Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 25 Januari 2014

PELAYANAN KEFARMASIAN PENYAKIT ASMA



BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan penyakit) asma terutama di negara-negara maju. Kenaikan prevalensi asma di Asia seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan juga mencolok. Kasus asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beban global untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian.
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal ini tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 % yang 64 % diantaranya mempunyai gejala klasik.
Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai dengan peningkatan reaktivitas terhadap berbagai stimulus dan sumbatan saluran napas yang bisa kembali spontan atau dengan pengobatan yang sesuai.
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah dengan meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Peran apoteker dalam penanganan penyakit asma adalah mengatasi masalah terkait obat yang mungkin timbul, memberikan informasi dan konseling, memotivasi pasien untuk patuh dalam pengobatan serta membantu dalam pencatatan untuk pengobatan (Medication Record).
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu penyakit asma dan bagaimana terapi/pengobatannya?
2.      Bagaimana pengobatan asma yang dapat digunakan apoteker dalam menjalankan pelayanan kefarmasian?
C.    Tujuan
1.      Untuk meningkatkan pengetahuan tentang asma dan informasi tentang  terapi/pengobatan asma.
2.      Untuk mengetahui pengobatan asma yang dapat digunakan apoteker dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di tempat pelayanan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pelayanan apotek pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat kepada pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan apotek yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan mengubah perilaku agar dapat melakukan interaksi lang sung dengan pasien (Supardi dkk, 2011).
Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai oleh inflamasi, peningkatan reaktivitas terhadap berbagai stimulus, dan sumbatan saluran napas yang bisa kembali spontan atau dengan pengobatan yang sesuai. Meskipun pengobatan efektif telah dilakukan untuk menurunkan morbiditas karena asma, keefektifan hanya tercapai jika penggunaan obat telah sesuai. Seiring dengan perlunya mengetahui hubungan antara terapi yang baik dan keefektifan terapetik, baik peneliti maupun tenaga kesehatan harus memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien (Depkes RI, 2007).
Kepatuhan dalam menggunakan suatu obat didefinisikan sebagai sikap menjaga dan mengikuti dosis serta saran atau anjuran dari tenaga kesehatan terhadap penyakit yang diderita. Kepatuhan dalam mengikuti suatu terapi menunjukkan sebuah pemahaman tentang bagaimana obat digunakan (Genaro, 2000).
Disamping itu, penggunaan obat tersebut juga memenuhi syarat-syarat rasionalitas. Penggunaan obat yang rasional didefinisikan sebagai tepat golongan, tepat obat, sesuai antara keluhan dengan indikasi obat, tepat dosis, tepat lama pengobatan, dan jika sakit berlanjut harus menghubungi tenaga kesehatan serta waspada pada efek samping obat. Sehingga untuk mencapai efek terapi yang diinginkan maka diperlukan adanya kepatuhan yang dapat diukur dari dosis, cara penggunaan, interval, dan lama penggunaan obat (Suryaningroma dkk, 2009).
Apoteker dalam hal ini dapat membantu penanganan penyakit asma dengan mengarahkan pasien yang diduga menderita asma untuk memeriksakan dirinya, memotivasi pasien untuk patuh dalam pengobatan, memberikan informasi dan konseling serta membantu dalam pencatatan untuk pelaporan. Oleh karena itu, untuk memberikan bekal pengetahuan bagi apoteker sebagai sumber informasi terutama untuk masalah terkait dengan obat asma, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik juga merasa perlu untuk membuat buku saku Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma (Depkes RI, 2007).



BAB III

PEMBAHASAN

A.    Asma
a.       Definisi
Asma merupakan suatu penyakit kronis yang paling umum yang terjadi di seluruh dunia dan sedang meningkat pada anak-anak serta mungkin juga pada orang dewasa. Asma dicirikan oleh adanya obstruksi saluran napas yang reversible, inflamasi jalan napas, dan saluran napas yang hiperesponsif terhadap rangsangan.
Asma didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronik pada saluran pernapasan dimana banyak sel dan komponen seluler yang berperan, khususnya sel mast, eusinofil, sel Limfosit T, neutrofil dan sel epithel. Pada kebanyakan pasien rentan, inflamasi menyebabkan episode berulang dari bengek, sesak nafas, sempit dada dan batuk khususnya pada malam atau dipagu hari. kejadian ini biasanya berhubungan dengan obstruksi jalan udara yang sering reversibel baik secara spontan atau setelah pengobatan.
b.      Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi asma. Kenaikan prevalensi asma di Asia, seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan, juga mencolok. Di Indonesia, penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 menunjukkan, prevalensi asma masih 2,1%, yang kemudian meningkat pada tahun 2003 menjadi 5,2%. Kenaikan ini tentu saja memerlukan upaya pencegahan agar prevalensi asma tetap rendah, tidak semakin tinggi. Depkes memprediksi jumlah penderita penyakit asma di Indonesia terus meningkat, dari hanya 5% pada tahun 1996, pada tahun 2005 dapat mencapai 15%.
c.       Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma bronkhial.
a)      Faktor predisposisi
·         Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
b)      Faktor presipitasi
·         Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1.      Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan. ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
2.      Ingestan, yang masuk melalui mulut. ex: makanan dan obat-obatan.
3.      Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. ex: perhiasan, logam dan jam tangan
·         Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
·         Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
·         Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
·         Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
d.      Gejala
Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa pengobatan. Gejala awal berupa :
·         batuk terutama pada malam atau dini hari
·         sesak napas
·         napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya
·         rasa berat di dada
·         dahak sulit keluar.
Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang termasuk gejala yang berat adalah:
·         Serangan batuk yang hebat
·         Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal
·         Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)
·         Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk
·         Kesadaran menurun
e.       Patofisiologi
Patofisiologi asma melibatkan hipersensitivitas pada jalan nafas setelah terpapar satu atau lebih rangsangan iritan. Stimulan yang memicu reaksi asmatik antara lain yaitu infeksi virus, debu, serbuk sari, bulu binatang, terpapar dingin dan refluks salurang cerna. Mediator inflamasi utama pada rekasi asmatik yaitu eusinofil yang berkontrkasi melepaskan zat kimia yang menstimulasi degranulasi sel mast dan meanrik sel darah putih lainnya basofil dan netrofil, menstimulasi produksi mukus, meningkatkan pembengkakan edema jaringan.
Suatu serangan asthma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk imunoglobulin E (IgE).
IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca++ kedalam sel dan perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow releasing suptance of anaphylaksis (SRS-A), eosinophilic chomotetik factor of anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akan menyebabakan timbulnya tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otot-otot polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema  mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran nafas, peningkatansekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap yangsangat lanjut
f.       Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat berat ringannya dan gambaran dari obstruksi saluran nafas.
v  Ditinjau dari segi etiologi, asma dibedakan menjadi :
Ø  Asma Ekstrinsik, yang dibagi menjadi :
·         Asma Ekstrinsik Atopik
Penyebabnya adalah rangsangan alergen eksternal spesifik dan dapat diperlihatkan dengan reaksi kulit tipe 1. Gejala klinis dan keluhan cenderung timbul pada awal kehidupan, 85 % kasus terjadi sebelum usia 30 tahun. Sebagian besar asma tipe ini mengalami perubahan dengan tiba-tiba pada waktu puber, dengan serangan asma yang berbeda-beda pula. Prognosis tergantung pada serangan pertama yaitu berat ringannya gejala yang timbul. Jika serangan pertama pada usia muda disertai gejala yang berat, maka prognosisnya lebih jelek. Didalam darah dijumpai meningkatnya kadar IgE spesifik, dan pada riwayat keluarga didapatkan keluarga yang menderita asma.
·         Asma Ekstrinsik Non Atopik
   Sifat dari asma ini adalah serangan asma timbul karena paparan dengan bermacam alergen spesifik, seringkali terjadi pada saat melakukan pekerjaan atau timbul setelah mengalami paparan dengan alergen yang berlebihan. Tes kulit memberi reaksi tipe segera, tipe lambat ataupun keduanya. Dalam serum didapatkan IgE dan IgG yang spesifik. Timbulnya gejala cenderung pada akhir masa kehidupan, yang disebabkan karena sekali tersensitisasi, maka respon asma dapat dicetuskan oleh berbagai macam rangsangan non imunilogik seperti emosi, infeksi, kelelahan dan faktor sikardian dari siklus biologis.
Ø  Asma Kriptogenik, yang dibagi menjadi
·         Asma Intrinsik
   Asma intrinsik tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari alergen. Asma jenis ini disebabkan oleh stres, infeksi, dan kondisi lingkungan seperti cuaca, kelembapan dan suhu tubuh. Asma intrinsik biasanya berhubungan dengan menurunnya kondisi ketahanan tubuh, terutama pada mereka yang memiliki riwayat kesehatan paru-paru yang kurang baik, misalnya karena bronkitis dan radang paru-paru (pneumonia). Penderita diabetes mellitus golongan lansia juga mudah terkena asma intrinsik. Penderita asma jenis ini kebanyakan berusia di atas 30 tahun
·         Asma Idiopatik
   Asma jenis ini, alergen pencetusnya sukar ditentukan, tidak ada alergen ekstrinsik sebagai penyebab, dan tes kulit memberikan hasil negatif. Merupakan kelompok yang heterogen, respon untuk terjadi asma dicetuskan oleh penyebab dan melalui mekanisme yang berbeda-beda. Sering ditemukan pada penderita dewasa, dimulai pada umur diatas 30 tahun dan disebut late onset asthma. Serangan sesak pada tipe ini dapat berlangsung lama dan seringkali menimbulkan kematian bila pengobatan tanpa disertai kortikosteroid. Perubahan patologi yang terjadi sama dengan asma ekstrinsik, namun tidak dapat dibuktikan keterlibatan IgE. Kadar IgE serum dalam batas normal, tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan asma ekstrinsik.
v  Berdasarkan berat penyakit
Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.
Derajat asma
Gejala
Fungsi Paru
Intermiten
Siang hari < 2 kali per minggu
Malam hari < 2 kali per bulan
Serangan singkat
Tidak ada gejala antar serangan
Intensitas serangan bervariasi
Variabilitas APE < 20%
VEP1 > 80% nilai prediksi
APE > 80% nilai terbaik
Persisten Ringan
Siang hari > 2 kali per minggu, tetapi < 1 kali per hari
Malam hari > 2 kali per bulan
Serangan dapat mempengaruhi aktifitas
Variabilitas APE 20 - 30%
VEP1 > 80% nilai prediksi
APE > 80% nilai terbaik
Persisten Sedang
Siang hari ada gejala
Malam hari > 1 kali per minggu
Serangan mempengaruhi aktifitas
Serangan > 2 kali per minggu
Serangan berlangsung berhari-hari
Sehari-hari menggunakan inhalasi β2-agonis short acting
Variabilitas APE > 30%
VEP1 60-80% nilai prediksi
APE 60-80% nilai terbaik
Persisten Berat
Siang hari terus menerus ada gejala
Setiap malam hari sering timbul gejala
Aktifitas fisik terbatas
Sering timbul serangan
Variabilitas APE > 30%
VEP1 < 60% nilai prediksi
APE < 60% nilai terbaik


v  Ditinjau Dari Gejala Klinis
·         Serangan asma ringan : dengan gejala batuk, mengi dan kadang-kadang sesak, Sa O2 ³ 95% udara ruangan, PEFR lebih dari 200 liter per menit, FEV1 lebih dari 2 liter, sesak nafas dapat dikontrol dengan bronkodilator dan faktor pencetus dapat dikurangi, dan penderita tidak terganggu melakukan aktivitas normal sehari-hari.
·         Serangan asma sedang : dengan gejala batuk, mengi dan sesak nafas walaupun timbulnya periodik, retraksi interkostal dan suprasternal, SaO2 92-95% udara ruangan, PEFR antara 80-200 liter per menit, FEV1 antara 1-2 liter, sesak nafas kadang mengganggu aktivitas normal atau kehidupan sehari-hari.
·         Serangan asma berat : dengan gejala sesak nafas telah mengganggu aktivitas sehari-hari secara serius, disertai kesulitan untuk berbicara dan atau kesulitan untuk makan, bahkan dapat terjadi serangan asma yang mengancan jiwa yang dikenal dengan status asmatikus. Asma berat bila SaO2 £ 91%, PEFR 80 liter per menit, FEV1 0,75 liter dan terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas berat seperti pernafasan cuping hidung, retraksi interkostal dan suprasternal, pulsus paradoksus ³ 20 mmHg, berkurang atau hilangnya suara nafas dan mengi ekspirasi yang jelas.
g.      Diagnosa
Diagnosis asma berdasarkan gejala yang bersifat episodik, pemeriksaan fisiknya dijumpai napas menjadi cepat dan dangkal dan terdengar bunyi mengi pada pemeriksaan dada (pada serangan sangat berat biasanya tidak lagi terdengar mengi, karena pasien sudah lelah untuk bernapas). Dan yang cukup penting adalah pemeriksaan fungsi paru, yang dapat diperiksa dengan spirometri atau peak expiratory flow meter. Asma didiagnosis menggunakan spirometri yaitu alat yang mengukur atau mengidentifikasi penurunan kapasitas vital dan penurunan laju ekspirasi puncak (maksimum). Selama serangan asmatik, volume ekspirasi maksimum dan laju maksimum ekspirasi menurun.

Macam-macam PEF meter
Individu yang mengalami asma biasanya memperlihatkan pola diunal dengan hasil peak flowmeter lebih buruk secara bermakna pada jam-jam awal setelah tengah malam dibandingkan dengan siang hari menjelang sore. Saturasi oksigen diukur untuk mengetahui bagaimana darah teroksigenasi dengan baik. Teknik ini dilakukan dengan menempatkan sensor dijari. Informasi diperoleh dengan melihat warna darah yang mengalir. Hemoglobin yang tidak tersaturasi berwarna lebih gelap dibanding yang tersaturasi. Analisis gas darah mungkim memperlihatkan penurunan konsentrasi oksigen arteri.
h.      Komplikasi
Status asmatikus adalah keadaan spasme bronkiolus berkepanjangan yang mengancam jiwa yang tidak dapat dipulihkan dengan pengobatan dapat terjadi pada beberapa individu. Pada kasus ini, kerja pernapasan sangat menignkat. Apabila kerja meningkat, kebutuhan oksigen juga meningkat. Karena individu yang mengalami serangan asma tidak dapat memenuhi kebuthan oksigen normalnya, individu semakin tidak sanggup memenuhi kebutuhan oksigen yang sangat tinggi yang dibutuhkan untuk berinspirasi dan berekspirasi melawan spasme bronkioulus, pembengkakan bronkiolus dan mukus yang kental. Situasi ini dapat menyebabkan pneumotoraks akibat besarnya tekanan untuk melakukan ventilasi. Apabila individu kelelahan, dapat terjadi asidosis respiratorik, gagal dapas dan kematian.
B.     Penatalaksanaan Asma
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan asma :
1.      Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2.      Mencegah eksaserbasi akut
3.      Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4.      Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5.      Menghindari efek samping obat
6.      Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7.      Mencegah kematian karena asma
a.       Terapi nonfarmakologi
1)      Edukasi pasien
Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam penatalaksanaan asma. Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk :
-        meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit asma sendiri)
-        meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma sendiri/asma mandiri)
-        meningkatkan kepuasan
-        meningkatkan rasa percaya diri
-        meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
-        membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma
2)      Pengukuran peak flow meter
Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada :
-        Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh pasien di rumah.
-        Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.
-        Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat serangan yang mengancam jiwa
3)      Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4)      Pemberian oksigen
5)      Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
6)      Kontrol secara teratur
7)      Pola hidup sehat
Dapat dilakukan dengan :
-        Penghentian merokok
-        Menghindari kegemukan
-        Kegiatan fisik misalnya senam asma
b.      Terapi farmakologi
1.      Simpatomimetik
Obat simpatomimetik selektif β2 memiliki manfaat yang besar dan bronkodilator yang paling efektif dengan efek samping yang minimal pada terapi asma. Penggunaan langsung melalui inhalasi akan meningkatkan bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan memberikan efek perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya alergen, latihan) yang menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila diberikan secara sistemik
Mekanisme Kerja
Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah sebagai berikut :
·         Stimulasi reseptor α adrenergik yang mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi, dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah.
·         Stimulasi reseptor β1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas dan irama jantung.
·         Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan klirens mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet
Indikasi
Agonis β2 kerja diperlama (seperti salmeterol dan furmoterol) digunakan, bersamaan dengan obat antiinflamasi, untuk kontrol jangka panjang terhadap gejala yang timbul pada malam hari. Obat golongan ini juga dipergunakan untuk mencegah bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik. Agonis β2 kerja singkat (seperti albuterol, bitolterol, pirbuterol, terbutalin) adalah terapi pilihan untuk menghilangkan gejala akut dan bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik.
Efek Samping
Efek samping umumnya berlangsung dalam waktu singkat dan tidak ada efek kumulatif yang dilaporkan. Akan tetapi, tidak berarti pengobatan dihentikan, pada beberapa kasus, perlu dilakukan penurunan dosis untuk sementara waktu.
Kontra Indikasi
Obat simpatomimetik dikontraindikasikan untuk penderita yang alergi terhadap obat dan komponennya (reaksi alergi jarang terjadi), aritmia jantung yang berhubungan dengan takikardia, angina, aritmia ventrikular yang memerlukan terapi inotopik, takikardia atau blok jantung yang berhubungan dengan intoksikasi digitalis (karena isoproterenol), dengan kerusakan otak organik, anestesia lokal di jari tangan, jari, dilatasi jantung, insufisiensi jantung, arteriosklerosis serebral, penyakit jantung organik (karena efinefrin).
2.      Xantin
Mekanisme Kerja
Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan turunannya) akan merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal, merangsang SSP, menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung, menurunkan tekanan sfinkter esofageal bawah dan menghambat kontraksi uterus. Teofilin juga merupakan stimulan pusat pernafasan. Aminofilin mempunyai efek kuat pada kontraktilitas diafragma pada orang sehat dan dengan demikian mampu menurunkan kelelahan serta memperbaiki kontraktilitas pada pasien dengan penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik.
Indikasi
Untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dan bronkospasma reversibel yang berkaitan dengan bronkhitis kronik dan emfisema.
Dosis Aminofilin
Dosis Teofilin
Terapi Kronis menggunakan Teofilin
Dosis awal : 16 mg/kg dalam 24 jam atau 400 mg dalam sehari, yang dibatasi dengan pemberian teofilin anhidrous dalam interval 6-8 jam. Peningkatan dosis : dosis di atas dapat ditingkatkan menjadi 25% dengan interval 3 hari sebagaimana dapat ditoleransi sampai dosis maksimum tercapai.
Dosis Difilin dan Oktrifilin
Nama Obat
Bentuk Sediaan
Dosis
Difilin
Tablet

Eliksir

Dewasa

Dewasa

Anak-anak
15 mg/kg setiap 6 jam
30 – 60 mL setiap 6 jam
Keamanan dan efikasi belum diketahui
Okstrifilin
Tablet, sirup dan eliksir


Dewasa dan Anak lebih dari 12 tahun

Anak-anak 9 - 16 tahun dan perokok dewasa

Anak-anak 1-9 tahun
4,7 mg/kg setiap 8 jam

4,7 mg/kg setiap 6 jam


6,2 mg/kg setiap 6 jam.

Efek Samping
Reaksi efek samping jarang terjadi pada level serum teofilin yang < 20 mcg/mL. Pada level lebih dari 20 mcg/mL : mual, muntah, diare, sakit kepala, insomnia, iritabilitas. Pada level yang lebih dari 35 mcg/mL : hiperglisemia, hipotensi, aritmia jantung, takikardia (lebih besar dari 10 mcg/mL pada bayi prematur), seizure, kerusakan otak dan kematian.
Lain – lain : demam, wajah kemerah-merahan, hiperglikemia, sindrom ketidaksesuaian dengan hormon antiduretik, ruam, kerontokan pada rambut. Etildiamin pada aminofilin dapat menyebabkan reaksi sensitivitas termasuk dermatitis eksfoliatif dan urtikaria.
Kontra Indikasi
Hipersensitivitas terhadap semua xantin, peptik ulser, mengalami gangguan seizure (kecuali menerima obat-obat antikonvulsan yang sesuai). Aminofilin : hipersensitif terhadap etilendiamin. Supositoria aminofilin : iritasi atau infeksi dari rektum atau kolon bagian bawah.
3.      Antikolinergik
a.      Ipratropium Bromida
Mekanisme Kerja
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik (parasimpatolitik) yang akan menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis kerja asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu dan tidak bersifat sistemik serta mempunyai sifat antisekresi dan penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar serosa dan seromukus mukosa hidung.
Indikasi
Digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator lain (terutama beta adrenergik) sebagai bronkodilator dalam pengobatan bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru-paru obstruktif kronik, termasuk bronkhitis kronik dan emfisema.
Dosis dan Cara Penggunaan
Bentuk Sediaan
Dosis
Aerosol
2 inhalasi (36 mcg) empat kali sehari. Pasien boleh menggunakan dosis tambahan tetapi tidak boleh melebihi 12 inhalasi dalam sehari
Larutan
Dosis yang umum adalah 500 mcg (1 unit dosis dalam vial), digunakan dalam 3 sampai 4 kali sehari dengan menggunakan nebulizer oral, dengan interval pemberian 6-8 jam. Larutan dapat dicampurkan dalam nebulizer jika digunakan dalam waktu satu jam.

Efek Samping
Sakit punggung, sakit dada, bronkhitis, batuk, penyakit paru obstruksi kronik yang semakin parah, rasa lelah berlebihan, mulut kering, dispepsia, dipsnea, epistaksis, gangguan pada saluran pencernaan, sakit kepala, gejala seperti influenza, mual, cemas, faringitis, rinitis, sinusitis, infeksi saluran pernapasan atas dan infeksi saluran urin.
Kontra Indikasi
Hipersensitif terhadap ipratropium bromida, atropin dan turunannya.
b.      Tiotropium Bromida
Mekanisme Kerja
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya digunakan sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium menunjukkan efek farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul setelah inhalasi tiotropium bersifat sangat spesifik pada lokasi tertentu.
Indikasi
Tiotropium digunakan sebagai perawatan bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis termasuk bronkitis kronis dan emfisema.
Efek Samping
Efek samping terjadi pada 3% pasien atau lebih, terdiri dari sakit perut, nyeri dada (tidak spesifik), konstipasi, mulut kering, dispepsia, edema, epistaksis, infeksi, moniliasis, myalgia, faringitis, ruam, rhinitis, sinusitis, infeksi pada saluran pernapasan atas, infeksi saluran urin dan muntah.
Kontra Indikasi
Riwayat hipersensitif terhadap atropin atau turunannya, termasuk ipratropium atau komponen sediaan.
4.      Kromolin Sodium dan Nedokromil
a.      Kromolin Natrium
Mekanisme Kerja
Kromolin tidak mempunyai aktifitas intrinsik bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor atau aktivitas glukokortikoid melainkan menghambat pelepasan mediator, histamin dan SRS-A (Slow Reacting Substance Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast. Kromolin bekerja lokal pada paru-paru tempat obat diberikan.
Indikasi
Asma bronkial (inhalasi, larutan dan aerosol) : sebagai pengobatan profilaksis pada asma bronchial.
Dosis dan Cara Penggunaan
·         Larutan nebulizer : dosis awal 20 mg diinhalasi 4 kali sehari dengan interval yang teratur. Pencegahan bronkospasma akut : inhalasi 20 mg (1 ampul/vial) diberikan dengan nebulisasi segera sebelum terpapar faktor pencetus.
·         Aerosol : untuk penanganan asma bronkial pada dewasa dan anak 5 tahun atau lebih. Dosis awal biasanya 2 inhalasi, sehari 4 kali pada interval yang teratur. Pencegahan bronkospasma akut : dosis umum adalah 2 inhalasi secara singkat (misalnya dalam 10 – 15 menit, tidak lebih dari 60 menit) sebelum terpapar faktor pencetus.
·         Oral; Dewasa : 2 ampul, 4 kali sehari, 30 menit sebelum makan dan saat menjelang tidur. Anak – anak 2 – 12 tahun: satu ampul, 4 kali sehari, 30 menit sebelum makan dan saat menjelang tidur. Jika dalam waktu 2-3 minggu perbaikan gejala tidak tercapai, dosis harus ditingkatkan, tetapi tidak melebihi 40mg/kg/hari.
Efek Samping
Efek samping yang terjadi meliputi saluran pernapasan: bronkospasme (biasanya bronkospasma parah yang berhubungan dengan penurunan fungsi paru-paru/FEV1), batuk, edema laringeal (jarang), iritasi faringeal dan napas berbunyi. Efek samping penggunaan aerosol adalah iritasi tenggorokan atau tenggorokan kering, rasa tidak enak pada mulut, batuk, napas berbunyi dan mual.
Kontra Indikasi
Hipersensitif terhadap kromolin atau komponen sediaan.

b.      Nedokromil Natrium
Mekanisme Kerja
Obat ini akan menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan mediator dari berbagai tipe sel berhubungan dengan asma termasuk eosinofil, neutrofil, makrofag, sel mast, monosit dan platelet. Nedokromil menghambat perkembangan respon bronkokonstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap antigen terinhalasi.
Indikasi
Nedokromil diindikasikan untuk asma. Digunakan sebagai terapi pemeliharaan untuk pasien dewasa dan anak usia 6 tahun atau lebih pada asma ringan sampai sedang.
Dosis dan Cara Penggunaan
2 inhalasi , empat kali sehari dengan interval yang teratur untuk mencapai dosis 14 mg/hari. Jika efek pengobatan tercapai dan asma terkendali, usaha untuk menurunkan penggunaan obat secara berturut-turut harus dilaksanakan secara perlahan-lahan.
Efek Samping
Efek samping yang terjadi pada penggunaan nedokromil bisa berupa batuk, faringitis, rinitis, infeksi saluran pernapasan atas, bronkospasma, mual, sakit kepala, nyeri pada dada dan pengecapan tidak enak
5.      Kortikosteroid
Mekanisme Kerja
Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik dengan cara kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid. Yaitu dapat menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung. Penggunaan inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara efektif dengan efek sistemik minimal.

Indikasi
Terapi pemeliharaan dan propilaksis asma, termasuk pasien yang memerlukan kortikosteoid sistemik, pasien yang mendapatkan keuntungan dari penggunaan dosis sistemik, terapi pemeliharaan asma dan terapi profilaksis pada anak usia 12 bulan sampai 8 tahun.
Efek Samping
Iritasi tenggorokan, suara serak, batuk, mulut kering, ruam, pernafasan berbunyi, edema wajah dan sindrom flu.
Kontra Indikasi
Bronkospasma akut yang membaik, terapi utama pada status asmatikus atau episode asma akut lain yang memerlukan tindakan intensif, hipersensitif terhadap beberapa komponen.
6.      Antagonis Reseptor Leukotrien
a.      Zafirlukast
Zafirlukast adalah antagonis reseptor leukotrien D4 dan E4 yang selektif dan kompetitif, komponen anafilaksis reaksi lambat (SRSA - slow-reacting substances of anaphylaxis).
Indikasi
Profilaksis dan perawatan asma kronik pada dewasa dan anak di atas 5 tahun.
Dosis dan Cara Penggunaan
Dewasa dan anak > 12 tahun : 20 mg, dua kali sehari
Anak 5 – 11 tahun : 10 mg, dua kali sehari.
Oleh karena makanan menurunkan bioavailabilitas zafirlukast, penggunaannya sekurang-kurangnya satu jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan.
Efek Samping
Efek samping terjadi pada 3% pasien seperti sakit kepala, mual dan infeksi.
b.      Montelukast Sodium
Montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien selektif dan aktif pada penggunaan oral, yang menghambat reseptor leukotrien sisteinil (CysLT1).
Indikasi
Profilaksis dan terapi asma kronik pada dewasa dan anak-anak > 12 bulan.
Dosis dan Cara Penggunaan
Efek Samping
Asma : Pada anak 6-12 tahun, efek samping yang terjadi dengan frekuensi 2 % adalah diare, laringitis, faringitis, mual, otitis, sinusitis, infeksi virus. Pada anak 2-5 tahun, efek samping yang terjadi dengan frekuensi 2% adalah rinorea, otitis, sakit telinga, bronkhitis, sakit lengan, rasa haus, bersin-bersin, ruam dan urtikaria.
c.       Zilueton
Zilueton adalah inhibitor spesifik 5-lipoksigenase dan selanjutnya menghambat pembentukan (LTB1, LTC1, LTD1, Lte1).
Indikasi
Profilaksis dan terapi asma kronik pada dewasa dan anak > 12 tahun.
Dosis dan Cara Penggunaan
Dosis zilueton untuk terapi asma adalah 600 mg, 4 kali sehari. Untuk memudahkan pemakaian, zilueton dapat digunakan bersama makanan dan pada malam hari.
Efek Samping
Efek samping terjadi pada 3% pasien atau lebih seperti sakit kepala, nyeri, sakit perut, rasa lelah, dispepsia, mual, myalgia.
Kontra Indikasi
Pasien penyakit liver atau kenaikan transaminase 3 kali atau lebih di atas normal, hipersensitivitas terhadap zilueton atau beberapa komponen sediaan
C.     Pelayanan Kefarmasian Asma
Pelayanan farmasi merupakan faktor penting untuk mengontrol dan memanajemen asma. Beberapa penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa pelayanan farmasi disediakan oleh apoteker merupakan bagian penting dalam manajemen asma. Penggunaan obat-obatan pada pasien asma juga soal terkait pengaturan diri dan self management.  Pengobatan asma merupakan long term medication, oleh karena itu kepatuhan pasien dalam menggunakan obat sangat diharapkan. Peran apoteker dalam penatalaksanaan asma yaitu mendeteksi, mencegah dan mengatasi masalah terkait obat yang dapat timbul pada tahapan berikut :
1.      Rencana Pengobatan (Care Plan)
Dalam tim terpadu, peran apoteker adalah memberikan rekomendasi dalam pemilihan obat yang tepat berdasarkan kondisi pasien yang diperoleh dari hasil wawancara dan hasil diagnosa dokter
2.      Implementasi Pengobatan
·         Menyediakan obat (drug supply management)
·         Pemberian informasi dan edukasi
Tujuan pendidikan kepada pasien adalah agar mereka lebih mengerti dan memahami rejimen pengobatan yang diberikan sehingga pasien dapat lebih berperan aktif dalam pengobatannya yang dapat meningkatkan kepatuhan mereka dalam menggunakan obat.



3.      Monitoring dan evaluasi
Monitoring dan evaluasi perlu dilakukan untuk melihat dan meningkatkan keberhasilan terapi. Pelaksanakan kegiatan ini memerlukan pencatatan data pengobatan pasien (medication record).
Penelitian oleh Mehuys et al menunjukkan efektivitas keikutsertaan apoteker untuk mngontrol asma. Mereka menemukan bahwa program berbasis farmasi komunitas pragmatis secara signifikan dapat meningkatkan hasil terapi di pasien asma dewasa. Santos et al dalam penelitiannya pada perawatan farmasi untuk pasien dengan asma persisten melaporkan bahwa konseling yang disediakan oleh apoteker kepada pasien adalah penting untuk membantu dalam pelaksanaan inhalasi yang sesuai penggunaan. Pemberian perawatan farmasi memiliki peran penting dalam pengelolaan asma dan studi tersebut diambil oleh apoteker klinis dapat membantu para profesional kesehatan untuk meningkatkan pasien.
Tujuan dari manajemen asma adalah untuk mendapatkan dan mengontrol penyakit. Apoteker klinis dianjurkan untuk terlibat dalam mengembangkan rencana pengelolaan klinis dan Asma Rencana Aksi untuk pasien asma, meninjau dan mendidik pada teknik inhaler dan melakukan tinjauan rutin.
Pengembangan PCP (Pharmaceutical Care Plan) dapat diringkas sebagai proses lima langkah yang melibatkan format SOAP (data subyektif , data yang obyektif , Pengkajian , dan Rencana perawatan ) . Proses Pharmaceutical Care Plan untuk pasien asma yaitu sbb :
1.      Mengumpulkan Informasi; Apoteker harus mengumpulkan sejarah obat yang akurat, termasuk resep dan obat nonprescription dan alasan obat yang diresepkan atau diambil. Apoteker mungkin harus mendapatkan beberapa informasi dari dokter, seperti hasil uji laboratorium dan rawat inap. Jika demikian, apoteker harus mendapatkan izin tertulis dari pasien sebelum meminta informasi ini . Setelah informasi ini disusun, persiapan PCP dapat dimulai.
2.      Mengidentifikasi Masalah; Dari profil obat pasien, hanya satu masalah yang jelas : diagnosis asma . Jika dapat digunakan, masalah lain juga harus terdaftar. Temuan subyektif adalah penggambaran pasien ( misalnya, "Saya merasa lelah sepanjang waktu, "Saya merasa kembung, " atau "Saya bangun batuk " ). temuan obyektif yaitu yang dapat diamati atau diukur oleh apoteker (misalnya, pasien tampak lelah, tekanan darah 180/105, bintik edema di pergelangan kaki). Pada pasien asma, apoteker akan menggunakan flow meter untuk mengukur ekspirasi puncak pasien dan mencatat hasilnya.
3.      Menilai Masalah; Apoteker menganalisis dan mengintegrasikan informasi yang dikumpulkan dalam langkah 1 dan 2 dan menarik kesimpulan dalam persiapan untuk mengembangkan PCP - pasien tertentu . dalam kasus asma, apoteker mungkin terlebih dahulu menyelidiki etiologi faktor-faktor yang memperburuk asma. Apoteker tidak harus terlibat dalam pengujian kulit, apoteker juga tidak harus melakukansecara  rinci dan sejarah panjang dari semua faktor-faktor yang menyebabkan asma. Namun, apoteker harus berusaha untuk menentukan apakah obat-obatan ( misalnya aspirin, nonsteroidal agen anti - inflamasi, atau beta - blocker ) menyebabkan atau memperburuk asma pada pasien. Dengan demikian , pentingnya obat yang akurat dan lengkap. Selanjutnya, apoteker menilai keparahan asma . Hal ini dapat dicapai ( seperti yang ditunjukkan dalam rencana ) dengan menentukan PEFR , memeriksa pasien gejala dan arus puncak catatan harian , atau menentukan apakah pasien telah dirawat di rumah sakit dan ditempatkan pada steroid atau ventilator mekanik .
4.      Mengembangkan Rencana; apoteker menetapkan tujuan pengobatan yang terkait dengan masing-masing masalah pasien dan menentukan tindakan ditujukan untuk memenuhi setiap tujuan. Setiap tujuan (misalnya, perbaikan yang diinginkan) harus dinyatakan dalam hal hasil terukur yang menunjukkan sejauh mana masalah tertentu memiliki diselesaikan . Seringkali, pasien memiliki beberapa masalah, dan rencana harus cukup komprehensif untuk memiliki efek positif pada kesehatan secara keseluruhan pasien.
5.      Mengevaluasi Pencapaian Hasil
Hasil yang akan digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan dari rencana perawatan PCP harus bermakna, terukur, dan mudah dikelola. Hasil yang spesifik, menjadi indikator yang terukur untuk tujuan pengobatan. Dengan demikian, hasil harus diidentifikasi dalam proses perencanaan.

       


BAB IV

PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan, terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, netrofil dan sel epitel
2.      Pelayanan farmasi merupakan faktor penting untuk mengontrol dan memanajemen asma. Peran apoteker dalam penatalaksanaan asma yaitu mendeteksi, mencegah dan mengatasi masalah terkait obat.

3.       

DAFTAR PUSTAKA


Depkes RI. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik. Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta
Genaro, A.R., 2000. Remington (ed) The Science and Practice of Pharmacy 20th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins Co Walter Kluwers Company
Shanmugam S. et al. 2012. Pharmaceutical care for asthma patients: A Developing Country's Experience. Journal of Research in Pharmacy Practice / Oct-Dec 2012 / Vol 1 / Issue 2. University of Medical Sciences, Isfahan. Iran
Supardi S., Handayani R.S., Raharni, Herman M.I., Susyanty A. L. 2011. Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Dan Kebutuhan Pelatihan Bagi Apotekernya. Buletin penelitian Kesehatan Vol 39. Badan Litbangkes Kemkes RI. Jakarta
Suryaningroma V.S., Fasich, Umi A. 2009. Analisis terhadap Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Penggunaan Obat Asma Inhalasi. Majalah Farmasi Airlangga, Vol.7 No.1. Universitas Airlangga. Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar