MODEL MOLEKULER DARI INTERAKSI
OBAT-RESEPTOR
Secara
khusus interaksi antar obat-reseptor berasal dari kinetika aksi massa yang
digambarkan oleh persamaan J Clark yang membentuk teori kerangka reseptor.
Kemampuan obat untuk menghasilkan respon fisiologis yang digambarkan oleh
kontanta teori yang diperkenalkan oleh Ariens dan kemudian oleh Stephenson.
Persamaan dihasilkan membentuk dasar teori pendudukan. Dari kajian-kajian
elektropsikologi pada kanal ion, terjadi perubahan dari reseptor yang dikenal
dengan two state teory. Teori ini menjelaskan reseptor yang bisa membentuk
spesies heterotrimetic dalam membrane biologis sehingga terjadi pengembangan
model-model matematika yang lebih spesifik tentang mekanisme reseptor.
A. TEORI
RESEPTOR
Konsep reseptor telah tersirat sepanjang sejarah. Pada tahun
1685, Robert Boyle mengusulkan bahwa untuk bagian tubuh yang berbeda memiliki
tekstur yang berbeda pula, sehingga ikatan substansinya pun akan berbeda;
gagasan tersebut menjadi dasar timbulnya interaksi obat-reseptor.
Pada tahun 1987, seorang mahasiswa di Cambridge yang bernama
Langley menerangkan antagonis pilokarpin oleh atropin. Dalam makalah yang
dipublikasikan pada 1878, Langley membayangkan konsep reseptor “....terdapat
satu atau beberapa bahan pada ujung saraf atau kelenjar sel dimana atropin dan
pilokarpin mampu membentuk suatu campuran”.
Pada tahun yang sama, Paul Ehrlich telah lulus dari
Universitas Leipzig dan dalam tesisnya mengenai pewarnaan jaringan tubuh dia
menyarankan bahwa warna adalah hasil dari interaksi kimia diantara dua komponen.
Dalam pekerjaannya tentang immunisasi “penerimaan rantai samping”, dimana
Ehrlich telah membaca hasil penelitian Emil Fischer yang telah merumuskan teori
aksi enzim sehingga dia mengusulkan bahwa rantai samping berinteraksi dengan
toksin seperti kunci dan anak kunci. Gagasan ini menjadi petunjuk pada
pekerjaan besarnya dalam bidang kemoterapi.
Mahasiswa Universitas Cambridge A.J.Clark, merupakan orang
pertama yang mengaplikasikan dasar-dasar matematika pada teori reseptor obat.
Beliau telah mempelajari efek asetilkolin pada berbagai macam jaringan yang
telah diisolasi dan menuliskan hubungan antara konsentrasi obat dan respon yang
berhubungan erat dengan persamaan berikut:
K.x
= y/(100-y) [1]
Dimana x adalah konsentrasi obat dan y adalah persentase
respon maksimal dari obat.
Pada tahun 1937, Clark mempublikasikan sebuah buku yang
berisi teori interaksi obat dan reseptor. Akan tetapi masalah utama pada waktu
ini adalah kurangnya pengetahuan mengenai hubungan antara kedudukan reseptor
dan respon jaringan, sehingga Clark membuat asumsi sederhana dalam bukunya
tersebut, yaitu:
·
Respon maksimal suatu obat (Em) merupakan respon
maksimal pada jaringan
·
Respon jaringan fraksional (EA/Em) sebanding
dengan kedudukan reseptor fraksional ([A.R]/[Rt])
Di bawah ini merupakan persamaan yang menggambarkan respon
suatu obat A dalam jaringan yang dijelaskan oleh Clark:
= =
Dimana KA adalah konstanta disosiasi kompleks obat-reseptor.
Clark menyadari bahwa hubungan antara kedudukan reseptor oleh obat dan respon
tidak selalu linear, maka keadaan yang digambarkan pada Persamaan tersebut
sangatlah terbatas.
Konsep Langley dan Ehrlich dan juga gagasan Clark tergantikan
dengan konsep pengujian biologis (bioassay), yaitu pengukuran secara
kuantitatif dari efek obat dalam sistem biologis yang utuh. Konsep bioassay ini
dipelopori oleh Sir John Gaddum, Sir Hanry Dale dan Harold Bum.
Prasyarat utama pada pengujian biologis adalah sistem
pengukuran yang stabil. Alat utama untuk farmakologi kuantitatif adalah isolasi
jaringan, Skema sistem pengujian fungsi organ melalui isolasi jaringan dapat
dilihat pada Gambar 1. Jaringan ditempatkan dalam heated organ bath, dan
fungsi organ (seperti kontraksi) direkam pada alat yang sederhana yang disebut kymograph
yang terdiri dari pengungkit dimana ujung yang satu terikat pada jaringan
dan yang lain pada pen yang dipres pada smoke rotating drum dengan
gravitasi. Jika jaringan berkontraksi, secara spontan atau karena respon obat,
pengungkit tertarik ke atas dan hasilnya tercatat. Bioassay memungkinkan ahli
farmakologi untuk melakukan studi tentang efek dari perubahan struktur kimia
dari aktifitas biologi. Hal ini penting untuk rekonstruksi dari teori reseptor
untuk mengakomodasi interaksi obat dengan reseptor. Dengan melihat sejumlah
efek obat menggunakan bioassay, ahli farmakologi memulai dialog dengan ahli
kimia medisinal untuk memperbaiki aktivitas dari bahan aktif biologi yang telah
diketahui sehingga ilmu pencarian obat pun lahir. Salah satu contoh hubungan
struktur dan aktivitas farmakologis diperlihatkan pada Gambar 2.
Gambar 1.
Skema menggambarkan sistem pencucian organ untuk isolasi jaringan. Jaringan
dicuci dalam heated phisiologic fluid yang mengandung nutrien dan
oksigen pada pH yang disyaratkan. Kontraksi dan relaksasi dari jaringan direkam
pada alat kymograph.
Gambar 2. Hubungan
struktur dan aktivitas ketokolamin yang menghasilkan relaksasi pada trachea
tikus. Dapat dilihat dari gambar bahwa perbedaan substituen R pada gugus amino
menghasilkan peningkatan bronkodilasi
Selanjutnya E.J Ariens memperkenalkan faktor
proporsionalitas, dimana konstanta ini digunakan untuk memperhitungkan fakta
bahwa beberapa agonis menghasilkan respon maksimal yang berada di bawah respons
maksimum agonis lainnya. Ia menyebut konstanta proporsionalitas sebagai
aktivitas intrinsik (ditunjukkan α), pencantuman istilah ini memberikan
persamaan bahwa efek suatu obat memenuhi persamaan berikut:
= = [4]
Skala untuk α adalah satuan unit, dimana nilai 1
untuk agonis penuh dan 0 untuk antagonis yang tidak menghasilkan respon
jaringan secara langsung. Bila nilai α adalah 0,4 berarti bahwa agonis dapat
menghasilkan 40% dari respon maksimal jaringan (agonis parsial).
Seorang ahli farmakologis Inggris, R.P. Stephenson
memperkenalkan istilah stimulus dan mengusulkan bahwa obat yang dihasilkan oleh
stimulus/rangsangan sesuai dengan persamaan berikut:
Dimana e merupakan konstanta
proporsional yang disebut efficacy. Kekuatan pendekatan ini terjadi pada
respon jaringan, sparameter eksperimental yang diobservasi menjelaskan suatu
fungsi monotonik pada stimulus:
Fungsi monotonik yang diberi nama
hubungan stimulus respon. Ini sangat penting dalam perkembangan farmakologi
reseptor sebagai dasar kerja reseptor (aktivasi reseptor) yang dipisahkan dari
kerja jaringan dalam aktifitas fisiologis. Gambar 3, menggambarkan kedudukan
reseptor suatu obat dapat didefenisikan pada sumbu absis pada kurva hubungan
stimulus dan respon, dan proses tersebut dikontrol oleh jumlah respon jaringan
yang diperoleh dari tingkat kedudukan reseptor. Pemisahan ikatan obat reseptor
dan hasil respon fisiologis menjadi dasar untuk perkembangan konsep teori
reseptor.
Gambar
3. Hubungan
kedudukan reseptor dan respon jaringan yang didefenisikan oleh Stephenson.
Pendudukan reseptor oleh agonis menghasilkan sejumlah stimulus.
B. TWO STATE TEORY
Two state teory adalah model
sederhana untuk dapat mendeskripsikan interaksi antara obat dengan reseptornya.
Teori tersebut menggunakan tetapan disosiasi untuk menjelaskan hubungan antara
ligan dengan reseptor. Terikatnya ligan menghasilkan perubahan bentuk reseptor
dari inaktif menjadi aktif berdasarkan konformasinya. Reseptor yang aktif
tersebut pada akhirnya akan menghasilkan respon biologis.
Dua ide utama yang merevolusi teori reseptor terjadi
pada tahun setelah Stephenson menyajikan tentang efikasi dan stimulus. Gagasan
pertama datang dari studi tentang kanal ion. Pada dasarnya kanal ion adalah
suatu protein membran yang terdapat pada lapisan lipid membran sel. Ia terdiri
dari beberapa sub-unit protein yang tersusun membentuk porus. Kanal ion umumnya
bersifat spesifik terhadap ion tertentu, artinya hanya dapat dilewati atau
memiliki afinitas terhadap ion-ion tertentu saja, seperti kanal ion K+ atau
kanal ion Na+. Namun demikian ada juga beberapa kanal ion yang memiliki
afinitas terhadap lebih dari satu ion. Pembukaan dan penutupan kanal ion dapat
diatur oleh suatu senyawa kimia, sinyal elektrik, atau kekuatan mekanik,
tergantung pada jenis kanalnya. Dengan mengatur dan mengontrol aliran ion,
kanal ion dapat menjaga muatan negatif yang dimiliki oleh sel pada kondisi
istirahat.
Teori two-state penting untuk memahami fungsi
reseptor, karena menawarkan mekanisme molekuler dan mekanisme kimia untuk obat
yang secara aktif mengubah sistem fisiologis. Obat yang memiliki afinitas yang
berbeda untuk dua konformasi protein dapat mengubah proporsi relatif protein
ini dalam sistem.
Gambar
4. Teori
two state. A. Diagram skematik yang menggambarkan reseptor dalam dua
keadaan konformasi yakni aktif (Ra) dan inaktif (Ri) berdasarkan interaksinya
dengan protein membran lain. B. Interaksi obat A dalam sistem reseptor two-state.
Afinitas dari A dalam keadaan inaktif adalah K. Afinitas untuk keadaan aktif
dipengaruhi oleh faktor α.
Gagasan besar kedua yang mengubah teori reseptor
adalah bahwa beberapa reseptor pada membran mentranslokasi dalam ruang membran
dua dimensi dan berinteraksi dengan ikatan membran protein lainnya untuk
memulai terjadinya fungsi fisiologis. Ide ini, pertama kali diusulkan oleh
Pedro Cuatrecasas, dimana menggambarkan model heterotrimerik kerja obat yang
terdiri dari obat, reseptor, dan ikatan membran protein kopling yang berkaitan
dengan derajat yang berbeda pada pengikatan obat
Sistem heterotrimerik yang paling umum adalah
reseptor 7-transmembran (7TM). Model reseptor 7-transmembran, yang merupakan suatu
model kompleks, menguraikan kesetimbangan dinamis antara reseptor dan protein
yang terikat membran yang disebut G-protein, yang digunakan untuk mengaktifkan
efektor berbagai sel .
Reseptor yang terikat protein G merupakan family terbesar
dari reseptor membran sel. Reseptor ini menjadi mediator dari respon seluler
berbagai molekul, seperti ; hormon, neurotransmitter, mediator lokal, dll.
Reseptor terikat protein G merupakan suatu rantai polipeptida tunggal, yang
keluar masuk sel hingga 7 kali, sehingga dikatakan memiliki 7-transmembran .
G-protein itu sendiri merupakan protein
heterotrimerik yang memiliki aktivitas enzim intrinsik untuk degradasi guanosin
trifosfat dan yang juga dapat memisahkan pada saat aktivasi oleh reseptor. Subunit
yang dipisahkan bermigrasi ke efektor seperti enzim adenilat siklase atau
berbagai kanal ion untuk menginduksi respon sel. Hal ini menjelaskan bahwa
respon fisiologis berasal dari aktivasi protein G-reseptor, bukan RaG atau A Ra
G. A Ra G adalah kompleks terner antara reseptor, obat, dan G-protein --- maka
dinamakan model kompleks terner .
Konsep kompleks terner dapat digeneralisasi untuk
pembentukan reseptor heterotrimetrik, yang terdiri dari obat, reseptor, dan
protein lain yang spesifik untuk reseptor. Dalam semua kasus, gagasan tentang
jenis terner sangat memudahkan selektivitas dimana sel dapat memilih sinyal
yang masuk dan merupakan metode yang baik untuk amplifikasi.
B.
Model Matematika Teori Reseptor
1.
Dasar-Dasar Pemodelan Matematis Sistem Reseptor Secara Umum
Salah satu cara untuk memahami kinerja suatu sistem
yang kompleks adalah dengan membuat model matematisnya. Terdapat aspek-aspek
tertentu dari model ini yang bisa digunakan untuk sistem yang sederhana maupun
kompleks. Sebagai contoh, model sederhana dari kompleks terner untuk reseptor
7TM bisa dituliskan sebagai A. R
Ketika persamaan di atas terus
diturunkan maka akan diperoleh persamaan baru dimana 1/K1 dinotasikan sebagai
KA dan merupakan skala untuk konsentrasi obat yang menghasilkan efek (yaitu
ketika [A]/KA = 1, dimana obat terdapat pada reseptor pada suatu konsentrasi
dimana obat terikat pada setengah populasi dari reseptor). Pada kondisi ini, maka
diperoleh persamaan berikut:
Pada Gambar 5, ditunjukkan produksi
kompleks terner ,A R G- yang dinyatakan sebagai fraksi dari [R] berdasarkan
persamaan di atas dan efek dari perbedaan konsentrasi [G] pada sistem reseptor.
Dari gambar dapat dilihat bahwa peningkatan jumlah G akan membuat sistem
menjadi lebih sensitif terhadap agonis.
Gambar 5. (A)
Kurva dosis-respon yang dibuat berdasarkan Persamaan 15 untuk aktivasi reseptor
oleh agonis dengan adanya variasi konsentrasi dari protein G. Reseptor, agonis,
dan protein G membentuk kompleks terner. (B) Efek dari kuantitas/jumlah
dari protein G pada afinitas yang terobservasi dari agonis pada sistem (atau
dapat juga dinyatakan sebagai sensitivitas yang terobservasi dari sistem
terhadap agonis). Apabila rasio protein G dengan reseptor meningkat, maka
potensi agonis juga meningkat.
Teknik atau metode lainnya dalam membuat
model matematis sistem reseptor adalah identifikasi ekuivalen. Sebagai contoh,
adsorpsi isoterm Langmuir seperti terlihat pada Persamaan memiliki
karakteristik asymptote maksimal yang dinotasikan dengan M dan
sensitivitas yang dinotasikan dengan KA.
|
Notasi KA menyatakan lokasi kurva
dosis-respon sepanjang sumbu konsentrasi dan juga potensi obat serta
sensitivitas sistem. Dengan menggunakan analogi untuk Persamaan 15, maka akan
menghasilkan faktor sensitivitas (dinotasikan sebagai Kobs):
Semakin tinggi konsentrasi dari protein coupling
sekunder ([G]), maka proses terjadinya ikatan semakin cepat, yang pada
akhirnya akan mempercepat reaksi antara obat dengan reseptor. Dengan kata lain,
semakin kecil nilai KG, maka rangsangan dari coupling sekunder akan
semakin besar dan menyebabkan peningkatan potensi dari obat A. Hal ini terlihat
pada kurva dosis-respon pada Gambar 5 (A). Efek dari [G]/KG pada potensi obat A
terlihat pada Gambar 5 (B).
2. Keberbalikan
Mikroskopik
Konsep lain yang sangat bermanfaat dalam merancang
model reseptor adalah keberbalikan (reversibilitas) mikroskopik. Secara umum,
konsep ini mengacu pada fakta bahwa jalur berbeda menuju spesi tertentu
seharusnya memiliki nilai energi yang sama. Konsep ini diperkenalkan oleh
Jeffries Wyman pada tahun 1975 dalam paper yang berjudul The Turning
Wheel: A study in steady states. Ketika suatu sistem berada dalam
kesetimbangan termodinamik, prinsip dari kesetimbangan mikroskopik menyatakan
bahwa kecepatan ke arah maju dan ke arah mundur untuk setiap tahapan elementer
atau dasar haruslah sama
Contoh untuk kasus transisi sederhana
satu tahap yang diilustrasikan pada Gambar 6, menunjukkan bahwa M.a21 = ML.a12
dan ML.a32 = MLQ.a23.
Gambar
6. Empat
bentuk yang mungkin dari interaksi suatu makromolekul (M) dengan dua ligan (L
dan Q) yang masing-masing hanya mempunyai situs pengikatan tunggal dengan M
Kemudian, dapat ditarik kesimpulan bahwa a41 a34 a23
a12 = a21 a32 a43 a14 dan karena aktivitas ligan pada arah yang berlawanan
saling membatalkan, k1k2k3k4 = k-1k-2k-3k-4. Secara general, produk atau
perkalian dari beberapa nilai k atau nilai a dengan mengikuti jalur yang searah
dengan jarum jam haruslah sama dengan perkalian nilai-nilai k atau a yang
mengikuti jalur yang berlawanan dengan arah jarum jam. Ilustrasi di atas yang
menggambarkan terdapat satu situs dari makromolekul M berinteraksi dengan
sejumlah ligan (L dan Q) dapat digantikan dengan keadaan di mana terdapat satu
ligan yang berinteraksi dengan sejumlah tertentu situs pengikatan. Konsep
keberbalikan mikroskopis dapat diterapkan untuk kedua keadaan tersebut. Hal
lain yang perlu menjadi catatan adalah pada ilustrasi ini, terdapat bentuk MLQ
yang tidak mungkin ada, untuk menjelaskan prinsip adanya kompetisi antara dua
atau lebih ligan (dalam ilustrasi ini adalah L dan Q) untuk situs pengikatan
yang sama.
Pada Gambar 7, diilustrasikan penerapan konsep
keberbalikan mikroskopik pada model dua keadaan reseptor (two-state receptor
model) di mana kedua konformasi reseptor dapat berinteraksi dengan ligan
(molekul obat) A.
Gambar
7. Skema
ini menunjukkan penerapan konsep keberbalikan mikroskopis pada model dua
keadaan reseptor (two state receptor model)
Berdasarkan konsep keberbalikan
mikroskopik, dapat dinyatakan besarnya energi bebas untuk pengikatan ligan
(molekul obat) A terhadap bentuk konformasi reseptor yang teraktivasi (Ra)
sebagai berikut :
ΔFARa = ΔF1 - ΔF1, 2 = ΔF2
- ΔF2, 1 (3.18)
di
mana :
ΔFi
= energi bebas pengikatan ligan A terhadap reseptor terinaktivasi (RI)
ΔF1,2
= energi bebas pengikatan ligan A terhadap reseptor teraktivasi (Ra)
ΔF2
= energi bebas konversi Ri menjadi Ra
ΔF2,1
= energi bebas konversi ARi menjadi ARa
Faktor penggandengan (coupling)
untuk pengaruh ligan A terhadap konversi dari Ri menjadi Ra dapat dinyatakan
sebagai:
α = (3.19)
Proses dari Ri menjadi ARa (lihat Gambar 7 bagian A)
dapat melalui tahapan konversi dari konformasi Ri menjadi konformasi Ra dengan
konstanta reaksi bernilai L, serta tahap pengikatan ligan A oleh Ra
menghasilkan kompleks ARa dengan konstanta reaksi bernilai αK. Dengan demikian,
keseluruhan proses dari Ri menjadi ARa melalui tahapan ini memiliki kontanta
reaksi (Kreaksi) sebesar KαL.
Selain itu, proses dari Ri menjadi ARa juga dapat
melalui tahapan pengikatan ligan A oleh Ri mejadi ARi dengan nilai konstanta
reaksi sebesar K, serta tahap konversi dari ARi menjadi ARa dengan kosntanta
reaksi sebesar X. Dengan demikian, keseluruhan proses dari Ri menjadi ARa
melalui tahapan ini memiliki kontanta reaksi (K„reaksi) sebesar KX. Pada
kondisi kesetimbangan, besarnya konstanta reaksi proses dari Ri menjadi ARa
akan sama besar tidak peduli jalur tahapan reaksi manakah yang terjadi. Oleh
karena itu, pada kondisi kesetimbangan, Kreaksi K‟reaksi, sehingga X αL.
Terdapat parameter lain yang dinyatakan sebagai
p di mana p merupakan istilah untuk efek obat atau jumlah kompleks reseptor
aktif yang dihasilkan oleh obat A. Parameter p dinyatakan melalui persamaan
:
Setelah diturunkan, maka akan diperoleh
persamaan berikut:
Dari persamaan ini, dapat teramati bahwa
konstanta kesetimbangan dari kurva dosis-respon (Kobs) adalah :
Melalui persamaaan ini, terlihat bahwa
semakin besar selektivitas yang dimiliki obat terhadap konformasi reseptor yang
teraktivasi (semakin besar nilai α), berarti obat tersebut semakin poten.
Secara alternatif, semakin besar jumlah reseptor aktif yang berada dalam sistem
(yaitu semakin kecil nilai Kact atau semakin besar nilai L), semakin tinggi
potensi yang dimiliki obat A.
D. Model
KompleksTerner dari Reseptor 7-TM
Sejumlah
besar reseptor untuk hormon, neurotransmiter, dan autocoid berada di
bagian luar membran sel dan mentransmisikan informasi dari bagian ekstraseluler
ke intraseluler. Reseptor ini tersusun seperti loop yang melintasi membran sel
sebanyak tujuh kali (Gambar 7), sehingga
disebut reseptor 7-TM (7-transmembran).(1) G Protein-Coupled Receptors
(GPCRs) juga di sebut sebagai reseptor 7-TM atau reseptor heptaheliks. Domain
terminal amino ekstraseluler berisi sisi glikosilasi potensial n-linked di
reseptor. Karboksi-terminal pada ujung sitoplasmik terlibat dalam kopling ke
protein-G dan memiliki sisi palmitoilasi ( residu sistein ) dan sisi
fosforilasi (residu serin dan treonin), keduanya terlibat dalam proses
desensitasi reseptor.
Gambar
7. Gambaran
reseptor 7TM. Protein reseptor ini berfungsi sebagai penghubung komunikasi sel
dengan lingkungannya. Ini terdiri dari tiga ekstraseluler dan tiga intraseluler
loop protein dan melintasi membran sebanyak tujuh kali. Hormon dan bahan kimia
lainnya berinteraksi dengan reseptor dari bagian ekstraseluler, dan keberadaan
bahan tersebut dirasakan oleh reseptor, sehingga terjadi perubahan konformasi
ke loop intraseluler dan sitoplasma sel.
Mayoritas transduksi transmembran sinyal dimediasi
oleh G protein-coupled receptors (GPCRs). Selain itu, GPCRs adalah transduser
sinyal utama untuk indera penglihatan dan penciuman. Berdasarkan urutan kunci
tertentu, GPCRs dapat dibagi menjadi tiga subfamilies utama, reseptor yang
berhubungan dengan rhodopsin (tipe A), reseptor terkait dengan reseptor
kalsitonin (tipe B), dan reseptor yang terkait dengan reseptor metabotropic (tipe
C). Dari jumlah tersebut, subfamili rhodopsin adalah yang terbesar dan paling
banyak diteliti.
Model kompleks terner ini dikembangkan pada
tahun 1980 oleh DeLean dan Leikowitz dan diteruskan 12 tahun kemudian oleh
kelompok yang sama. Model ini berfungsi sebagai template untuk model
reseptor pada umumnya yang memiliki dua prinsip umum yaitu adanya reseptor
dalam keadaan konformasi yang berbeda dan interaksi reseptor dengan protein
terikat membran lainnya melalui translokasi difusi.
Model pepanjangan dari kompleks terner juga
memperhitungkan efek yang berbeda dari kelompok obat (agonis penuh, agonis
parsial, antagonis netral, dan agonis terbalik) pada reseptor sinyal. Model ini
mengusulkan bahwa reseptor yang ada dalam kesetimbangan dari dua negara keadaan
fungsional : keadaan tidak aktif (R) dan aktif (R*). Dengan adanya agonis,
tingkat aktivitas reseptor basal ditentukan oleh keseimbangan antara R dan R*.
Efikasi ligan ini dianggap sebagai cerminan dari kemampuan mereka untuk
mengubah keseimbangan antara dua keadaan ini. Kebanyakan sifat GPCRs dapat
dijelaskan dengan model ini, beberapa penelitian menunjukkan bahwa model yang
lebih kompleks mungkin diperlukan.
Versi termodinamika lengkap dari kompleks terner ditemukan
oleh Weiss, Morgan, dan Lutz, yang ditunjukkan pada Gambar 8. Model ini
mencakup tiga interaksi dasar:
1.
Kesetimbangan dinamik antara reseptor aktif dan reseptor inaktif (I)
2.
Interaksi reseptor dengan protein G (II)
3.
Pengaruh ikatan obat terhadap kedua interaksi tersebut (III)
Gambar 8. Model
"sistem" reseptor 7TM. Model ini menunjukkan bagaimana reseptor dapat
berada dalam bentuk aktif ([Ra]) dan tidak aktif ([Ri]) serta bagaimana
interaksinya dengan obat [A] (I). Reseptor juga dapat berinteraksi dengan
membran terikat protein G (II), dan obat dapat mempengaruhi interaksi ini
(III). Hasilnya adalah termodinamik berbentuk kubus yang dikontrol oleh
sejumlah konstanta kesetimbangan.
Hal yang penting dari kompleksitas model
ini yaitu menggambarkan motif umum dalam model reseptor. Secara spesifik, model
dapat diklasifikasikan atas dasar kompleksitasnya (yaitu jumlah parameter yang
diperlukan untuk mendefinisikan model) dan juga berdasarkan seberapa mudah
parameter dapat diidentifikasi (Gambar 9).
Gambar
9. Spektrum
tipe model matematis untuk sistem biologis. Sumbu dari kiri ke kanan
menggambarkan kompleksitas model, dan sumbu vertikal menggambarkan kemampuan
eksperimen untuk memperkirakan parameter. Oleh karena itu, model yang sangat
kompleks dengan banyak parameter yang tidak dapat dengan mudah diperkirakan
disebut heuristik dan deskriptif, sedangkan model sederhana dengan beberapa
parameter yang dapat diperkirakan disebut parsimonious
Berdasarkan gambar
tersebut diketahui ada 4 model kompleks terner, yaitu :
1. Model karikatur
sistem biologis
a.
Sistemnya baru sedikit yang diketahui
b.
Dapat disesuaikan dengan kebutuhan
c.
Sederhana dan dapat sedikit diestimasi
2. Model simulasi
a.
Membutuhkan banyak parameter untuk menggambarkan situasi eksperimen
b.
Masing-masing parameter dapat diestimasi
c.
Dapat menggambarkan kondisi nyata
3. Model
parsimonious
a.
Sangat sederhana
b.
Tidak dapat menggambarkan kondisi eksperimen secara lengkap
c.
Asumsi tidak mampu menggambarkan mekanisme dari kondisi nyata
4. Model heuristik
a. Model
yang sangat kompleks
b. Karena
membutuhkan parameter yang sangat banyak, maka tidak mungkin memberikan
simulasi data yang berarti
c. Model
ini dapat berguna untuk menentukan perilaku unik dari sistem kompleks sehingga
dapat memberikan wawasan tentang kompleksitas sistem biologis
d. Merupakan
model kubik komplek terner
e. Mampu
menggambarkan fitur lain dari sistem reseptor, yaitu :
ü Adanya
variasi spesies reseptor.
ü Reseptor
membran protein kompleks yang dapat ada secara termodinamik harus diperhatikan
bahwa itu berbeda dengan obat yang terikat.
ü Kecuali
α, β, dan gamma, semua sama dengan unit dalam model sebelumnya, ikatan obat
dengan sistem reseptor ini akan mengubah distribusi relatif reseptor antara Ri,
Ra, RiG, RaG, ARiG dan ARaG
f. Menjadi
model molekul efikasi obat yang mendefinisikan kemampuan obat untuk mengubah
interaksi reseptor dengan protein lain dalam sistem reseptor.
E. Model
Operasional dari Aksi Obat
Pengaplikasian mekanisme aksi obat secara teoritis
dan sederhana dikembangkan oleh orang ilmuan yaitu Sir James Black dan Paul
Leff, yang disebut dengan “Model Operasional”. Dalam model ini,
perhitungan yang digunakan didasarkan atas apa yang ingin diobservasi dan bukan
didasarkan atas apa yang dipercaya terjadi pada level molekular. Dari
permodelan ini diperoleh suatu hasil perhitungan matematis dari kumpulan data
pengamatan yang kemudian dapat digunakan untuk menyimpulkan mekanisme molekular
yang terjadi.
Observasi awal yang dilakukan menyatakan
bahwa kurva dosis terhadap respon obat menghasilkan suatu kurva yang berbentuk
hiperbola. Dampak perhitungan secara matematis dari fenomena ini karena ikatan
obat dengan reseptor adalah suatu proses yang menghasilkan kurva hiperbola, dan
juga hubungan antara konsentrasi dari ikatan kompleks antara obat dengan
reseptor terhadap respon yang dihasilkan, juga menghasilkan suatu kurva
berbentuk hiperbola. Oleh sebab itu, respon terhadap obat (dinotasikan dengan Ea)
dapat dibuat suatu persamaan secara umum seperti berikut ini:
dimana,
A
= konsentrasi obat yang diberikan
KA
= konstanta kesetimbangan dissosiasi kompleks obat- reseptor
Em
= respon maksimal yang dihasilkan
Rt
= konsentrasi total dari reseptor
KE
= parameter operasional, menyatakan konsentrasi kompleks obat dengan reseptor
yang menghasilkan setengah dari respon maksimal yang dihasilkan
Black dan Leff kemudian
mengajukan suatu konstanta yang digunakan untuk menyatakan kemampuan dari
agonis dan sistem yang menghasilkan respon terhadap agonis tersebut. Konstanta
ini dinotasikan dengan τ yang sama dengan [Rt] / KE. Jaringan dengan nilai
densitas reseptor atau mekanisme translasi yang efisien untuk konversi ikatan
reseptor ke jaringan, yang tinggi (misalkan, dengan harga KE yang rendah) akan
memiliki kapasitas transduksi yang tinggi untuk reseptor agonis (nilai τ yang
tinggi). Hal yang sama juga terjadi pada obat yang sangat berkhasiat, akan
memberikan sinyal besar untuk jaringan pada reseptor yang didudukinya dan ini
akan tercermin pada harga KE yang kecil. Dengan demikian, harga KE dipengaruhi
oleh jaringan dan juga efikasi dari aspek spesifik pada reseptor agonis.
Berdasarkan hal tersebut maka Persamaan 28 dapat dituliskan kembali menjadi :
Hal ini menggambarkan bahwa reseptor
agonis dinyatakan dalam dua fungsi hiperbola, yaitu pertama pengikatan obat
terhadap reseptor dan yang kedua pengikatan dari kompleks obat dengan reseptor
dengan jaringan yang menghasilkan respon stimulus yang akan diamati (Gambar
10). Penting untuk diketahui bahwa “Model Operasional” tidak membutuhkan
konstanta yang khusus untuk memperkirakan efikasi dari reseptor agonis.
Sebaliknya, konstanta τ menggambarkan efisiensi dengan sistem reseptor yang
menguatkan stimulus dari reseptor tersebut ([Rt] dan KE) dan juga kemampuan
intrinsik agonis untuk merangsang reseptor (komponen spesifik agonis dari KE).
Gambar
10.
Hubungan antara pendudukan reseptor dan konsentrasi obat (bawah, log [A] dengan
[AR]), antara pendudukan reseptor dan respon (kiri, [AR] dengan E) dan antara
log dosis dan respon (kanan log [A] dengan E). Mengikuti model operasional dari
aksi obat.
“Model Operasional” juga
digunakan untuk menentukan fenomena-fenomena umum yang terjadi dari suatu hasil
observasi, misalkan ketika agonis kuat tidak mampu menghasilkan respon yang
maksimal. Asimtot maksimal dari suatu respon obat dapat diperoleh dengan
memasukkan harga [A] ke Persamaan 29. Berdasarkan hal tersebut, respon maksimal
yang dapat dihasilkan oleh reseptor agonis itu adalah:
Oleh karena itu, untuk reseptor agonis
dengan efikasi yang rendah (misalkan harga KE tinggi), agonis parsial akan
terjadi pada beberapa jaringan (dimana [Rt] rendah) dan full agonis pada
sisi jaringan yang lainnya (dimana harga [Rt] tinggi).
Sinopsis
ü
Model untuk aksi obat telah mengisyaratkan
konsep reseptor selama berabad-abad. Studi awal yang dikemukakan oleh Langley
dan Ehrlich mendefinisikan secara operasional reseptor dan, kemudian, Clarck
mendefinisikan teori dalam istilah matematika.
ü
Ariens merupakan orang yang pertama kali
dianggap berhasil. Stephenson memperkenalkan konsep stimulus-respon dan
merevolusi teori reseptor yang telah ada.
ü
Two state teori juga sangat mempengaruhi
teori reseptor, gagasan itu selektif mengikat obat-obatan untuk dua jenis yang
mempengaruhi satu sama lain dapat menyebabkan perubahan dalam keadaan
kesetimbangan stabil dari jenis yang ditawarkan secara molekular untuk suatu
khasiat.
ü
Konsep reversibilitas mikroskopis dan konservasi
spesies dapat digunakan untuk membangun model matematika dari setiap sistem
reseptor.
Model
operasional dari aksi obat dapat digunakan untuk menentukan sistem independen
aksi obat yang konstan dari sistem fungsional, tanpa memerlurlukan definisi
mekanisme molekuler.