerja
Kromolin tidak mempunyai aktifitas
intrinsik bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor atau aktivitas
glukokortikoid melainkan menghambat pelepasan mediator, histamin dan SRS-A
(Slow Reacting Substance Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast. Kromolin
bekerja lokal pada paru-paru tempat obat diberikan.
Indikasi
Asma bronkial
(inhalasi, larutan dan aerosol) : sebagai pengobatan profilaksis pada asma
bronchial.
Dosis
dan Cara Penggunaan
·
Larutan nebulizer : dosis awal 20
mg diinhalasi 4 kali sehari dengan interval yang teratur. Pencegahan
bronkospasma akut : inhalasi 20 mg (1 ampul/vial) diberikan dengan nebulisasi
segera sebelum terpapar faktor pencetus.
·
Aerosol : untuk penanganan asma
bronkial pada dewasa dan anak 5 tahun atau lebih. Dosis awal biasanya 2
inhalasi, sehari 4 kali pada interval yang teratur. Pencegahan bronkospasma
akut : dosis umum adalah 2 inhalasi secara singkat (misalnya dalam 10 – 15
menit, tidak lebih dari 60 menit) sebelum terpapar faktor pencetus.
·
Oral; Dewasa : 2 ampul, 4 kali
sehari, 30 menit sebelum makan dan saat menjelang tidur. Anak – anak 2 – 12
tahun: satu ampul, 4 kali sehari, 30 menit sebelum makan dan saat menjelang
tidur. Jika dalam waktu 2-3 minggu perbaikan gejala tidak tercapai, dosis harus
ditingkatkan, tetapi tidak melebihi 40mg/kg/hari.
Efek
Samping
Efek samping yang
terjadi meliputi saluran pernapasan: bronkospasme (biasanya bronkospasma parah
yang berhubungan dengan penurunan fungsi paru-paru/FEV1), batuk, edema
laringeal (jarang), iritasi faringeal dan napas berbunyi. Efek samping
penggunaan aerosol adalah iritasi tenggorokan atau tenggorokan kering, rasa
tidak enak pada mulut, batuk, napas berbunyi dan mual.
Kontra
Indikasi
Hipersensitif terhadap kromolin atau
komponen sediaan.
b.
Nedokromil Natrium
Mekanisme
Kerja
Obat ini akan
menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan mediator dari berbagai tipe
sel berhubungan dengan asma termasuk eosinofil, neutrofil, makrofag, sel mast,
monosit dan platelet. Nedokromil menghambat perkembangan respon
bronkokonstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap antigen terinhalasi.
Indikasi
Nedokromil
diindikasikan untuk asma. Digunakan sebagai terapi pemeliharaan untuk pasien
dewasa dan anak usia 6 tahun atau lebih pada asma ringan sampai sedang.
Dosis
dan Cara Penggunaan
2 inhalasi , empat kali sehari dengan
interval yang teratur untuk mencapai dosis 14 mg/hari. Jika efek pengobatan
tercapai dan asma terkendali, usaha untuk menurunkan penggunaan obat secara
berturut-turut harus dilaksanakan secara perlahan-lahan.
Efek
Samping
Efek samping yang
terjadi pada penggunaan nedokromil bisa berupa batuk, faringitis, rinitis,
infeksi saluran pernapasan atas, bronkospasma, mual, sakit kepala, nyeri pada
dada dan pengecapan tidak enak
5.
Kortikosteroid
Mekanisme
Kerja
Obat-obat ini merupakan
steroid adrenokortikal steroid sintetik dengan cara kerja dan efek yang sama
dengan glukokortikoid. Yaitu dapat menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel
yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan memproduksi
AMP siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos
secara langsung. Penggunaan inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara
efektif dengan efek sistemik minimal.
Indikasi
Terapi pemeliharaan dan
propilaksis asma, termasuk pasien yang memerlukan kortikosteoid sistemik,
pasien yang mendapatkan keuntungan dari penggunaan dosis sistemik, terapi
pemeliharaan asma dan terapi profilaksis pada anak usia 12 bulan sampai 8
tahun.
Efek
Samping
Iritasi tenggorokan,
suara serak, batuk, mulut kering, ruam, pernafasan berbunyi, edema wajah dan
sindrom flu.
Kontra
Indikasi
Bronkospasma akut yang
membaik, terapi utama pada status asmatikus atau episode asma akut lain yang
memerlukan tindakan intensif, hipersensitif terhadap beberapa komponen.
6.
Antagonis Reseptor Leukotrien
a.
Zafirlukast
Zafirlukast adalah
antagonis reseptor leukotrien D4 dan E4 yang selektif dan kompetitif, komponen
anafilaksis reaksi lambat (SRSA - slow-reacting substances of anaphylaxis).
Indikasi
Profilaksis dan
perawatan asma kronik pada dewasa dan anak di atas 5 tahun.
Dosis dan Cara
Penggunaan
Dewasa dan anak > 12 tahun : 20 mg, dua
kali sehari
Anak 5 – 11 tahun : 10 mg, dua kali
sehari.
Oleh karena makanan
menurunkan bioavailabilitas zafirlukast, penggunaannya sekurang-kurangnya satu
jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan.
Efek Samping
Efek samping terjadi
pada 3% pasien seperti sakit kepala, mual dan infeksi.
b.
Montelukast Sodium
Montelukast adalah
antagonis reseptor leukotrien selektif dan aktif pada penggunaan oral, yang
menghambat reseptor leukotrien sisteinil (CysLT1).
Indikasi
Profilaksis dan terapi
asma kronik pada dewasa dan anak-anak > 12 bulan.
Dosis dan Cara
Penggunaan
Efek Samping
Asma : Pada anak 6-12
tahun, efek samping yang terjadi dengan frekuensi 2 % adalah diare, laringitis,
faringitis, mual, otitis, sinusitis, infeksi virus. Pada anak 2-5 tahun, efek
samping yang terjadi dengan frekuensi 2% adalah rinorea, otitis, sakit telinga,
bronkhitis, sakit lengan, rasa haus, bersin-bersin, ruam dan urtikaria.
c.
Zilueton
Zilueton adalah
inhibitor spesifik 5-lipoksigenase dan selanjutnya menghambat pembentukan
(LTB1, LTC1, LTD1, Lte1).
Indikasi
Profilaksis dan terapi
asma kronik pada dewasa dan anak > 12 tahun.
Dosis dan Cara
Penggunaan
Dosis zilueton untuk
terapi asma adalah 600 mg, 4 kali sehari. Untuk memudahkan pemakaian, zilueton
dapat digunakan bersama makanan dan pada malam hari.
Efek Samping
Efek samping terjadi
pada 3% pasien atau lebih seperti sakit kepala, nyeri, sakit perut, rasa lelah,
dispepsia, mual, myalgia.
Kontra Indikasi
Pasien penyakit liver
atau kenaikan transaminase 3 kali atau lebih di atas normal, hipersensitivitas
terhadap zilueton atau beberapa komponen sediaan
C.
Pelayanan Kefarmasian Asma
Pelayanan farmasi merupakan faktor
penting untuk mengontrol dan memanajemen asma. Beberapa penelitian yang
dilakukan membuktikan bahwa pelayanan farmasi disediakan oleh apoteker
merupakan bagian penting dalam manajemen asma. Penggunaan obat-obatan pada pasien
asma juga soal terkait pengaturan diri dan self
management. Pengobatan asma
merupakan long term medication, oleh karena itu kepatuhan pasien dalam
menggunakan obat sangat diharapkan. Peran apoteker dalam penatalaksanaan asma
yaitu mendeteksi, mencegah dan mengatasi masalah terkait obat yang dapat timbul
pada tahapan berikut :
1.
Rencana Pengobatan (Care Plan)
Dalam tim terpadu, peran apoteker
adalah memberikan rekomendasi dalam pemilihan obat yang tepat berdasarkan
kondisi pasien yang diperoleh dari hasil wawancara dan hasil diagnosa dokter
2.
Implementasi Pengobatan
·
Menyediakan obat (drug supply
management)
·
Pemberian informasi dan edukasi
Tujuan
pendidikan kepada pasien adalah agar mereka lebih mengerti dan memahami rejimen
pengobatan yang diberikan sehingga pasien dapat lebih berperan aktif dalam
pengobatannya yang dapat meningkatkan kepatuhan mereka dalam menggunakan obat.
3.
Monitoring dan evaluasi
Monitoring
dan evaluasi perlu dilakukan untuk melihat dan meningkatkan keberhasilan
terapi. Pelaksanakan kegiatan ini memerlukan pencatatan data pengobatan pasien
(medication record).
Penelitian oleh Mehuys et al menunjukkan efektivitas keikutsertaan apoteker untuk mngontrol
asma. Mereka menemukan bahwa program berbasis farmasi komunitas pragmatis
secara signifikan dapat meningkatkan hasil terapi di pasien asma dewasa. Santos
et al dalam penelitiannya pada
perawatan farmasi untuk pasien dengan asma persisten melaporkan bahwa konseling
yang disediakan oleh apoteker kepada pasien adalah penting untuk membantu dalam
pelaksanaan inhalasi yang sesuai penggunaan. Pemberian perawatan farmasi
memiliki peran penting dalam pengelolaan asma dan studi tersebut diambil oleh
apoteker klinis dapat membantu para profesional kesehatan untuk meningkatkan
pasien.
Tujuan dari manajemen asma adalah untuk
mendapatkan dan mengontrol penyakit. Apoteker klinis dianjurkan untuk terlibat
dalam mengembangkan rencana pengelolaan klinis dan Asma Rencana Aksi untuk
pasien asma, meninjau dan mendidik pada teknik inhaler dan melakukan tinjauan
rutin.
Pengembangan PCP (Pharmaceutical Care
Plan) dapat diringkas sebagai proses lima langkah yang melibatkan format SOAP
(data subyektif , data yang obyektif , Pengkajian , dan Rencana perawatan ) . Proses
Pharmaceutical Care Plan untuk pasien asma yaitu sbb :
1.
Mengumpulkan Informasi; Apoteker
harus mengumpulkan sejarah obat yang akurat, termasuk resep dan obat
nonprescription dan alasan obat yang diresepkan atau diambil. Apoteker mungkin
harus mendapatkan beberapa informasi dari dokter, seperti hasil uji
laboratorium dan rawat inap. Jika demikian, apoteker harus mendapatkan izin
tertulis dari pasien sebelum meminta informasi ini . Setelah informasi ini disusun,
persiapan PCP dapat dimulai.
2.
Mengidentifikasi Masalah; Dari
profil obat pasien, hanya satu masalah yang jelas : diagnosis asma . Jika dapat
digunakan, masalah lain juga harus terdaftar. Temuan subyektif adalah penggambaran
pasien ( misalnya, "Saya merasa lelah sepanjang waktu, "Saya merasa
kembung, " atau "Saya bangun batuk " ). temuan obyektif yaitu
yang dapat diamati atau diukur oleh apoteker (misalnya, pasien tampak lelah,
tekanan darah 180/105, bintik edema di pergelangan kaki). Pada pasien asma,
apoteker akan menggunakan flow meter untuk mengukur ekspirasi puncak pasien dan
mencatat hasilnya.
3.
Menilai Masalah; Apoteker
menganalisis dan mengintegrasikan informasi yang dikumpulkan dalam langkah 1
dan 2 dan menarik kesimpulan dalam persiapan untuk mengembangkan PCP - pasien
tertentu . dalam kasus asma, apoteker mungkin terlebih dahulu menyelidiki
etiologi faktor-faktor yang memperburuk asma. Apoteker tidak harus terlibat
dalam pengujian kulit, apoteker juga tidak harus melakukansecara rinci dan sejarah panjang dari semua faktor-faktor
yang menyebabkan asma. Namun, apoteker harus berusaha untuk menentukan apakah
obat-obatan ( misalnya aspirin, nonsteroidal agen anti - inflamasi, atau beta -
blocker ) menyebabkan atau memperburuk asma pada pasien. Dengan demikian ,
pentingnya obat yang akurat dan lengkap. Selanjutnya, apoteker menilai
keparahan asma . Hal ini dapat dicapai ( seperti yang ditunjukkan dalam rencana
) dengan menentukan PEFR , memeriksa pasien gejala dan arus puncak catatan
harian , atau menentukan apakah pasien telah dirawat di rumah sakit dan
ditempatkan pada steroid atau ventilator mekanik .
4.
Mengembangkan Rencana; apoteker
menetapkan tujuan pengobatan yang terkait dengan masing-masing masalah pasien
dan menentukan tindakan ditujukan untuk memenuhi setiap tujuan. Setiap tujuan
(misalnya, perbaikan yang diinginkan) harus dinyatakan dalam hal hasil terukur
yang menunjukkan sejauh mana masalah tertentu memiliki diselesaikan . Seringkali,
pasien memiliki beberapa masalah, dan rencana harus cukup komprehensif untuk
memiliki efek positif pada kesehatan secara keseluruhan pasien.
5.
Mengevaluasi Pencapaian Hasil
Hasil yang akan digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan
dari rencana perawatan PCP harus bermakna, terukur, dan mudah dikelola. Hasil
yang spesifik, menjadi indikator yang terukur untuk tujuan pengobatan. Dengan
demikian, hasil harus diidentifikasi dalam proses perencanaan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Asma merupakan inflamasi kronik
saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan, terutama sel mast, eosinofil,
sel limfosit T, makrofag, netrofil dan sel epitel
2.
Pelayanan farmasi merupakan faktor
penting untuk mengontrol dan memanajemen asma. Peran apoteker dalam
penatalaksanaan asma yaitu mendeteksi, mencegah dan mengatasi masalah terkait
obat.
3.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. Direktorat Bina Farmasi
Komunitas Dan Klinik. Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen
Kesehatan RI. Jakarta
Genaro, A.R., 2000. Remington (ed) The Science and Practice of Pharmacy 20th edition.
USA: Lippincott Williams & Wilkins Co Walter Kluwers Company
Shanmugam S. et al. 2012. Pharmaceutical care for asthma patients: A Developing
Country's Experience. Journal of Research
in Pharmacy Practice / Oct-Dec 2012 / Vol 1 / Issue 2. University of
Medical Sciences, Isfahan. Iran
Supardi S., Handayani R.S., Raharni, Herman
M.I., Susyanty A. L. 2011. Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek
Dan Kebutuhan Pelatihan Bagi Apotekernya. Buletin
penelitian Kesehatan Vol 39.
Badan Litbangkes Kemkes RI. Jakarta
Suryaningroma V.S., Fasich, Umi A. 2009.
Analisis terhadap Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Penggunaan Obat
Asma Inhalasi. Majalah Farmasi Airlangga,
Vol.7 No.1. Universitas Airlangga.
Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar