Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Jumat, 27 Desember 2013

Agonis Narkotik

“AGONIS NARKOTIK”
HISTORY
Istilah Narkoba yang dikenal di Indonesia berasal dari bahasa Inggris “Narcotics” yang berarti obat bius, yang sama artinya dengan “Narcosis” dalam bahasa Yunani yang berarti menidurkan atau membiuskan (Mudji, 2001).
Opium dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Opium berasal dari kata "opion" yang berarti sari atau getah tanaman poppy. Tanaman poppy yang siap untuk dijadikan opium terlihat pada kulit kelopak bunganya yang matang dengan bilah daun yang meruncing. Kelopak itu kemudian diiris untuk mengeluarkan getah putih yang kemudian dikeringkan menjadi resin berwarna kecokelatan yang agak lengket. Opium yang dihasilkan memiliki beberapa warna mulai dari kuning hingga hitam kecokelatan serta memiliki bau khas dengan rasa agak pahit. Opium menghasilkan alkaloid berupa morfin yang termasuk dalam kategori narkotika.
Morfin pertama kali diisolasi pada 1804 oleh ahli farmasi Jerman  Friedrich Wilhelm Adam Sertürner. pertama didistribusikan oleh Friedrich Sertürner pada tahun 1817, dan komersial pertama dijual oleh Merck pada tahun 1827, yang pada waktu itu sebuah toko kimia kecil. Tapi morfin belum digunakan hingga dikembangkan hypodermic needle (1853). Morfin lebih banyak digunakan setelah penemuan jarum suntik pada tahun 1857. Morfin digunakan para dokter sebagai penawar rasa sakit pada dosis tertentu. Namun demikian, morfin dapat meningkatkan resiko kematian pasien karena depresi pada saluran pernapasan. Morfin dapat mengurangi rasa sakit yang diderita pasien, tapi potensi ketergantungan setelah pemakaian sangat tinggi.
Sampai sintesis dihydromorphine (ca. 1900), kelas dihydromorphinone opioid (1920-an), dan oxycodone (1916) dan obat-obatan yang serupa, biasanya ada tidak ada obat lain dalam kisaran kemanjuran yang sama sebagai opium, morfin, dan heroin, dengan sintetis masih beberapa tahun lagi (pethidine diciptakan di Jerman pada tahun 1937) dan opioid agonis di antara semi-synthetics analogues dan turunan kodein seperti dihydrocodeine (Paracodin), ethylmorphine (Dionine), dan benzylmorphine (Peronine). Bahkan saat ini, morfin adalah yang paling dicari setelah resep narkotika oleh pecandu heroin ketika heroin langka, semua hal-hal lain yang sama; kondisi setempat dan preferensi pengguna dapat menyebabkan hydromorphone, oxymorphone, oxycodone dosis tinggi, atau metadon serta dextromoramide dalam contoh-contoh spesifik seperti Australia tahun 1970-an, ke atas daftar tertentu. Obat-obatan stop-gap yang digunakan oleh terbesar jumlah absolut pecandu heroin mungkin adalah kodein, dengan signifikan juga penggunaan dihydrocodeine, poppy jerami derivatif seperti poppy pod dan teh biji poppy, propoxyphene, dan tramadol.



TEORI UMUM
A.  DEFINISI 
Agonis narkotik atau analgesic opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium. Analgesic opioid terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain.
Opioid terdapat 3 golongan besar :
a. Opioid alamiah (Opiat) : Morfin, Opium, Codein.
b. Opioid semisintetik : Heroin/putauw, Hidromorfin.
c. Opioid sintetik : Metadon.
Opioid alamiah (opiat) berasal dari getah Papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain dan papaverin.
Opioid Semisintetik dibuat dari modifikasi yang relatif sederhana pada molekul morfin. Sebagai contoh, substitusi pada suatu kelompok metil untuk kelompok hidroksil pada karbon 3 yang ditemukan pada metilmorfin (kodein). Substitusi kelompok asetil pada karbon 3 dan 5 yang ditemukan pada diasetilmorfin (heroin). Thebaine memiliki aktivitas analgesik yang tidak signifikan tetapi bekerja sebagai precursor pada etorfin (kekuatan analgesic > 1.000 kali dari morfin).
Opiod sintetik mengandung nucleus phenanthrene dari morfin tetapi dibuat secara sintesis dibandingkan modifikasi kimiawi dari morfin. Derivate morfin (levorphanol), derivate methadone, derivate bezomorphan (pentazocine), dan derivate phenylpiperidine (meperidine, fentanil) merupakan contoh dari kelompok opioid sintetik. Terdapat kesamaan pada berat molekul (236 sampai 326) dan pKs pada derivate phenylpiperidine dan obat anestesi lokal amide.
Penggunaan obat yang tidak berdasarkan indikasi medis, tidak mengindahkan petunjuk penggunaan yang ada pada kemasan atau petunjuk dokter adalah termasuk penyalahgunaan obat-obatan. Dengan makin meningkatnya jenis obat yang tersedia dan beredar bebas, maka makin mening kat pula kemungkinan terjadinya penyalahgunaan obat. Morfin termasuk golongan narkotika yang merupakan salah satu jenis obat yang sering disalahgunakan (Sujudi, 1995).

B.  MEKANISME
Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi sebagai akibat kerja opioid pada reseptor µ. Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medula spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri.
Endomorfin bekerja dengan jalan menduduki reseptor-reseptor nyeri di SSP, hingga perasaan nyeri dapat diblokir. Khasiat analgetis opioida berdasarkan kemampuannya untuk menduduki sisa-sisa reseptor nyeri yang belum ditempati endomorfin. Tetapi, bila analgetika tersebut digunakan terus-menerus, pembentukan reseptor-reseptor baru di stimulasi dan di produksi endorphin di ujung saraf otak dirintangi. Akibatnya terjadilah kebiasaan dan ketagihan (Tjay dan kirana, 2002).
Farmakodinamik :
Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi akibat kerja opioid pada reseptor µ. Reseptor δ dan κ dapat juga ikut berperan dalam menimbulkan analgesia terutama pada tingkat spinal. Morfin juga bekerja melalui reseptor δ dan κ, namun belum di ketahui besarnya peran kerja morfin melalui kedua reseptor ini dalam menimbulkan analgesia. Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang terutama di dapatkan di SSP dan medulla spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri (Gunawan, 2009).
Farmakokinetik :
·         Absorbsi
Absorbsi morfin dari saluran cerna lambat dan bervariasi, dan obat ini biasanya tidak diberikan per-oral. Sebaliknya, kodein diabsorbsi dengan baik jika diberikan per-oral. Metabolisme lintas pertama morfin terjadi di hati; karena itu, suntikan intramuskular, subkutan atau intravena menghasilkan respons yang lebih baik nyata.
Morfin cepat memasuki semua jaringan tubuh, termasuk janin wanita hamil, dan seharusnya tidak diberikan untuk analgesia selama persalinan. Bayi yang lahir dari ibu yang mengalami adiksi menunjukkan ketergantungan fisik opiat dan menunjukkan gejala putus obat jika tidak diberikan opioid.
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama (Gunawan, 2009).
·         Distribusi
ambilan opioid oleh berbagai organ dan jaringan adalah merupakan fungsi faktor fisiologik dan kimia. Meskipun semua opioid terikat pada protein – protein plasma dengan berbagai tingkat afinitas, senyawa – senyawa ini dengan cepat meninggalkan darah dan terlokalisasi dengan konsentrasi tertinggi di jaringan – jaringan yang perfusinya tinggi seperti di paru, hati, ginjal, dan limpa. Walupun konsentrasi obat di otot rangka dapat sangat rendah, jaringan ini merupakan tempat simpanan utama untuk obat karena masanya yang lebih besar. Walaupun demikian, akumulasi dalam jaringan lemak juga penting, terutama pada pemakaian dosis tinggi opioid yang sangat lipofilik, yang lambat dimetabolisme seperti pada fentanil. Kadar opioid – opioid dalam otak biasanya relatif rendah dibanding dengan diorgan – organ tubuh lain karena adanya sawar darah otak. Namun demikian , sawar darah otak lebih mudah dilewati oleh senyawa – senyawa hidroksil aromatik yang disubstitusi pada atom C3, seperti pada heroin dan kodein. Tampaknya lebih banyak kesulitan untuk memperoleh kadar dengan senyawa – senyawa amfoter (misalnya obat – obat yang mempunyai sifat – sifat asam dan basa) seperti morfin. sawar ini pada neonatus masih belum sempurna. Penggunaan analgesik opioid untuk analgesia obstetri dapat menimbulkan depresi pernapasan pada bayi baru lahir.

·         Metabolisme
Morfin dimetabolisme melalui dua jalur, yaitu hepatik dan ekstra hepatik. Morfin dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hepatik sedangkan jalur ekstrahepatik lebih banyak terjadi di ginjal. Sekitar 75-85% dari morfin yang diberikan akan menjadi morfin 3 glukoronat dan 5-10% menjadi morfin 6 glukoronat (rasio 9:1). Sekitar 5% morfin akan mengalami demetilasi menjadi normomorfin dan sebagian kecil diproses menjadi kodein. Metabolit morfin akan dieliminasi melalui urin, sekitar 7-10% diekskresikan melalui empedu. Morfin 3 glukoronat dapat dideteksi dalam urin setelah 72 jam pemberian. Sejumlah kecil morfin (1-2%) ditemukan dalam urin tanpa perubahan (Mawarni, 2010).
Morfin 3 glukoronat merupakan metabolit yang inaktif. Efek analgesia dan depresi napas ditimbulkan oleh morfin 6 glukoronat melalui aktivasi reseptor µ. Gangguan ventilasi karbon dioksida dipengaruhi oleh morfin dan morfin 6 glukoronat (Mawarni, 2010).
Metabolisme ginjal memegang peranan utama dalam metabolisme morfin. Hal ini menjelaskan mengapa tidak terjadi penurunan klirens morfin plasma pada pasien cirrhosis hepatis atau pada fase anhepatik pasien transplantasi hati. Hal ini dimungkinkan karena terjadinya peningkatan metabolisme morfin di ginjal pada pasien dengan gangguan hati. Sebaliknya pada pasien gagal ginjal, ekskresi morfin glukoronat akan terganggu dan menyebabkan akumulasi metabolit morfin dan depresi napas yang tak terduga pada dosis opioid kecil. Ikatan morfin glukoronat juga dapat dirusak oleh monoamin oksidase inhibitor yang akan menyebabkan efek morfin yang berlebihan bila kedua obat diberikan bersamaan (Mawarni, 2010).
·         Ekskresi
Metabolit polar opioid diekskresi terutama melalui ginjal. Sebagian kecil opioid diekskresi dalam bentuk tidak berubah. Konjugasi glukoronid juga diekskresi kedalam empedu, tetapi sirkulasi enterohepatik hanya merupakan bagian kecil dari proses ekskresi.

C.  RUMUS




      
Morfin adalah salah satu zat atau bagian terpenting dari candu, yang dalam ilmu kimia mempunyai rumus C17H19NO3 dengan berat molekul 285,3. Morfin rasanya pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikkan.



D.  BIOSINTESA
·         Morfin

E.  INTERAKSI OBAT
·         Terhadap obat lain
Efek depresi SSP beberapa opiod dapat diperhebat dan diperpanjang oleh fenotiazin, penghambat monoamin oksidase dan antidepresi trisiklik. Mekanisme supraaditif ini tidak diketahui dengan tepat, mungkin menyangkut perubahan dalam kecepatan biotransformasi opiod atau perubahan pada neurotransmiter yang berperan dalam kerja opioid. Beberapa fenotiazin mengurangi jumlah opiod yang diperlukan untuk menimbulkan tingkat analgesia tertentu. Tetapi efek sedasi dan depresi napas akibat morfin akan diperberat oleh fenotiazin tertentu. Dan selain itu ada efek hipotensi fenotiazin.
                        Beberapa derivat fenotiazin meningkatkan efek sedasi, tetapi dalam saat yang sama bersifat antianalgetik dan meningkatkan jumlah opioid yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri. Dosis kecil amfetamin meningkatkan efek analgetik dan euforia morfin dan dapat mengurangi efek sedasinya. Selain itu didapatkan sinergisme analgetik antara opioid dan obat-obat sejenis aspirin (Gunawan, 2009).
·         Antidepresan (MAOi & trisklik) : Potensiasi efek antidepresan.
·         Agonis opiod lainnya, anestetik umum, trankuilizer, sedative, hipnotik : Potensiasi efek depresi sistem saraf pusat.
·         Relaksan otot : Opioid dpt meningkatkan kerja penghambatan neuromuscular.
·         Kumarin antikoagulan : Potensiasi aktivitas antikoagulan.
·         Diuretik : Opioid menurunkan efek diuretic pada pasien dengan kongestif jantung.
·         Amfetamin : Dekstroamfetamin dapat meningkatkan efek analgetik agonis opioid

F.   OBAT PILIHAN UNTUK KASUS NYERI/PERADANGAN
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Untunglah pada nyeri hebat depresi napas oleh morfin jarang terjadi, sebab nyeri merupakan antidotum fisiologik bagi efek depresi napas morfin.
Morfin berupa serbuk berwarna putih digunakan dalam pengobatan untuk menghilangkan rasa nyeri. Dalam bentuk sustained released tablet digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri yang hebat pada penderita kanker, operasi, dan lain-lain. Morfin dapat mengakibatkan ketergantungan fisik, psikis, dan toleransi sehingga penggunaan dalam pengobatan sangat dibatasi (Semiun, 2006).


DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Sulistia Gan., 2009, Farmakologi dan Terapi, UI Press, Jakarta

Mawarni, D., 2010, Farmakologi Obat-obatan Opioid dan Hipnotik Sedatif, Universitas Sriwijaya Press, Palembang

Mudji Waluyo, 2001, Penanggulangan Penyalahgunaan Bahaya Narkoba, Jakarta: Dit Bimmas Polri, h. 3
Semiun, Yustina, 2006, Kesehatan Mental 2, Kanisius, Yogyakarta

Sujudi, Adhyatma, Slamet Susilo, dan Wisnu Katim, 1995, Farmakope Indonesia,  Edisi IV Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Suryadhi, M. A. Hitapretiwi dan N. M. Suaniti, Penentuan Kuantitatif Morfin Dalam Urin Secara Spektrofotodensitometri, JURNAL KIMIA 1 (1), JULI 2007: 67-79, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2002, Obat-Obat Penting, Edisi kelima, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar