“AGONIS
NARKOTIK”
HISTORY
Istilah
Narkoba yang dikenal di Indonesia berasal dari bahasa Inggris “Narcotics” yang berarti obat bius, yang
sama artinya dengan “Narcosis” dalam
bahasa Yunani yang berarti menidurkan atau membiuskan (Mudji, 2001).
Opium
dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Opium berasal dari kata "opion" yang
berarti sari atau getah tanaman poppy. Tanaman poppy yang siap untuk dijadikan
opium terlihat pada kulit kelopak bunganya yang matang dengan bilah daun yang
meruncing. Kelopak itu kemudian diiris untuk mengeluarkan getah putih yang
kemudian dikeringkan menjadi resin berwarna kecokelatan yang agak lengket. Opium
yang dihasilkan memiliki beberapa warna mulai dari kuning hingga hitam
kecokelatan serta memiliki bau khas dengan rasa agak pahit. Opium menghasilkan
alkaloid berupa morfin yang termasuk dalam kategori narkotika.
Morfin
pertama kali diisolasi pada 1804 oleh ahli farmasi Jerman Friedrich Wilhelm Adam Sertürner. pertama
didistribusikan oleh Friedrich Sertürner pada tahun 1817, dan komersial pertama
dijual oleh Merck pada tahun 1827, yang pada waktu itu sebuah toko kimia kecil.
Tapi morfin belum digunakan hingga dikembangkan hypodermic needle (1853). Morfin
lebih banyak digunakan setelah penemuan jarum suntik pada tahun 1857. Morfin digunakan
para dokter sebagai penawar rasa sakit pada dosis tertentu. Namun demikian,
morfin dapat meningkatkan resiko kematian pasien karena depresi pada saluran
pernapasan. Morfin dapat mengurangi rasa sakit yang diderita pasien, tapi
potensi ketergantungan setelah pemakaian sangat tinggi.
Sampai
sintesis dihydromorphine (ca. 1900), kelas dihydromorphinone opioid (1920-an),
dan oxycodone (1916) dan obat-obatan yang serupa, biasanya ada tidak ada obat
lain dalam kisaran kemanjuran yang sama sebagai opium, morfin, dan heroin,
dengan sintetis masih beberapa tahun lagi (pethidine diciptakan di Jerman pada
tahun 1937) dan opioid agonis di antara semi-synthetics analogues dan turunan
kodein seperti dihydrocodeine (Paracodin), ethylmorphine (Dionine), dan
benzylmorphine (Peronine). Bahkan saat ini, morfin adalah yang paling dicari
setelah resep narkotika oleh pecandu heroin ketika heroin langka, semua hal-hal
lain yang sama; kondisi setempat dan preferensi pengguna dapat menyebabkan
hydromorphone, oxymorphone, oxycodone dosis tinggi, atau metadon serta
dextromoramide dalam contoh-contoh spesifik seperti Australia tahun 1970-an, ke
atas daftar tertentu. Obat-obatan stop-gap yang digunakan oleh terbesar jumlah
absolut pecandu heroin mungkin adalah kodein, dengan signifikan juga penggunaan
dihydrocodeine, poppy jerami derivatif seperti poppy pod dan teh biji poppy,
propoxyphene, dan tramadol.
TEORI
UMUM
A. DEFINISI
Agonis narkotik atau analgesic opioid merupakan kelompok obat yang
memiliki sifat seperti opium. Analgesic opioid terutama digunakan untuk
meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperlihatkan berbagai
efek farmakodinamik yang lain.
Opioid terdapat 3 golongan besar :
a. Opioid alamiah
(Opiat) : Morfin, Opium, Codein.
b. Opioid
semisintetik : Heroin/putauw, Hidromorfin.
c. Opioid sintetik
: Metadon.
Opioid alamiah (opiat) berasal
dari getah Papaver somniferum mengandung
sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain dan papaverin.
Opioid Semisintetik dibuat dari modifikasi yang relatif sederhana
pada molekul morfin. Sebagai contoh, substitusi pada suatu kelompok metil untuk
kelompok hidroksil pada karbon 3 yang ditemukan pada metilmorfin (kodein).
Substitusi kelompok asetil pada karbon 3 dan 5 yang ditemukan pada
diasetilmorfin (heroin). Thebaine memiliki aktivitas analgesik yang tidak
signifikan tetapi bekerja sebagai precursor pada etorfin (kekuatan analgesic
> 1.000 kali dari morfin).
Opiod sintetik mengandung nucleus phenanthrene dari morfin tetapi
dibuat secara sintesis dibandingkan modifikasi kimiawi dari morfin. Derivate
morfin (levorphanol), derivate methadone, derivate bezomorphan (pentazocine),
dan derivate phenylpiperidine (meperidine, fentanil) merupakan contoh dari
kelompok opioid sintetik. Terdapat kesamaan pada berat molekul (236 sampai 326)
dan pKs pada derivate phenylpiperidine dan obat anestesi lokal amide.
Penggunaan obat yang tidak berdasarkan indikasi medis, tidak
mengindahkan petunjuk penggunaan yang ada pada kemasan atau petunjuk dokter
adalah termasuk penyalahgunaan obat-obatan. Dengan makin meningkatnya jenis
obat yang tersedia dan beredar bebas, maka makin mening kat pula kemungkinan
terjadinya penyalahgunaan obat. Morfin termasuk golongan narkotika yang
merupakan salah satu jenis obat yang sering disalahgunakan (Sujudi, 1995).
B. MEKANISME
Efek
analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi sebagai akibat kerja
opioid pada reseptor µ. Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan
dengan reseptor opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medula spinalis yang
berperan pada transmisi dan modulasi nyeri.
Endomorfin
bekerja dengan jalan menduduki reseptor-reseptor nyeri di SSP, hingga perasaan
nyeri dapat diblokir. Khasiat analgetis opioida berdasarkan kemampuannya untuk
menduduki sisa-sisa reseptor nyeri yang belum ditempati endomorfin. Tetapi,
bila analgetika tersebut digunakan terus-menerus, pembentukan reseptor-reseptor
baru di stimulasi dan di produksi endorphin di ujung saraf otak dirintangi.
Akibatnya terjadilah kebiasaan dan ketagihan (Tjay dan kirana, 2002).
Farmakodinamik
:
Efek
analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi akibat kerja opioid
pada reseptor µ. Reseptor δ dan κ dapat juga ikut berperan dalam menimbulkan
analgesia terutama pada tingkat spinal. Morfin juga bekerja melalui reseptor δ
dan κ, namun belum di ketahui besarnya peran kerja morfin melalui kedua
reseptor ini dalam menimbulkan analgesia. Opioid menimbulkan analgesia dengan
cara berikatan dengan reseptor opioid yang terutama di dapatkan di SSP dan
medulla spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri (Gunawan,
2009).
Farmakokinetik :
·
Absorbsi
Absorbsi morfin dari saluran cerna
lambat dan bervariasi, dan obat ini biasanya tidak diberikan per-oral.
Sebaliknya, kodein diabsorbsi dengan baik jika diberikan per-oral. Metabolisme
lintas pertama morfin terjadi di hati; karena itu, suntikan intramuskular,
subkutan atau intravena menghasilkan respons yang lebih baik nyata.
Morfin cepat memasuki semua jaringan
tubuh, termasuk janin wanita hamil, dan seharusnya tidak diberikan untuk
analgesia selama persalinan. Bayi yang lahir dari ibu yang mengalami adiksi
menunjukkan ketergantungan fisik opiat dan menunjukkan gejala putus obat jika
tidak diberikan opioid.
Morfin
tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin
juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik
setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul
setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama (Gunawan, 2009).
·
Distribusi
ambilan
opioid oleh berbagai organ dan jaringan adalah merupakan fungsi faktor
fisiologik dan kimia. Meskipun semua opioid terikat pada protein – protein
plasma dengan berbagai tingkat afinitas, senyawa – senyawa ini dengan cepat
meninggalkan darah dan terlokalisasi dengan konsentrasi tertinggi di jaringan –
jaringan yang perfusinya tinggi seperti di paru, hati, ginjal, dan limpa.
Walupun konsentrasi obat di otot rangka dapat sangat rendah, jaringan ini
merupakan tempat simpanan utama untuk obat karena masanya yang lebih besar.
Walaupun demikian, akumulasi dalam jaringan lemak juga penting, terutama pada
pemakaian dosis tinggi opioid yang sangat lipofilik, yang lambat dimetabolisme
seperti pada fentanil. Kadar opioid – opioid dalam otak biasanya relatif rendah
dibanding dengan diorgan – organ tubuh lain karena adanya sawar darah otak.
Namun demikian , sawar darah otak lebih mudah dilewati oleh senyawa – senyawa
hidroksil aromatik yang disubstitusi pada atom C3, seperti pada heroin dan
kodein. Tampaknya lebih banyak kesulitan untuk memperoleh kadar dengan senyawa
– senyawa amfoter (misalnya obat – obat yang mempunyai sifat – sifat asam dan
basa) seperti morfin. sawar ini pada neonatus masih belum sempurna. Penggunaan
analgesik opioid untuk analgesia obstetri dapat menimbulkan depresi pernapasan
pada bayi baru lahir.
·
Metabolisme
Morfin
dimetabolisme melalui dua jalur, yaitu hepatik dan ekstra hepatik. Morfin
dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hepatik sedangkan jalur ekstrahepatik
lebih banyak terjadi di ginjal. Sekitar 75-85% dari morfin yang diberikan akan
menjadi morfin 3 glukoronat dan 5-10% menjadi morfin 6 glukoronat (rasio 9:1).
Sekitar 5% morfin akan mengalami demetilasi menjadi normomorfin dan sebagian
kecil diproses menjadi kodein. Metabolit morfin akan dieliminasi melalui urin,
sekitar 7-10% diekskresikan melalui empedu. Morfin 3 glukoronat dapat dideteksi
dalam urin setelah 72 jam pemberian. Sejumlah kecil morfin (1-2%) ditemukan
dalam urin tanpa perubahan (Mawarni, 2010).
Morfin
3 glukoronat merupakan metabolit yang inaktif. Efek analgesia dan depresi napas
ditimbulkan oleh morfin 6 glukoronat melalui aktivasi reseptor µ. Gangguan
ventilasi karbon dioksida dipengaruhi oleh morfin dan morfin 6 glukoronat
(Mawarni, 2010).
Metabolisme
ginjal memegang peranan utama dalam metabolisme morfin. Hal ini menjelaskan
mengapa tidak terjadi penurunan klirens morfin plasma pada pasien cirrhosis
hepatis atau pada fase anhepatik pasien transplantasi hati. Hal ini dimungkinkan
karena terjadinya peningkatan metabolisme morfin di ginjal pada pasien dengan
gangguan hati. Sebaliknya pada pasien gagal ginjal, ekskresi morfin glukoronat
akan terganggu dan menyebabkan akumulasi metabolit morfin dan depresi napas
yang tak terduga pada dosis opioid kecil. Ikatan morfin glukoronat juga dapat
dirusak oleh monoamin oksidase inhibitor yang akan menyebabkan efek morfin yang
berlebihan bila kedua obat diberikan bersamaan (Mawarni, 2010).
·
Ekskresi
Metabolit
polar opioid diekskresi terutama melalui ginjal. Sebagian kecil opioid
diekskresi dalam bentuk tidak berubah. Konjugasi glukoronid juga diekskresi
kedalam empedu, tetapi sirkulasi enterohepatik hanya merupakan bagian kecil
dari proses ekskresi.
C. RUMUS
Morfin
adalah salah satu zat atau bagian terpenting dari candu, yang dalam ilmu kimia
mempunyai rumus C17H19NO3 dengan berat molekul
285,3. Morfin rasanya pahit, berbentuk
tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya
dengan cara dihisap dan disuntikkan.
D. BIOSINTESA
·
Morfin
E. INTERAKSI OBAT
·
Terhadap
obat lain
Efek depresi SSP beberapa opiod dapat diperhebat dan
diperpanjang oleh fenotiazin, penghambat monoamin oksidase dan antidepresi
trisiklik. Mekanisme supraaditif ini tidak diketahui dengan tepat, mungkin
menyangkut perubahan dalam kecepatan biotransformasi opiod atau perubahan pada
neurotransmiter yang berperan dalam kerja opioid. Beberapa fenotiazin
mengurangi jumlah opiod yang diperlukan untuk menimbulkan tingkat analgesia
tertentu. Tetapi efek sedasi dan depresi napas akibat morfin akan diperberat
oleh fenotiazin tertentu. Dan selain itu ada efek hipotensi fenotiazin.
Beberapa derivat
fenotiazin meningkatkan efek sedasi, tetapi dalam saat yang sama bersifat
antianalgetik dan meningkatkan jumlah opioid yang diperlukan untuk
menghilangkan nyeri. Dosis kecil amfetamin meningkatkan efek analgetik dan
euforia morfin dan dapat mengurangi efek sedasinya. Selain itu didapatkan
sinergisme analgetik antara opioid dan obat-obat sejenis aspirin (Gunawan,
2009).
·
Antidepresan (MAOi & trisklik) : Potensiasi
efek antidepresan.
·
Agonis opiod lainnya, anestetik umum,
trankuilizer, sedative, hipnotik : Potensiasi efek depresi sistem saraf pusat.
·
Relaksan otot : Opioid dpt meningkatkan kerja
penghambatan neuromuscular.
·
Kumarin antikoagulan : Potensiasi aktivitas
antikoagulan.
·
Diuretik : Opioid menurunkan efek diuretic pada
pasien dengan kongestif jantung.
·
Amfetamin : Dekstroamfetamin dapat meningkatkan
efek analgetik agonis opioid
F.
OBAT
PILIHAN UNTUK KASUS NYERI/PERADANGAN
Morfin dan opioid
lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang
tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin
besar dosis yang diperlukan. Untunglah pada nyeri hebat depresi napas oleh
morfin jarang terjadi, sebab nyeri merupakan antidotum fisiologik bagi efek
depresi napas morfin.
Morfin berupa serbuk berwarna putih digunakan dalam pengobatan
untuk menghilangkan rasa nyeri. Dalam bentuk sustained released tablet
digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri yang hebat pada penderita kanker,
operasi, dan lain-lain. Morfin dapat mengakibatkan ketergantungan fisik,
psikis, dan toleransi sehingga penggunaan dalam pengobatan sangat dibatasi (Semiun, 2006).
DAFTAR
PUSTAKA
Gunawan,
Sulistia Gan., 2009, Farmakologi dan Terapi, UI Press, Jakarta
Mawarni, D., 2010, Farmakologi Obat-obatan Opioid dan Hipnotik
Sedatif, Universitas Sriwijaya Press, Palembang
Mudji Waluyo, 2001, Penanggulangan Penyalahgunaan Bahaya Narkoba,
Jakarta: Dit Bimmas Polri, h. 3
Semiun,
Yustina, 2006, Kesehatan Mental 2,
Kanisius, Yogyakarta
Sujudi,
Adhyatma, Slamet Susilo, dan Wisnu Katim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Suryadhi, M. A. Hitapretiwi dan N. M. Suaniti, Penentuan Kuantitatif Morfin Dalam Urin Secara
Spektrofotodensitometri, JURNAL
KIMIA 1 (1), JULI 2007: 67-79, Universitas
Udayana, Bukit Jimbaran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar